Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat Filsafat Eskatologi Mulla Sadra

BOOK ID

سرشناسه:الولید، خالید

Al-Walid، Kholid

عنوان و نام پدیدآور: ‫ Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat Filsafat Eskatologi Mulla Sadra[Book] ‫ / Kholid Al-Walid.

مشخصات نشر: ‫ Qom ‫ : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa ‫ , 2014 ‫ = 1393.

مشخصات ظاهری: ‫275 ص.

فروست: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله ‫؛ پ1393/274/181 ، نمایندگی المصطفی در اندونزی ‫؛20.

شابک: ‫ 978-964-195-052-3

وضعیت فهرست نویسی:فیپا

یادداشت :اندونزیایی.

آوانویسی عنوان:پرجالانان..

موضوع:صدرالدین شیرازی، محمدبن ابراهیم، ‫979 - 1050ق. -- دیدگاه درباره معاد

موضوع:Sadradding shirazi‪, Mohammad ebn Ebrahim‪ -- View on eschatology

موضوع:معاد

رده بندی کنگره: ‫ BBR55/م25 ‫ ‮الف 7 1393

رده بندی دیویی: ‫ 189/1

شماره کتابشناسی ملی:3649506

P: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

P: 2

Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat

Filsafat Eskatologi Mulla Sadra

Dr. Kholid Al-Walid

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

P: 3

Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat Filsafat Eskatologi Mulla Sadra

penulis: Dr. Kholid Al-Walid

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-052-3

معاد شناسی ملاصدرا

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعله

تیراژ: 300

قیمت: 145000 ریال

مؤلف: خالید الولید

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.

ir m iup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

P: 4

Pedoman Transliterasi Arab

P: 5

Pedoman Transliterasi Persia

P: 6

Daftar Isi

Pedoman Transliterasi Arab – vii

Pedoman Transliterasi Persia - viii

Kata Pengantar — xi

Ucapan Terima Kasih - xxi

Pendahuluan - XXV

Catatan - XXXVI

BAGIAN PERTAMA BIOGRAFI MULLA SADRA-1

1. Fase Kehidupan – 1

2. Guru-guru – 8

3. Murid-Murid – 12

4. Karya-karya-15

5. Aliran Filsafat – 21

Catatan – 29

BAGIAN KEDUA PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT – 35

1. Prinsipalitas Wujud dan Kerelatifan Kuiditas (Asālat AlWujūd wa l’tibariyat Al-Māhiyyāh) — 36

2. Ambiguitas Wujud (Tasykik Al-Wujūd) — 39

3. Kontinuitas Wujud – 43

4. Wujud Mental (Wujud Al-Zihni) – 44

5. Prinsip Emanasi – 46

6. Gerakan Transubstansial (Al-Harākat Al Jawharriyyah) — 51

7. Kesatuan antara Subjek dan Objek Pengetahuan (Ittihād Al-'Āqil wa Al-Ma'qūl) — 55

8. Alam Imajinal (Al-'Alam Al-Mitsāl) – 60

P: 7

Catatan - 67

BAGIAN KETIGA PRINSIP-PRINSIP ESKATOLOGI – 75

1. Argumentasi Eskatologis – 75

2. Realitas Jiwa - 80

3. Persoalan Reinkarnasi – 100

4. Sebelas Prinsip Dasar Eskatologi – 114

5. Kritik Terhadap Pandangan Eskatologi Pemikir Muslim– 131

6. Mulla Sadra dan Persoalan Kebangkitan Jasmani – 238

Catatan – 156

BAGIAN KEEMPAT MAKNA PERISTIWA-PERISTIWA ESKA-TOLOGI – 175

1. Hakikat Kematian dan Alam Kubur – 175

2. Nikmat dan Azab Kubur – 180

3. Keberlangsungan Daya Fisik Pascakematian – 185

4. Hakikat Kiamat – 188

5. Makna Kebangkitan dan Pengumpulan – 192

6. Bahan Dasar Akhirat - 201

7. Kebangkitan Jasmani dan Fisikalisasi Perbuatan – 205

8. Sirāt, Lembaran dan Kitāb, Penghitungan dan Penimbangan- 214

9. Tingkatan-tingkatan dan Keadaan Manusia pada Hari Kiamat - 218

10. Hakikat Surga dan Neraka, 225

11. Kebahagiaan dan Penderitaan – 233

12. Makna Keabadian dan Kontinuitas Pembaruan Penghuni Surga dan Neraka– 238

Catatan – 243

Indeks – 271

Buku-Buku Sadra yang Telah Terbit

P: 8

Kata Pengantar

Menyibak Misteri Kematian Haidar Bagir Suatu kali Nasruddin Hoja ditanya temannya, “Kapan kiamat terjadi?" "Kiamat apa yang kau maksudkan?" Nasruddin balik bertanya. “Apakah kiamat itu lebih dari satu?" Temannya kembali bertanya. "Ya, ada Kiamat kecil dan ada kiamat besar. Kiamat kecil adalah ketika istriku mati. Dan Kiamat besar adalah ketika aku yang mati," jawab Nasruddin.

Tentu saja, Nasruddin sedang bercanda. Namun, Nasruddin benar ketika dia mengaitkan kiamat dengan kematian. Hanya saja, Kiamat kecil bagi seseorang adalah kematiannya, sebelum kelak ia dibangkitkan kembali ketika Kiamat besar terjadi. Ibnul Qayyim Al-Jawziyah berkata, “Maut adalah kebangkitan dan tempat kembali (ma'ad) pertama. Allah menciptakan dua tempat kembali dan dua kebangkitan bagi anak-cucu Adam. Dalam keduanya, Allah membalas orang jahat dengan kejahatan yang setimpal dan membalas orang baik dengan kebaikan yang lebih besar." Namun, apa makna kematian atau maut itu? Menurut Lisānul ‘Arab, kata maut berarti 'diam', 'padam', 'tenang', 'tak bergerak'. Sebagaimana kehidupan bermula ketika ruh ditiupkan ke jasad, maka kematian terjadi ketika ruh terpisah

P: 9

dari badan. Maut juga berarti bergantinya keberadaan dan berpindahnya (sesuatu) dari satu tempat ke tempat lain. Menjadi jelaslah makna ucapan Rasulullah Saw. ketika ia mengatakan, “Kalian diciptakan untuk keabadian, bukan untuk mengalami kemusnahan. Kematian sesungguhnya adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah lain" - yakni dari rumah dunia ke rumah akhirat.

Kematian, ungkap Syaikh Abbas Al-Qummi, adalah ketika ruh meninggalkan badan, sebagaimana pelaut meninggalkan kapalnya yang karam; atau bagaikan secercah cahaya yang meninggalkan suatu tempat dan membiarkannya menjadi padam atau gelap kembali, persis seperti saat ia belum masuk ke dalamnya.

Tapi, selain maut, Al-Qur'an juga menggunakan istilah wafat untuk menunjuk makna mati. Murtadha Muthahhari membuat sebuah analisis menarik tenang kata “tawaffa" (mati) yang berakar pada kata yang sama dengan “wafat” lewat pembandingannya dengan suatu kata dalam bahasa Persia yang memiliki bunyi hampir sama, yakni “fuut". Menurut Mutahahhari, sebagian orang Persia mengira bahwa kedua istilah ini berasal dari kata yang sama. Mereka mengira bahwa “wafat kard" – kata kerja bentukan dalam bahasa Persia yang berarti meninggal — sama dengan "fuut kard". "Fuut" berarti ‘hilang' atau ‘lepas dari pegangan'. Jika istilah “wafat” bermakna sama dengan “fuut", maka kematian akan memiliki konotasi hilang, musnah. Kenyataannya, makna istilah “fuut" malah berkebalikan dengan makna istilah “wafat" yang dipergunakan Al-Qur'an untuk menyatakan kematian. Sebaliknya, lepas dari pegangan, istilah tawaffa berarti mengambil sesuatu dan menerimanya

P: 10

secara sempurna. Contohnya, jika Anda mendapatkan kembali seluruh piutang Anda, bukan sebagian, maka itu disebut sebagai tawaffa atau istifa. Al-Qur'an senantiasa mengaitkan kematian dengan “menerima secara sempurna." “Allah menerima (dengan sepenuhnya) jiwa-jiwa pada saat kematiannya." Di dalam surat Al-Sajdah [32]: 10-11 disebutkan :

“Dan mereka berkata, “Apakah ketika kami telah lenyap (musnah) di dalam tanah, kami akan benar-benar menjadi ciptaan yang baru?' Katakanlah: Malaikat Maut ditugasi untuk menerimamu dan kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." Maka Mutahhari menyimpulkan bahwa mati berarti dipindahkannya atau diserahkannya (ruh) si mati dari satu alam ke alam lain. Malaikat-malaikat pesuruh Allah datang untuk menerimanya dan membawanya. Pada saat itu, (ruh) manusia diterima dalam keadaan utuh, sempurna. Tak ada yang musnah atau berkurang. Kemusnahan hanya bisa dilekatkan kepada wadag belaka.

Berhubungan dengan istilah wafat ini, dikenal juga istilah kematian kecil. Yang ditunjuk oleh istilah ini adalah tidur. Tidur? Bukankah Allah berfirman:

"Dan dialah yang mewafatkan kalian pada malam hari....?" "Allah menggenggam jiwa manusia ketika matinya dan menggenggam jiwa (manusia) yang belum mati di waktu tidurnya? Maka dia tahanlah jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya, dan dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang

P: 11

berpikir." Memang, “Sesungguhnya," kata Sang Rasul, “Hidup manusia di dunia ini bagaikan mimpi." “la terjaga ketika mati." Kematian sesungguhnya adalah sebuah proses kembali ke-Sumber-nya.

Al-Qur'an telah jelas-jelas mengungkapkan bahwa mati berarti kembali (ruju') kepada sumber atau keseluruhan yang darinya wujud kita berasal. Allah.

Namun, apa yang pindah? Apa yang kembali? Ke mana? Lalu apa yang terjadi dengan manusia di tempat-tinggal-barunya itu? Ketika mati, jasad kita pelan-pelan meluruh. Menuju kemusnahan. Tinggal jiwa kita, ruh kita.

“Jiwa adalah tempat bertemunya dua samudra," demikian kata Mulla Sadra, "(pertemuan antara) yang jasadi dan yang ruhani .... Jika Anda lihat substansinya di dunia ini, Anda akan mendapatinya sebagai sumber segenap daya tubuh ... Tetapi jika Anda lihat substansinya di dunia Intelek, Anda akan mendapati bahwa, dalam fitrahnya, ia adalah potensial- murni tanpa forma di dunia itu ... Hubungan-awalnya dengan forma dunia itu adalah bagaikan biji terhadap buah atau embrio terhadap hewan. Persis seperti embrio adalah embrio dalam aktualitas dan hewan hanya secara potensial; demikianlah jiwa (pada mulanya) adalah sekadar manusia yang bisa mati, tetapi (sekaligus) Intelek (sepenuhnya) secara potensial." Melalui kehidupan di dunia ini, potensialitas jiwa menjadi teraktualisasikan. Kematian sama sekali bukanlah suatu ketaksempurnaan. Mengingat, sebagaimana terungkap dalam ungkapan Rasul yang dikutip sebelum ini, ia hanyalah

P: 12

perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Dalam istilah Mulla Sadra, kematian terjadi segera setelah jiwa mengaktualisasikan seluruh potensialitasnya. Karena tak lagi membutuhkan tubuh- jasmaniah, jiwa mencampakkannya demi terus maju ke tahapan berikut eksistensinya.

"Penjelasan bagi kematian fisikal adalah bahwa jiwa mencapai kesempurnaan dan kebebasan dalam eksistensi, sehingga ia beralih kepada aktivitas dan upaya-bawaannya menuju dunia yang lain. Jadi, karena esensinya memperoleh kekuatan, sedikit demi sedikit, hingga ia mencapai suatu jenis baru eksistensi, ia memutuskan hubungannya (dengan tubuh) dengan memperkuat hubungannya dengan tubuh yang lain, yang diperolehnya sesuai dengan kualitas-kualitas moral dan kesiapan-kesiapan (bekal- bekal) kejiwaannya. Dengan demikian, pertama dan dalam esensinya ia memulai suatu kehidupan, kedua; tapi, sebagai suatu 'embel-embel aksidental' kehidupan- fisikalnya berakhir....

Mencapai derajat substansialitas, aktualitas, dan kebebasan (adalah suatu keadaan yang) dialami oleh (semua manusia) mukmin atau kafir .... Tak ada kontradiksi antara kesempurnaan ontologis dan kebebasan-substansial di satu sisi dan keburukan dan penderitaan akibat siksaan api neraka ... di sisi lain. Malah sebaliknya, hal-hal ini hanya memperkuat kesimpulan kami. Kenyataan bahwa eksistensi manusia makin kuat dan mendapatkan aksentuasi dan bahwa ia telah lepas dari selubung dan hijab material (justru) mengakibatkan intensitas yang makin tinggi dalam mengalami rasa sakit." Dalam kematian, simpul Al-Ghazali, manusia tak menemukan apa-apa, kecuali atribut-atributnya sendiri, yang tak lagi terhijab oleh tubuh-jasmaniah, melainkan mengungkapkan diri mereka dalam forma-forma yang sesuai dengan tempat- tinggal barunya. “Hubungan jiwa dengan tubuh menghijabnya

P: 13

dari pencerapan hakikat-hakikat segala sesuatu, sementara kematian menyibak hijab itu: "Saat ini kami telah menyibak darimu hijabmu, hingga hari ini penglihatanmu amat tajam,' (QS 50 :22). Apa yang selama ini tersembunyi di dunia rendah menjadi terungkap nyata." Jadi, sebaliknya dari mengalami akhir kehidupan, manusia melanjutkan kehidupannya setelah kematian (fisikal) ini, bahkan lebih hidup lagi, bahkan lebih lestari. Kehidupan setelah mati itulah kehidupan sejati. Bagaikan seseorang yang bangun dari tidur dengan mimpi yang panjang, kematian (fisikal) telah menandai keterjagaannya. Persis kata Nabi: “Sesungguhnya dalam kehidupan dunia ini manusia itu tertidur. Baru ketika mati, ia terjaga." Nah, adalah amal-amalnya di kehidupan dunia yang akan menentukan kehidupannya pascakematian. “Pada hari itu amal-amal (manusia) akan dikalungkan di leher-leher mereka," firman Sang Pencipta. Al-Qur'an menyebut Hari Kiamat - ketika amal-amal seluruh manusia diperhitungkan – sebagai saat-saat "apa yang ada di dalam dada diungkapkan” (Q.S. 100 : 10) dan “rahasia-rahasia dibongkar" (QS. 86 : 9).

Al-Qunawi menyatakan bahwa, setelah kematian, manusia akan mengambil bentuk jasmaniah sesuai dengan perilaku yang menguasainya ketika ia hidup di dunia. Jadi, jika syahwat yang berkuasa, ia akan tampil sebagai babi, dan jika amarah yang angkara, ia akan tampil sebagai anjing. Demikian juga pandangan Al-Farabi dan Mulla Sadra. Dalam penampilan dan cara seperti itulah kita harus mengarungi kehidupan yang jauh lebih panjang ini. ... (Itulah) hari yang segenap jiwa akan mendapati semua amal-amal baiknya terhampar di depannya, demikian pula amal-amal buruknya. (Jiwa-jiwa) itu akan berharap

P: 14

Kata Pengantar akan adanya masa yang panjang di antaranya dan hari itu (QS. 3:

30). Semua atribut yang menguasai manusia di dunia ini akan mengungkapkan-diri kepadanya di alam barzakh dalam bentuk (forma) yang sesuai .... Inilah makna sabda Nabi "Manusia akan dikelompok-kelompokkan pada Hari Kebangkitan sejalan dengan niat-niatnya." Sana'i mengungkapkan gagasan ini dalam salah satu sya'irnya:

Ketika mereka menyibak hijab atas indera-indera dari penglihatanmu, maka Jika kau seorang kafir kau ‘kan dapati api yang mendidih (Atau) jika seorang mukmin, Taman itu Surga dan nerakamu ada dalam dirimu sendiri: Lihat ke dalam! Lihatlah tungku-tungku di limpamu, taman-taman dihatimu." Jika kau mati dengan akhlak yang buruk, kau ‘kan dibangkitkan dalam wujud binatang-buas ...

Ketika makna keluar dari rumah ke jalanan, wajahmu akan distempel dengan apa yang ada di hatimu.

Tapi tak ada yang menggambarkan ini seindah Maulana Rumi:

Ada ribuan srigala dan babi dalam eksistensi kita, baik dan buruk, indah dan jelek.

Sifat-sifat manusia ditentukan oleh kelakuan yang menguasai: Jika emas lebih banyak dari tembaga, maka ia adalah emas.

T'lah pasti, di hari Kebangkitan kau kan diberi bentuk sesuai dengan perilaku yang mengangkangi eksistensimu (Rumi) Berapa banyak anak-anak-pikiranmu 'kan kau lihat di kuburan(mu)

P: 15

Semua mengerumuni jiwamu seraya berteriak, "Ayah!"? Pikiran-pikiran-baikmu melahirkan pemuda-pemuda dan bidadari-bidadari; Pikiran-pikiran-burukmu menelorkan setan-setan-besar.

Hingga, pada akhirnya, sang Maulana berbicara dengan lugas kepada kita semua :

Engkau adalah pikiranmu, saudara, selebihnya adalah tulang-tulang dan serat-serat.

Jika Kau berpikir tentang mawar-mawar, Engkau pun sehamparan kebun mawar.

Jika Kau berpikir tentang dedurian, Engkaulah bahan bakar bagi tungku itu.

Setelah itu semua, toh kematian tetaplah sebagai misteri.

Sebagai misteri, dia bisa menggairahkan, tapi juga menakutkan.

Kedua-duanya memerlukan penjelasan. Maka, meski tak ada orang yang mati yang kembali, tak putus upaya orang untuk berusaha menjelaskan misteri ini. Mulai paranormal, hingga filsuf dan sufi. Buku ini adalah suatu kontribusi penting bagi upaya untuk menyorotkan secercah sinar atas misteri ini.

Kali ini dari sudut pandang filsafat. Meski Mulla Sadra-yang pemikiran-pemikirannya menjadi pusat pembahasan dalam buku ini – tak jarang disebut sebagai Sufi, gaya pembahasannya memang lebih tepat disebut sebagai filsafat. Ia memang banyak dipengaruhi Ibn Arabi, seorang 'arif terbesar dalam sejarah 'irfan (tasawuf teoretis), tetapi amat mudah untuk melihat betapa metode burhani (demonstratif-rasional) sangatlah sentral dalam metodanya. Inilah, yakni dukungan argumentasi-argumentasi rasional, memang sumbangan terbesar Mulla Sadra, di samping tentu saja pengayaan-pengayaan atas pemikiran para

P: 16

pemikir Muslim sebelumnya, dan pengenalan topik-topik baru dalam khazanah Filsafat Islam. Memang berat di banyak bagian, tetapi tetap saja banyak hikmah baru yang bisa dipetik dari pembahasan dalam buku ini, meski bagi pembaca yang awam dengan filsafat Islam. Khususnya pada bab-bab terakhir tentang kematian, yang pembahasannya bersifat lebih populer.

Kehadiran buku ini kiranya dapat pula mendorong para penulis dan pemikir Islam Indonesia lainnya untuk melanjutkan penelitian tentang hal ini. Bisa masih dari sudut filsafat, bisa juga dari perspektif-perspektif lainnya. Agar manusia bisa lebih memahami misteri ini dan berusaha memilih cara hidup yang lebih waras sebagai persiapannya menuju kehidupan yang lebih real dan abadi ini, yakni sebagaimana diajarkan langsung oleh Sang Pencipta, dengan memperbanyak amal-amal saleh, baik yang berupa landasan amal individual maupun amal-amal sosial untuk memperbaiki lingkungan dan kehidupan sesama manusia. Hingga akhirnya, kematian benar-benar terwujud sebagai realisasi-puncak kerinduan primordial anak manusia untuk kembali kepadanya dan agar sungguh-sungguh tertunai panggilan-Nya kepada kita:

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke golongan hamba-hamba- Ku. Maka masuklah ke surga-Ku." Wal-Lahu a'lam.

P: 17

P: 18

Ucapan Terima Kasih

maha suci bagi Dia yang tidak ada tempat bersandar, kecuali perkataan-Nya, tidak ada yang mengkhawatirkan, kecuali keadilan-Nya, dan tidak ada tempat bergantung, kecuali pada tali-Nya.

Yang ditulis di dalam buku ini merupakan bagian dari upaya “membangun jembatan" untuk memperkenalkan pemikiran filsafat Hikmah al-Muta'aliyyah yang dikembangkan Mulla Sadra. Awalnya, buku ini adalah disertasi yang saya tulis untuk program doktoral dalam bidang Pemikiran Islam di Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan telah dipertahankan pada, Jumat, 18 April2008.

“Kegilaan" saya pada pemikiran Mulla Sadra dimulai ketika saya mengenal filsafat Islam. Pada pemikiran Mulla Sadra-lah saya menemukan keutuhan bangunan pemikiran Islam yang tidak semata menawarkan argumentasi rasional, tetapi tidak mengindahkan doktrin agama dan spiritualitas, seperti yang terjadi pada Madrasah Filsafat Islam sebelumnya.

Di tangan Mulla Sadra, harmonisasi di antara seluruh pemikiran Islam terjadi. Dapat dikatakan bahwa Hikmah Muta'aliyyah adalah filsafat yang menjelaskan secara argumentasi rasional doktrin-doktrin agama, sekaligus mengantarkan pengkajinya pada kesadaran spiritualitas.

Di sini, saya menulis upaya yang dilakukan Mulla Sadra untuk menjelaskan gagasan Eskatologi yang sebelumnya menjadi

P: 19

jurang yang sangat dalam di antara filsuf dan mutakallim.

Menariknya bagi saya, Mulla Sadra menggunakan keseluruhan prinsip utama filsafatnya yang sebelumnya ia jelaskan panjang lebar pada bab-bab awal dari kitabnya, Hikmah Muta’aliyah.

Namun, saya menyaksikan bahwa keseluruhan prinsip itu digunakan Mulla Sadra untuk memberikan bukti-bukti kokoh bagi gagasan Eskatologisnya, seakan ia hendak menyampaikan pesan bahwa filsafatnya dia bangun untuk membicarakan doktrin eskatologi.

Atas hasil ini, saya ingin berterima kasih untuk kedua orang tua saya, Amir Sopian dan Zuhroh H.S. yang dengan tetes-tetes keringat mereka telah menyepuh diri dan meretaskan jalan kehidupan yang penuh kebaikan bagi saya.

Istriku tercinta, Renny Ariany, yang dengan cinta dan dambanya memberikan ketegaran, sekalipun hempasan ombak dan badai kehidupan menerpa silih berganti. Dengan doanya, ia melukis di kanvas kesulitan dengan warna kebahagiaan. Dialah bidadari yang Allah titipkan di sampingku. Putri-putri jelitaku, Nargis Fathimah Behesyti, Nabila Syirin Thowusyi, dan Najwa Fersteh Zahra yang dengan caranya selalu mengekspresikan cinta mereka untukku dan menghiasi hidupku dengan kebahagiaan.

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dan Dr. Haidar Bagir selaku supervisor yang saran-saran mereka mengantarkan disertasi ini mendapatkan nilai tertinggi. Prof. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah yang memotivasi agar disertasi ini segera diterbitkan. Prof. Kautsar Azhari Noer yang masukan- masukkannya cukup kritis dan Dr. Akhyar Yusuf Lubis yang sangat bersemangat memberikan bimbingan, sekalipun beliau adalah penguji.

P: 20

Saya berhutang banyak hal pada Mr. Hakeem Ilahi yang telah memfasilitasi saya untuk melakukan penelitian di Iran bagi tulisan ini. Mr. Kyosamsaki, Phd. yang banyak memberikan bantuan informasi dan interpretasi bagi gagasan- gagasan Mulla Sadra. Mr. Sayyed Alawi, Ayatullah Jawadi Amoli, Ayatullah Muhammad Khamne'l, dan Jami'ah Al-Mustafa yang memberikan fasilitas akomodasi.

Saya juga ingin memberikan apresiasi dan cinta saya untuk Bpk. H. Sutaryo dan Ibu Hj. In Sutaryo yang menjadi sosok orang tua bagi saya dan memberikan dorongan serta bantuan yang luar biasa.

Akhirnya, saya menyampaikan kebahagiaan dan apresiasi saya pada Sadra Press dan juga Prof. Dr. Seyyed Ahmad Fazeli yang telah memfasilitasi penerbitan disertasi ini.

Untuk semua nama yang telah saya sebutkan, semoga Allah meninggikan derajat mereka di dunia dan akhirat dan menjadikan karya ini sebagai bagian amal saleh mereka.

Puri Bali, 1 Muharram 1433 H/26 November 2011 Kholid Al-Walid

P: 21

P: 22

Pendahuluan

kekeliruan utama pandangan pemikir Muslim modern yang beranggapan bahwa kajian Eskatologi merupakan kajian yang telah baku dan berakhir di tangan tokoh besar Muhammad Al-Gazhali(1) (450-505 H) adalah kekeliruan yang telah memberikan efek hilangnya kajian serius di dunia modern tentang metafisika akhirat.

Secara umum, pada abad pertengahan, kajian Eskatologi terintegrasi dalam filsafat sebagai bagian dari upaya para filsuf Muslim untuk membuktikan keberlangsungan eksistensi jiwa pascakematian dan upaya pembuktian filosofis tentang keberadaan kehidupan akhirat. Sumbangan besar yang diberikan para filsuf Muslim tersebut tidak hanya terbatas pada wilayah keyakinan keberagamaan, tetapi juga pada pengetahuan yang lebih mendalam berkaitan dengan substansi jiwa. Ibn Sina (370-428 H) yang merupakan tokoh pendiri Madrasah Filsafat Peripatetik (Masyāiyyah) maupun Syaikh Isyraq, tokoh utama pendiri Filsafat Iluminasi (Isyraqiyyah), telah mencurahkan perhatian serius dalam bidang ini sehingga melahirkan pandangan-pandangan mendalam berkaitan dengan keadaan jiwa pascakematian.

Anggapan akan kebakuan kajian Eskatologi dan memasukkan Eskatologi hanya pada wilayah sempit teologi adalah sebuah reduksi terhadap salah satu di antara warisan ilmiah spekulatif. Sedikitnya, sumbangan pemikir Muslim

P: 23


1- 1. Lihat: Sibawaihi, Eskatologi Al-Gazali dan Fazlur Rahman Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), hlm. 13.

modern terhadap psikologi modern yang cenderung materialistis adalah karena rendahnya kajian ilmiah di dunia Islam berkaitan dengan persoalan jiwa dan keabadian jiwa pascakehancuran raga.

Di dunia modern, menurut Mulyadhi Kartanegara, jiwa masih berada hanya pada tataran neurologis, bahkan Mulyadhi memberikan kritik dengan menyebut psikologi modern sebagai “brain based psychology" sehingga sekiranya otak manusia hancur, tidak akan ada bagian yang selamat (survive) dari kehidupan manusia tersebut.(1) Pandangan psikologi modern yang seperti ini bertentangan dengan yang ditawarkan agama bagi kehidupan manusia.

Agama tidak hanya sebuah rangkaian peribadatan, tetapi juga pandangan dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dalam bentuk material juga memiliki dimensi ruhaniah, bahkan, inilah yang paling dominan dan hakiki mempengaruhi realitas material.

Agama memberikan keyakinan kepada manusia bahwa keselamatan kehidupan manusia, dalam tahap jangka panjang, hanya terjadi jika manusia memiliki kesadaran terhadap kehidupan ruhaninya dan mengolah alam semesta dalam upaya meningkatkan kualitas ruhaniah, bukan mengeksploitasi semesta hanya untuk kepentingan material sesaat.

Kesadaran seperti ini hanya akan dapat diapresiasi, sekiranya kajian Eskatologi yang jauh lebih luas dari sekadar pemaknaan literal(2) terhadap doktrin-doktrin agama dapat dihidupkan kembali sehingga dapat memberikan sumbangan mendasar pada pandangan psikologi modern.

Eskatologi berasal dari kata Escaton yang secara harfiah

P: 24


1- 2. Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, sedang dalam proses terbit, hlm. 2.
2- 3. Dalam studi yang dilakukan Jane Idelman Smith, didapat kesimpulan bahwa, pada umumnya, kajian Eskatologi pascaserangan Al-Ghazali hanya bersifat penjelasan literal dan tidak sebagaimana kajian yang dilakukan para filosof abad pertengahan. Jane Idelman Smith dan Yvone Yazbeck Haddad, The Islamic Understanding of Death and Resurretion (English: Oxford University Press, 2002) hlm. 62. Selanjutnya disebut Jane Idelman, The Islamic Understanding.

dimaknai 'doktrin tentang akhir', sebuah doktrin yang membahas keyakinan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia, seperti kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, kebangkitan kembali, pangadilan akhir, surga-neraka, dan lain sebagainya.(1) Karenanya, di dalam membicarakan persoalan Eskatologi, persoalan mendasar yang juga menjadi pembicaraan adalah keberadaan Ruh atau Jiwa pada diri manusia dan bagaimana Ruh atau Jiwa dapat terus ada setelah kematian terjadi. Hal ini merupakan prinsip pada semua agama yang sama sekali tidak disentuh oleh psikologi dunia modern.

Dalam istilah Islam, Eskatologi dikenal dengan sebutan Ma'ād. Secara khusus, Al-Taftazani memaknai Ma'ād sebagai berikut:

“Merupakan sumber atau tempat, dan hakikat kebangkitan adalah kembalinya sesuatu kepada apa yang ada sebelumnya dan yang dimaksud di sini adalah kembalinya keberadaan setelah kehancuran, atau kembalinya bagian- bagian tubuh kepada penyatuan setelah keterpisahan, kepada kehidupan setelah kematian, ruh kepada tubuh setelah terpisah, sedangkan kebangkitan ruhani murni, sebagaimana pandangan para filsuf, bermakna kembalinya ruh kepada asalnya yang nonmaterial dari keterikatan dengan tubuh material dan penggunaan alat-alat fisik atau keterlepasan terhadap kegelapan yang menyelimutinya.(2) Alquran, sebagai sumber utama Islam, menegaskan prinsip keyakinan ini sebagai berikut :

"Wahai manusia, jika kamu merasa ragu tentang kebangkitan, ketahuilah bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna, dan yang belum sempurna bentuknya, agar Kami menjelaskan hal itu pada kamu.

P: 25


1- 4. Lihat: Angeles, Peter A. Dictionary of Philosophy (Harper and Row Publisher, New York 1981) dan Owen, H.P. "Eschatology", Ensiklopedia of Philosophy, III.
2- 5. Al-Taftazani, Syarh Al-Maqasid (Iran: Mansyurat Syarif Al-Radi, 1409 H), J.5 hlm. 82. Teks asli sebagai berikut: وهو مصدر أو مکان, وحقیقة العود تو جه ا لشی ء إلی ما کان علیه, والمراد ههنا الرجوع إلی الوجود بعد الفناء, أو رجوع أجزاء البدن إلی الاجتماع بعد التفرق, وإلی الحیاة بعد الموت, والأرواح إلی الأبدان بعد المفارقة وأما المعاد علی ما یراه الفلاسفة, فمعناه رجوع الأرواح إلی ماکانت الروحانی المحض علیه من التجرد عن علاقة البدن, واستعمال الألات, أوالتبرؤ عما ابتلیت به من الظلمات.

Kami jadikan dalam rahim yang Kami inginkan dalam kurun waktu yang sudah ditentukan, lantas Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (menopang kamu) sampai kamu mencapai kedewasaan. Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang diberi umur panjang sampai pikun agar ia tidak lagi mengetahui apa yang diketahuinya dulu. Dan kamu lihat bumi ini kerontang, kemudian tatkala Kami turunkan air di atasnya, maka hiduplah bumi ini dan tumbuh suburlah beraneka tumbuhan yang indah. Yang demikian itu disebabkan Allah Maha Benar (Al-Haqq).

Dialah yang menghidupkan segala yang mati. Dialah yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya, hari kiamat pasti datang-tak ada keraguan padanya-ketika Tuhan akan membangkitkan semua orang di dalam kubur."(1) Prinsip eskatologi menjadi satu bagian dari prinsip keimanan dalam Islam. Tanpa keyakinan tentang prinsip ini, maka batallah keimanan seseorang tentang prinsip ini, maka batallah keimanan demikian, prinsip ini menjadi seseorang terhadap Islam. Namun demikian, prinsip ini menjadi sebuah dasar keberadaannya, tetapi diskursus yang sangat panjang di dalam Islam, bukan berkaitan dengan dasar keberadaannya, tetapi berkaitan dengan pembuktian filosofis terhadap pandangan eskatologi ini serta bagaimana bentuk kehidupan yang akan muncul pascakematian tersebut.

Diskursus tentang pandangan ini terjadi, terutama pada

P: 26


1- 6.QS 22:5-7. Teks Ayat Alquran tersebut: أیها الناس إن ثم فی ریب من البعث فإنا خلقکم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة فی الأرحام ما شاء إلی أجل مسی ثم ثم من ممتنة خلقة وغیر حلقة إن لکم و خرم طفلا ثم لتبلغوا أشدکم وینم من توینی وبینکم من یرد إلی أرذل هایده فإذا أنزلنا علیها الماء ا وتی الأرض لا یعلم من بعد علم العمر اهتت وت وأنبتت مین محل وچ بهیج و ذلک بأن الله هو الحی وأنه یحمی الموی الله یبعث من فی وأن الساعة ایه لا ریب فیها وأن وأنه علی کل شیء قدیر التمور و

dua wilayah kajian ilmiah Islam, Ilmu Kalam dan Filsafat.(1) Dalam Ilmu Kalam, pembicaraan pada umumnya berkisar pada argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh, surga- neraka, kebahagiaan dan penderitaan, keabadian di akhirat, kebangkitan jasmani dan syafaat, sedangkan pada filsafat, pembicaraan tentang kebangkitan meliputi ruang yang lebih luas. Bukan hanya dalam persoalan yang telah disebutkan di atas, tetapi juga meliputi masalat ruh, jiwa dan raga, bentuk keterikatan antara ruh, jiwa dan raga, kemustahilan kebangkitan setelah ketiadaan (l'ādah al-Ma'dūm) dan sebagainya.

Perbedaan mendasar antara kedua khazanah ilmiah di atas bukan pada topik yang dibicarakan tetapi lebih pada metodologi yang melandasi bidang masing-masing. Kalam adalah sebuah cabang ilmu yang berusaha membuktikan kebenaran doktrin- doktrin agama dengan menggunakan dasar nash dan sebagian argumentasi rasional yang didasarkan pada logika dan dialektika (jadal), sedangkan Filsafat merupakan usaha untuk mengungkap kebenaran dengan menjadikan rasio sebagai pijakan utama dalam pembuktian kebenaran.

Filsafat dan Kalam menjadi dua khazanah Islam yang cukup signifikan dalam menopang peradaban Islam. Tidak jarang argumentasi filosofis digunakan Kalam dalam upaya membuktikan kebenaran doktrin-doktrin Islam, sebagaimana pula tidak jarang Filsafat, khususnya Filsafat Islam, mendapatkan inspirasi dari ilmu Kalam dalam menjawab persoalan filsafat.

Akan tetapi, kedua cabang ilmu ini seringkali melahirkan dua kebenaran yang berbeda, dan tentu saja, pada akhirnya, menimbulkan konflik. Para teolog tentu beranggapan bahwa kebenaran yang bertentangan dengan doktrin-doktrin wahyu

P: 27


1- 7.Dalam Tasawuf sekalipun, ada pembicaraan tentang surga- neraka dan perjalanan ruhani, tetapi tidak dalam konteks khusus Eskatologi sebagaimana yang dibahas dalam ilmu Kalam dan Filsafat.

adalah kesesatan, sedangkan filosof beranggapan bahwa kebenaran yang tidak rasional perlu diinterpretasi ulang. Dua khazanah ilmiah yang berbeda ini, pada satu masa, mengalami benturan yang cukup dahsyat, terutama dalam membicarakan persoalan eskatologi.

Puncak benturan tersebut terjadi ketika secara terbuka, Al-Gazhali menyerang keyakinan para filosof lewat bukunya, Tahāfut Al-Falāsifāh,(1) dan Ibn Rusyd (520-595 H) menyerang balik serangan Al-Gazhali ini dengan bukunya, Tahāfut Al- Tahāfūt(2).Di antara persoalan mendasar yang menjadi pusat serangan Al-Gazhali adalah persoalan keyakinan para filosof tentang kebangkitan ruhaniah, yang terutama berdasarkan pada pandangan Ibn Sina. Bagi Al-Gazhali, keyakinan yang seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip Alquran yang secara khusus menyebutkan bahwa kebangkitan manusia tidak hanya jiwa, tetapi juga meliputi fisik. Pandangan Eskatologi para filosof ini menegasikan kekuasaan Tuhan; bukankah Tuhan itu Mahakuasa atas segala sesuatu? Termasuk sekedar menampilkan kembali fisik yang telah hancur ataupun mewujudkan yang baru? Sejarah kemudian mencatat efek dari konflik ini yang cukup signifikan. Nurcholis Madjid menyatakan serangan Al- Gazhali hampir sempurna sehingga orang takut berfilsafat dan khawatir dihukum kafir.(3) Konflik tersebut kemudian memunculkan fatwa-fatwa ekstrem terhadap para filosof, seperti yang dilakukan Ibn Salāh.(4) Paling tidak, efek yang terasa kemudian ialah terciptanya jurang yang cukup dalam antara para teolog dan para filsuf, di samping pengaruh Imam Al-Gazhali yang semakin dominan di dunia Islam.

Namun demikian, sekalipun serangan tehadap filsafat

P: 28


1- 8.Tahāfut al-Falāsifāh merupakan karya yang ditulis Al-Ghazali setelah karyanya yang hampir mirip, yaitu Maqasid Al- Falasifah. Di dalam karya ini, Al-Ghazali melakukan kritik keras terhadap para filosof, bahkan mengkafirkan mereka. Ada dua puluh persoalan utama yang dikritik Al-Ghazali, antara lain, ke-qadim-an alam, keabadian alam, masa dan gerakan, Allah sebagai subjek bagi alam, kelemahan argumentasi filosof terhadap argumentasi adanya Allah, kelemahan filosof terhadap satunya Allah, penafian sifat-sifat Allah, zat pertama yang tidak terkomposisi oleh genus dan partikular, kesederhanaan wujud pertama, kenonmaterian Yang Pertama, alam memiliki pencipta dan sebab, pengetahuan yang bersifat general, pengetahuan Zat Pertama tentang dirinya, ketidaktahuan Allah terhadap partikular, langit merupakan hewan yang tunduk pada Allah, tujuan penggerak langit, jiwa-jiwa langit mengetahui yang partikular, ketidakmungkinan mukjizat, ketidakmampuan filosof dalam membuktikan keruhanian jiwa, keberlangsungan jiwa manusia, pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
2- 9.Tahāfut Al-Tahāfūt merupakan karya Ibn Rusyd yang memberikan jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali dengan menjelaskan argumentasi-argumentasi para filosof terhadap persoalan yang dikritik Al-Ghazali dan menunjukkan kelemahan-kelemahan pemahaman Al-Ghazali terhadap pandangan para filosof tersebut.
3- 10. Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 33.
4- 11. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan bintang, 1965), hlm. 27 – 28.

sangat luar biasa, pada sebagian wilayah Islam, filsafat terus hidup, bahkan melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Suhrawardi yang mendirikan aliran Filsafat Isyraqiyyah dan filsafat, pada akhirnya, melahirkan filosof besar, yaitu Mulla Sadra yang mendirikan aliran filsafat al-Hikmah al-Muta'āliyyah.(1) Kebesaran dan keagungan filsafat al-Hikmah al- Muta’āliyyah terutama dalam keberhasilannya melakukan sintesis terhadap berbagai aliran pemikiran di dunia Islam yang sebelumnya seakan-akan memiliki paradigma tersendiri dan menghasilkan kebenarannya sendiri-sendiri. Paling tidak, ada tiga aliran pemikiran yang berhasil disintesis Mulla Sadra, antara lain, Tasawuf, Teologi dan Filsafat.

Al-Hikmah al-Muta'āliyyah, magnum opus Mulla Sadra merupakan sintesis dari ketiga corak berpikir tersebut, yaitu Teologi dengan karakter dialektikal-polemikal (Jadali), Filsafat dengan karakter demonstratif/burhani, teosofi Iluminasionistik dan Gnostik dengan karakter dzawqi, ditambah dengan elemen naqli yang berasal dari Alquran, hadis dan ucapan-ucapan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., sebagaimana yang dinyatakan Hossein Nasr(2):

“Keluarbiasaan Mulla Sadra adalah keberhasilannya melakukan sintesis dan penyatuan terhadap tiga arus kebenaran utama, antara lain, wahyu, demonstrasi rasional dan penyucian jiwa, yang membelokkan arah filsafat menuju illuminasi. Baginya, gnostik, filsafat dan wahyu agama merupakan elemen harmonisasi yang keharmonisan tersebut bermuara pada pola hidup yang ditampilkannya sebaik tulisannya. Dia memformulasi sebuah perspektif dalam kerangka demonstrasi rasional filsafat, sekalipun tidak terbatas pada filsafat Yunani, tetapi juga menjadi sangat erat kaitannya dengan Alquran, hadis dan pernyataan para Imam, dan kesemuanya menyatu dalam doktrin

P: 29


1- 12. Jalaluddin Rakhmat, “Hikmah Muta'aliyah: Filsafat Islam Pasca- Ibn Rusyd" dalam Kearifan Puncak, Mulla Sadra, diterjemahkan oleh Dimitri Mahayana (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004), hlm. vii.
2- 13. S.H. Nasr, Sadr Al-Din Shirazi (Mulla Sadra) dalam M.M. Sharif, ED., A History of Moslem Philosophy, hal. 939. Teks aslinya sebagai berikut: “The particular genius of Mulla Sadra was to synthesize and unify the three paths lead to the truth, viz., reveleation, rational demonstration, and purification as soul, which lats in turn leads to illumination. For him gnosis, philosophy, and revealed religion were elements of a harmonious assemble the harmony of which he sought to reveal in his own life as well as in his writing. He formulated a perspective in which rational demonstration of philosophy, although not necessarily limited to that of the Greeks, became closely tied to the Qur'an and the saying of the prophet and the Imams, and these in turn became unified with the gnosis doctrine which result from the illumination received by a purified soul. That is why Mullah Sadra's writing are combination as logical statements, Gnostic intuition, traditional of prophet, and the Qur'anic verses."

Gnostik sebagai hasil dari iluminasi yang diterima melalui penyucian diri. Itulah mengapa tulisan-tulisan Mulla Sadra merupakan kombinansi dari pernyataan-pernyataan logika, intuisi gnostik, hadis dan Sunnah Nabi serta ayat-ayat Alquran." Sintesis atas ketiga aliran pemikiran, ditambah dengan bimbingan hadis-hadis dari Ali bin Abi Talib di atas yang dilakukan Mulla Sadra telah melahirkan sebuah bangunan filsafat yang kokoh, yang dinyatakan oleh para ahli, tidak semata aksidental, melainkan metode alternatif, konseptual dan ontologis. (1) Karenanya, bagi sebagian pemikir filsafat, Mulla Sadra dianggap sebagai puncak evolusi pemikiran filsafat sebelumnya.

Tujuan utama filsafat bagi Mulla Sadra adalah upaya mencapai kesempurnaan hakiki manusia, bukan hanya dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada filsafat sebelumnya, terutama filsafat Barat. Karena itu di dalam filsafatnya, Mulla Sadra menjelaskan secara spesifik pandangan teodesi dan eskatologi, sebagai sebuah bagian perjalanan ruhani yang harus dilewati oleh setiap manusia yang hendak menggapai kesempurnaan.

Al-Hikmah al-Muta’āliyyah sebagai madrasah filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra diangkat dari kitab utamanya, Al-Hikmah Al-Muta’āliyyah fi Al-Asfār Al-Aqliyyah Al-Arba'ah (Puncak Kearifan dalam Empat Tahap Perjalanan Intelektual).

Mulla Sadra menggambarkan bahwa manusia yang hendak mencapai kearifan tertinggi haruslah melewati empat tahap perjalanan ruhani(2) yang semuanya terangkum dalam rangkaian filsafat yang dikembangkannya. Empat tahap perjalanan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

P: 30


1- 14. S.H. Nasr, Three Muslim Sages (New York: Delmar, 1964), hlm. 67.
2- 15. Lihat: “Muqaddimah" dalam Mulla Sadra, Al-Asfār Al-Arbaah fi Al-Hikmah Al-Muta’āliyyah (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al- Arabi, 1981), J. I, hlm. 13– 18 (selanjutnya disebut Al-Asfar).

1. Perjalanan pertama: Safār min al-Khalq ila al-Haq (Perjalanan dari makhluk menuju Tuhan). Pada tingkat ini, perjalanan yang dilakukan adalah dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dan Tuhannya. Seorang salik harus melewati berbagai tahap, mulai dari tahap jiwa, qalb, ruh dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Pada tahap ini, perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan. Dalam kajian filsafatnya, perjalanan pertama ini adalah gambaran dari upaya salik mengangkat kesadarannya dari realitas makhluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum dan juga tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material, dan substansial serta intelek.

2. Perjalanan kedua: Safār bi al-Haq fi al-Haq (Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan). Pada tahap ini, seorang salik memulai tahap kewaliannya karena wujudnya telah menjadi diri-Nya dan dengan itu, dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan. Tingkat ini adalah tingkat penyempurnaan teologis seorang salik. Dalam konteks ini, Mulla Sadra membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan.

3. Perjalanan ketiga: Safār min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari Tuhan menuju Makhluk bersama Tuhan).

Dalam maqam ini, seorang salik menempuh perjalanan dalam Af'āl Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi kesadarannya, dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarut, Malakut dan Nasut, serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Pembicaraan pada tingkat ini meliputi proses penciptaan dan emanasi yang

P: 31

terjadi pada intelek-intelek.

4. Perjalanan keempat: Safār min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq (Perjalanan dari Makhluk menuju Makhluk bersama Tuhan).

Pada tahap ini, perjalanan penyaksian seluruh makhluk dan apa yang terjadi padanya, di dunia dan akhirat, serta mengetahui perjalanan kembali menuju Allah dan bentuk kembalinya serta siksa dan karunia yang akan diberikan Allah pada mereka. Karena itu, pembicaraan Mulla Sadra pada tingkat ini berkaitan dengan Eskatologi atau Ma'ād yang akan terjadi pada diri manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi rasional. (1) Di antara persoalan yang dibicarakan Mulla Sadra adalah persoalan Eskatologi yang merupakan substansi perjalanan keempat dari filsafatnya. Mengingat persoalan ini merupakan persoalan yang telah melahirkan skisma yang cukup dalam antara teologi dan filsafat, serta persoalan yang dihadapi manusia modern saat ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pandangan Eskatologi yang dikemukakan Mulla Sadra ini tentulah sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, mengingat perannya sebagai sintesis dari berbagai pemikiran, terutama antara teologi dan filsafat. Kajian ini setidak-tidaknya akan memberikan jawaban yang lebih akumulatif terhadap keyakinan umat Islam tentang prinsip Ma'ād atau kebangkitan kembali dan sekaligus menjadi bukti argumentatif bagi persoalan yang dihadapi manusia modern. Namun demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Mulla Sadra berkaitan dengan pandangan eskatologinya serta perbedaan mendasar pandangan eskatologi yang dikemukakan Mulla Sadra dengan berbagai

P: 32


1- 16. Lihat catatan kaki Muhammad Husayn Thabathaba'l pada Mulla Sadra, Al-Asfār, J. I, hlm. 14.

pandangan eskatologi yang pernah ada sebelumnya serta letak keunggulan dan kelemahan pandangan eskatologi yang ditawarkan Mulla Sadra ini, selanjutnya merupakan pertanyaan- pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

P: 33

Catatan 1:

1. Lihat: Sibawaihi, Eskatologi Al-Gazali dan Fazlur Rahman Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta:

Penerbit Islamika, 2004), hlm. 13.

2. Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Psikologi Islam, sedang dalam proses terbit, hlm. 2.

3. Dalam studi yang dilakukan Jane Idelman Smith, didapat kesimpulan bahwa, pada umumnya, kajian Eskatologi pascaserangan Al-Ghazali hanya bersifat penjelasan literal dan tidak sebagaimana kajian yang dilakukan para filosof abad pertengahan. Jane Idelman Smith dan Yvone Yazbeck Haddad, The Islamic Understanding of Death and Resurretion (English:

Oxford University Press, 2002) hlm. 62. Selanjutnya disebut Jane Idelman, The Islamic Understanding.

4. Lihat: Angeles, Peter A. Dictionary of Philosophy (Harper and Row Publisher, New York 1981) dan Owen, H.P. "Eschatology", Ensiklopedia of Philosophy, III.

5. Al-Taftazani, Syarh Al-Maqasid (Iran: Mansyurat Syarif Al-Radi, 1409 H), J.5 hlm. 82. Teks asli sebagai berikut:

وهو مصدر أو مکان, وحقیقة العود تو جه ا لشی ء إلی ما کان علیه, والمراد ههنا الرجوع إلی الوجود بعد الفناء, أو رجوع أجزاء البدن إلی الاجتماع بعد التفرق, وإلی الحیاة بعد الموت, والأرواح إلی الأبدان بعد المفارقة وأما المعاد علی ما یراه الفلاسفة, فمعناه رجوع الأرواح إلی ماکانت الروحانی المحض علیه من التجرد عن علاقة البدن, واستعمال الألات, أوالتبرؤ عما ابتلیت به من الظلمات.

P: 34

6.QS 22:5-7. Teks Ayat Alquran tersebut:

أیها الناس إن ثم فی ریب من البعث فإنا خلقکم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة فی الأرحام ما شاء إلی أجل مسی ثم ثم من ممتنة خلقة وغیر حلقة إن لکم و خرم طفلا ثم لتبلغوا أشدکم وینم من توینی وبینکم من یرد إلی أرذل هایده فإذا أنزلنا علیها الماء ا وتی الأرض لا یعلم من بعد علم العمر اهتت وت وأنبتت مین محل وچ بهیج و ذلک بأن الله هو الحی وأنه یحمی الموی الله یبعث من فی وأن الساعة ایه لا ریب فیها وأن وأنه علی کل شیء قدیر التمور و 7.Dalam Tasawuf sekalipun, ada pembicaraan tentang surga- neraka dan perjalanan ruhani, tetapi tidak dalam konteks khusus Eskatologi sebagaimana yang dibahas dalam ilmu Kalam dan Filsafat.

8.Tahāfut al-Falāsifāh merupakan karya yang ditulis Al-Ghazali setelah karyanya yang hampir mirip, yaitu Maqasid Al- Falasifah. Di dalam karya ini, Al-Ghazali melakukan kritik keras terhadap para filosof, bahkan mengkafirkan mereka. Ada dua puluh persoalan utama yang dikritik Al-Ghazali, antara lain, ke-qadim-an alam, keabadian alam, masa dan gerakan, Allah sebagai subjek bagi alam, kelemahan argumentasi filosof terhadap argumentasi adanya Allah, kelemahan filosof terhadap satunya Allah, penafian sifat-sifat Allah, zat pertama yang tidak terkomposisi oleh genus dan partikular, kesederhanaan wujud pertama, kenonmaterian Yang Pertama, alam memiliki pencipta dan sebab, pengetahuan yang bersifat general, pengetahuan Zat Pertama tentang dirinya, ketidaktahuan Allah terhadap partikular, langit merupakan hewan yang tunduk pada Allah,

P: 35

tujuan penggerak langit, jiwa-jiwa langit mengetahui yang partikular, ketidakmungkinan mukjizat, ketidakmampuan filosof dalam membuktikan keruhanian jiwa, keberlangsungan jiwa manusia, pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

Tahāfut Al-Tahāfūt merupakan karya Ibn Rusyd yang memberikan jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali dengan menjelaskan argumentasi-argumentasi para filosof terhadap persoalan yang dikritik Al-Ghazali dan menunjukkan kelemahan-kelemahan pemahaman Al-Ghazali terhadap pandangan para filosof tersebut.

10. Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 33.

11. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan bintang, 1965), hlm. 27 – 28.

12. Jalaluddin Rakhmat, “Hikmah Muta'aliyah: Filsafat Islam Pasca- Ibn Rusyd" dalam Kearifan Puncak, Mulla Sadra, diterjemahkan oleh Dimitri Mahayana (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004), hlm. vii.

13. S.H. Nasr, Sadr Al-Din Shirazi (Mulla Sadra) dalam M.M.

Sharif, ED., A History of Moslem Philosophy, hal. 939. Teks aslinya sebagai berikut:

“The particular genius of Mulla Sadra was to synthesize and unify the three paths lead to the truth, viz., reveleation, rational demonstration, and purification as soul, which lats in turn leads to illumination. For him gnosis, philosophy, and revealed religion were elements of a harmonious assemble the harmony of which he sought to reveal in his own life as well as in his writing. He formulated a perspective in which rational demonstration of philosophy, although not necessarily limited to that of the Greeks, became closely tied to the Qur'an and the saying of the prophet and the Imams, and these in turn became unified with the gnosis doctrine which result from the illumination received by a purified

P: 36

soul. That is why Mullah Sadra's writing are combination as logical statements, Gnostic intuition, traditional of prophet, and the Qur'anic verses." 14. S.H. Nasr, Three Muslim Sages (New York: Delmar, 1964), hlm. 67.

15. Lihat: “Muqaddimah" dalam Mulla Sadra, Al-Asfār Al-Arbaah fi Al-Hikmah Al-Muta’āliyyah (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al- Arabi, 1981), J. I, hlm. 13– 18 (selanjutnya disebut Al-Asfar).

16. Lihat catatan kaki Muhammad Husayn Thabathaba'l pada Mulla Sadra, Al-Asfār, J. I, hlm. 14.

P: 37

P: 38

BAGIAN PERTAMA BIOGRAFI MULLA SADRA

1. Fase Kehidupan

mulla Sadra hidup, kira-kira, dari tahun 979 H/1571 M sampai 1050 H/1640 M.(1) Tidak ada yang tahu pasti tanggal kelahiran Mulla Sadra, kecuali berdasarkan beberapa perkiraan yang dikemukakan oleh Henry Corbin. Dalam pengantar kitab Al-Masyā'īr, Allamah Thabathaba'i menjelaskan bahwa berdasarkan perhitungan yang didapat dari berbagai kitab yang ditulis Mulla Sadra, dia memperkirakan bahwa Mulla Sadra lahir pada 979 H/1571 M.(2) Mulla Sadra lahir di Kota Syirāz(3), salah satu kota terpenting di Persia pada masa itu (berubah menjadi Iran pada tahun 1935), tidak hanya karena Syirāz merupakan kota tua pusat pemerintahan imperium Persia masa lampau, tetapi juga karena kemakmuran dan pusat pengetahuan. Pusat-pusat pendidikan tersebar di kota tersebut dan banyak ulama yang menguasai berbagai bidang pengetahuan, seperti ilmu kalam, fiqh, matematika, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.

Syirāz masa itu dipimpin oleh saudara dari Thamasp-1, Raja Persia kedua dari Dinasti Safawi.(4) Kota ini mendapatkan hak istimewa yang berbeda, pada umumnya, dari wilayah-wilayah Persia lainnya.

Mulla Sadra berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Khwaja Ibrahim bin Yahya Qawwami, berasal dari keluarga Qawwami yang dikenal sebagai keluarga ilmuwan dan pemuka agama. Khwaja Ibrahim, selain merupakan ilmuwan dan tokoh agama, juga sebagai menteri yang menjadi tokoh kedua dalam

P: 1


1- 1. James Winston Morris, Kearifan Puncak, terjemahan Dr. Dimitri Mahayana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm.18.
2- 2. Allamah Husain Thaba’thaba'i, “Muqaddimah" pada Mulla Sadra, Al-Masya'ir, (Qom: Chop Bidor) hlm. xxxi.
3- 3.Syirāz adalah salah satu kota tua di Iran dan merupakan pusat propinsi Fars. Terletak sekitar 350 km ke arah selatan dari Tehran. Di kota ini terdapat banyak peninggalan bersejarah dari kerajaan Persia Kuno.
4- 4. C.E. Boswirth, Dinasti-Dinasti Islam, terjemahan Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 196.

pemerintahan Kota Syirāz masa itu. Namun sayangnya, dia tidak memiliki anak laki-laki sehingga secara khusus, dia bernazar:

jika Allah berkenan memberikan baginya seorang anak laki- laki, dia akan memberikan sumbangan yang besar bagi orang- orang fakir dan para ilmuwan.(1) Berkat nazar tersebut, Khwaja Ibrahim kemudian mendapatkan seorang anak laki-laki yang dia beri nama Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi.

Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi dipanggil dengan nama Sadra. Baru kemudian, setelah menjadi salah seorang ulama terpandang, Sadra dipanggil dengan sebutan Mulla Sadra.(2) Selain itu, dia juga digelari dengan sebutan Sadra al-Muta'allihin karena kedalaman pengetahuannya di bidang Ketuhanan (sebagian mengaitkan gelar ini dengan karyanya, Al-Hikmah Al-Muta’āliyyah).

Sebagaimana layaknya keluarga kaya dan terpandang, Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi, yang selanjutnya disebut Mulla Sadra, selain mengikuti pendidikan formal, juga dididik secara khusus dengan mendatangkan guru-guru. Dengan usaha para guru tersebut dan karena kejeniusannya, Mulla Sadra, dalam waktu yang singkat, dapat menguasai berbagai dasar cabang ilmu masa itu, dari Alquran, logika, sampai dengan kaligrafi, gramatikal, syair- syair Persia dan Arab. Dalam usianya yang kedua puluh tahun, Mulla Sadra muda sudah memiliki kemampuan intelektual yang melebihi guru-gurunya, bahkan menurut Sayyid Muhammad Khamene'i, tidak ada ilmuwan Syirāz masa itu yang melebihi kemampuan Mulla Sadra.(3) Didorong oleh dahaga intelektual dan sebagaimana juga

P: 2


1- 5. Muhammad Ridho Muzaffar, “Muqaddimah", dalam Mulla Sadra, Al-Asfar, hlm. Jim.
2- 6. Mulla atau Mawla bermakna 'penghulu, tuan atau pemimpin'. Kata ini digunakan sebagai panggillan penghormatan kepada ulama atau urafa besar di Iran.
3- 7.Sayyid Muhammad Khamne'i, “Muqaddimah” dalam Mulla Sadra, Al-Mazahir Al-llahiyyah fi Al-Asrar Al-Ulum Kam’Aliyyah (Tehran: Bunyad Islami Hekmate Sadra, 1378), hlm. 264. Selanjutnya disebut Al-Muqaddimah.

tradisi yang terjadi pada para ilmuwan dan penuntut ilmu, Mulla Sadra berniat melanjutkan pelajaran ke kota-kota lain, selain Syirāz, untuk mencari guru-guru yang lebih berilmu. Awalnya, rencana pengembaran inteketual dia tujukan ke Kota Isfahan, tetapi kemudian dia menjatuhkan pilihan ke Kota Qazwin karena di kota itu, beberapa ilmuwan dan ulama besar tinggal.

Selain itu, gubernur Syirāz, Muhammad Khudo Bandeh Safawi, diangkat menjadi Raja Persia yang ibu kota pemerintahan masa itu terletak di Qazwin. Oleh karena itu, Mulla Sadra dan seluruh anggota keluarganya kemudian pindah ke Kota Qazwin dan itu terjadi pada saat usianya menjelang tiga puluh tahun, bertepatan dengan permulaan abad 11 H atau sekitar tahun 1003 H.

Mulla Sadra, berdasarkan catatan kumpulan tulisan tangan beliau yang ditulis di Qazwin pada tahun 1004 H dan catatan kakinya atas kitab Halāliyyah Syaikh Baha'i, tertulis tahun 1005 H sehingga diprediksikan bahwa Mulla Sadra belajar di Qazwin dengan bimbingan Syaikh Baha'i dan Mir Damad sekitar tahun 1003 H-1007 H. Tahun hijrahnya Mulla Sadra ke Kota Qazwin bertepatan juga dengan tahun lahirnya filsuf lain di Barat, yaitu Rene Descartes.(1) Berdasarkan hasil tulisan-tulisan Mulla Sadra, diketahui pula bahwa pada masa itu, dia berhasil memiliki perpustakaan terlengkap yang meliputi berbagai cabang ilmu, baik dalam gnostik, filsafat, syair-syair, tafsir Alquran dan kitab-kitab hadis, bahkan naskah-naskah asli para penulis yang sangat langka sekalipun. Hal itu juga atas bantuan kekayaan yang dimiliki ayahnya. Dengan demikian, Mulla Sadra memiliki kekayaan referensi ilmiah yang juga ikut membantu penguasannya terhadap cabang-cabang ilmu.

P: 3


1- 8. Rene Descartes, dianggap pendiri filsafat modern di Barat, lahir di Inggris tahun 1596 dan meninggal dunia pada tahun 1650.

Pada tahun 1006 H, ketika Raja Abbas I berkuasa, terjadi pemindahan ibu kota dari Qazwin ke Kota Isfahan. Para ulama dan seniman juga banyak yang ikut pindah dan termasuk di antaranya guru-guru Mulla Sadra, seperti Syaikh Baha'i (pada saat itu menjabat sebagai Menteri Hak-Hak Asasi) dan Mir Damad (menjabat sebagai Imam resmi sholat Jumat ibu kota).

Hauzeh Ilmiyeh(1) Qazwin juga ikut dipindahkan ke Kota Isfahan.

Mulla Sadra termasuk di antara ulama yang dilibatkan dalam upaya memindahkan dan membangun Hauzeh Ilmiyeh baru di Isfahan sehingga membuatnya ikut pindah ke Kota Isfahan.

Selang beberapa waktu kemudian, Mulla Sadra muda berhasil menamatkan pelajarannya dalam bidang Filsafat Peripatetik, Filsafat Iluminasi, Gnostik, Logika, Ilmu Kalam, Fiqh, Tafsir, gurunya. Mir Damad, yang Hadis, Astronomi, Matematika, dan Kedokteran.

Kecerdasannya yang luar biasa memberikan kekaguman tersendiri bagi guru-gurunya. Mir Damad, yang dianggap sebagai Muallim Tsalis setelah Aristoteles dan Al-Farābi, seringkali menangis membaca karya-karya tulis yang dihasilkan Mulla Sadra karena ia merasa mendapat anugerah Allah memiliki murid yang lebih cerdas dari dirinya.

Meskipun tidak diketahui secara rinci kehidupan Mulla Sadra pada fase ini, diperkirakan sekitar tahun 1024 H, Mulla Sadra kembali ke Kota Syirāz. Di kota kelahirannya ini, Mulla

P: 4


1- 9. Hauzeh Ilmiyeh merupakan lembaga pendidikan formal- tradisional keagamaan dan pusat pengajaran ilmu-ilmu keagamaan, khususnya Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Logika dan Filsafat di Iran, dan sampai saat ini masih terus terpelihara. Qom dan Masyhad merupakan dua kota pusat Hauzeh Ilmiyyeh di Iran.

Sadra menikah dan mengajar. Sebagaimana layaknya seorang jenius, pemikiran-pemikiran Mulla Sadra jauh melampaui zamannya, apalagi pada masa itu, pada umumnya, ulama berasal dari kelompok Akhbariyyin(1) yang sangat kaku terhadap pandangan-pandangan filosofis yang bersifat spekulatif.

Sebagian menduga karena pandangannya tentang Wahdat al-Wujūd, Mulla Sadra kemudian difitnah sebagai penyebar kesesatan, zindiq, dan kafir.(2) Fitnah-fitnah yang semakin keras menyebabkan Mulla Sadra meninggalkan Kota Syirāz dan memilih Kahak(3) sebagai tempat tinggal selanjutnya. Kahak adalah sebuah desa kecil di pinggiran Kota Qom. Mulla Sadra sengaja memilih desa ini karena tempatnya yang berdekatan dengan Kota Qom yang di situ dimakamkan Fatimah Al-Ma'sumah binti Musa Ibn Jaʼfar.(4) Mulla Sadra juga berniat melakukan kontemplasi ruhani di desa tersebut, berdasarkan bimbingan-bimbingan yang pernah diterima dari para gurunya di Isfahan. Dalam hal ini, Henry Corbin, pada pengantar kitab A-Masya'ir, menceritakan, “Mulla Sadra memiliki eksperimen yang luar biasa dalam ibadah dan riyādah (disiplin) ruhani berdasarkan suluk yang diajarkan dan dibimbing oleh dua guru utamanya (Mirdamad dan Syaikh Baha'i). Meskipun sebagian besar pernah dia lakukan, tetapi dalam periode ini, Mulla Sadra kembali mengulangi suluk yang diajarkan gurunya tersebut, ditambah dengan ketenangan dan ketajaman batinnya, serta tingkat ilmunya yang tinggi, Mulla Sadra berhasil mendapatkan ilham, penyaksian batin, dan pancaran Ilahi.

Pada akhir kontemplasinya yang menghabiskan masa lima belas tahun, Mulla Sadra mendapatkan bisikan gaib untuk kembali mengajar dan menulis kitab-kitab filsafat."(5) Hal ini juga disebutkan Mulla Sadra dalam pendahuluan kitabnya, Al-Hikmah Al-Muta'āliyyah fi Al-Asfār Al-Arba'ah, dan

P: 5


1- 10. Akhbariyyin adalah sebutan bagi ulama-ulama fiqh yang hanya menyandarkan diri pada nash-nash dalam melakukan proses Istinbath Al-Hukum dan dihadapannya, kelompok yang memasukkan akal dalam frame Ushul Fiqh sebagai bagian dalam proses istinbath al-hukum yang disebut Ushuliyyin.
2- 11. Fazlur Rahman, Filsafat Sadra (Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), hlm. 3.
3- 12. Kahak merupakan desa kecil sekitar 40 km dari pusat Kota Qom. Sampai saat ini, rumah tempat Mulla Sadra melakukan kontemplasinya tetap terpelihara.
4- 13. Fathimah Al-Ma'summah adalah putri dari Imam Musa Al- Kadzhim, Imam Syi'ah ke-7. Fathimah Al-Ma'summah, dalam rangka menyusul saudaranya, Imam 'Ali ar-Ridho, yang diasingkan ke Kota Thus (Mashad) melakukan perjalanan dari Madinah menuju Thus dan meninggal dunia ketika tiba di Kota Qom. Salah satu hadis yang terkenal dikalangan Syi'ah yang berasal dari Fathimah binti Rasulullah Saw. adalah “Siapa yang hendak berziarah kepadaku, maka ziarahilah cucuku yang namanya sama dengan namaku dan akan di kuburkan di Kota Qom." Dalam pandangan kaum Syi'ah, Fathimah Al- Ma'sumah termasuk diantara pilar-pilar kesucian.
5- 14. Henry Corbin, “Muqadimah" dalam Mulla Sadra, Al-Masya'ir (Tehran: Kitob Khoneye Thohur, 1363), hlm. 7. Teks asli sebagai berikut: "C'est dans cette solitude de jardins que Molla Sadra consacra plusieurs annees de sa jeunesse a atteindre a cette re'Alization sprituelle personalle pour laquelle la philosophie est l'indispensable point de depart, mais san laquelle , aux yeux de Sadra et de tous ceux de son ecole, la philosophie ne serait qu'uene enterprise sterile et ilusoire. Pour entrer dan cette solitude, et pour en ressortir victorieusement, il fallait avoir deja pratique la haute discipline personelle qui garantit l'independence a l'egard des opinions toutes faites. Opinion recues ou opinions pruhibees"

juga pada sebagian kitabnya yang lain. Pada masa ini juga, Mulla Sadra berhasil menulis beberapa buku, terutama kitab magnum opus-nya, dan mendidik beberapa murid yang kemudian menjadi filsuf-filsuf penting, antara lain, Mulla Muhsin Faid Kāsyāni dan Mulla Abdul Razaq Lahiji.

Sekitar tahun 1040 H, berdasarkan surat dari Mulla Muhsin Faid Kāsyāni yang mengajak kembali ke Kota Syirāz, Mulla Sadra beserta keluarga dan murid-muridnya kembali ke Kota Syirāz. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Imam Qāli Khan, Hakim Independen Fars dan Teluk Persia, mengajak Mulla Sadra kembali ke Kota Syirāz karena ayahnya wafat setelah membangun sekolah besar dan belum sempat menyelenggarakan pendidikan di situ. Untuk itu, Qali Khan mengajak Mulla Sadra mengembangkannya bersama.

Sebuah fase kehidupan baru dimulai. Selain mengajar Filsafat, Mulla Sadra juga mengajar Tafsir dan Hadis, dan menulis karya-karya besar lainnya, antara lain, tafsir Alquran yang merupakan sebuah tafsir filsafat, juga Syarh Usūl al-Kāfi (Hadis-hadis Syi'ah yang dikumpulkan Marhum Kulayni). Selain itu, banyak karya lain yang dia hasilkan pada fase ini sehingga pemikirannya mulai banyak dikenal luas serta banyak murid yang datang dari kota-kota yang jauh khusus untuk belajar pada Mulla Sadra, bahkan beberapa muridnya kemudian menjadi komentator-komentator ulung atas karya-karya Mulla Sadra dan memperkenalkan pemikiran filsafat Mulla Sadra kepada para pemikir Islam lainnya.

Salah satu bentuk riyadah syar'iyyāh sekaligus batiniyyāh yang juga selalu dilakukan Mulla Sadra adalah menunaikan ibadah Haji, kemudian ke Irak untuk menziarahi makam Dr. Khalid Al-Walid

P: 6

Bagian Pertama: Biografi Mulla Sadra suci Imam 'Ali Ibn Abi Talib di Kota Najaf dan Makam Imam Husayn ibn 'Ali di Kota Karbala. Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa “semua yang bernyawa akan mengalami kematian",(1) demikian pula halnya dengan Mulla Sadra. Dia tiba pada akhir perjalanan hidupnya sekembali dari menunaikan ibadah Haji yang ketujuh. Mulla Sadra meninggal dunia di Irak karena sakit yang dideritanya dan peristiwa itu terjadi pada tahun 1050 H/1640 M, tetapi sayangnya, sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti letak kubur Mulla Sadra. Hadrat Ayatullah Sayyid Abul Hasan Rafi'i Qazwini, salah seorang Sayyid Arab di Basrah, pernah menemukan nisan bertuliskan Mulla Sadra, tetapi setelah dicari kembali beberapa tahun kemudian, makam itu tidak lagi ditemukan.

Mulla Abdul Razaq Lahiji menulis kepedihannya ketika mendengar meninggalnya Mulla Sadra.

"Baru saja langit melemparkan batu ke dalam gelasku.

Dan tanah pun penuh dengan serpihan gelas itu. Sekali lagi, langit mengecewakan aku. Kepergian sang guru telah menyebabkan luka. Seperti luka ‘Ali dalam syahidnya Al- Mustafa, aku selalu dalam penderitaan, tak pernah lepas walau sesaat. Rasa sakit ini, lebih sakit dari sebelumnya.

Guruku, pembimbingku dan bapak ruhaniku. Benar bila saya memujanya sampai hari kebangkitan. Semula aku hanyalah tanah gelap kebodohan dan keangkuhan. Tapi kini, aku adalah emas karena sentuhannya. Dialah yang membawaku dari dasar sumur kebodohan ke puncak kemuliaan."(2) Mulla Sadra meninggalkan dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Anak laki-lakinya pertama bernama Ibrahim dan terkenal dengan sebutan Mulla Ibrahim. Ia dikenal sebagai seorang filsuf, muhaddits, mutakallim, faqih, dan juga banyak

P: 7


1- 15. QS 29: 57. Ayat tersebut sebagai berikut: «کُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَیْنَا تُرْجَعُونَ »
2- 16. Mustamin Al-Mandary (ed), Menuju Kesempurnaan (Yogyakarta: Safinah, 2003), hlm. 6.

menulis syair-syair serta karya-karya lain di berbagai bidang.

Salah satu karya terkenalnya adalah tafsir yang berjudul Al-Urwah Al-Wutsqo. Ia lahir pada tahun 1021 H dan meninggal dunia pada tahun 1070 H. Anak laki-laki keduanya bernama Nizamuddin Ahmad, terkenal dengan sebutan Mirza Nizām. Lahir di Kāsyān pada tahun 1031 H dan meninggal dunia pada tahun 1074 H di Kota Syirāz. Ia juga dikenal sebagai filsuf, penyair, dan ahli tata bahasa Arab. Anak pertama yang perempuan bernama Ummu Kaltsum (1019 H-1097 H), Zubaidah (1023 H-1097 H), dan Ma'sumah (1033 H-1093 H). Ummu Kaltsum merupakan istri dari Mawla Abdul Razaq Lahiji, Zubaidah merupakan istri dari Mulla Muhsin Faid Kāsyāni, sedangkan Ma'sumah istri dari Qawamuddin Syirazi.

2. Guru-Guru

Tidak diperoleh catatan sejarah tentang guru-guru Mulla Sadra secara rinci, terutama ketika masa kanak-kanaknya. Akan tetapi, guru-guru masyhur yang membimbing Mulla Sadra sejak berada di Kota Qazwin dan Kota Isfahan ada tiga orang, yaitu:

A. Mir Damad Nama lengkapnya Muhammad Baqir ibn Syam Al-Din Muhammad Al-Husayni Al-Astarābadi.(1) Dilahirkan di Kota Astarābadi dan meninggal dunia pada tahun 1041 M di Kota Najaf, setelah tinggal selama satu tahun untuk berkhidmat pada makam Imam 'Ali Ibn Abi Talib. (2) Mir Damad memulai pendidikannya di Kota Isfahan dan kemudian melanjutkan ke Kota Masyhad. Guru utama Mir Damad, terutama dalam bidang aqliyyah, adalah Mujtahid Syaikh Abdul ‘Ali ibn 'Ali dan Syaikh

P: 8


1- 17. Nicolas Darke and Davis, (ed), The Consice on Ensiclopedia of Islam (London: Cyril and Stacey International, 1980), hlm. 271.
2- 18. Jalaluddin Asthiyani, Muqadimah bar Al-Sawahid Al- Rububiyyah fi Al-Manahij As-Sulukiyyah, (Masyhad: Markaze Nashr Donesgohi, 1360), hlm. 89. Selanjutnya disebut Muqaddimah.

Izuddin Husain ibn Abd samad. mir damad dikenal pemikirannya bercorak Aristotelian.

Dia merupakan pendiri dari Mazhab Isfahan (The School of Isfahan).

Karena penguasaannya terhadap hampir seluruh cabang ilmu, mulai dari filsafat, logika, astronomi sampai ilmu musik, Mir Damad dianggap sebagai Muallim Ketiga setelah Aristoteles dan Al-Farābi. Sebagian juga menyebutkan gelar tersebut didapat karena penguasaannya terhadap filsafat Aristoteles. Mir Damad merupakan perintis dalam upaya sintesis beberapa pemikiran Islam sebelumnya. Sayangnya, apa yang dilakukan Mir Damad belum memadai dan dengan semangat yang sama, kemudian diteruskan oleh Mulla Sadra. Pada masanya, Mir Damad dianggap tokoh utama dalam filsafat dan ilmu-ilmu aqliyyah lainnya serta komentator tangguh dari mazhab Peripatetik Ibn Sina.

Secara intelektual, Mir Damad meninggalkan warisan ilmiah dalam bentuk buku-buku yang cukup banyak, antara lain, Al-Qabasāt adalah karya filsafat Mir Damad yang cukup besar dan berkali-kali menjadi rujukan Mulla Sadra dalam

P: 9

kitab Al-Hikmah Al-Muta'āliyyah. Dua karya yang cukup besar lainnya adalah Sirath Al-Mustaqim dan Al-Ufuq Al-Mubin. Selain itu, ada banyak karya lain, yaitu Imádat, Taqwim Al-Iman, Khulasah Al-Malākutiyyāh, Nibras Al-Diya', Al-Sab'u Al-Syidad, Jazawat, Tasyriq Al-Haq, Dawabith Al-Rida'. Semua karya ini membicarakan persoalan filsafat. Karya-karyanya dalam bidang fiqih, antara lain, Risālah Fi Al-Jayb Al-Zāwiyyah, Risolehyi Fi Al- Nahi Al-Tasmiyyah, Al-Iqāzat. Dalam bidang aqidah, karyanya adalah Al-Rawāsikh Al-Samāwiyyah. Dalam ilmu Rijal al-Hadis, karyanya adalah Syari' Al-Najāh dan Al-A'dalat. Mir Damad juga menulis syair-syair, antara lain, Majma' Al-FuSaSa dan Afash Kada. Kemudian, sebagaimana tradisi ulama Syi'ah, Mir Damad juga membuat komentar atas hadis-hadis Imam-Imam Syi'ah yang tercantum dalam kitab USūl Al-Kahfi karya Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulayni.(1) Ada banyak karya lain dari Mir Damad yang sampai sekarang masih belum ditemukan.(2) Mulla Sadra sangat mengagumi Mir Damad dan dalam banyak tulisannya, dia menjadikan Mir Damad sebagai prototipe dirinya. Baginya Mir Damad-lah guru dalam ilmu-ilmu aqliyyah dan ruhāniyyah. Dalam Muqaddimah Syarh USūl Al-Kahfi, Mulla Sadra secara khusus memuji gurunya ini:

“Telah dikabarkan kepadaku dari penghuluku, sandaranku, guruku dalam ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu Ketuhanan, Makrifat Hakiki, dan prinsip-prinsip keyakinan, penghulu yang memancarkan cahaya, 'alim yang suci, filsuf ilahi, faqih Rabbani, Yang utama di masanya, Pemimpin yang Agung, Rembulan Purnama, tanda-tanda zaman yang bernama Muhammad dengan laqab Baqir ad-Damād al- Husayni (Semoga Allah menyucikan akalnya dengan cahaya ketuhanan)."(3)

P: 10


1- 19. Sayyed Hosseyn Nasr, Mulla Sadra Commemoration, (Tehran: Imperial Tramian Academy of Philosopy, 1978), hlm. 169.
2- 20. Jalaluddin Asytiyani, Muqaddimah, hlm. 86.
3- 21. Mulla Sadra, Syarh Al-Usul Al-Kahfi (Qom: Kitab Khoneye Mar'asyi Najafi, 1335), hlm. 15. Selanjutnya disebut Syarh Al- Ushul. Teks aslinya sebagai berikut: "وأخبرنی سیدی وسندی وأستاذی فی العالم الدینیة والعلوم الالهیة والمعارف الحقیقیة والأصقل الیقینیة, السید الأجل الأنوار العالم المقدس الأطهرر الحکیم الإلهی والفقیه الربانیر سید عصره, وصفوة دهره، الأمیر الکبیر والبدر المنیر، علامة الزمان، اعجوبة الدوران، المسمی بمحمد الملقب بباقر الدماد الحسینی (( قدس الله عقله بالنور الربانی))".

B. Mir Findiriski Mir Findiriski merupakan teman dialog Mir Damad. Pada umumnya, murid-murid Mir Findiriski menulis karya-karya yang berkaitan dengan Ibn Sina. Hal ini memberikan gambaran bahwa Mir Findiriski merupakan tokoh Filsafat Peripatetik.

Berbeda halnnya dengan Mir Damad yang merupakan ilmuwan peneliti yang sangat mendalam, juga sebagai Sahib al-Nazar, Mir Findiriski banyak menolak konsep-konsep filsafat, seperti Harākat al-Jawhariyyāh, Mutsul Aflatūn dan juga Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qul. Pengaruh Peripatetik pada Mir Findiriski begitu kuat sehingga sama sekali kita tidak dapat menemukan corak berpikir filsuf Iluminasionis dan metode intuitif.(1) Mulla Sadra juga secara khusus belajar kepada Mir Findiriski, terutama dalam mazhab Filsafat Peripatetik, meskipun Mulla Sadra tampaknya tidak banyak terpengaruh oleh pemikiran Mir Findiriski karena warna pemikiran Mulla Sadra lebih dekat kepada pemikiran Mir Damad.

Ada banyak karya Mir Findiriski yang sebagiannya hilang dan sebagian lain tercatat secara tidak sempurna pada catatan kaki murid-muridnya. Beberapa karya Mir Findiriski yang masih ada, antara lain, Harākh, Mutsul va Ta'limot, dan Resoleye Sano'iyye.

Mir Findiriski menjadi pengajar resmi di Kota Isfahan dan pada tahun 1050 H ia meninggal dunia dalam perjalanannya ke India.

C. Syaikh Baha'uddin Al-Amili Mulla Sadra juga belajar secara khusus kepada Syaikh Baha'uddin Al-Amili. Namun demikian, Mulla Sadra sangat

P: 11


1- 22. Intuitif atau intuisi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Zawq yang merupakan proses persepsi yang bersifat ruhaniah.

sedikit menyinggung tentang gurunya ini. Mulla Sadra belajar ilmu Hadist, Rijāl al-Hadits, Fiqh, dan Usul Fiqh kepada gurunya ini.

Secara khusus, Mulla Sadra hanya menyinggung gurunya ini pada kitabnya, Syarh Usūl al-Kahfi, antara lain,“Telah disampaikan kepadaku dari pembimbingku, guruku, dan sandaranku dalam ilmu-ilmu naqliah, Yang paling berilmu pada zamannya serta tokoh bagi masanya. Baha' Al-Haqq wa Al- Din, Muhammad Al-Amili Al-Harisi Al-Hamadani, semoga Allah memberikan cahaya bagi hatinya dengan cahaya kesucian ...."(1) Syaikh Baha'uddin Al-Amili hidup pada masa yang bersamaan dengan Mir Damad dan Mir Findiriski, tetapi dia tidak banyak dikenal.

3. Murid-Murid

Mulla Sadra adalah tokoh besar sehingga sudah sewajarnyalah banyak murid yang berusaha menghilangkan dahaga intelektualnya dengan belajar langsung kepada Mulla Sadra. Ada banyak murid Mulla Sadra karena dia tidak pernah lepas mengajar, meskipun pada fase kontemplasinya di Kahak.

Murid-murid Mulla Sadra tersebar di berbagai kota yang pernah ditinggalinya. Namun, hanya beberapa yang masih tercatat secara khusus, terutama karena kebesaran nama mereka, antara lain, A. Faid Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Murtada dengan laqab Mulla Muhsin. Faid Kasyanidilahirkan di Kota Kāsyān(2) pada tahun 1007 H. Dia meninggal dunia pada tahun 1091 H

P: 12


1- 23. Mulla Sadra, Syarh Al-Usul.Teks asli sebagai berikut: "حدثنی شیخی واستادی ومن علیه فی العلوم النقلیة استنادی عالم عصر وشیخ دهره، بهاء الحق والدین، محمد العاملی الحارثی الهمدانی نور الله قلبه بالأنوار القدسیة عن والده الماجد المکرم وشیخه الممجد المعظم الفاضل الکامل حسین بن عبد الصمد أفاض الله علی روحه الرحمة والرضوان واسکنه دار الجنان عن شیخه واستاده النبیل عماد الاسلام وفخر المسلمین زین الدین الشیخ العالی الکرکی ((قده)) عن الشیخ الورع الجلیل علی بن الهلال الجزائری"
2- 24. Salah satu kota kecil di Iran, terletak 100 km dari Tehran. Banyak tokoh besar dalam filsafat maupun tasawuf berasal dari daerah ini, di antara yang terkenal adalah Abd. Razzaq Al- Kasyani. Saat ini, Kota Kasyan menjadi salah satu tempat yang banyak didatangi para peziarah.

dan dimakamkan di Kota Kāsyān.

Meskipun karya-karya dalam filsafat tidak banyak, tetapi karya-karya besarnya dalam bidang akhlak dan tafsir, sampai sekarang, masih menjadi rujukan. Karyanya, Al-Wāfi (kumpulan hadis-hadis Syi'ah), Al-Sāfi (tafsir Alquran), Al-Mahajjah Al- Baydā' (merupakan kitab akhlak yang ditulis sebagai revisi bagi kitab Ihya' Al-Ulūm Al-Din karya Imam Al-Ghazāli), dan dalam bidang pengetahuan, Usūl Al-Ma'ārif wa Ayn Al-Yaqin. Ada sekitar delapan puluh lagi karya-karya Mulla Muhsin Faid Al- Kāsyāni.

Mulla Muhsin Faid Al-Kāsyāni dikenal sebagai tokoh yang cukup disegani pada masanya. Dia dikenal sebagai ulama akhlak yang menjadi panutan. Pada masa hidupnya, dia juga merupakan salah seorang tokoh agama yang menjadi penasihat resmi raja. Namun, karena perbedaanya dengan raja, dia meninggalkan kota dan tinggal di sebuah desa untuk memusatkan perhatiannya pada penelitian dan penulisan buku.

Dia pernah diminta Raja Safi, yang saat itu memerintah untuk menjadi Imam sholat Jumat di Kota Isfahan, tetapi tawaran itu dia tolak. Akan tetapi, karena dipaksa pada masa pemerintahan Raja Abbas II, dia terima tawaran menjadi imam sholat Jumat di Kota Isfahan.

Mulla Muhsin Faid Kāsyāni lebih dari delapan tahun belajar khusus kepada Mulla Sadra. Dia juga menetap beberapa tahun bersama Mulla Sadra di Syirāz karena dia merupakan menantu Mulla Sadra dan baru kemudian, dia kembali ke kota asalnya, Kāsyān.

Makamnya yang terletak di Kota Kāsyān, sampai saat ini, masih sering didatangi para penziarah yang memohon berkah.

P: 13

Belakangan ini, banyak karyanya di bidang filsafat diterbitkan kembali.

B. Mulla Abdul Razaq Lahiji Mulla Abdul Razaq berasal dari Lahijān, salah satu kota di propinsi Gilan. Tidak diketahui secara pasti tanggal lahir dan latar belakang keluarganya. Mulla Abdul Razaq Lahiji meninggal dunia pada tahun 1071 H.

Mulla Abdul Razaq dikenal sebagai filsuf, teolog, dan penyair. Dia merupakan salah satu murid Mulla Sadra yang cukup diperhitungkan. Mulanya, dia berjumpa dengan Mulla Sadra di Kota Qom. Berdasarkan perkiraan, sejak itu dia selalu menyertai Mulla Sadra selama di Kota Qom dan secara khusus belajar filsafat, gnostik, ilmu kalam, dan logika. Dia juga salah satu dari menantu Mulla Sadra. Namun, ketika Mulla Sadra kembali ke Syirāz, ia memilih tetap tinggal di Qom.

Mulla Lahiji sangat dikenal dalam bidang syair, bahkan sampai sekarang, syair-syairnya sering dibacakan oleh para penyair di Iran. Karya-karya yang sangat terkenal adalah Masyāriq Al-Ilhām yang membedah ilmu kalam dengan corak al-Hikmah al-Muta'āliyyah. Karya-karya lainnya, antara lain, Hasyiyyah ala Syarh Isyārāt (merupakan komentarnya atas komentar Syaikh Tusi terhadap kitab Al-Isyārāt wa Al-Tanbihat karya Ibn Sina), Guhare Murād (karyanya dalam bidang filsafat yang membicarakan Hudūst al-'Alam, ASālat al-Wujud), Sarmoyeye Imon (rangkuman dari karya filsafatnya), Syarh Hiyākal Al-Nūr (komentar atas Risalah Hiyākal Al-Nur karya Suhrawardi).

Mulla Lahiji adalah salah satu tokoh al-Hikmah al- Muta'āliyyah yang cukup banyak melakukan elaborasi dalam

P: 14

pemikiran Filsafat Iluminasi. Namun sayangnya, tidak diketahui makamnya sampai saat ini. Berdasarkan dugaan dia dimakamkan di Kota Qom.

C. Mulla Husain Tankobani Mulla Husain Tankobani berasal dari kota bagian utara Iran dan meninggal dunia pada tahun 1105 H. Dia dikenal sebagai filsuf dan teolog. Tokoh ini meninggal dunia karena serangan orang-orang awam di Masjid al-Harām ketika sedang memberikan pelajaran. Karyanya yang tertinggal adalah Syarh Al-Syifa' (komentar terhadap kitab Al-Syifa, Ibn Sina), Hudūst Al- Alam, Wahdāt Al-Wujūd, dan Hasyiyyah Tajrid Al-Kalām (anotasi atas kitab Tajrid Al-Kalām karya Syaikh Tusi).

Mulla Husayn Tankobani tidak semasyhur dua sahabatnya yang lain, lantaran mungkin karyanya tidak sebanyak dua sahabatnya di atas. Akan tetapi, dia cukup dikenal sebagai tokoh yang dengan gigih mengajarkan al-Hikmah al-Muta’āliyyah.

D. Agha Jani Nama lengkapnya Muhammad ibn 'Ali Rida ibn Agha Jani.

Sampai sekarang, tempat kelahiran dan wafatnya tidak diketahui.

Agha Jani, sebelum belajar kepada Mulla Sadra, sempat belajar pada Mir Damad, guru Mulla Sadra, bahkan dia menulis Syarh Qabasāt (komentar atas kitab Qabasāt karya Mir Damad) yang ditulisnya pada tahun 1071 H. Sayangnya, banyak naskah yang ditulis Agha Jani hilang dalam perjalanan waktu.

4. Karya-karya

Karya tulis merupakan hal yang sangat penting bagi

P: 15

seorang intelektual karena merupakan bukti utama kecendikiaan intelektual penulisnya. Karya juga merupakan warisan abadi karena pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam tulisan akan terus tercatat dalam sejarah intelektual. Untuk itulah, Imam 'Ali Ibn Abi Talib berpesan, “Ikatlah ilmu dalam tulisan."(1) Kebesaran seseorang juga dapat diukur dari karya-karya tulis yang ditinggalkannya.

Kebesaran Mulla Sadra terungkap melalui berbagai karya yang ditinggalkannya. Menurut Sayyed Muhammad Khamene'i, ada empat puluh kitab Mulla Sadra yang terpelihara sampai saat ini.(2) Karya-karya Mulla Sadra memiliki dua fase: fase ketika dia masih bersandar pada prinsip Asālat al-Māhiyyah dan ketika dia sudah beralih pada prinsip Asālat al-Wujud yang menjadi prinsip dasar bagi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah sehingga tidak seluruh karyanya didasarkan pada pandangan filsafatnya tersebut. Tafsir Alquran yang ditulis Mulla Sadra merupakan tafsir filosofis sehingga menurut penulis, tidak tepat pembagian yang sering dilakukan oleh para penulis tentang Mulla Sadra yang mengkategorikan karya Mulla Sadra ke dalam dua dikotomi, filsafat dan agama. Bukti lain menunjukkan kritik Mulla Sadra terhadap Ibn Sina yang banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan riset di bidang kedokteran karena menurut Mulla Sadra, bagi seorang seperti Ibn Sina, tidak seharusnyalah menghabiskan waktu untuk ilmu-ilmu partikular, seperti kedokteran.(3) Pada umumnya karya-karya Mulla Sadra dicetak pada akhir-akhir abad lalu dan awal abad ini dalam cetakan batu (hajari).(4) Karya-karya tersebut, antara lain, 1. Al-Hikmah Al-Muta'āliyyah fi Al-Asfār Al-Arba'ah (Kearifan

P: 16


1- 25. Mustafa Daryati (ed), Ghurar Al-Hikam wa Ghurar Al-Kalam (Qom: Daftar Tablighat Islomiy, 1420), hlm. 49.
2- 26. Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 271.
3- 27. Lihat: al-Asfar , J. III hal. 328.
4- 28. Kitab-kitab yang berasal dari awal abad ini dan dicetak dengan kertas yang masih sangat kasar dan pada umumnya berukuran 32x42 cm.

Puncak dalam Empat Tahap Perjalanan). Karya ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Asfār Al-Arba'ah dan merupakan magnum opus Mulla Sadra. Dalam karya ini terangkum pembahasan seputar hikmah, gnostik, ontologi, ketuhanan, psikologi, eskatologi, teleologi, epistemologi dan juga merupakan rangkuman berbagai aliran pemikiran, baik itu Peripatetik, Iluminasionisme, gnostik, ayat-ayat Alquran, hadis Nabi, dan ucapan 'Ali Ibn Abi Talib. Kesemuanya terangkum dalam upaya mewujudkan satu bangunan baru filsafat. Dalam cetakan terbaru, kitab ini menjadi sembilan jilid.

2. Al-Mabda' wal Ma'ād (Permulaan dan Kebangkitan). Terdiri atas 370 halaman dan dicetak pada tahun 1314 H. Kitab ini berbicara tentang ketuhanan dan kebangkitan kembali setelah kematian dengan menggunakan argumentasi rasional. Saat ini, naskah aslinya tersimpan di Perpustakaan Universitas Teheran, Iran.

3. Al-Syawāhid Al-Rububiyyah fi Al-Manāhij Al-Sulūkiyyāh (Penyaksian Ilahi pada Perjalanan Ruhani). Kitab ini, menurut sebagian ulama, merupakan karya terakhir Mulla Sadra dalam bidang gnostik dan berisi rangkuman atas pemikiran filosofisnya. Kitab yang ada pada penulis saat ini merupakan hasil riset Prof. Jalaluddin Asytiyani dengan tebal halaman 833.

4. Asrār Al-Ayāt wa Anwār Al-Bayinnāt (Rahasia-rahasia Ayat- ayat dan Cahaya Hakikat yang Jelas) berisi penjelasan makna-makna filosofis dan gnostik dari ayat-ayat Alquran.

5. Al-Masyā'ir ('Perjalanan Metafisika') berisi kitab penjelasan gnostik

P: 17

6. Al-Hikmah Al-Arsyiyāh (Kearifan Puncak) Merupakan kitab filsafat yang mendedah beberapa persoalan gnostik.

7. Syarh Al-Hidāyah Al-Atsiriyyāh (Komentar terhadap Kitab Petunjuk yang Berkesan) berisi diskusi filosofis dengan tebal sekitar 397 halaman.

8. Syarh llāhiyat al-Syifa' (Komentar atas Bagian Ketuhanan Kitab Al-Syifa). Kitab ini terdiri dari 300 halaman dalam cetakan besar. Sayangnya kitab ini tidak dicetak ulang sehingga sulit sekali untuk mendapatkannya. Kandungannya adalah argumentasi rasional dan beberapa komentar Mulla Sadra terhadap pandangan ketuhanan Ibn Sina.

9. Risalah Al-Hudūts-Hudūts Al-'Alam (Kajian tentang Kebaruan Alam). Terdiri dari 251 halaman dan berisikan pandangan- pandangan Mulla Sadra tentang prinsip kebaruan alam.

10. Risālah IttiSaf Al-Māhiyyāh bi Al-Wujūd (Kajian tentang Tersifatnya Kuiditas oleh Wujud). Tulisan Mulla Sadra yang berbicara tentang hukum kuiditas dan peran wujud dalam menjelmakannya.

11. Risalah Tashawūr wa Tashdiq (Kajian tentang Konsep dan Penilaian) berisi anotasi atas kitab sebelumnya, Risālah Al- Ittisaf Al-Māhiyyāh bi Al-Wujud, yang kemudian diterbitkan tersendiri.

12. Risalah Tasyakhkhus (Kajian Identitas) terdiri atas 12 halaman.

13. Risalah Sariyān Al-Wujud (Kajian tentang Emanasi Wujud).

Sebelumnya, karya ini merupakan mukadimah kitab Al- Asfar Al-Arba'ah dan kemudian dicetak tersendiri. Kitab ini berbicara tentang argumentasi ASalāt al-Wujūd.

14. Risalah Qadha' wa Al-Qadr (Kajian tentang Tema Qadha dan

P: 18

Qadar).

15. Risalah Al-Wāridah Al-Qalbiyyāh fi Al-Ma'rifah Al-Qalbiyyāh (Kajian tentang Gambaran yang masuk ke dalam Hati dalam Pengetahuan Hati). terdiri atas 121 halaman dan dicetak pada tahun 1979 oleh Iranian Academy of Philosophy.

16. Risalah Iksir Al-'Arifin fi Ma'rifah Al-Haq Al-Yaqin (Kajian Eliksir Kaum Ahli Irfan dalam Memahami Haqq al-Yaqin).

17. Risalah Hasyr Al-'Awālim (Kajian Pengumpulan Alam-alam).

18. Risalah Khalaqa Al-A'māl (Kajian Penciptaan Perbuatan- perbuatan).

19. Risalatuhu ila Al-Mawla Syams Al-Jilāni (Surat untuk Mawla Syams Al-Jilani).

20. Ajwibah Al-Masā'il Al-Tsalāsa (Jawaban untuk Tiga Persoalan).

21. Risālah Fi Ittihād Al-`Aqil wa Al-Ma'qul (Kajian tentang Kesatuan Subjek dan Objek Pengetahuan). Sampai saat ini, kitab ini belum dicetak dan masih tersimpan dalam naskah asli di Perpustakaan Universitas Teheran.

22. Kasr Al-Asnām Al-Jāhiliyyāh (Pemenggalan Berhala Jahiliyyah) berisi kritik Mulla Sadra terhadap para Sufi gadungan.

23. Jawabah Al-Masā'il Al-'Awidah (Jawaban atas Masalat- masalat Pelik) masih belum dicetak dan masih berbentuk naskah aslinya.

24. Risalah Hal Al-Isykālat Al-Falākiyah fi Al-Irādah Al-Juzāfiyyah (Kajian ihwal Solusi terhadap Pelbagai Kritik Astronomis Menyangkut kehendak yang Absurd) 25. Hasyiyyah ala Syarh Hikmah Al-Isyraq (Anotasi atas Komentar terhadap Filsafat Iluminasionisme).

26. Risālah Fi Al-Harākat Al-Jawhariyyāh (Kajian ihwal Gerakan Transubstansial).

P: 19

27. Risālah fi Al-Alwah Al-Mādiyyāh (Kajian tentang Tempat Kebangkitan).

28. Hasyiyyah ‘ala Al-Rawāsyikh Li Al-Sayyid Al-Damād (Anotasi atas Tetesan-tetesan karya Sayyid Mir Damad).

29. Syarh Usūl al-Kāfi (Komentar atas Usul al-Kāfi).

30. Risälah Al-Mazāhir Al-llahiyyāh fi Asrār Al-Ulūm Al-Kamāliyyāh (Kajian Manifestasi-manifestasi Ilahi dalam Rahasia Ilmu- ilmu Kesempurnaan). Baru diterbikan kembali oleh Lembaga Sadra Islamic Philosopy dengan jumlah halaman 151. Kitab ini berisikan tentang pembahasan terkait penciptaan dan kebangkitan kembali manusia.

31. Mafātih Al-Ghaib (Kunci-kunci Kegaiban).

32. Tafsir Alquran Al-Karim, sayangnya tafsir Alquran yang ditulis Mulla Sadra tidak sempurna seluruh ayat-ayat Alquran.

Jumlah semua sebanyak 7 Jilid.

33. Tafsir Surah Al-Adha.

34. Iqādz Al-Nāimin (Membangunkan Orang-orang yang Tidur) merupakan argumentasi filosofis terhadap proses kebangkitan manusia.

35. Al-Masā'il Al-Qudsiyyah Al-Wāridat Al-Qalbiyyāh (Masalat- masalat Sakral yang masuk ke dalam Kalbu).

36. Jawhār Al-Nadid (Substansi Sistematis) adalah tulisan Mulla Sadra tentang logika.

37. Seh Asl (Tiga Prinsip). Karya Mulla Sadra yang ditulis dalam bahasa Persia dan baru ditemukan.

38. Syarh bar Matsnawiye Rumi (Komentar atas Matsnawi Rumi).

Karya Mulla Sadra yang ditulis dalam bahas Persia dan baru ditemukan. Dicetak bersamaan dengan Sih Asl.

39. Fi al-Jabr wa Al-Tafwid (Determinisme dan Kebebasan

P: 20

Bertindak).

40. Fi Bada Al-Wujud Al-Insān (Kebermulaan Kejadian Manusia).

Ada banyak lagi karya Mulla Sadra yang sampai saat ini belum ditemukan. Di antara yang pernah penulis dengar bahwa Mulla Sadra pernah menulis Syarh Fushūs Al-Hikam. Jika betul karya ini ada dan dapat ditemukan suatu hari akan menjadi sebuah kajian yang sangat menarik.

Ada beberapa karya yang masih diragukan merupakan karya Mulla Sadra, di antaranya, Adab Al-Bahts wa Al- Munāzarah, Al-Fawā'id, Itsbat Al-Bari', Al-Qawa'id Al-Malakutiyyāh dan lain sebagainya.

5. Aliran Filsafat Tidak ragu lagi bahwa Mulla Sadra adalah penggagas aliran baru dalam filsafat Islam yang berbeda sama sekali dengan dua aliran filsafat sebelumnya: Masyāiyyin (Peripatetik) dan Isyraqiyyin (Iluminasionisme). Hal ini tercermin dari bangunan filsafat Mulla Sadra yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al-Muta'āliyyah yang menghimpun kedua aliran tersebut dan melakukan sintesis serta penyempurnaan-penyempurnaan pada banyak bagian dari pandangan Filsafat Peripatetik ataupun Iluminasionisme.

Bahkan, Abu Abdillah Zanjani menyebutkan bahwa Mulla Sadra telah menghidupkan kembali pemikiran filsafat sebelumnya yang telah mati, baik karena serangan-serangan Al-Ghazāli terhadap filsafat maupun karena penghancuran peradaban Islam oleh kaum Mongol dan Turki. Secara lebih rinci dia menjelaskan,

P: 21

“Mulla Sadra telah menghidupkan kembali dan memulai kehidupan baru dari timbunan tanah kematian aliran filsafat Ibn Sina (karena serangan Al-Ghazāli, pengikut Asy'ari dan kaum Hanbali juga serbuan tentara-tentara Mongol dan Turki yang telah menghancurkan ilmu pengetahuan dan pemikiran). Langkah dan semangat tersebut kembali kepadanya (Mulla Sadra). Keagungan filsafat kembali bergema dengan hadirnya filsuf besar pasca-Ibn Sina yang harapan berada di pundaknya dan sampai sekarang menjadi guru besar dan terhitung sebagai pendiri aliran baru dalam filsafat."(1) Ada juga yang beranggapan bahwa Mulla Sadra hanya sekedar melakukan tambal sulam dari filsafat Ibn Sina. Akan tetapi, pernyataan seperti ini jelas tidak benar. Jika seseorang melihat secara mendalam pada pemikiran filsafat Mulla Sadra, dia akan segera menemukan perbedaan yang tegas antara aliran Peripatetik dan al-Hikmah al-Muta'āliyyah. Meskipun Mulla Sadra tetap menggunakan peristilahan dan sistematika yang sama, tetapi pandangan maupun argumentasi serta bentuk pemahaman filosofisnya jelas berbeda.

Di dalam bangunan filsafat al-Hikmah al-Muta'āliyyah secara jelas tergambar aliran-aliran pemikiran sebelumnya dalam filsafat, gnostik dan teologi. Namun demikian, sama sekali Mulla Sadra tidak terjebak sebagaimana dugaan sebagian pemikir bahwa Mulla Sadra melakukan sinkretisasi. Mulla Sadra lebih tepat disebut sebagai harmonisasi semua elemen tersebut sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Sebagaimana yang dinyatakannya, “Telah bergabung di dalamnya ilmu-ilmu ketuhanan (teologi) dengan filsafat analitis serta telah aku lapisi hakikat-hakikat penyaksian dengan penjelasan-penjelasan yang

P: 22


1- 29. Abu Abdillah Zanjani, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 272. Teks asli sebagai berikut: ملا صدرا در خاکستر مکتب مرده ابن سینا که بر اثر حملات ناروای غزالی وحنبلی مآب او و همجنین بدنبال حملات ویرانگر وییروان اشعری مسلک علم و اندیشه ترکان ومغولان بیجان شده بود- روحی تازه دمید وجوانی را به وی وامدارند وحقایس از بازکر دانید. شیفتگان فلسفه به این فیلسوف بزرک و بنیانگذار فلسفه وصاحب مکتب بشمار ابن سینا تا امروز معلم بزرگ میرود .

dapat diverifikasi."(1) Al-Asfār memuat gambaran ini secara jelas dengan mengemukakan berbagai prinsip pandangan iluminasi, seperti ASālat al-Wujūd atau Cahaya dan Tasykik al-Wujūd juga al- Harākah al-Jawhariyyāh yang merupakan tema bahasan filsuf- filsuf Iran kuno, serta Tajarrud al-Mitsāl, Ittihād al-'Āqil wa al- Maʼqūl dan Basith al-Haqiqah Kullu Asyya', yang merupakan tema-tema gnostik yang dibahas oleh kaum Platonik maupun para Sufi. Semua hal tersebut, di tangan Mulla Sadra, mendapatkan penjelasan rasional-logis yang tidak ditemukan pada para filsuf sebelumnya.

Dua aliran utama filsafat sebelum Mulla Sadra secara jelas saling beroposisi satu sama lain: Peripatetik sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme- Aristotelian yang sangat rasional, bahkan menurut Fayadi, “Ibn Sina tidak akan membicarakan persoalan yang tidak terbukti secara rasional”. (2) Di hadapannya, Suhrawardi, dengan Mazhab Iluminasinya, meyakini bahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa dicapai melalui proses Syuhudi dan proses tersebut hanya bisa dicapai dengan melakukan elaborasi ruhani.

Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta'āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru di antara aliran-aliran filsafat yang ada. Dalam pandangan Mulla Sadra, baik akal maupun Syuhūd, keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam filsafat dan meyakini bahwa Isyraqi, tanpa argumentasi rasional, tidaklah memiliki nilai apa pun, begitu pun sebaliknya.

Melakukan suluk ruhani untuk mencapai maʼrifat dan

P: 23


1- 30. Mulla Sadra, Syarh Al-Ushul, hlm. 9. Teks asli sebagai berikut: "قد اندمجت فیه العلوم التألهیة فی الحکمة البحثیة وتدرعت فیه الحقائق الکشفیة بالبیانات التعلیمیة".
2- 31. Fayadi, “Falsafeye Masya" dan "Hikmat Muta’Aliyeh", Majeleye Ma'rifat, XII, 3 (Bahman [bulan Iran], 1997), hlm. 65.

pencerahan batin bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan setiap orang karena diperlukan seorang guru yang mampu membimbing salik untuk melewati tahap-tahap perjalanan ruhani. Di situ juga terkandung upaya-upaya setan yang selalu berusaha menjerumuskan para penempuh jalan ruhani tersebut.

Namun, tanpa maʼrifat dan pencerahan batin, tidak mungkin seseorang dapat mencapai puncak kesempurnaan dirinya.

Dengan argumentasi-argumentasi rasional, Mulla Sadra telah memberikan pelita bimbingan bagi para ilmuwan dan intelektual untuk dapat menempuh jalan ruhani dalam upaya ma'rifat dan pencerahan batin. Inilah metode al-Hikmah al-Muta'āliyyah yang dikembangkan Mulla Sadra. Karenanya, Mulla Sadra dapat disebut sebagai filsuf Peripatetik, pre Mulla Sadra Iluminasionis, sekaligus Platonik beranggapan bahwa Musyahadah Islam. Oleh karena itu, Henry Corbin yang dihasilkan melalui secara khusus menguraikan sebagai proses Mukāsyafah, berikut:

jika merupakan sebuah kebenaran “Jika dia dikenal sebagai Ilahi dan hakiki, maka filsuf beraliran Ibn Sina, harus juga ditambahkan bahwa dia juga filsuf Isyraqi (Iluminasionis) dan pada saat yang sama merupakan penggambaran dari pemikiran Ibn Arabi. Mulla Sadra merupakan salah satu yang terpenting dari pemikir Plotinus dari Iran Islami dan juga seorang pemikir Syi'ah...."(1) Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa bagi Mulla Sadra, kebenaran mistis yang diperoleh berdasarkan perjalanan ruhani merupakan kebenaran intelektual dan pengalaman-

P: 24


1- 32. Henry Corbin, sebagaiamana yang dikutip Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 277.

pengalaman mistis yang diperoleh merupakan pengalaman kognitif yang dihasilkan dari proses berpikir. Menurut Sadra, yang dibutuhkan adalah upaya ilmiah yang dapat memverifikasi bukti logis bagi pengalaman tersebut.

Mulla Sadra beranggapan bahwa Musyāhadah yang dihasilkan melalui proses Mukāsyafah, jika merupakan sebuah kebenaran Ilahi dan hakiki, maka pastilah rasional dan akal akan dapat membuktikannya. Mulla Sadra menyadari bahwa, pada umumnya, kaum Sufi dan Gnostik seringkali mengabaikan argumentasi rasional dalam menegakkan ajarannya, semisal Ibn Arabi yang menggunakan metode analogi dan imajinasi dalam penyampaian ajaran-ajarannya. Yang demikian tersebut, bagi Mulla Sadra, tidak dapat menjadi hujjah bagi semua orang.

Karenanya, dalam pernyataannya, Mulla Sadra menggambarkan, “Karena merupakan sebuah tradisi kaum Sufi yang hanya menyandarkan pada Zawq dan Penyaksian, sebagaimana yang mereka tetapkan baginya; sedangkan kami, tidaklah kami bersandar kepada sesuatu yang tidak memiliki argumentasi pasti tentangnya dan tidak juga kami ungkapkan pada kitab Teosofi kami...."(1) Bahkan pada bagian lain, secara tegas Mulla Sadra menetapkan pola filsafatnya yang berbeda dari pemikiran lainnya, sekaligus kritiknya(2) terhadap sebagian Sufi, “Dan al- Hikmah al-Muta'āliyyah bukan merupakan perdebatan teologis, bukan filsafat rasional semata dan juga bukan hasil khayalan- khayalan kaum Sufi."(3) Dalam filsafat Mulla Sadra, kita juga menemukan warna diskursus teologis, tetapi seperti pernyataannya di atas, filsafatnya bukanlah murni teologi. Mulla Sadra memang

P: 25


1- 33. Mulla Sadra, Al-Hikmah Al-Muta’āliyyah fi Al-Asfar Al-Arba'ah, J. 9 hlm. 234. Selanjutnya disebut al-Asfar. Teks aslinya sebagai berikut: "لأن من عادة الصوفیة الاقتصار علی مجرد الذوق والوجدان فیما حکموا علیه، وأما نحن، فلا نعتمد علی مالا برهان علیه قطعیا ولا نذکره فی کتبنا الحکمیة".
2- 34. Meskipun Mulla Sadra kerap melakukan kritik yang tajam pada kaum Sufi, tetapi Sufi yang dimaksud adalah Sufi-sufi yang hanya menunjukkan bentuk-bentuk ritual (pseudo- sufistik) karena dalam memandang Ibn Arabi, Mulla Sadra begitu kagum dan sama sekali tidak didapati kritik langsung kepada Ibn Arabi, bahkan berdasarkan beberapa penggalan pernyataannya di dalam kitab Asfar, ditemukan bahwa Mulla Sadra meyakini konsep Wahdat al-Wujūd Ibn Arabi. Untuk lebih jelas lihat Asfar, J. 2, 3 dan 7.
3- 35. Mulla Sadra, Al-Masya'ir (Tehran: Amir Kabir, 1376), hlm. 3. Teks asli sebagai berikut: "وهی لیست من المجادلات الکلامیة ولا من الفلسفة البحثیة المذمومة ولا من التخیلات الصوفیة"

sejak muda telah menguasai teologi (ilmu Kalam) secara sangat mendalam, baik pada fase studinya di Syirāz, Qazwin, maupun Isfahan. Sepanjang masa studinya, Mulla Sadra selalu bersentuhan dengan teologi sehingga pada usia sangat muda, dia sudah menguasai teologi secara matang. Beberapa kitabnya yang ditulis pada fase-fase belajarnya merangkum kritik-kritik tajamnya kepada Mu'tazilah yang menyandarkan sepenuhnya pada akal sehingga cenderung mengabaikan nash-nash syari'at dan Asy'ari yang cenderung mengabaikan akal dan hanya menganggap bahwa kebenaran hanyalah berasal dari syari'at.

Bagi Mulla Sadra, keduanya berada pada dua titik ekstrem yang sama bahayanya.

Diskursus teologis, pada intinya, juga berkaitan dengan topik-topik filosofis. Karenanya, Mulla Sadra memberikan analisis kritis dan argumentasi rasional dalam persoalan tersebut, tetapi tidak terjebak menjadikan filsafat sebagai teologi. Mulla Sadra tetap dengan kerangka filsafat dalam menanggapi diskursus tersebut. Dia menggunakan caranya sendiri yang khas, sebagaimana yang juga dilakukan sebelumnya oleh Khwaja Nasiruddin Tusi sehingga memberikan senjata baru untuk membela ajaran-ajaran Islam. Kalau Khwaja Nasiruddin Tusi mengubah teologi menjadi filsafat, maka Mulla Sadra menjadikan filsafat sebagaimana layaknya teologi, tetapi tentu teologi baru, dalam pengertian bentuk, pola, dan cara yang digunakan didasarkan pada aliran Filsafat Peripatetik dan Iluminasi. Akan tetapi, persoalan yang dibahas justru persoalan teologi.

Teologi, sebagai satu cabang ilmu yang berusaha mempertahankan agama dan keyakinan dari serangan-serangan

P: 26

yang datang dari luar dengan menggunakan nash-nash dan sedikit argumentasi rasional, di tangan Mulla Sadra berubah menjadi disiplin ilmiah yang baru. Meskipun tetap menjadikan nash-nash tersebut sebagai inspirasi utama, tetapi dia membangun argumentasi-argumentasi rasional-filosofis untuk menopang doktrin-doktrin sehingga bagi seorang ateis pun sulit untuk dapat membantah doktrin-doktrin teologis tersebut.

Akal dan wahyu, ketika masih berada dalam wacana Asy- 'ariyah dan Mu'tazilah, menjadi dua hal yang selalu bertentangan.

Dalam al-Hikmah al-Muta'āliyyah, keduanya menjadi sekeping mata uang yang hanya berbeda sisi. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadra menjangkau nash-nash tersebut dan memberikannya dalil-dalil rasional. Mulla Sadra membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para Nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional, tetapi keduanya juga sama sekali tidak memilki pertentangan sedikit pun. Wahyu dan akal merupakan kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.

Mulla Sadra memandang akal dalam dua hal penting:

pertama, kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal, dan ia merupakan jembatan untuk sampai pada syariat; kedua, akal manusia, meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia, tetapi kejelasannya dan kelugasannya tidak kurang dari wahyu.

Meskipun demikian, tidak sedikit pun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan wahyu yang benar, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah satu warna.(1) Sebagaimana yang dikutip Muhammad Khamene'i, Mulla Sadra dalam hal ini memberikan penegasannya sebagai berikut:

P: 27


1- 36. Mulla Sadra, dikutip Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 281. Teks asli sebagai berikut: عقل نمی تواند باوحی (حدیث ونقل) مخالف باشد؛ وهر جا که تصور شود آندو، رو در روی هم قرار گرفته اند در واقع هنوز پای عقل به آن حقیقت کشیده نشده و در حقیقت، فرق است بین آنکه جیزی عقلا محال باشد با آنجا که عقل به آن دسترسی نیافته و آن را هنوز محک نزده باشده. و کسی که این فرق را نداندا لایق سخن وبحث واستدلال نیست

“Akal sama sekali tidak dapat bertentangan dengan wahyu; dan dimana pun kita bayangkan, keduanya menempati posisi yang sama. Meskipun sampai sekarang akal belum dapat menjamah hakikat tersebut (wahyu) sepenuhnya, akan tetapi dalam realitasnya, jelas berbeda antara ketidakmungkinan akal (untuk menangkap hakikat) dengan belum mampunya akal menjamahnya. Dan siapa yang belum mengetahui perbedaan ini tidaklah pantas baginya berbicara, menganalisis dan berargumentasi.

Bagi Mulla Sadra, akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu, yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl). Bagi Mulla Sadra, tidak terbayangkan di antara kedua hal tersebut terjadi pertentangan.

Karenanya, akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.

Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadra, yakni mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi di antara ketiga hal tersebut, dengan harmonisasi itu, dia menelurkan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya, ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadra sebagai filsuf Peripatetik, teosof Iluminasionis, sekaligus teolog Islam yang handal.

P: 28

Catatan 2:

1. James Winston Morris, Kearifan Puncak, terjemahan Dr.

Dimitri Mahayana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm.

18.

2. Allamah Husain Thaba’thaba'i, “Muqaddimah" pada Mulla Sadra, Al-Masya'ir, (Qom: Chop Bidor) hlm. xxxi.

Syirāz adalah salah satu kota tua di Iran dan merupakan pusat propinsi Fars. Terletak sekitar 350 km ke arah selatan dari Tehran. Di kota ini terdapat banyak peninggalan bersejarah dari kerajaan Persia Kuno.

4. C.E. Boswirth, Dinasti-Dinasti Islam, terjemahan Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 196.

5. Muhammad Ridho Muzaffar, “Muqaddimah", dalam Mulla Sadra, Al-Asfar, hlm. Jim.

6. Mulla atau Mawla bermakna 'penghulu, tuan atau pemimpin'.

Kata ini digunakan sebagai panggillan penghormatan kepada ulama atau urafa besar di Iran.

Sayyid Muhammad Khamne'i, “Muqaddimah” dalam Mulla Sadra, Al-Mazahir Al-llahiyyah fi Al-Asrar Al-Ulum Kam’Aliyyah (Tehran: Bunyad Islami Hekmate Sadra, 1378), hlm. 264.

Selanjutnya disebut Al-Muqaddimah.

8. Rene Descartes, dianggap pendiri filsafat modern di Barat, lahir di Inggris tahun 1596 dan meninggal dunia pada tahun 1650.

9. Hauzeh Ilmiyeh merupakan lembaga pendidikan formal- tradisional keagamaan dan pusat pengajaran ilmu-ilmu keagamaan, khususnya Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Logika dan Filsafat di Iran, dan sampai saat ini masih terus terpelihara.

Qom dan Masyhad merupakan dua kota pusat Hauzeh

P: 29

Ilmiyyeh di Iran.

10. Akhbariyyin adalah sebutan bagi ulama-ulama fiqh yang hanya menyandarkan diri pada nash-nash dalam melakukan proses Istinbath Al-Hukum dan dihadapannya, kelompok yang memasukkan akal dalam frame Ushul Fiqh sebagai bagian dalam proses istinbath al-hukum yang disebut Ushuliyyin.

11. Fazlur Rahman, Filsafat Sadra (Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), hlm. 3.

12. Kahak merupakan desa kecil sekitar 40 km dari pusat Kota Qom. Sampai saat ini, rumah tempat Mulla Sadra melakukan kontemplasinya tetap terpelihara.

13. Fathimah Al-Ma'summah adalah putri dari Imam Musa Al- Kadzhim, Imam Syi'ah ke-7. Fathimah Al-Ma'summah, dalam rangka menyusul saudaranya, Imam 'Ali ar-Ridho, yang diasingkan ke Kota Thus (Mashad) melakukan perjalanan dari Madinah menuju Thus dan meninggal dunia ketika tiba di Kota Qom. Salah satu hadis yang terkenal dikalangan Syi'ah yang berasal dari Fathimah binti Rasulullah Saw. adalah “Siapa yang hendak berziarah kepadaku, maka ziarahilah cucuku yang namanya sama dengan namaku dan akan di kuburkan di Kota Qom." Dalam pandangan kaum Syi'ah, Fathimah Al- Ma'sumah termasuk diantara pilar-pilar kesucian.

14. Henry Corbin, “Muqadimah" dalam Mulla Sadra, Al-Masya'ir (Tehran: Kitob Khoneye Thohur, 1363), hlm. 7.

Teks asli sebagai berikut:

"C'est dans cette solitude de jardins que Molla Sadra consacra plusieurs annees de sa jeunesse a atteindre a cette re'Alization sprituelle personalle pour laquelle la philosophie est l'indispensable point de depart, mais san laquelle , aux yeux de Sadra et de tous ceux de son ecole, la philosophie ne serait qu'uene enterprise sterile et ilusoire. Pour entrer

P: 30

dan cette solitude, et pour en ressortir victorieusement, il fallait avoir deja pratique la haute discipline personelle qui garantit l'independence a l'egard des opinions toutes faites. Opinion recues ou opinions pruhibees" 15. QS 29: 57. Ayat tersebut sebagai berikut:

«کُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَیْنَا تُرْجَعُونَ » 16. Mustamin Al-Mandary (ed), Menuju Kesempurnaan (Yogyakarta: Safinah, 2003), hlm. 6.

17. Nicolas Darke and Davis, (ed), The Consice on Ensiclopedia of Islam (London: Cyril and Stacey International, 1980), hlm. 271.

18. Jalaluddin Asthiyani, Muqadimah bar Al-Sawahid Al- Rububiyyah fi Al-Manahij As-Sulukiyyah, (Masyhad: Markaze Nashr Donesgohi, 1360), hlm. 89. Selanjutnya disebut Muqaddimah.

19. Sayyed Hosseyn Nasr, Mulla Sadra Commemoration, (Tehran:

Imperial Tramian Academy of Philosopy, 1978), hlm. 169.

20. Jalaluddin Asytiyani, Muqaddimah, hlm. 86.

21. Mulla Sadra, Syarh Al-Usul Al-Kahfi (Qom: Kitab Khoneye Mar'asyi Najafi, 1335), hlm. 15. Selanjutnya disebut Syarh Al- Ushul. Teks aslinya sebagai berikut:

"وأخبرنی سیدی وسندی وأستاذی فی العالم الدینیة والعلوم الالهیة والمعارف الحقیقیة والأصقل الیقینیة, السید الأجل الأنوار العالم المقدس الأطهرر الحکیم الإلهی والفقیه الربانیر سید عصره, وصفوة دهره، الأمیر الکبیر والبدر المنیر، علامة الزمان، اعجوبة الدوران، المسمی بمحمد الملقب بباقر الدماد الحسینی (( قدس الله عقله بالنور الربانی))".

22. Intuitif atau intuisi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Zawq yang merupakan proses persepsi yang bersifat ruhaniah.

23. Mulla Sadra, Syarh Al-Usul.Teks asli sebagai berikut:

P: 31

"حدثنی شیخی واستادی ومن علیه فی العلوم النقلیة استنادی عالم عصر وشیخ دهره، بهاء الحق والدین، محمد العاملی الحارثی الهمدانی نور الله قلبه بالأنوار القدسیة عن والده الماجد المکرم وشیخه الممجد المعظم الفاضل الکامل حسین بن عبد الصمد أفاض الله علی روحه الرحمة والرضوان واسکنه دار الجنان عن شیخه واستاده النبیل عماد الاسلام وفخر المسلمین زین الدین الشیخ العالی الکرکی ((قده)) عن الشیخ الورع الجلیل علی بن الهلال الجزائری" 24. Salah satu kota kecil di Iran, terletak 100 km dari Tehran.

Banyak tokoh besar dalam filsafat maupun tasawuf berasal dari daerah ini, di antara yang terkenal adalah Abd. Razzaq Al- Kasyani. Saat ini, Kota Kasyan menjadi salah satu tempat yang banyak didatangi para peziarah.

25. Mustafa Daryati (ed), Ghurar Al-Hikam wa Ghurar Al-Kalam (Qom: Daftar Tablighat Islomiy, 1420), hlm. 49.

26. Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 271.

27. Lihat: al-Asfar , J. III hal. 328.

28. Kitab-kitab yang berasal dari awal abad ini dan dicetak dengan kertas yang masih sangat kasar dan pada umumnya berukuran 32x42 cm.

29. Abu Abdillah Zanjani, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 272. Teks asli sebagai berikut:

ملا صدرا در خاکستر مکتب مرده ابن سینا که بر اثر حملات ناروای غزالی وحنبلی مآب او و همجنین بدنبال حملات ویرانگر وییروان اشعری مسلک علم و اندیشه ترکان ومغولان بیجان شده بود- روحی تازه دمید وجوانی را به وی وامدارند وحقایس از بازکر دانید. شیفتگان فلسفه به این فیلسوف بزرک و بنیانگذار فلسفه وصاحب مکتب بشمار ابن سینا تا امروز معلم بزرگ میرود .

30. Mulla Sadra, Syarh Al-Ushul, hlm. 9. Teks asli sebagai berikut:

P: 32

"قد اندمجت فیه العلوم التألهیة فی الحکمة البحثیة وتدرعت فیه الحقائق الکشفیة بالبیانات التعلیمیة".

31. Fayadi, “Falsafeye Masya" dan "Hikmat Muta’Aliyeh", Majeleye Ma'rifat, XII, 3 (Bahman [bulan Iran], 1997), hlm. 65.

32. Henry Corbin, sebagaiamana yang dikutip Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 277.

33. Mulla Sadra, Al-Hikmah Al-Muta’āliyyah fi Al-Asfar Al-Arba'ah, J. 9 hlm. 234. Selanjutnya disebut al-Asfar. Teks aslinya sebagai berikut:

"لأن من عادة الصوفیة الاقتصار علی مجرد الذوق والوجدان فیما حکموا علیه، وأما نحن، فلا نعتمد علی مالا برهان علیه قطعیا ولا نذکره فی کتبنا الحکمیة".

34. Meskipun Mulla Sadra kerap melakukan kritik yang tajam pada kaum Sufi, tetapi Sufi yang dimaksud adalah Sufi-sufi yang hanya menunjukkan bentuk-bentuk ritual (pseudo- sufistik) karena dalam memandang Ibn Arabi, Mulla Sadra begitu kagum dan sama sekali tidak didapati kritik langsung kepada Ibn Arabi, bahkan berdasarkan beberapa penggalan pernyataannya di dalam kitab Asfar, ditemukan bahwa Mulla Sadra meyakini konsep Wahdat al-Wujūd Ibn Arabi. Untuk lebih jelas lihat Asfar, J. 2, 3 dan 7.

35. Mulla Sadra, Al-Masya'ir (Tehran: Amir Kabir, 1376), hlm. 3.

Teks asli sebagai berikut:

"وهی لیست من المجادلات الکلامیة ولا من الفلسفة البحثیة المذمومة ولا من التخیلات الصوفیة" 36. Mulla Sadra, dikutip Muhammad Khamne'i, Muqaddimah, hlm. 281. Teks asli sebagai berikut:

عقل نمی تواند باوحی (حدیث ونقل) مخالف باشد؛ وهر جا که تصور شود

P: 33

آندو، رو در روی هم قرار گرفته اند در واقع هنوز پای عقل به آن حقیقت کشیده نشده و در حقیقت، فرق است بین آنکه جیزی عقلا محال باشد با آنجا که عقل به آن دسترسی نیافته و آن را هنوز محک نزده باشده. و کسی که این فرق را نداندا لایق سخن وبحث واستدلال نیست

P: 34

BAGIAN KEDUA PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT

Point

filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyāh yang digagas dan dikembangkan Mulla Sadra merupakan aliran filsafat yang unik dan utuh. Keunikan filsafat ini karena prinsip-prinsip pemikiran yang membentuknya merupakan sistem filsafat yang berbeda dari dua arus utama filsafat sebelumnya, yaitu Peripatetik dan Iluminasionisme, sedangkan keutuhannya karena seluruh prinsip dan pemikiran filsafat yang dibangun Mulla Sadra saling terkait satu sama lain, dengan prinsip dasar yang membentuk keseluruhan bangunan filsafatnya didasarkan pada satu prinsip, yaitu Wujud. Oleh karena itu juga, filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah seringkali disebut sebagai filsafat Wujud.

Atas dasar hal tersebut, tidak mungkin membicarakan pandangan Eskatologi Mulla Sadra tanpa membicarakan prinsip- prinsip utama yang membentuk filsafatnya.

Prinsip-prinsip utama tersebut, antara lain, Prinsipalitas Wujud dan Kerelatifan Kuiditas (Asālat al-Wujūd wa l’tibāriyat al-Māhiyyāh), Ambiguitas Wujud (Tasykik al-Wujūd), Kontinuitas Wujud, Wujud Mental (al-Wujūd al-Dzihni), Prinsip Emanasi, Gerakan Transubstansial (al-Harākah al-Jawhāriyyāh), Kesatuan Subjek dan Objek Pengetahuan (Ittihād al-'Āqil wa al-Ma'qūl) dan Alam Imajinal ('Alam al-Mitsāl).

Untuk mengenal pemikiran filsafat al-Hikmah al- Muta’āliyyah dan pandangan Eskatologi Mulla Sadra secara utuh, marilah kita bicarakan secara sekilas prinsip-prinsip pokok al- Hikmah al-Muta’āliyyah di atas:

P: 35

1. Prinsipalitas Wujud dan Kerelatifan Kuiditas (Asalat Al-Wujud wa l’tibariyat Al-Māhiyyah)

1. Prinsipalitas(1) Wujud dan Kerelatifan Kuiditas (Asalat Al-Wujud wa l’tibariyat Al-Māhiyyah) Prinsip ini merupakan prinsip dasar ontologis dalam filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah dan merupakan prinsip paling utama yang dikemukakan Mulla Sadra di antara seluruh prinsip filsafatnya yang lain, mengingat seluruh prinsip filsafat berikutnya bersandarkan pada prinsip ini. Mulla Sadra, dalam hal ini, sebagaimana para filsuf lainnya, mencoba menjawab persoalan yang terjadi antara wujud dan kuiditas.

Wujud merupakan realitas dasar yang paling nyata dan jelas (badihi).

Tidak ada apa pun yang dapat membatasi wujud sehingga tidak mungkin seseorang dapat memberikan satu definisi kepada wujud.

Beranjak dari wujud yang jelas ini, Mulla Sadra masuk pada salah satu tema pokok ontologinya, bahwa antara wujud dan kuiditas berbeda dalam alam pikiran, sedangkan di luar hanya terdapat satu realitas, maka manakah di antara wujud dan kuiditas yang real dan hakiki ? Pertanyaan ini juga menjadi pertanyaan mendasar bagi

P: 36


1- 1. Terjadi perbedaan dalam penerjemahan kata Asalat. S.H. Nasr menggunakan kata prinsipiality, Fazlur Rahman menggunakan kata priority dan beberapa pemikir lainnya menggunakan kata reality. Penggunaan kata keutamaan disini mengacu pada kata yang digunakan Fazlur Rahman, yaitu priority.

para filsuf sebelumnya. Ibn Sina, dengan Filsafat Peripatetiknya, meyakini bahwa yang utama dan real adalah wujud, sedangkan Syaikh Isyraq, dengan Filsafat Iluminasinya, menganggap kuiditaslah yang real dan hakiki.

Syaikh Isyraq mengemukakan argumentasi atas keyakinannya tersebut sebagai berikut:

“Jika yang utama dan real tersebut adalah wujud, maka yang mewujud di luar adalah wujud. Wujud tersebut pastilah memiliki atribut kewujudan dan sesuatu yang mewujud pastilah terdapat pada dirinya wujud sehingga terjadi regresi (tasalsul)(1) dan dan regresi adalah hal vang tidak mungkin terjadi. Selain alasan yang dikemukakan Syaikh Isyraq, penolakan terhadap wujud sebagai realitas yang utama didasarkan bahwa karena wujud merupakan konsep yang paling umum dibandingkan segala sesuatu, wujud sebenarnya tidak lebih sebagai konsep sekunder (ma'qul al-tsani)."(2) Mulla Sadra beranggapan bahwa yang benar adalah pandangan Ibn Sina, yang menganggap bahwa wujudlah yang utama dan real, sedangkan kuiditas hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental. Untuk ini, Mulla Sadra mengemukakan beberapa argumen filosofis:(3) a. Kuiditas sebagai kuiditas berada dalam kecenderungan yang sama terhadap wujud dan ketiadaan. Ketika kuiditas keluar ke tingkat wujud bukan dengan perantaraan wujud, pastilah terjadi perubahan substansial pada hakikat kuiditas (Inqilab) dan hal tersebut tidak mungkin. Karenanya, satu-satunya hakikat yang mengeluarkan kuiditas ke tingkat wujud adalah wujud itu sendiri.

b. Kuiditas merupakan sumber perbedaan. Setiap kuiditas berbeda dari kuiditas yang lain. Dalam hal ini, masing-

P: 37


1- 2.Prinsip regresi atau tasalsul merupakan prinsip logika yang dikembangakan Aristoteles dan kemudian digunakan oleh seluruh filsuf Muslim abad pertengahan untuk menunjukkan ketidaklogisan pandangan-pandangan yang menyebabkan regresi. Banyak argumen yang dikemukakan para filsuf untuk menolak persoalan ini dan di antara yang terkenal adalah argumentasi wasat (tengah) yang dikemukakan Ibn Sina. Argumentasi tersebut sebagai berikut: “Sekiranya kita membuat garis dan pada awal garis pertama (A) kita sebut sebagai sebab dan pada ujung garis (C) kita sebut sebagai akibat, kemudian kita taruh satu titik di tengah garis tersebut (B) kita sebut sebagai akibat bagi A dan sebab bagi C, maka sekiranya garis tersebut dipanjangkan seberapa pun panjangnya, maka akal tetap akan menyatakan ada dua titik ekstrim di awal (A) dan di akhir (C) yang pertama kita sebut sebagai Sebab murni dan yang akhir kita sebut sebagai akibat murni. Maka jelas ketidakmungkinan regresi di sini.
2- 3. Lihat: Rahman, Philosophy of Mulla Sadra, hal. 35.
3- 4. Lihat: Mulla Sadra, al-Asfar, J. I hal. 38-73.

masing tidak memiliki kesatuan yang sama. Jika tidak ada realitas yang menyatukan hal-hal yang berbeda tersebut dan menggabungkannya, maka tidak ada proposisi yang mempredikatkan satu kuiditas kepada kuiditas yang lain. Karena itu, diperlukan satu realitas dasar untuk menggabungkan berbagai kuiditas tersebut. Realitas tersebut adalah wujud.

c. Kuiditas mewujud dengan wujud eksternal sehingga memiliki efek (api membakar, air membasahi) dan pada saat yang sama, mewujud juga pada wujud mental (dzihnī) dan tidak memiliki efek sebagaimana kuiditas eksternal. Jika yang real dan hakiki adalah kuiditas, pastilah efek yang ditimbulkan sama pada dua keadaan tersebut dan tidak terjadi perbedaan.

Fakta menunjukkan sebaliknya sehingga hal tersebut pasti keliru dan karenanya, wujudlah yang utama dan real.

d. Kuiditas netral dalam keadaannya, baik antara intensitas dan kelemahan, kepadatan maupun ketidakpadatan. Nmaun, pada realitas eksternal, kita melihat ada yang intens (seperti sebab) dan ada yang lemah (seperti akibat). Jika bukan wujud yang real dan hakiki, maka perbedaan atribut tersebut kembali kepada kuiditas, padahal kuiditas bersifat netral.

Jelas wujudlah yang real dan hakiki.

Sebagai jawaban bagi Syaikh Isyraq yang menolak Prinsipalitas Wujud, Mulla Sadra mengemukakan argumen bahwa wujud mewujud (secara eksternal), tetapi wujudnya wujud dengan zatnya sendiri sehingga tidak menyebabkan regresi.(1) Dengan argumentasi-argumentasi ini, Mulla Sadra menampilkan pandangan dasarnya tentang Asālat al-Wujūd

P: 38


1- 5. Thabathaba'i, Bidayah al-Hikmah (Qom: Muasasah al-Nasyr al-Islami, 1415), hlm. 13.

wa I'tibāriyyāt al-Māhiyyāh. Pandangan ini menjadi prinsip dasar bagi seluruh jalinan filsafatnya dan hal ini juga, jika kita lihat lebih dalam, menunjukkan upaya Mulla Sadra untuk menyucikan Tuhan dari kuiditas. Karena baginya, Tuhan sebagai Wajib Al-Wujud haruslah merupakan zat murni yang terlepas dari beragam kuiditas/batasan. Hal ini, sebelumnya, seringkali menjadi diskursus di antara para filsuf ataupun teolog.(1) Dalam rangka menjelaskan prinsipnya. Mulla Sadra terlihat begitu cermat dalam menguraikan pandangan-pandangan logisnya, tetapi seringkali terjebak pada kerumitan lantaran dia hendak mengkritisi sekaligus menjelaskan kebenaran prinsipnya.

Bagaimanapun, kerumitan ini dapat dipahami mengingat upaya Mulla Sadra menjadikan prinsip ini sebagai dasar utama dari seluruh bangunan filsafatnya.

Secara tidak langsung, prinsip yang dikemukakan Mulla Sadra ini memberikan argumen rasional bagi kaum Sufi yang meyakini bahwa yang maujud adalah wujud, tetapi selama ini, keyakinan tersebut hanya berdasarkan Syuhud dan Mukāsyafah.

Hal yang sama juga dikemukakan Ibn Sina, meskipun berbeda dalam prinsip selanjutnya: Tasykik al-Wujud.

2. Ambiguitas Wujud (Tasykik Al-Wujūd)

2. Ambiguitas(2) Wujud (Tasykik Al-Wujūd) Prinsip al-Hikmah al-Muta'aliyyah selanjutnya yang dikemukakan Mulla Sadra adalah ambiguitas wujud. Ambiguitas wujud merupakan gambaran wujud tunggal yang memiliki gradasi yang berbeda, disebabkan oleh tingkatan kualitas yang ada pada wujud tersebut. Hal ini menyebabkan wujud tersebut memiliki dua sifat pada saat yang bersamaan, yaitu ketunggalan (univok) dan pluralitas (ekuivok) yang dalam istilah Mulla Sadra

P: 39


1- 6. Kita dapat melihat diskursus dalam hal tersebut pada kitab Al-
2- 7.Ilahiyat Al-Syifa karya Ibn Sina atau Al-Matolib Al-Aliyyah karya Al-Razi. Pengistilahan Tasykik menjadi Ambiguitas karena pada kata Tasykik terkandung Univok (Wahdah) dan Ekuivok (Katsrat)., karena disebutkan bahwa al-Wujud wahdah fi ayni al-Katsratihi wa Katsrah fi ayni wahdatihi. Sebagian juga menggunakan kata Gradasi untuk pengistilahan kata Tasykik.

disebut “Pluralitas dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas" (al-Katsrah fi 'aynil Wahdah wal-Wahdah fi 'aynil- Katsrah).(1) Mulla Sadra menggambarkan bahwa wujud tidak berbeda pada tingkat substansinya, melainkan pada kualitas keintensifan dan ketidakintensifan, prioritas dan posterioriotas, serta ketampakan dan ketersembunyiannya. Menurutnya, di setiap level, pastilah ia memiliki atribut yang khusus yang di kalangan filsuf dikenal sebagai kuiditas, sedangkan di kalangan Sufi dikenal dengan istilah A'yān al-Tsābitah (entitas-entitas tetap).

Untuk menjelaskan konsepnya ini, Mulla Sadra menggunakan perumpamaan cahaya, seperti halnya Syaikh Isyraq dalam menjelaskan realitas kuiditas. Baginya, wujud seperti halnya level-level cahaya matahari yang merupakan permisalan Tuhan bagi alam materi; bagaimana ia memancarkan dan menampilkan warna-warna pada cermin, tetapi pada saat yang sama, semua itu sebenarnya hanya satu cahaya yang sama. Tiada perbedaan di antara semua cahaya itu, kecuali pada kekuatan dan kelemahan semata.

Manusia yang terpaku hanya pada cermin beserta segenap warna yang ditampilkannya dan terhijab dengannya dari cahaya hakiki dari level-level hakiki yang terpancar turun, menurut Mulla Sadra, manusia itu tidak mampu memahami realitas cahaya-Nya. Sebagaimana pandangan yang menyatakan bahwa kuiditas adalah sesuatu yang hakiki yang merealisasikan wujud, sedangkan wujud hanya merupakan suatu abstraksi mental.

Bagi manusia yang menyaksikan beragam warna cahaya dan memiliki kesadaran bahwa semua itu dimunculkan oleh cermin semata dan warna-warna tersebut, pada substansinya, adalah

P: 40


1- 8. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 1, hlm. 79.

cahaya, maka manusia seperti itu dapat memahami cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa yang menampakkan kuiditas dan kepluralannya, tidak lain, adalah level-level wujud.

Dengan pendekatan ini, Mulla Sadra ingin menyatakan bahwa wujud merupakan pancaran dari Wujud Tuhan, seperti cahaya memancarkan warna-warna, demikian pula Wujud Mutlaq memancarkan kuiditas- kuiditas yang bersifat imkān, yang tidak lain merupakan ragam bentuk makhluk.(1) Ambiguitas wujud yang dikemukakan Mulla Sadra ini merupakan konsepsi baru dalam filsafat karena pendahulunya, Ibn Sina, sekalipun meyakini bahwa yang utama dan real tidak lain adalah wujud, tetapi dalam proses munculnya wujud imkān, tidak mengenal prinsip ambiguitas ini. Bagi Ibn Sina, dalam proses penciptaan wujud imkān ada tingkatan intelek, (2) tetapi pada saat yang sama, wujud imkān tersebut terikat dalam kesatuan substantif, masing-masing berdiri secara independen.(3) Melalui prinsip ambiguitas wujud ini, terlihat dengan jelas upaya Mulla Sadra untuk menyelesaikan ketegangan antara kecenderungan monistik, terutama pada gagasan para Sufi bahwa semua realitas, pada akhirnya, akan lenyap di hadapan realitas tunggal Tuhan. Mulla Sadra diketahui pernah menjadi pendukung pandangan seperti ini. Karenanya, dia sempat terusir

P: 41


1- 9. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.1, hlm. 70–71.
2- 10. Teori intelek atau akal sepuluh, pada awalnya, dikembangkan oleh Al-Farabi dan kemudian diteruskan oleh Ibn Sina. Lihat: Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 110–115.
3- 11. Untuk lebih jelas tentang teori Ibn Sina, dalam hal ini, silahkan baca Ibn Sina, Al-Isyarāt wa Al-Tanbihat, J. II, hlm. 57, dan Thabathaba'i, Nihayah Al-Hikmah, hlm. 18.

dari Syiraz dan menyebabkannya mengasingkan diri di Kahak.

Di hadapan pandangan monistik, wujud ada juga pandangan pluralitas wujud. Setiap identitas merupakan wujud independen yang berbeda, baik di antara setiap forma wujud atau antara wujud imkan dan niscaya, yang pada umumnya, pandangan seperti ini dianut oleh para teolog. Mulla Sadra, melalui prinsip ambiguitas wujud yang murni merupakan gagasan dirinya, berupaya menyatukan kedua pandangan di atas karena wujud dalam ambiguitas wujud adalah univok sekaligus ekuivok. Sedikit sulit untuk memahami teori ini tanpa muncul kontradiksi antara yang tunggal, sekaligus plural. Akan tetapi, Mulla Sadra, sejak awal, telah mengingatkan bahwa univok dan ekuivok tersebut tidak dalam satu dimensi: univok dalam hakikat wujudnya, sedangkan ekuivok dalam kualitas wujudnya.(1) Ambiguitas wujud, atau dalam istilah yang dikemukakan Mulla Sadra disebut dengan Tasykik al-Wujūd, dibanding teori- teori filsafat yang dikemukakan para filsuf Muslim sebelumnya, lebih dekat pada prinsip Wahdat al-Wujūd yang dikembangkan Ibn Arabi. Sekalipun antara keduanya tidak mutlak sama, prinsip utama antara keduanya adalah bahwa terjadi ketunggalan pada wujud, bahkan prinsip ambiguitas wujud dapat dijadikan pendekatan secara filosofis untuk memahami teori Wahdat al-Wujūd tersebut.(2)Terlebih, jika kita melacak lebih jauh pandangan Mulla Sadra, kita akan mendapati kecenderungannya pada pandangan Wahdat al-Wujūd sehingga secara tidak langsung memberikan kesan bahwa pandangan ambiguitas wujud hanyalah upaya Mulla Sadra untuk memberikan bukti- bukti filosofis terhadap Wahdat al-Wujūd.

P: 42


1- 12. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. I, hlm. 432.
2- 13. Untuk melihat kedekatan kedua prinsip ini, kita dapat melihat tulisan David B. Burrel, Existence Deriving from “The Existent": Mulla Sadra's dialectic with Ibn Sina and Ibn Al-Arabi. Tulisan ini dapat diakses pada www.mullaSadra.org.

3. Kontinuitas Wujud

Prinsip kontinuitas wujud berasal dari diktum yang dikemukakan Mulla Sadra tentang tidak adanya perulangan wujud dan kembalinya sesuatu yang tiada (La Tikrara fi al-Wujud wa Imtina' l'adati al-Ma'dum). Mulla Sadra mengemukakan pandangan bahwa tidak mungkin suatu bentuk wujud yang telah mewujud dan kemudian menjadi tidak ada dan kemudian mewujud kembali dalam realitas. Alasan yang dikemukakan Mulla Sadra bahwa identitas wujud tertentu merupakan substansi dari wujud itu sendiri, sebagaimana pembicaraan sebelumnya dalam prinsip Asalat al-Wujūd, sehingga tidak mungkin terjadi suatu bentuk wujud mewujud dalam dua fase berbeda setelah diselingi oleh ketiadaan karena akan menyebabkan realitas wujud yang satu bersumber dari dua wujud sehingga sesuatu itu sekaligus satu dan banyak. Dengan demikian juga tersisihkan kemungkinan akan adanya dua wujud yang sama dalam keseluruhan dimensi, baik dipisahkan oleh ketiadaan ataupun tidak. Jika kita imajinasikan akan adanya dua wujud yang sama pada saat yang sama, pastilah ada perbedaan antara keduanya karena lebih dari satu dan hal tersebut akan mengakibatkan bersatunya dua hal yang kontradiktif (Ijtimā' al- Naqidayn) yang secara logis tertolak.

Selain itu, argumentasi lain yang dikemukakan Mulla Sadra terhadap ketidakmungkinan mewujudnya wujud setelah ketiadaan dirinya adalah sekiranya hal tersebut dapat dibenarkan terjadi, maka akan mewujud wujud yang sama.(1) Kesamaan tersebut haruslah juga meliputi permulaan dan akhir dan seluruh hal yang berkaitan dengan wujud tersebut sehingga tidak ada dimensi yang membedakannya. Hal ini jelas

P: 43


1- 14..Postulat tersebut berbunyi “Hukm al-Amtsal fima yajuz wa fima la yajuz wahidun” (hukum keserupaan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan adalah satu). Yang dimaksud adalah bahwa peristiwa apa pun yang terjadi pada dua bentuk yang serupa haruslah sama. Jika tidak, maka ada bagian yang membedakan keduanya. Untuk lebih jelasnya lihat Thabathaba'i , Bidayah, hlm. 24.

akan menyebabkan berkumpulnya dua hal yang serupa menjadi satu. Ini jelas tidak mungkin, mengingat jika terjadi hal tersebut, maka akan mengakibatkan sesuatu yang satu pada saat yang sama adalah banyak.

Ada beragam argumentasi ketidakmungkinan lenyapnya sesuatu yang telah mewujud dan kembali mewujud setelah tiada. Dengan prinsip ini dan prinsip kausalitas, Mulla Sadra ingin membuktikan beberapa hal, di antaranya, sesuatu yang telah mewujud tidak akan mungkin menjadi tiada ('adam).

Prinsip ini kemudian diistilahkan oleh Mulla Sadra dengan tidak adanya perulangan dalam wujud dan kembalinya sesuatu yang tiada (La Tikrar fi al-Wujud wa Imtina' l'ādah al-Ma'dūm). Prinsip ini, sebenarnya, jika kita telusuri, tidak sepenuhnya murni berasal dari Mulla Sadra karena ketika Ibn Rusyd membantah argumentasi Al-Gazhali dalam persoalan kebangkitan fisik, Ibn Rusyd menggunakan prinsip ini. Akan tetapi, sekalipun seperti itu, penjelasan yang lebih rinci berkaitan dengan prinsip ini hanya dapat kita temui pada Mulla Sadra.

4. Wujud Mental (Wujud Al-Zihni)

Salah satu pandangan ontologis Mulla Sadra yang lain adalah wujud mental (Wujūd al-Zihnī). Prinsip wujud mental ini timbul karena persoalan persepsi terhadap objek: bagaimana objektifitas dapat terjadi. Bagi kebanyakan filsuf, kuiditas di balik wujud eksternal (wujud yang memberi efek keniscayaan) terdapat wujud lain yang tidak memberi efek-efek tersebut dan dinamakan sebagai wujud mental. Api eksternal yang kita saksikan memiliki efek keniscayaan, seperti panas dan membakar, tetapi api yang muncul dalam kesadaran mental tidaklah memiliki efek

P: 44

keniscayaan sebagaimana wujud eksternalnya. Api yang hadir dalam mental itulah yang disebut wujud mental.

Sebagian filsuf menganggap Wujud Mental yang hadir tersebut merupakan realitas eksternal, seperti halnya sebuah lukisan dan sebagian lainnya bahkan menolak wujud mental.

Akan tetapi, menurut Mulla Sadra, penolakan itu jelas tidak mungkin lantaran akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang dapat kita ketahui. Hal ini membawa kembali kepada pandangan Sofistik.(1) Prinsip Wujud Mental yang dikemukakan Mulla Sadra, sesungguhnya, tidak murni berasal dari Mulla Sadra, tetapi berasal dari Syaikh Isyraq yang mengalami penyaksian ruhaniah sebagai jawaban atas persoalan epistemologi yang dihadapi Syaikh Isyraq. Namun demikian, Mulla Sadra lebih maju dibandingkan Syaikh Isyraq dalam menjelaskan prinsip wujud mental, terutama dalam memberikan argumentasi filosofis terhadap prinsip ini, bahkan lebih jauh, Mulla Sadra menjadikan prinsip ini sebagai dasar bagi epistemologi yang dikemukakannya.

Mulla Sadra mengemukakan beberapa argumen untuk membuktikan keberadaan wujud mental, yaitu:(2) a. Jika kita membayangkan sesuatu yang tidak memiliki realitas pada wujud eksternal, (seperti gunung emas, lautan alkohol, bersatunya dua hal yang bertentangan) tidak mungkin wujud tersebut terjadi pada realitas eksternal. Pastilah sesuatu itu mewujud di satu tempat lain yang disebut dengan mental.

b. Gambaran sesuatu yang memiliki atribut universal (Kulli), seperti konsep manusia bersifat general atau konsep hewan bersifat universal, merupakan isyarat tidak mungkin

P: 45


1- 15. Sofis adalah kelompok filsuf muda di Yunani yang berusaha menghancurkan bangunan filsafat Parmenides dan mereka memiliki pandangan skeptis pada realitas. Tokoh utamanya, Georgias, menyimpulkan tiga hal: 1) tak satupun yang ada,2) jika ada sesuatu pun, tak ada yang dapat dipahami, 3) jika sesuatu dapat dipahami, orang tak dapat mengatakan apa pun tentangnya. Lihat: Sejarah Filsafat, hlm. 79–87.
2- 16. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. II, hlm. 354.

ditemukan bagi sesuatu yang universal tersebut pada realitas eksternal, maka tidak lain posisinya berada pada relitas mental.

C. Kita dapat memisahkan dari substansi, bahwa substansi menjadi tempa bergantung atau menempel bagi aksiden, seperti warna putih dari dinding. Realitas eksternal sama sekali tidak mungkin menunjukkan keterpisahan ini sehingga hal tersebut hanya terjadi pada realitas mental.

Menurut Mulla Sadra, tidak mungkin kita dapat menolak wujud mental ini karena dia betul-betul real dan maujud.

Menolaknya sama dengan menolak hakikat wujud secara keseluruhan, sebagaimana tergelincirnya kaum Sofis.

Pembuktian adanya wujud mental ini memberikan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi banyak filsuf, baik ketika menjelaskan persoalan persepsi ataupun epistemologi. Dengan membuktikan wujud mental, kita dapat membayangkan bahwa Mulla Sadra, pada akhirnya, ingin membuktikan bahwa objek Syuhudi adalah real dan maujud.

5. Prinsip Emanasi

Mulla Sadra menyebut prinsip ini dengan satu ungkapan bahwa tidak keluar dari yang satu kecuali satu (al-Wāhid la Yasdurū minhu illa al-Wāhid). Karena itu juga, prinsip ini dikenal sebagai kaidah al-Wāhid dan dalam tasawuf atau gnostik disebut sebagai emanasi. Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat penting yang berhasil disempurnakan oleh Mulla Sadra.

Sebagian besar filsuf, sebelum Mulla Sadra, telah mencurahkan kajian yang serius dan mendalam dalam persoalan ini, terutama para filsuf Muslim, karena prinsip penciptaan ini sangat berkaitan

P: 46

dengan doktrin Tauhid.(1) Mir Damad menyatakan, “Induk dari prinsip pemikiran adalah bahwa Yang satu sebagaimana dia satu dalam spesifikasinya tidak keluar darinya kecuali satu. Prinsip demikian ini yang kami gambarkan kepada Anda, keluar dari kemurnian intelek yang tercerahkan."(2) Pada umumnya, para filsuf Muslim menerima prinsip ini.

Istilah yang kerap digunakan para filsuf tersebut, antara lain, al- Asl al-Asil, Asas al-Tauhid dan Qaidah al-Wahid.

Menurut Al-Farabi, prinsip ini berasal dari Aristoteles melalui muridnya, Xenon. (3) Hal yang sama termaktub juga dalam kitab Utsulujiyya-nya.(4) Sedangkan Ibn Rusyd menisbahkan prinsip ini kepada Plato dan Tamistius.(5) Dengan dasar ini, dapat diketahui bahwa prinsip ini tidak murni digagas oleh Mulla Sadra, tetapi Mulla Sadra membawa prinsip ini sebagai bagian dari upayanya untuk menopang gagasan tentang wujud yang menjadi dasar utama filsafatnya. Selain itu, Mulla Sadra memberikan argumentasi tambahan terhadap argumentasi- argumentasi yang sebelumnya digunakan untuk membuktikan prinsip tersebut. Sayangnya, ketika menjelaskan prinsip ini, Mulla Sadra tidak mengemukakan secara jelas penggagas utama prinsip ini sehingga beberapa peneliti Mulla Sadra menganggap prinsip ini murni berasal dari Mulla Sadra.(6) Perbedaan utama dengan para filsuf sebelumnya adalah Mulla Sadra mendasarkan diri pada prinsip kesatuan wujud, sedangkan para filsuf sebelumnya, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, meyakini intelek-intelek yang muncul dari Wajib al-Wujud merupakan wujud-wujud Mumkin yang independen. (7) Saat mengawali penjelasan tentang prinsip ini, Mulla Sadra mengemukakan gagasan Ibn Sina tentang prinsip penciptaan,

P: 47


1- 17. Mahdi Astiyani bahkan menulis buku khusus untuk menjelaskan prinsip ini dengan judul Asas Al-Tauhid (Tehran: Amir Kabir, 1377) dan Alamah Thabathaba'i menulis buku Risalah Al-Tauhid.
2- 18. Mir Damad, Qabsat (Qom: Chop Bidor, 1373), hlm. 232 Teks tersebut berbunyi : "من أمهات الأصول العقلیة أن الواحد بما هو واحد لا یصدر عنه من تلک الحیثیة إلا واحدا فلعل هذا الأصل بما تلوناه علیک من فطرابات العقل " Julle
3- 19. Lihat: Al-Farabi, Majmu'ah Rasa'il Al-Farabi (Iran: Haydar Abad, tth.), hlm. 7. Selanjutnya disebut Majmu'ah.
4- 20. Lihat: Plotinus, Utsulujiyya (Qom: Intisyarat Bidor, 1413), hlm. 67.
5- 21. Lihat: Ibn Rusyd, Tafsir Ma Ba’da Tabi'ah (Tehran: Intisyarat Hikmah, 1377), J. II, hlm. 160.
6- 22. Lihat: Turan Koc, Body-Mind Relationship with Regard to Life after Death according to Mulla Sadra (Tehran: Siprin, 2005), hlm. 12.
7- 23. Lihat: Ibn Sina, Al-Isyarat, J. II, hlm. 106.

meskipun ada beberapa perbedaan mendasar antara keduanya dalam terwujudnya pluralitas ciptaan. Tuhan adalah Zat Sederhana (Basith) tanpa ada unsur lain yang mencampuri Diri- Nya, selain Diri-Nya sendiri. Zat Sederhana seperti ini karena tidak berkomposisi dengan unsur-unsur lain sehingga tidak mungkin melahirkan zat plural lain dalam bentuk sekaligus secara horizontal. Lantaran hal ini mengasumsikan adanya pluralitas pada wujud sebelumnya, padahal wujud sebelumnya sudah dipastikan sebagai satu Zat Yang Sederhana. Karenanya, menurut Mulla Sadra, yang benar adalah kemunculan wujud pertama dari Satu Zat Yang Sederhana tidak mungkin lebih dari satu dan berikutnya, wujud pertama akan memunculkan wujud kedua dan seterusnya; semakin jauh dari sumber wujud, semakin terjadi polarisasi dan pada akhirnya akan menyebabkan pluralitas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mulla Sadra menegaskan hal tersebut, antara lain, Ini merupakan prinsip yang timbul dari intelek yang terbebas dari tabir taklid dan tanpa noda fanatisme serta kegelapan pertentangan sehingga ia dapat menetapkan bahwa Esanya Tuhan adalah murni dan bahwa yang satu sebagai satu tidaklah keluar darinya dalam spesifikasi itu, kecuali satu dan tidak pula bentuk plural sebagai plural keluar dari yang satu sehingga keluar darinya dua sumber yang bertentangan dengan satu. Selanjutnya, sisi-sisi dan spesifikasi menjadi plural, maka terbukalah gerbang kebaikan.(1) Beberapa argumentasi yang dikemukakan Mulla Sadra berkaitan dengan prinsip ini, antara lain, a. Identitas A pasti berbeda dari identitas B, dan ini menunjukkan bahwa masing-masingnya memiliki sebab

P: 48


1- 24. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 7, hlm. 204. Teks tersebut berbunyi: "هذه الأصول الممهدة التی قد مر ذکر هما مما یستقل به العقل النظری الذی لیس لعینه غشاوة التقلید ولا لمراآته رین العصبیة وظلمة العناد لاثبات أن الواحد الحق الصرف وکذا الواحد بما هو واحد لا یصدر عنه من تلک الحیثیة الا واحد وان لیس فی طباع الکثرة-بما هی کثرة أن تصدر عن الواحد ان یصدر عنها مبدعان مقابل واحد فواحدا إلی أن یتکثر الجهات والحیثیات وینفتح باب الخیرات"

yang berbeda. Sebab tersebut adalah dua identitas terpisah atau satu identitas yang memiliki dua sifat yang berbeda.

Padahal, sumber utama wujud adalah Zat Sederhana yang satu secara mutlak sehingga mustahil keluar dua identitas dari Zat tersebut.

b. Identitas sebab A pasti berbeda dari identitas sebab B.

Perbedaan tersebut, baik pada kuiditas maupun pada wujud, keduanya mengharuskan pluralitas sehingga tidak mungkin keduanya disatukan dalam satu identitas mutlak yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Jika tidak, maka akan menyebabkan berlakunya hukum kontradiksi.

Zat Sederhana yang tidak terkomposisi oleh unsur apa pun hanya akan mengeluarkan satu akibat. Sekiranya satu akibat itu kita sebut A, maka keluarnya A dari sebab tersebut merupakan keharusan logis dan sekiranya keluar juga dari sebab sederhana B, maka hal tersebut membatalkan keharusan logis akibat A dan pengandaian ini jelas bertentangan dengan logika.

Begitulah beberapa argumentasi yang dikemukakan Mulla Sadra untuk membuktikan kebenaran prinsip emanasi ini.

Wajib al-Wujud sebagai Zat Yang Sederhana, berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, akan mengeluarkan bentuk ciptaan yang satu dan sederhana, demikian seterusnya hingga pada bentuk ciptaan kesepuluh yang tidak memiliki kemampuan untuk mengeluarkan bentuk ciptaan berikutnya.(1) Ibn Rusyd, Ibn Sina, Ibn 'Arābi maupun Mulla Sadra menyebut wujud yang muncul ini sebagai intelek, meskipun terjadi perbedaan(2) dalam jumlah intelek yang muncul berdasarkan proses emanasi tersebut.

P: 49


1- 25. Persoalan kenapa hanya sampai pada intelek kesepuluh adalah pertanyaan yang agak sulit untk mendapatkan jawaban yang memadai. Jawaban yang dikemukakan, pada umumnya, karena intelek kesepuluh sudah sedemikian jauhnya dari sumber wujud sehingga tidak mampu lagi menciptakan intelek berikutnya. Apa argumentasi logis untuk ini sama sekali tidak kita temukan pada karya-karya filsuf Muslim abad pertengahan tersebut. Haidar Bagir menyatakan bahwa pembatasan sampai pada akal kesepuluh disebabkan oleh pengetahuan astronomi masa itu, yang diwarnai oleh Ptolemeus, yang menyatakan bahwa planet berjumlah sepuluh. Lihat: Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, hlm. 109.
2- 26. Pada umumnya, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, sepuluh intelek yang muncul, tetapi Nasiruddin Tusi ketika menjelaskan tentang persoalan ini, berpendapat bahwa sepuluh intelek tersebut dapat diringkas menjadi tiga intelek utama. Lihat: Al-Isyārat, J. II, hlm. 109.

Di antara pemikir Muslim, ada juga yang menolak prinsip ini, antara lain, Al- Fakhrurrazi dan Al- Gazhali. Al-Gazhali menyatakan bahwa memercayai prinsip Mulla Sadra menolak argumentasi ini adalah “Kegelapan di atas kegelapan". (1) Al-Gazhali menolak prinsip ini karena menurutnya, prinsip ini bertentangan dengan sifat Kemahakuasaan Allah Ta'ala dan hal tersebut sama dengan tidak percaya bahwa alam semesta yang plural ini merupakan ciptaan Allah.(2) Alasan yang sama juga dikemukakan Al- Fakhrurrazi.(3) Mulla Sadra menolak argumentasi Al-Gazhali maupun Al-Fakhrurrazi karena menurutnya, proses penciptaan yang dilakukan Allah Ta'ala melalui proses kausalitas, sedangkan Kemahakuasaan Allah Ta'ala merupakan gambaran dari kemampuan Allah untuk melakukan sesuatu yang mungkin terjadi, bukan sesuatu yang mustahil terjadi.

Prinsip ini menggambarkan secara jelas kepada kita bagaimana pengaruh tasawuf dan gnostik pada diri Mulla Sadra serta pengaruh teori Emanasi Ibn Arabi yang kemudian diberinya argumentasi rasional yang sangat kuat.

P: 50


1- 27. Al-Gazhali, Tahafut, hlm. 132.
2- 28. Al-Gazhali, Tahafut. hlm. 120–129. Pernyataan Al-Ghazali tersebut sebagai berikut: “Hal ini merupakan kekacauan dalam dasar pandangan mereka, bahkan tidak tergambarkan berdasarkan prinsip- prinsip mereka bahwa alam semesta ini merupakan ciptaan Allah.
3- 29. Lihat: Al-Fakhrurozi, Mabahits al-Masyriqiyyah (Qom: Cop Bidor, 1411), J. I, hlm. 466.

6. Gerakan Transubstansial (Al-Harākat Al-Jawharriyyah)

6. Gerakan Transubstansial(1) (Al-Harākat Al- Jawharriyyah) Salah satu persoalan yang selalu dibicarakan oleh para filsuf adalah persoalan gerak karena gerak merupakan bagian mendasar ketika membicarakan kuiditas. Teori tentang gerak ini sangat beragam, di antaranya ada yang memandang bahwa gerak merupakan proses kejadian dan kehancuran yang berasal dari Al-Farabi. Ibn Rusyd menuliskan teori ini dalam karya khusus yang diberi judul Talkhis Al-Kawn wa Al-Fasād yang di dalamnya, Ibn Rusyd berusaha membuktikan kebenaran teori ini. Menurutnya, gerak merupakan 'proses perpindahan dari satu titik menuju titik berikutnya dengan menghilangkan titik pertama dan membentuk titik kedua, demikian seterusnya'. (2) Ibn Sina menggambarkan gerakan sebagai dua proses subjektif dan objektif. Pada proses subjektif, terjadinya proses bertahap (tadrij) dari satu titik menuju titik berikutnya melintasi ruang sehingga terjadi gerakan. Kondisi ini, menurut Ibn Sina, hanya terjadi secara subjektif pada diri pengamat karena penggabungan titik-titik tersebut menjadi satu bagian yang tergabung hanyalah terjadi pada persepsi subjek, sedangkan secara objektif, wujud yang dipersepsi bergerak itu bersifat permanen berada di antara permulaan dan akhir. (3) Mir Damad menolak anggapan Ibn Sina bahwa gerak berlaku subjektif dengan mengemukakan pandangan bahwa pada gerak, terjadi kontinuitas secara konstan dan objektif, mengingat ruang dan waktu merupakan realitas objektif.(4) Mulla Sadra, seperti halnya gurunya tersebut, menolak pandangan Ibn Sina, tetapi berbeda dengan gurunya, Mulla Sadra menunjukkan bahwa gerakan bukan hanya sesuatu yang objektif dan kontinu,

P: 51


1- 30. Diterjemahkan sebagai gerakan transubstansial di sini mengacu pada penerjemahan yang dilakukan S.H. Nasr, yaitu Transubstansial Motion.
2- 31. Lihat: Ibn Rusyd, Talkhis Al-Kawn wa Al-Fasad (Beirut: Dar Al- Gharb Al-Islami, 1995), hlm. 51.
3- 32. Lihat: Ibn Sina, Al-Isyārat, J. II, hlm. 33. Lihat juga Murtadha Mutahari, Harakat va Zamon dar Falasafeh Islomi (Tehran: Intisyarat Hekmat, 1411), J. III, hlm. 305.
4- 33. Pandangan Mir Damad ini dapat kita lihat pada karyanya, Al- Qabsat, hlm. 183— 238.

tetapi meliputi substansi.

Di titik ini, Mulla Sadra bertentangan dengan seluruh filsuf sebelumnya.

pandangan umum para filsuf, termasuk Ibn Sina, terjadi pada empat kategori kuiditas: kuantitas (kam), Sina, “Jika terjadi gerak kualitas (kayf), posisi (wadh'), dan tempat (ayn). Substansi (jawhar) dalam pandangan ini bersifat tetap karena hanya terjadi perubahan dan gerakan pada empat kategori tersebut.

Keberatan utama jika terjadi perubahan pada substansi adalah ketidakmungkinan melakukan penetapan terhadap sesuatu.

Dalam pandangan mereka, sesuatu yang dahulu adalah sesuatu yang saat ini dan sesuatu yang saat ini adalah sesuatu yang akan datang. Seperti pertanyaan murid utama Ibn Sina, Bahmaniyar, kepada gurunya, “Mengapa tidak mungkin terjadi gerakan pada substansi?" Jawab Ibn Sina, “Jika terjadi gerak pada substansi, maka Ibn Sina yang lalu bukan lagi Ibn Sina yang sekarang."(1) Menurut Mulla Sadra, tidak mungkin gerakan hanya terjadi pada aksiden (al-'arad) karena aksiden selalu bergantung pada substansi. Jika terjadi gerakan pada aksiden, hal tersebut jelas menunjukkan gerakan yang terjadi pada substansi.

Jika dapat terjadi (gerakan) pada kuantitas dan kualitas serta bagian-bagiannya yang tidak terbatas di antara keduanya secara

P: 52


1- 34. Jalaluddin Rakhmat, “Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah: Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd" dalam Mulla Sadra, Kearifan Puncak (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xix.

potensial, maka wujud selalu membaru dalam identitasnya, baik pada kuantitas ataupun kualitas. Dengan demikian, gerakan tersebut dapat juga terjadi pada substansi sehingga merupakan hal yang memungkinkan bagi substansi untuk menguat dan menjadi lebih sempurna dalam wujud tanpa merusak identitas dan kesatuan substantifnya. (1) Perubahan benda pada tingkat aksiden menunjukkan secara jelas perubahan substansial tersebut. Pada tingkat aksiden, apel semula berwarna hijau tua, kemudian berubah menjadi hijau muda, merah, dan kuning.

Pada tingkat substansial, apel semula buah muda, sedang, ranum, dan busuk.

Gerakan transubstansial terjadi meliputi segala sesuatu, baik pada jasmaniah maupun pada ruhaniah. Manusia, menurut Mulla Sadra, sesuatu yang awalnya berasal dari materi pertama (al-māddah al-ûla) yang bergabung dengan bentuk (sūrah), melalui gerakan transubstansial, unsur-unsur tersebut mengalami perkembangan dan perubahan, materinya berkembang menjadi gumpalan darah, kemudian janin, bayi, anak-anak, remaja dewasa, tua dan hancur, sedangkan bentuknya berkembang menjadi jiwa bergerak (an-nafs al-mutaharikkah), kemudian jiwa hewani (an-nafs al-hayawāniyyah), dan jiwa manusiawi (an- nafs al-insāniyyah). Gerakan transubstansial yang terjadi pada materi menuju kehancuran, sedangkan gerakan transubstansial

P: 53


1- 35. Untuk lebih jelasnya, Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 3, hlm. 85.

yang terjadi pada jiwa menuju kesempurnaan.

Gerak, sebagaimana yang dikemukakan Mulla Sadra, tentu masih menyisakan persoalan kesatuan identitas karena, seperti pernyataan, Ibn Sina di atas, jika pada tingkat substansi mengalami gerakan, maka tidak tersisa kesatuan identitas pada objek. Menurut Mulla Sadra, identitas merupakan struktur peristiwa dan tidaklah kemudian menghilangkan objek sebelumnya, seperti yang dipahami dalam teori al-kawn wa al-fasād, tetapi yang terjadi melalui gerakan tersebut adalah peningkatan kualitas yang disebutnya dengan istilah al-labs ba'da al-labs (berpakaian setelah berpakaian).(1) Menurutnya, rangkaian peristiwa dalam gerak tersebut seperti orang yang berpakaian tanpa melepaskan pakaian sebelumnya; terjadi peningkatan kualitas tanpa menghilangkan kualitas sebelumnya.

Hal ini tentu merupakan pandangan baru dan bertentangan dengan teori-teori sebelumnya yang pernah ada tentang gerak, sekalipun kemudian Sabzawari, sebagai filsuf Sadrian, memiliki pandangan yang agak berbeda dari Mulla Sadra.

Teori Mulla Sadra tentang gerak ini, sekilas hampir mirip dengan teori evolusi Darwin. Namun, pada Darwin terjadi lompatan genus dan terbatas pada tingkat materi, sedangkan pada Mulla Sadra, genus tetap hanya meningkat kualitasnya menuju tingkat ruhaniah. Forma-forma mengalami perubahan menuju forma yang lebih tinggi. Kita dapat menyebutkan bahwa gerak membawa seluruh spesies untuk berkembang dari tingkat yang umum menuju tingkat yang lebih khusus dan konkret. Gerakan transubstansial yang digagas Mulla Sadra ini jelas bertentangan dengan teori Atomisme Al-Asy'ari dan Al- Fakhrurrazi. Jika dalam teori Atomisme, identitas terbentuk dari

P: 54


1- 36. Untuk lebih jelas tentang pandangan ini, kita dapat merujuk pada Al-Asfar, J. III, hlm. 437 atau Ghulam Husayn Ibrahi Dinani, Qawaid Kulli Falsafi dar Falsafeye Islomi (Tehran, Pezuhisgoh, 1993), J. I, hlm. 87.

atom-atom yang berlainan, bagi Mulla Sadra, identitas terbentuk dari struktur peristiwa forma partikular yang melakukan gerak kontinu menuju forma tertentu.(1) Dengan teori al-harākah al-jawhariyyāh ini, Mulla Sadra menunjukkan bahwa alam semesta, seluruhnya, selalu berada dalam atribut aslinya, yaitu baru (hudūst) dan sesuatu yang baru itu mesti selalu berada dalam perubahan. Karenanya, dalam argumentasi tentang gerakan, Mulla Sadra membuktikan bahwa gerakan berasal dari Zat Yang Konstan dan itu adalah Wajib al- Wujūd (Wujud Niscaya).

7. Kesatuan antara Subjek dan Objek Pengetahuan (Ittihad Al-'Āqil wa Al-Ma'qul)

Ilmu yang kita miliki, pada intinya, adalah hasil persepsi kita terhadap wujud mental kita dan hal itu menunjukkan bahwa antara subjek dan objek, bahkan korelasi yang terjadi antara keduanya, bukanlah sesuatu yang terpisah. Hal tersebut tidak hanya terbatas pada persepsi aku ataupun imajinasi yang kita ciptakan, tetapi juga terhadap seluruh objek yang kita persepsi.

Jika prinsip keilmuan seperti ini sebelumnya hanya terjadi pada pengetahuan Tuhan tentang dirinya, bagi Mulla Sadra, hal ini berlaku juga pada pengetahuan manusia dan meliputi seluruh persepsi yang terjadi.

Prinsip kesatuan antara subjek ('āqil), objek (maʼqūl), dan intelek ("Aql) ini disebut dengan istilah Ittihād al-'Āqil wa al-Ma'qul karena subjek yang melakukan proses persepsi terhadap wujud objek sebagai yang dipersepsi dan korelasi subjek-objek yang mewujudkan pengetahuan, terjadi kesatuan eksistensial yang sederhana. Seperti yang telah dibicarakan

P: 55


1- 37. Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm.132.

pada ilmu Hudhuri, objek yang masuk pada diri subjek dalam bentuk gambar kuiditas dari wujud eksternal masuk ke dalam jiwa subjek, kemudian jiwa dengan kreatifitasnya menciptakan wujud mental dari gambar objek yang masuk tersebut. Wujud mental tersebut bukan sesuatu yang terpisah dari mental subjek karena wujud adalah sesuatu yang satu. Seperti yang disebutkan Mulla Sadra, “Jiwa, ketika mempersepsi suatu objek, maka objek tersebut menjadi bagian bentuk inteleknya....

Karena sesungguhnya, sudah menjadi karakter jiwa manusia untuk mempersepsi seluruh hakikat yang ada dan bersatu dengannya."(1) Wujud dalam pandangan Mulla Sadra adalah sesuatu yang satu dalam gradasi yang berbeda, sebagaimana yang telah dibicarakan pada prinsip ambiguitas wujud. Kesatuan tersebut adalah kesatuan hakiki karena dalam filsafat Mulla Sadra, wujud merupakan substansi yang hakiki. Menurut Mulla Sadra, apa yang digambarkannya tentang prinsip ambiguitas wujud tidaklah bertentangan dengan para filsuf maupun urafa.

Penetapan argumentasi kesatuan wujud dan eksistensial, baik secara substansi maupun hakiki, sebagaimana mazhab awliya', ‘urafa, tokoh-tokoh utama ahli mukāsyafah dan ahli yaqin, bahwa wujud, meskipun terlihat plural dan berbeda satu sama lain, hanyalah dari segi derajat penampakan Al-Haqq Yang Pertama' dalam pemancaran cahaya-Nya dan manifestasi Zat- Nya bukan sebagai sesuatu yang independen dan terpisah.(2) Argumentasi paling utama yang dikemukakan Mulla Sadra dalam upayanya menegakkan prinsip Ittihād al-'Āqil wa al-Ma'qūl dikenal dengan istilah argumentasi relasi (Burhan al-Tadayut). Untuk menegakkan argumentasi ini, Mulla Sadra

P: 56


1- 38. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.3. hlm. 337. Teks aslinya sebagai berikut: إن النفس إذا عقلت شیئا صارت عین صورته العقیلة ... إن النفس الإنسانیة من شأنها أن تدرک جمیع الحقائق وتتحد بها
2- 39. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.I, hlm. 71.

bersandar pada tiga premis utama, yaitu:

Pertama, bentuk-bentuk aktual terbentuk bersamaan dengan teraktualisasinya sesuatu dan terbagi kedalam dua bagian.

1. Bentuk aktual yang bersandar pada materi, ruang dan waktu.

2. Bentuk aktual yang tidak terikat dengan materi, ruang dan waktu serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Bentuk aktual yang bersandar pada materi, ruang, dan waktu sama sekali tidak mungkin secara zatnya menjadi objek persepsi dan jika menjadi objek persepsi, pasti hanya aksidennya, sedangkan bentuk aktual yang tidak terikat pada materi, ruang, dan waktu pastilah selalu menjadi objek persepsi secara zatnya. Karena itu, objek persepsi terbagi menjadi dua bagian: yang terpersepsi berdasarkan zatnya, yaitu bentuk- bentuk aktual yang nonmateri bersandar pada alam mental; dan terpersepsi berdasarkan aksidennya, yaitu forma-forma entitas ('ayni), sesuatu yang berada secara eksternal dan bersandar pada materi.

Kedua, para filsuf, dalam masalat ini, sepakat bahwa wujud objek pastilah untuk subjeknya, yaitu wujud bentuk- bentuk objek adalah sesuatu yang wujudnya hanyalah untuk subjeknya. Dalam ungkapan yang lain, dapat kita sebutkan bahwa bentuk-bentuk objek aktual wujudnya, baik sebagai dirinya maupun subjeknya, adalah suatu hal yang satu dan tidak berbeda sama sekali.

Ketiga, bentuk-bentuk yang tidak terikat pada materi dan bersandar pada alam mental pastilah merupakan objek aktual, baik di luar dirinya terdapat subjek maupun tidak. Hukum

P: 57

persepsi dan objek aktual yang dipersepsi tidak mungkin terpisah sama sekali karena identitas dirinya adalah identitas persepsi dan hakikat dirinya bukanlah sesuatu, selain sebagai objek. Dengan dasar ini, objek aktual juga subjek.

Dengan dasar ketiga landasan tersebut, Mulla Sadra menerapkan argumentasi relasi sebagai argumentasi utamanya.

Dalam argumentasi relasi, dua bentuk yang berpasangan haruslah berada pada dimensi yang sama; jika salah satu bagiannya secara aktual, maka padanannya mestilah secara aktual dan jika satu bagiannya secara potensial, maka padanannya pun haruslah secara potensial. Dalam argumen ini, tidak mungkin seseorang dapat membayangkan satu sisi dan menghilangkan sisi yang lain. Argumen tersebut berbunyi, “Relasi merupakan kesetaraan dalam wujud aktual atau potensial."(1) Berdasarkan hal tersebut, menurut Mulla Sadra, karena objek hadir secara aktual, maka pastilah subjeknya hadir secara aktual dan terjadi kesatuan dimensional pada keduanya. Dengan premis-premis di atas, terbuktilah prinsip Ittihād al-'Āqil wa al-Ma'qul.

Selain dengan argumentasi relasi yang digunakan sebagai argumentasi bagi prinsip Ittihad al-´Aqil wa al-Ma'qul, ada berbagai argumentasi lain yang ditegakkan Mulla Sadra dan para pengikutnya, antara lain, a. Ilmu subjek terhadap objek adalah sampainya objek atau forma ilmiah dalam subjek. Sampainya sesuatu ialah sampainya wujud dan dirinya. Karenanya, ilmu merupakan jati diri objek secara esensial dan kemestian sampainya objek pada subjek, serta kehadiran objek pada subjek, merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, baik secara husüli maupun hudūrī.

P: 58


1- 40. Mudzaffar, Al-Mantiq (Qom: Daftar Tablighat Islomi, 1374), hlm.57.

b. Tidak mungkin suatu wujud masuk ke wujud lain yang berbeda karena akan menyebabkan sesuatu itu satu sekaligus plural. Berdasarkan logika, hal ini tidak mungkin karena akan menyebabkan ijtima' al-naqidayn (bersatunya dua hal yang bertentangan).

c. Jika objek tidak menyatu dalam diri subjek, maka diliputi dengan apa objek tersebut? Apakah dengan zat yang terpisah dari bentuknya yang meliputi bentuk dirinya? Dan hal demikian tentulah tidak mungkin.

d. Jika yang masuk ke dalam diri subjek bukanlah zat objek, maka subjek sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap objek bersangkutan, tetapi pengetahuannya terhadap objek lain yang berbeda.

e. Ilmu bersifat nonmaterial. Jika persepsi terjadi pada objek material, maka ilmu terhadap objek material ini bukanlah pada objek. Hal itu berarti ilmu tersebut tidaklah sesuai dengan objek dan subjek sama sekali tidak memiliki ilmu terhadap objek.

f. Subjek mengetahui zatnya sendiri sehingga pada saat yang sama merupakan objek. Dengan demikian, dirinya sendiri menjadi subjek dan pada saat yang sama merupakan objek serta proses persepsinya pun terjadi di dalam dirinya.

g. Tuhan memiliki pengetahuan terhadap Diri-Nya dan ilmu- Nya merupakan Zat-Nya, serta prosesnya pun tentulah berada di dalam Diri-Nya. Tuhan adalah Wujud Sederhana yang tidak terkomposisi dari selain Diri-Nya. Karenanya, terjadi Ittihad al-'Āqil wa al-Ma'qul di dalam diri Tuhan.

Bagi Mulla Sadra, seluruh pengetahuan intelektual terjadi melalui penyatuan dengan akal aktif. Akal aktif sebagai intelek,

P: 59

yang menciptakan segala bentuk materi, dan dengan alam inilah jiwa manusia disatukan ketika subjek menjadi penerima pengetahuan intelektual. Agak sulit untuk tidak menyatakan bahwa prinsip ini dipengaruhi oleh teori Idea Platonik, sekalipun secara khusus, Mulla Sadra melakukan bantahan terhadap teori tersebut. Teori Epistemologi ini sepertinya merupakan usaha Mulla Sadra untuk membuktikan kebenaran wahyu, ilham, atau intuisi yang sering dibicarakan dalam teologi maupun tasawuf.

Dalam filsafat, prinsip ini menjadi bagian penting penyelesaian subjektifitas dan objektifitas pengetahuan yang belakangan di dunia modern, menjadi persoalan mendasar dalam Hermeneutik.

8. Alam Imajinal (Al-'Alam Al-Mitsal)

‘Alam al-Mitsāl (selanjutnya disebut alam imajinal) merupakan alam yang berada di antara alam Jabarut, alam Mulk dan alam Syahādah. Alam imajinal merupakan alam ruhaniah yang pada satu sisi dari segi adanya bentuk dan ukuran dapat terinderai mirip dengan substansi jasmani, dan pada sisi yang lain, dari segi pancaran cahayanya, mirip dengan substansi intelek. Alam imajinal, dari sisi keterpisahannya dari materi, merupakan alam ruhaniah, dan dari sisi adanya ukuran dan bentuk, mirip dengan alam yang memiliki hukum kejadian dan kehancuran (al-kawn wa al-fasād). (1) Ide tentang alam imajinal sudah dimulai oleh Syaikh Isyraq Suhrawardi maupun Ibn 'Arabi. Para filsuf Peripatetik menolak ide ini karena bagi mereka, pada diri manusia tidak terdapat alam antara; diri manusia merupakan gabungan dari materi dan ruhani sehingga tidak menyisakan ruang bagi adanya alam di

P: 60


1- 41.Alam materi memiliki hukum perubahan yang disebut kejadian dan kehancuran. Namun secara khusus di dalam filsafat, terdapat teori yang secara khusus disebut Kawn wa al- Fasad yang merupakan teori yang berasal dari Al-Farabi yang menyatakan ketiadaan ikatan dan keterpeliharaan rangkaian wujud; keterwujudan satu makhluk setelah kehancuran makhluk yang lain, begitu pun sebaliknya ,tanpa harus ada dimensi kaitan antar makhluk tersebut. Untuk lebih jelas lihat: Al-Kawn wa Al-Fasad, Al-Farabi.

antara keduanya.(1) Mulla Sadra melampui Syaikh Isyraq dan Ibn 'Arabi dalam mensistematisasi prinsip ini. Di tangan Mulla Sadra-lah argumentasi rasional terhadap keberadaan alam ini dipaparkan.

Jalaluddin Astiyani mendefinisikan alam imajinal sebagai berikut:

"Alam Imajinal merupakan alam ruhani yang transenden dan mewujud pada substansi cahaya atau bercahaya yang dari sisi fisik, memiliki forma fisik yang dapat diinderai, memiliki ukuran, serupa dengan substansi fisik yang ada pada alam materi dan dari sisi transendensinya terlepas dari gerakan, perubahan, kejadian dan kehancuran. Serupa dengan alam-alam intelek yang berasal dari substansi ruhaniah dan intelek yang suci serta ruh-ruh yang tinggi dan huruf-huruf yang agung. "(2) Pada alam imajinal itulah terjadi beragam persepsi dan munculnya berbagai objek imajinal yang menjadi persepsi manusia. Karenanya bagi Mulla Sadra, beragam bentuk penyaksian terjadi di alam ini, baik ketika Jibril menggambarkan

P: 61


1- 42. Malikheh Sobiri, “Alam Mitsal va Tajarud Khiyol" dalam jurnal Kherad Nomeh Shadro, (Tehran: Omuzise Farhangge, 1419), Vol. 12, hlm. 72.
2- 43. Jalaluddin Asiyani, Risoleh Nuriyeh dar Alame Mitsal (Tehran: Sozmon Tablighate Islomi, 1372) hal. 45. Teks aslinya sebagai berikut: عا لم مثالی عبارت است از عالمی روحانی ومجرد و موجوداز جوهری نوری یا نورانی که از لحاظ جسمیت و تجسم یعنی جسم بودن و محسوس و متقدر بودن شبیه جواهر جسمانی موجو در عالم ماده واز حیث تجرد و براءت از قبول حرکت واباء از تغیر وکون و فساد شبیه است به عوالم عقلانی از جواهر مجرده و عقول مطهره وارواح عالیه و حروف عالیات

sosoknya sebagai Dihya al-Kalbi maupun suara-suara yang merdu. Berbagai bentuk supranatural dapat dipahami melalui alam ini yang kemudian melahirkan bentuk material sehingga muncul berbagai keindahan, baik melalui irama musik yang merdu, lukisan yang indah, maupun kata-kata yang puitis.

Alam imajinal, pada intinya, adalah ‘alam pencitraan bagi alam ruhaniah ketika akan turun menuju alam material'. Segala bentuk idea atau prinsip ilmu terlebih dahulu membentuk citra pada alam ini dalam rangkaian bentuk sehingga segala bentuk yang ada di alam materi ini ada citranya di alam imajinal tersebut.

Al-Qaysari menggambarkan bahwa seluruh makna, baik dalam kurva naik (qaws al-shu'ūd)(1) maupun dalam kurva turun (qaws al-nuzūl), memiliki bentuk-bentuk imajinal dan sesuai dengan kesempurnaannya karena alam imajinal merupakan tempat manifestasi seluruh hakikat. Setiap hakikat dari nama Zahir memiliki wujud dalam alam tersebut, begitu pun hakikat dari alam arwah ataupun alam intelek. (2) Mulla Sadra secara tegas menyatakan keyakinannya akan adanya alam ini,"Saya adalah salah satu di antara orang yang berkeyakinan bahwa alam ide sebagai pilar filsafat benar-benar ada, seperti yang telah dicapai oleh orang-orang yang memiliki intuisi,... dan seperti yang disampaikan oleh Syaikh Isyraq." (3) Untuk membuktikan keyakinannya ini, Mulla Sadra mengemukakan beberapa argumentasi,(4) yaitu:

a. Forma-forma yang disaksikan seseorang di dalam mimpi dan segala sesuatu yang disaksikan secara mental atau jika seseorang membayangkan sesuatu, maka semua forma tersebut adalah wujud. Tidak mungkin forma-forma tersebut adalah otak yang merupakan bagian dari raga materi karena

P: 62


1- 44. Para urafa membagi dua bagian rotasi wujud yang turun dan naik. Yang turun disebut Qausi al-Nuzul yaitu berkaitan dengan teodesi, semesta yang berasal dari tingkat ruhaniah, mitsaliyah hingga material; sedangkan yang naik disebut Qaus al-Su’ud, yaitu berkaitan dengan Eskatologi, semesta yang berasal dari tingkat material, barzakh, atau kubur hingga akhirat.
2- 45. Qaysari, Syarh Fushūs Al-Hikam (Qom: Instisyarat Bidor,1363), hlm. 29.
3- 46. Mulla Sadra, Al-Asfar J.I hal. 302. Teks aslinya sebagai berikut: " علم أنا ممن یؤمن بو جودالعالم هم المقداری الغیر المادی کما ذهب إلیه أساطین الحکمة و أئمة الکشف حسبما حره وقرره صاحب الاشراق..."
4- 47. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. I, hlm. 302 — 306.

raga memiliki kondisi-kondisi fisik (seperti ruang, kuantitas dan lain-lain) yang tidak dimiliki oleh forma-forma imajinatif tersebut. Di samping itu, intelek intuitif telah membuktikan ketidakmungkinan sesuatu yang berukuran besar berada di dalam sesuatu yang berukuran kecil, seperti halnya otak.

Walaupun demikian, forma-forma tersebut ada dengan keberadaan yang berbeda dengan forma-forma fisik.

b. Jika bentuk-bentuk imajinatif berada di dalam bagian otak atau organ indra tertentu, seperti halnya yang dipahami oleh kebanyakan filsuf, makaforma-formatersebutakan mengambil tempat tertentu yang tidak bisa lagi ditempati bentuk lain. Di samping itu, keadaan ini juga tidak mungkin karena forma- forma tersebut akan memerlukan ruang tertentu. Ternyata, fakta membuktikan bahwa seseorang dapat mengingat sekian banyak pekerjaan, menyaksikan iklim-iklim yang berbeda, kota dan keajaibannya; padahal, forma-forma dari objek tersebut tetap tinggal di dalam memori dan imajinasi orang tersebut. Melalui intuisi dapat pula diketahui bahwa pneuma otak tidak mungkin memuat forma-forma tersebut di atas.

Di samping itu, jika semua bentuk tersebut berada dalam satu korpus, maka imjinasi akan mirip dengan lembaran yang berisi sketsa semua bentuk yang saling tumpang tindih sehingga tidak bisa dibedakan antara satu bentuk dengan bentuk yang lain. Namun, jelas bahwa imajinasi tidaklah seperti itu; imajinasi dapat membedakan satu forma dengan forma yang lainnya tanpa adanya pencampuran. Oleh karena itu, kita mengetahui bahwa forma-forma imajinatif itu tidak menempati ruang di dalam pneuma otak, tetapi forma- forma tersebut mewujud karena jiwa di dalam kekuatan

P: 63

imajinatifnya yang pasti bukan bersifat material.

c. Jika fakultas imajinatif ada di dalam tubuh materi, maka fakultas imajinatif tersebut pasti memiliki wujud materi pula. Dalam keadaan ini, jika seseorang membayangkan suatu wujud dan imajinasi teraktualkan di dalam wujud itu, maka imajinasi ini akan memerlukan integrasi kedua wujud dalam materi yang sama, suatu keadaan yang tidak mungkin.

d. Jika fakultas imajinatif adalah tubuh materi, maka fakultas tersebut akan memiliki sifat seperti bagian-bagian tubuh materi yang lain, yakni lapuk dan usang atau bertambah dan berkurang karena ada-tidaknya asupan. Dalam kasus ini, forma-forma imajinatif juga akan mengalami proses seperti dasar pijakannya, yakni fakultas imajinatif tersebut.

Mulla Sadra menyebutkan bahwa Alam Imajinal, dari sisi posisinya berada, baik pada kurva naik maupun kurva turun: pada kurva naik, tidak lain, merupakan alam barzakh yang merupakan tempat keberadaan bagi jiwa pascaberpisah dari raga, sedangkan alam imajinal pada kurva turun merupakan alam yang berada di antara alam ruhaniah dan materi. Penggambaran alam imajinal pada kurva turun ini, seperti yang telah digambarkan pada awal penjelasan, berawal dari terciptanya forma ruhaniah dari intelek

P: 64

terakhir dan untuk sampai pada materi, haruslah ada dimensi antara yang menjembatani keduanya.(1) Penggambaran tentang Alam Imajinal seringkali disamakan dengan alam Idea Plato, mengingat alam Idea Plato merupakan alam bagi seluruh forma intelek(2) yang bersifat ruhaniah.

Kesalahan pandangan ini karena penyetaraan terhadap forma nonmateri yang terjadi pada keduanya. Namun sesungguhnya, keduanya sangat berbeda karena pada pandangan Mulla Sadra, alam imajinal merupakan realitas alam tersendiri dengan beragam spesifikasinya serta korpus yang real bagi forma-forma imajinal.

Para peneliti belakangan menyebut alam ini sebagai Mitsal al- Mua'alaqah, sebagai pembeda bagi alam idea Plato.(3) Kita dapat menyamakan konsep alam imajinal yang dikemukakan Mulla Sadra ini dengan alam imajinal yang digagas Ibn Arabi karena kesetaraan posisi dan karakter, bahkan konsep alam imajinal Mulla Sadra hanya merupakan sistematisasi alam imajinal Ibn Arabi. Kita dapat menemukan kesetaraan tersebut dalam semua aspeknya, termasuk dalam kategori yang dibuat Mulla Sadra.

Mulla Sadra, seperti halnya Ibn Arabi, membagi Alam Imajinal menjadi dua bagian: alam imajinal mutlak atau imajinal terpisah (Mitsal al-Mutlaq aw Munfasil) dan alam imajinal tidak mutlak atau imajinal bersambung (Mitsal al-Muqayyad aw Muttasil). Alam imajinal mutlak dan terpisah merupakan alam imajinal yang independen dan hakiki, yang merupakan forma dari segala sesuatu yang terwujud dalam satu kondisi yang sama di antara kehalusan ruhaniah dan kepadatan materi, sedangkan alam imajinal tidak mutlak atau bersambung merupakan alam imajinal yang tidak terpisah dari jiwa seseorang dan menampilkan beragam forma yang berasal dari alam imajinal

P: 65


1- 48. Lihat: Al-Asfar, J. III, hlm. 412.
2- 49. Lihat: Kholid Al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra (Bandung: Muthahari Press, 2005), hlm. 95.
3- 50. Malikheh Sobiri, “Olam Mitsal va Tajarrud Khiyol", dalam Kherad Nomeh Sadro, Vol. 15, hlm. 71 – 72.

mutlak atau terpisah.(1) Upaya Mulla Sadra mengemukakan gagasan alam imajinal dalam bagian prinsip filsafatnya merupakan usahanya untuk membuktikan kebenaran bentuk penyaksian ruhaniah yang tidak sekedar hasil pencitraan yang terjadi pada pneuma otak, sebagaimana yang dipahami Ibn Sina.(2) Mulla Sadra mengalami banyak penyaksian ruhaniah sehingga mungkin, mendorongnya untuk menjelaskan prinsip alam imajinal ini. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya bahwa pembuktian adanya alam imajinal ini terkait erat dengan konsep Epistemologi yang dikembangkan Mulla Sadra serta upaya Mulla Sadra untuk menjelaskan forma raga pascakematian dan berpisahnya jiwa dengan raga materi. Jelas, prinsip ini sangat berkaitan erat dengan pandangan Eskatologi yang digagas Mulla Sadra.

P: 66


1- 51. Beragam kesamaan antara alam imajinal yang dikembangkan Mulla Sadra dengan alam imajinal Ibn Arabi dapat kita lihat pada Malikheh Sobiri, Olam Mitsal, hlm. 72–73.
2- 52. Lihat: Latimah Parvin Peerwani, Mulla Sadra on Imaginative Perception and Imaginal World, dalam Transcendent Philosophy Journal, Vol. 1 No. 2, Sepetmber 2007.

Catatan3:

1. Terjadi perbedaan dalam penerjemahan kata Asalat. S.H. Nasr menggunakan kata prinsipiality, Fazlur Rahman menggunakan kata priority dan beberapa pemikir lainnya menggunakan kata reality. Penggunaan kata keutamaan disini mengacu pada kata yang digunakan Fazlur Rahman, yaitu priority.

Prinsip regresi atau tasalsul merupakan prinsip logika yang dikembangakan Aristoteles dan kemudian digunakan oleh seluruh filsuf Muslim abad pertengahan untuk menunjukkan ketidaklogisan pandangan-pandangan yang menyebabkan regresi. Banyak argumen yang dikemukakan para filsuf untuk menolak persoalan ini dan di antara yang terkenal adalah argumentasi wasat (tengah) yang dikemukakan Ibn Sina. Argumentasi tersebut sebagai berikut: “Sekiranya kita membuat garis dan pada awal garis pertama (A) kita sebut sebagai sebab dan pada ujung garis (C) kita sebut sebagai akibat, kemudian kita taruh satu titik di tengah garis tersebut (B) kita sebut sebagai akibat bagi A dan sebab bagi C, maka sekiranya garis tersebut dipanjangkan seberapa pun panjangnya, maka akal tetap akan menyatakan ada dua titik ekstrim di awal (A) dan di akhir (C) yang pertama kita sebut sebagai Sebab murni dan yang akhir kita sebut sebagai akibat murni. Maka jelas ketidakmungkinan regresi di sini.

3. Lihat: Rahman, Philosophy of Mulla Sadra, hal. 35.

4. Lihat: Mulla Sadra, al-Asfar, J. I hal. 38-73.

5. Thabathaba'i, Bidayah al-Hikmah (Qom: Muasasah al-Nasyr al-Islami, 1415), hlm. 13.

6. Kita dapat melihat diskursus dalam hal tersebut pada kitab Al-

P: 67

7.Ilahiyat Al-Syifa karya Ibn Sina atau Al-Matolib Al-Aliyyah karya Al-Razi.

Pengistilahan Tasykik menjadi Ambiguitas karena pada kata Tasykik terkandung Univok (Wahdah) dan Ekuivok (Katsrat)., karena disebutkan bahwa al-Wujud wahdah fi ayni al-Katsratihi wa Katsrah fi ayni wahdatihi. Sebagian juga menggunakan kata Gradasi untuk pengistilahan kata Tasykik.

8. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 1, hlm. 79.

9. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.1, hlm. 70–71.

10. Teori intelek atau akal sepuluh, pada awalnya, dikembangkan oleh Al-Farabi dan kemudian diteruskan oleh Ibn Sina. Lihat:

Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 110–115.

11. Untuk lebih jelas tentang teori Ibn Sina, dalam hal ini, silahkan baca Ibn Sina, Al-Isyarāt wa Al-Tanbihat, J. II, hlm. 57, dan Thabathaba'i, Nihayah Al-Hikmah, hlm. 18.

12. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. I, hlm. 432.

13. Untuk melihat kedekatan kedua prinsip ini, kita dapat melihat tulisan David B. Burrel, Existence Deriving from “The Existent":

Mulla Sadra's dialectic with Ibn Sina and Ibn Al-Arabi. Tulisan ini dapat diakses pada www.mullaSadra.org.

Postulat tersebut berbunyi “Hukm al-Amtsal fima yajuz wa fima la yajuz wahidun” (hukum keserupaan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan adalah satu). Yang dimaksud adalah bahwa peristiwa apa pun yang terjadi pada dua bentuk yang serupa haruslah sama. Jika tidak, maka ada bagian yang membedakan keduanya. Untuk lebih jelasnya lihat Thabathaba'i , Bidayah, hlm. 24.

15. Sofis adalah kelompok filsuf muda di Yunani yang berusaha 14. Postu

P: 68

menghancurkan bangunan filsafat Parmenides dan mereka memiliki pandangan skeptis pada realitas. Tokoh utamanya, Georgias, menyimpulkan tiga hal: 1) tak satupun yang ada, 2) jika ada sesuatu pun, tak ada yang dapat dipahami, 3) jika sesuatu dapat dipahami, orang tak dapat mengatakan apa pun tentangnya. Lihat: Sejarah Filsafat, hlm. 79–87.

16. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. II, hlm. 354.

17. Mahdi Astiyani bahkan menulis buku khusus untuk menjelaskan prinsip ini dengan judul Asas Al-Tauhid (Tehran:

Amir Kabir, 1377) dan Alamah Thabathaba'i menulis buku Risalah Al-Tauhid.

18. Mir Damad, Qabsat (Qom: Chop Bidor, 1373), hlm. 232 Teks tersebut berbunyi :

"من أمهات الأصول العقلیة أن الواحد بما هو واحد لا یصدر عنه من تلک الحیثیة إلا واحدا فلعل هذا الأصل بما تلوناه علیک من فطرابات العقل " Julle 19. Lihat: Al-Farabi, Majmu'ah Rasa'il Al-Farabi (Iran: Haydar Abad, tth.), hlm. 7. Selanjutnya disebut Majmu'ah.

20. Lihat: Plotinus, Utsulujiyya (Qom: Intisyarat Bidor, 1413), hlm. 67.

21. Lihat: Ibn Rusyd, Tafsir Ma Ba’da Tabi'ah (Tehran: Intisyarat Hikmah, 1377), J. II, hlm. 160.

22. Lihat: Turan Koc, Body-Mind Relationship with Regard to Life after Death according to Mulla Sadra (Tehran: Siprin, 2005), hlm. 12.

23. Lihat: Ibn Sina, Al-Isyarat, J. II, hlm. 106.

24. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 7, hlm. 204. Teks tersebut berbunyi:

"هذه الأصول الممهدة التی قد مر ذکر هما مما یستقل به العقل النظری

P: 69

الذی لیس لعینه غشاوة التقلید ولا لمراآته رین العصبیة وظلمة العناد لاثبات أن الواحد الحق الصرف وکذا الواحد بما هو واحد لا یصدر عنه من تلک الحیثیة الا واحد وان لیس فی طباع الکثرة-بما هی کثرة أن تصدر عن الواحد ان یصدر عنها مبدعان مقابل واحد فواحدا إلی أن یتکثر الجهات والحیثیات وینفتح باب الخیرات" 25. Persoalan kenapa hanya sampai pada intelek kesepuluh adalah pertanyaan yang agak sulit untk mendapatkan jawaban yang memadai. Jawaban yang dikemukakan, pada umumnya, karena intelek kesepuluh sudah sedemikian jauhnya dari sumber wujud sehingga tidak mampu lagi menciptakan intelek berikutnya. Apa argumentasi logis untuk ini sama sekali tidak kita temukan pada karya-karya filsuf Muslim abad pertengahan tersebut. Haidar Bagir menyatakan bahwa pembatasan sampai pada akal kesepuluh disebabkan oleh pengetahuan astronomi masa itu, yang diwarnai oleh Ptolemeus, yang menyatakan bahwa planet berjumlah sepuluh. Lihat: Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, hlm. 109.

26. Pada umumnya, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, sepuluh intelek yang muncul, tetapi Nasiruddin Tusi ketika menjelaskan tentang persoalan ini, berpendapat bahwa sepuluh intelek tersebut dapat diringkas menjadi tiga intelek utama. Lihat: Al-Isyārat, J. II, hlm. 109.

27. Al-Gazhali, Tahafut, hlm. 132.

28. Al-Gazhali, Tahafut. hlm. 120–129. Pernyataan Al-Ghazali tersebut sebagai berikut:

“Hal ini merupakan kekacauan dalam dasar pandangan mereka, bahkan tidak tergambarkan berdasarkan prinsip- prinsip mereka bahwa alam semesta ini merupakan ciptaan Allah.

29. Lihat: Al-Fakhrurozi, Mabahits al-Masyriqiyyah (Qom: Cop

P: 70

Bidor, 1411), J. I, hlm. 466.

30. Diterjemahkan sebagai gerakan transubstansial di sini mengacu pada penerjemahan yang dilakukan S.H. Nasr, yaitu Transubstansial Motion.

31. Lihat: Ibn Rusyd, Talkhis Al-Kawn wa Al-Fasad (Beirut: Dar Al- Gharb Al-Islami, 1995), hlm. 51.

32. Lihat: Ibn Sina, Al-Isyārat, J. II, hlm. 33. Lihat juga Murtadha Mutahari, Harakat va Zamon dar Falasafeh Islomi (Tehran:

Intisyarat Hekmat, 1411), J. III, hlm. 305.

33. Pandangan Mir Damad ini dapat kita lihat pada karyanya, Al- Qabsat, hlm. 183— 238.

34. Jalaluddin Rakhmat, “Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah: Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd" dalam Mulla Sadra, Kearifan Puncak (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xix.

35. Untuk lebih jelasnya, Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 3, hlm. 85.

36. Untuk lebih jelas tentang pandangan ini, kita dapat merujuk pada Al-Asfar, J. III, hlm. 437 atau Ghulam Husayn Ibrahi Dinani, Qawaid Kulli Falsafi dar Falsafeye Islomi (Tehran, Pezuhisgoh, 1993), J. I, hlm. 87.

37. Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm.

132.

38. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.3. hlm. 337. Teks aslinya sebagai berikut:

إن النفس إذا عقلت شیئا صارت عین صورته العقیلة ... إن النفس الإنسانیة من شأنها أن تدرک جمیع الحقائق وتتحد بها 39. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.I, hlm. 71.

40. Mudzaffar, Al-Mantiq (Qom: Daftar Tablighat Islomi, 1374), hlm.57.

P: 71

Alam materi memiliki hukum perubahan yang disebut kejadian dan kehancuran. Namun secara khusus di dalam filsafat, terdapat teori yang secara khusus disebut Kawn wa al- Fasad yang merupakan teori yang berasal dari Al-Farabi yang menyatakan ketiadaan ikatan dan keterpeliharaan rangkaian wujud; keterwujudan satu makhluk setelah kehancuran makhluk yang lain, begitu pun sebaliknya ,tanpa harus ada dimensi kaitan antar makhluk tersebut. Untuk lebih jelas lihat:

Al-Kawn wa Al-Fasad, Al-Farabi.

42. Malikheh Sobiri, “Alam Mitsal va Tajarud Khiyol" dalam jurnal Kherad Nomeh Shadro, (Tehran: Omuzise Farhangge, 1419), Vol. 12, hlm. 72.

43. Jalaluddin Asiyani, Risoleh Nuriyeh dar Alame Mitsal (Tehran:

Sozmon Tablighate Islomi, 1372) hal. 45. Teks aslinya sebagai berikut:

عا لم مثالی عبارت است از عالمی روحانی ومجرد و موجوداز جوهری نوری یا نورانی که از لحاظ جسمیت و تجسم یعنی جسم بودن و محسوس و متقدر بودن شبیه جواهر جسمانی موجو در عالم ماده واز حیث تجرد و براءت از قبول حرکت واباء از تغیر وکون و فساد شبیه است به عوالم عقلانی از جواهر مجرده و عقول مطهره وارواح عالیه و حروف عالیات 44. Para urafa membagi dua bagian rotasi wujud yang turun dan naik. Yang turun disebut Qausi al-Nuzul yaitu berkaitan dengan teodesi, semesta yang berasal dari tingkat ruhaniah, mitsaliyah hingga material; sedangkan yang naik disebut Qaus al-Su’ud, yaitu berkaitan dengan Eskatologi, semesta yang berasal dari tingkat material, barzakh, atau kubur hingga akhirat.

45. Qaysari, Syarh Fushūs Al-Hikam (Qom: Instisyarat Bidor, 1363), hlm. 29.

46. Mulla Sadra, Al-Asfar J.I hal. 302. Teks aslinya sebagai berikut:

P: 72

" علم أنا ممن یؤمن بو جودالعالم هم المقداری الغیر المادی کما ذهب إلیه أساطین الحکمة و أئمة الکشف حسبما حره وقرره صاحب الاشراق..." 47. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. I, hlm. 302 — 306.

48. Lihat: Al-Asfar, J. III, hlm. 412.

49. Lihat: Kholid Al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra (Bandung:

Muthahari Press, 2005), hlm. 95.

50. Malikheh Sobiri, “Olam Mitsal va Tajarrud Khiyol", dalam Kherad Nomeh Sadro, Vol. 15, hlm. 71 – 72.

51. Beragam kesamaan antara alam imajinal yang dikembangkan Mulla Sadra dengan alam imajinal Ibn Arabi dapat kita lihat pada Malikheh Sobiri, Olam Mitsal, hlm. 72–73.

52. Lihat: Latimah Parvin Peerwani, Mulla Sadra on Imaginative Perception and Imaginal World, dalam Transcendent Philosophy Journal, Vol. 1 No. 2, Sepetmber 2007.

P: 73

P: 74

BAGIAN KETIGA PRINSIP-PRINSIP ESKATOLOGI

Point

mulla Sadra, dalam mengemukakan pandangan- pandangan Eskatologinya, memberikan landasan filosofis yang didasarkan pada prinsip-prinsip filsafat yang dikembangkannya. Landasan filosofis ini merupakan kerangka dasar Mulla Sadra untuk merumuskan pandangan Eskatologinya.

Karena itu, kita dapat menyebut landasan filosofis tersebut sebagai prinsip-prinsip Eskatologi. Adapun prinsip-prinsip dasar eskatologi yang dikemukakan Mulla Sadra, antara lain, Argumentasi Eskatologis, Realitas Jiwa, Persoalan Reinkarnasi, Sebelas Prinsip Dasar Eskatologi, Kritik Pandangan Eskatologi Pemikir Muslim, dan Jawaban Mulla Sadra atas Persoalan Eskatologi.

1. Argumentasi Eskatologis

Jawadi Amuli,(1) komentator utama Mulla Sadra saat ini, dengan menggunakan dasar al-Hikmah al-Muta’āliyyāh, menghimpun tujuh argumentasi rasional (2)dalam upaya pembuktian eskatologi. Tujuh argumentasi itu, antara lain, Argumentasi Gerakan dan Tujuan, Argumentasi Hikmah, Argumentasi Rahmat, Argumentasi Hakikat, Argumentasi Keadilan, Argumentasi Transendensi Ruh, dan Argumentasi Kerinduan akan kehidupan Abadi. Penjelasan tujuh argumentasi tersebut sebagai berikut:

a. Argumentasi Gerakan dan Tujuan Argumentasi ini terdiri di atas prinsip gerakan

P: 75


1- 1. Jawadi Amuli merupakan seorang ulama Syi'ah yang digelari Ayatullah yang sangat disegani di Kota Qom. Dilahirkan di Kota Amul (utara Iran) 1325 HQ (thn Iran). Saat ini, ia dianggap sebagai perwakilan utama dari aliran filsafat Sadrian di Iran. Merupakan pengajar utama kitab al-Hikmah al-Muta’aliyyah dan telah melahirkan filsuf-filsuf besar. Di antara muridnya yang cukup terkenal adalah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
2- 2. Jawadi Amuli, Dah Maqolehye piromune Mabda va Ma'ad (Tehran: Intisyarat Al-Zahra', 1372), hlm. 281.

transubstansial yang dikemukakan Mulla Sadra. Susunan logis argumentasi ini sebagai berikut: Alam materi dengan segala apa yang ada di dalamnya, baik itu yang ada di langit ataupun yang ada di bumi, mulai dari bebatuan, tumbuh-tumbuhan, binatang hingga manusia merupakan kesatuan hakiki yang sesuai satu sama lain dan kesemuanya melakukan aktivitas gerakan.

Gerakan merupakan gambaran dari aktualisasi potensi, yaitu dari persiapan khusus menuju kesempurnaan yang khusus.

Oleh karena itu, tujuan menjadi sebuah keharusan karena tidak mungkin ada gerakan tanpa tujuan. Jika setiap tujuan yang dihasilkan mengantarkan pada tujuan yang lain, kita dapat menyimpulkan bahwa dibalik itu, semua ada tujuan yang paling akhir atau tujuan hakiki. Ketika subjek yang bergerak tiba pada tujuan hakiki tersebut, dia akan menemukan ketenangan dan gerakan berubah menjadi statis.

b. Argumentasi Hikmah Argumentasi ini dibangun dengan beberapa premis, antara lain, Pertama, Allah Swt. adalah Zat Yang Hakim. Maksudnya, tidak mungkin keluar dari diri Allah Swt. tindakan yang tanpa tujuan atau sia-sia. Sisi lain Allah Swt. adalah Zat Mutlak Yang Mahasempurna sehingga tidak menuntut atau membutuhkan kesempurnaan yang lain.

Kedua, perbuatan Allah Swt., di antaranya, adalah menciptakan alam semesta, termasuk manusia di dalamnya dengan dasar Hikmah Ilahi: bahwa setiap makhluk memiliki tujuan yang khusus.

Ketiga, tujuan akhir dari setiap ciptaan, termasuk manusia,

P: 76

adalah sampainya pada kesempurnaan yang kekal dan abadi, yang semua itu tidak mungkin ada dalam kehidupan dunia ini.

Karenanya, haruslah ada kehidupan lain yang sesuai dengan tujuan tersebut.

Dari tiga premis tersebut, kita dapat menyimpulkan- berdasarkan Hikmah Ilahi – bahwa di balik kehidupan dunia yang terbatas ini, ada kehidupan lain yang sempurna dan abadi, yang merupakan tempat bagi tujuan kehidupan manusia dan semua makhluk, terutama manusia, pada akhirnya, akan mencapai tujuan akhir tersebut.

c. Argumentasi Rahmat Salah satu sifat utama yang ada pada Allah Swt. adalah sifat Rahmat dan sifat ini memiliki makna 'melepaskan atau mengangkat kebutuhan dari setiap yang membutuhkan dan memberikan kesempurnaan yang sesuai dengan potensi dari setiap wujud'. Pada diri manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dan keabadian. Karenanya, berdasarkan sifat Rahmat, Allah Swt.

memberikan kepada manusia kesempurnaan yang sesuai dengan kebutuhan manusia tersebut. Karena Allah Swt. adalah Zat Yang Mahakuasa dan Penguasa Yang Mutlak, tidak ada yang dapat menghalangi turunnya rahmat tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa manusia akan memiliki kehidupan yang abadi.

d. Argumentasi Hakikat Allah Swt. adalah kebenaran murni yang terlepas dari-Nya segala bentuk kekeliruan maupun kesalahan (batil). Untuk dapat melepaskan berbagai kesalahan dan kekeliruan hanya dengan

P: 77

terpancarnya hakikat diri Allah Swt. Perbedaan dan pertikaian antara kebenaran dan kekeliruan terjadi dan dapat disaksikan dalam alam semesta ini serta wajah hakiki kebenaran tidaklah terpancar di dunia ini. Hal itu disebablan oleh alam ini bukan merupakan tempat yang memadai bagi terpancarnya kebenaran murni tersebut. Karenanya, menjadi kemestian adanya saat atau masa sebagai fase dari terpancarnya kebenaran dan kesalahan menjadi hilang. Hal ini tidak akan mungkin terjadi, kecuali dengan hadirnya masa kebenaran yang seluruh hakikat yang ada pada manusia terungkapkan dan seluruh bentuk kebenaran terpancarkan.

e. Argumentasi Keadilan Allah Swt. memiliki sifat adil yang menunjukkan bahwa Allah Swt. sedikitpun tidak akan berbuat kezaliman. Di alam dunia ini, kita menyaksikan bahwa perbuatan manusia, baik itu perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat, tidak mendapatkan balasan atau ganjaran. Karenanya, sifat Adil Allah Swt. menunjukkan akan adanya alam pembalasan bagi semua perbuatan tersebut dan alam tersebut, tidak lain, adalah alam akhirat sebagai tempat terpancarnya keadilan Allah Swt..

f. Argumentasi Transendensi Ruh Hakikat manusia, pada intinya, adalah transenden dan nonmateri. Sebagai bukti untuk itu adalah kesadaran manusia akan dirinya bersifat huduri dan persepsi terhadap segala objek eksternal melalui proses berpikir. Hakikat ternasenden ini dinamakan sebagai “ruh". Berbagai ketentuan materi, seperti kematian atau kehancuran, tidak berlaku baginya. Karenanya,

P: 78

kematian tidak lebih bermakna ,lepasnya ruh dari kurungan raga dan berpindah ke alam yang lain' dan kebangkitan tidaklah bermakna kehidupan kembali ruh, melainkan terikatnya ruh pada raga yang baru kembali.

g. Argumentasi Kerinduan akan kehidupan Abadi Merupakan fitrah pada diri manusia adanya kerinduan akan kehidupan abadi. Tanpa ada wujud eksternal yang dirindukan manusia tersebut adalah satu hal yang bertentangan dengan sifat hikmah Allah Swt.. Kehidupan abadi tidak akan mungkin terjadi di alam dunia ini. Karenanya, pastilah ada alam lain yang menjadi tempat bagi kehidupan abadi manusia.

Argumentasi yang dikembangkan Jawadi Amuli ini, terlihat jelas, didasari oleh prinsip-prinsip yang dikembangkan Mulla Sadra. Karenanya, untuk dapat menerima argumentasi- argumentasi yang dikembangkan Jawadi Amuli tersebut, terlebih dahulu harus menerima prinsip-prinsip filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra.

Di antara persoalan yang tidak terlalu dalam dikembangkan Mulla Sadra dalam filsafatnya adalah persoalan fisika yang sebelumnya pada tradisi Filsafat Peripatetik cukup mendapatkan ruang kajian yang luas. Paling tidak, sekiranya argumentasi- argumentasi eskatologis yang di simpulkan Jawadi Amuli

P: 79

dari Mulla Sadra tersebut mengambil pendekatan fisika, akan sangat membantu bagi peneliti barat modern untuk meyakini kebenaran eskatologi.

Namun demikian, argumentasi-argumentasi di atas, secara umum, cukup memadai untuk membuktikan bagi kita bahwa peristiwa kebangkitan pasti akan terjadi dan ada alam di balik alam materi ini; yang pada alam tersebut semua realitas terungkap. Argumentasi-argumentasi ini mengantarkan kita untuk dapat meyakini bahwa eskatologi adalah sebuah kebenaran.

2. Realitas Jiwa

Salah satu bagian mendasar dalam pembahasan eskatologi adalah pembahasan realitas jiwa karena bagaimanapun, argumentasi yang dikemukakan tentang eskatologi, semuanya bergantung pada pembuktian tentang jiwa. Mulla Sadra mengemukakan prinsip ini sebagai dasar bagi pandangan Eskatologi yang dibangunnya. Adapun bagian penting dari persoalan jiwa yang perlu dikemukakan, antara lain, a. Argumentasi Adanya Jiwa Jiwa merupakan gambaran dari 'substansi yang secara zatnya nonmateri, tetapi terikat dengan materi dalam aktivitasnya.'(1) Mulla Sadra memberikan bukti bagi keberadaan jiwa dengan mengemukakan tiga bentuk argumentasi"(2) 1) Wujud Mumkin yang Paling Utama dan Tidak Adanya Kesia- siaan dalam Penciptaan Wujud Mumkin (Imkan Al-Asryāf wa ‘Adam Abātsiah Khalq Al-Mumkināt).

Mulla Sadra, dengan argumentasi ini, ingin

P: 80


1- 3. Thabathaba'i, Bidayah, hlm. 69. Teks aslinya sebagai berikut: الجوهر المجرد عن المادة ذات المتعلق بها فعلا
2- 4.Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, j.9, hlm. 6–10.

menunjukkan bahwa Allah Swt. ketika menciptakan makhluk- makhluknya memulai dari penciptaan zat yang paling utama dan paling sempurna. Zat pertama, karena kedekatannya dengan sumber penciptaan dan merupakan ciptaan pertama, maka kualitas dirinya menjadi tidak terbatas. Zat berikutnya memiliki kesamaan dengan yang pertama dalam kesempurnaan, meskipun secara kualitas berada di bawah tingkat yang pertama dan demikian seterusnya, sampai pada tingkat yang paling rendah, yaitu wujud Mumkin yang berada pada batasan aktualisasi potensi menjadi aktual dan memunculkan bentuk-bentuk kehidupan, serta memunculkan efek-efek instingtif yang menuntun makhluk tersebut dalam level kehidupannya untuk terus berlanjut pada tujuan utama kehidupannya. Wujud yang berada pada tingkat ini, yang mengeluarkan potensi menjadi aksi itulah yang disebut dengan jiwa. Unsur-unsur materi yang terwujud hanya memiliki potensi reseptif untuk menerima jiwa.

Proses aktualisasi potensi menjadi aksi merupakan proses penyempurnaan setiap bentuk wujud yang menunjukkan tidak adanya kesia-siaan dari setiap bentuk wujud dan hal ini hanya mungkin terjadi jika pada Wujud mumkin tersebut terdapat elemen yang menggerakkan aktualisasi dan elemen tersebut tidak lain adalah jiwa.

2) Munculnya Efek dari Materi (Sudur Al-Atsār an Al-Ajsām).

Argumentasi ini didasarkan pada efek yang muncul dari forma-forma materi tanpa adanya intervensi luar maupun keinginan untuk menghadirkannya. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi pada indra. Indra memersepsi yang ada di sekitarnya dengan sendirinya, atau gerakan yang terjadi,

P: 81

perkembangan maupun pertumbuhan atau melahirkan jenis yang semisal dengan dirinya. Bagi Mulla Sadra, hal ini tidak mungkin hadir dari materi, sekalipun materi pertama, karena materi utama hanyalah sebagai reseptif secara mutlak tanpa ada kemungkinan baginya untuk melakukan aktivitas apalagi mengeluarkan efek. Oleh karena itu, bagi Mulla Sadra, efek- efek yang terjadi pada bentuk materi di atas pastilah berasal dari sesuatu yang lain selain dari materi dan itulah jiwa.

3) Kehidupan adalah Jiwa (Al-Hayah hiya Al-Nafs) Argumentasi ketiga yang dikemukakan Mulla Sadra adalah argumentasi kehidupan. Ketika kita menyaksikan berbagai makhluk memiliki indra dan mempersepsi gambaran sesuatu, kita mengetahui bahwa makhluk tersebut hidup.

Indra dan kemampuan untuk mempersepsi objek berasal di antara tiga kemungkinan: pertama, sumber utama, yaitu jiwa; kedua, fisik yang memiliki jiwa; ketiga, fisik.

Mulla Sadra menolak dua kemungkinan terakhir karena menurutnya, jika berasal dari fisik yang memiliki jiwa, maka bagaimana mungkin hal tersebut terjadi pada saat yang sama; fisik, tidak lain, merupakan objek yang dikendalikan jiwa, sedangkan kemungkinan bahwa kemampuan untuk mempersepsi hanya berasal dari fisik semata, Mulla Sadra memberikan penjelasan yang lebih dalam. Menurutnya, makna alam semesta, jiwa, dan kehidupan tidak sama karena makna semesta tidak lain, kecuali sebagai forma fisik yang keberadaannya didahului oleh forma lain sebagai sumber bagi keberadaan dan kehidupannya. Mulla Sadra, dalam hal ini, memberikan contoh perahu yang memberikan manfaat tertentu, tetapi manfaat tersebut sangat bergantung

P: 82

kepada kehadiran bentuk lain, yaitu pendayung. Dengan demikian, menurut Mulla Sadra, forma fisik tertentu untuk dapat menghasilkan efek memerlukan bentuk yang lain selain dari dirinya, dan demikian terjadi seterusnya. Kondisi yang seperti ini, menurut Mulla Sadra, bertentangan dengan makna kesempurnaan.(1) b. Substansialitas Jiwa (Jawhariyyāt Al-Nafs) Di antara sepuluh kategori (Ma'qūlat) dalam pembagian kuiditas yang dikemukakan Mulla Sadra, pembagian dasar utama dari kategori tersebut adalah substansi dan aksiden.

Substansi merupakan gambaran dari sesuatu yang “jika ada secara eksternal tidak bergantung pada korpus dan tidak membutuhkannya dalam wujudnya" (Iza wujiddat fi al- Khārij wujidat la fi Maudhu' mustaghni anha fi wujūdihi),(2) sedangkan aksiden merupakan gambaran dari jika “ada secara eksternal keberadaannya bergantung pada korpus dan tidak membutuhkannya dalam wujudnya" (Iza wujiddat fi al-Khārij wujidat fi Maudhu' mustaghni anha fi wujūdihi).(3) Keberadaan substansi adalah keberadaan yang independen, dalam pengertian bahwa keberadaannya di luar tidaklah menempel atau bergantung kepada keberadaan yang lain, bahkan dirinya menjadi korpus bagi keberadaan aksiden, sedangkan genus yang ada di atasnya adalah sesuatu yang tidak mungkin lagi didefinisikan. Substansi merupakan bagian tertinggi dari rangkaian genus yang dapat diketahui. Persoalan kemudian apakah jiwa merupakan substansi ataukah masuk dalam kategori aksiden, jika jiwa masuk dalam kategori aksiden, maka ada sesuatu yang lain yang menjadi hakikat diri manusia

P: 83


1- 5.Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J 8, hlm. 20–21.
2- 6.Thabathaba'l, Bidayah, hlm. 68. Teks aslinya sebagai berikut: إذا وجدت فی الخارج وجدت لا فی موضوع مستغن عنها فی وجوده
3- 7.Thabathaba'i, Bidayah, hlm.68. Teks aslinya sebagai berikut: إذا وجدت فی الخارج وجدت فی موضوع مستغن عنها

sebagai korpus bagi raga manusia. Beberapa argumentasi berikut memberikan bukti akan substansial jiwa, antara lain, a. Beragam efek yang karena jika demikian, maka seluruh tumbuh, bergerak, dan sebagainya dari beragam makhluk, baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan maupun manusia, tidak disebabkan oleh sesuatu yang berada di pastilah substansi.

luar dirinya, melainkan berasal dari diri makhluk tersebut. Diri yang dimaksud bukanlah raga materi karena jika demikian, maka seluruh raga akan mengeluarkan efek eksternal. Karenanya, sumber efek tersebut, tidak lain, adalah jiwa. Segala bentuk yang menjadi korpus dan sandaran bagi sesuatu, maka sesuatu tersebut adalah substansi. Karenanya, jiwa sebagai korpus bagi beragam efek tersebut pastilah substansi.(1) b. Mulla Sadra membuktikan substansial jiwa melalui ilmu huduri. Penjelasan tentang hal tersebut sebagai berikut:

persepsi terhadap sesuatu adalah sampainya forma objek pada diri subjek. Jika subjek mempersepsi dirinya, maka pastilah ketika persepsi tersebut terjadi, dia tidak membutuhkan ruang tertentu (sebagai media bagi munculnya diri sebagai

P: 84


1- 8. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Syarh jilid hasytum Asfar Arba'eh, (Qom: Intisyarat Omuzisyi wa Pezuhesyi Imam Khomeini, 1378), hlm. 114-115.

objek persepsi), melainkan berdiri pada dirinya. Jika persepsi terjadi pada ruang tertentu, maka forma dirinya tidak akan hadir pada dirinya, melainkan hadir pada ruang tersebut karena keberadaan objek yang menempati pasti selalu terikat pada ruang yang ditempati dan ini bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan.

Persepsi terhadap diri adalah persepsi yang tidak akan pernah lepas dari diri seseorang, sedangkan kesadaran terhadap kesadaran atau pengetahuan diri yang dimiliki dapat saja dilupakan pada saat tertentu karena pengetahuan terhadap keberadaan pengetahuan tersebut bukanlah wujud diri. Hal tersebut sama dengan persepsi subjek terhadap objek-objek eksternal yang lain.

Dengan argumentasi ini, Mulla Sadra membuktikan bahwa keberadaan jiwa tidaklah menempel pada sesuatu yang lain, melainkan pada dirinya.

c. Jiwa dalam Kebaruannya sebagai Jasmani dan Keabadiannya sebagai Ruhani (Nafs Al-jasmāniyah Al-Hudüts Ruhāniyyāh Al-Baqā') Yang dimaksud Mulla Sadra dengan kebaruan jasmani dan keabadian jiwa (Jasmāniyah al-Hudūts wa Ruhāniyyāh al- Baqā') adalah proses terjadinya jiwa yang bersifat baru dan berasal dari fisik atau materi, dan selanjutnya mengalami proses kesempurnaan melalui gerakan transubstansial (seperti penjelasan sebelumnya) dan kemudian menyempurna menjadi ruhani serta tetap abadi pada kondisi tersebut'.

Pandangan ini sangat bertentangan, pada umumnya, dengan para filsuf pendahulu Mulla Sadra yang meyakini bahwa

P: 85

jiwa telah tercipta terlebih dahulu sebelum tubuh diciptakan, baru kemudian bergabung dengan fisik yang baru diciptakan tersebut.(1) Bagi Mulla Sadra, jiwa terjadi bersamaan dengan terjadinya fisik dan sama-sama berasal dari materi. Ketika materi pertama terbentuk, ada dua unsur utama yang membentuk materi tersebut, yaitu forma dan dasar materi (Hayūla).

Perkembangan forma inilah yang kemudian teraktualisasi menjadi jiwa, sedangkan materi dasar teraktualisasi menjadi raga.

Menurut Mulla Sadra, jiwa merupakan forma manusia yang muncul secara fisik dan abadi menjadi ruhani (Jasmāniyah al-Hudüts Ruhāniyah al-Baqā'),(2) sebagaimana yang telah lalu, bahwa intelek affektif (“Akal al-Munfā'il) merupakan akhir dari makna fisik dan permulaan dari makna ruhani, sedangkan manusia merupakan jalan penghubung (Sirāth al-Mamdūd) di antara dua alam, dia sederhana melalui ruhnya dan terkomposisi melalui fisiknya. Tabi'at fisiknya merupakan yang paling murni di antara forma-forma materi bumi dan jiwanya menempati tingkat yang paling tinggi di antara jiwa yang utama.(3) Untuk membuktikan pandangannya, Mulla Sadra mengemukakan berbagai bukti sebagai berikut:(4) a. Setiap yang terlepas dari materi tidak akan bersatu dengannya dan menjadi aksiden yang dekat (“Aridh al- Qarib), dengan dasar bahwa sesungguhnya, dimensi potensial dan kesiapan kembali kepada persoalan bahwa dirinya secara substansial merupakan potensi semata yang dihasilkan dari forma yang membentuknya (Muqawwāmah) dan tidaklah dirinya, melainkan hanyalah bagian dari materi dasar utama (Hayūlah al-Jurmāniyyah),

P: 86


1- 9. Ada beberapa pandangan sebelum Mulla Sadra yang berkaitan dengan cara hadirnya jiwa pada raga. Pertama, jiwa merupakat hakikat yang real, sedangkan raga adalah hakikat relative, seperti wujud dan kuiditas; keberadaan jiwa, dengan sendirinya, menghadirkan forma materi. Kedua, dua bentuk substansi, tetapi yang pertama merupakan penyebab dan kedua adalah akibat, atau seperti wujud Mumkin dengan wujud niscaya; bahwa jiwa sebagai sebab bagi raga. Ketiga, jiwa terlebih dahulu ada dan posisinya sebagai substansi, sedangkan raga datang kemudian dengan posisi sebagai aksiden bagi jiwa. Keempat, raga sebagai substansi dan jiwa sebagai aksiden, raga hadir terelebih dahulu, baru kemudian jiwa dan akan hancur bersama hancurnya raga. Untuk lebih jelas, lihat: Hadi Rastegori "Ma'ad az Didgohe Hukamo' va Sadra Muta'alihin Syirozi" dalam Kherad Nomeh Sadro, Vol. 15 th. 1420, hlm. 68.
2- 10. Prinsip ini jelas mengacu pada akar filsafatnya yang dibangun di atas dasar gerakan transubstansial, bahwa segala elemen wujud mengalami proses gerakan. Jiwa yang berawal sebagai materi, sebagai elemen terendah dalam wujud, berkembang ke arah yang lebih tinggi, yaitu tingkat ruhaniah. Karenanya bagi Mulla Sadra, semua jiwa, sekalipun jiwa tumbuh-tumbuhan, akan bergerak menuju tingkat ruhaniah. Baca: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm. 267.
3- 11. Mulla Sadra, Al-Syawahid Al-Rububiyyah fi Al-Manāhij Al- Sulūkiyyah (Masyhad: Markaze Nasyr Donesgohi, 1360), hlm. 223 (selanjutnya disebut: Al-Syawahid).
4- 12. Lihat Mulla Sadra, Al-Syawahid, halm. 220–228.

maka pastilah barang siapa yang beranggapan bahwa jiwa terlepas dari materi, kemudian bergabung bersamanya, maka pandangan ini akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi. (1) b. Sekiranya jiwa ada sebelum fisik diciptakan, maka jiwa tidak mungkin plural ataupun satu. Tidak mungkin yang pertama (plural) karena perbedaan hanya terjadi pada sesuatu yang memiliki batasan spesies (Nau'), baik melalui materi-materinya, aksiden-aksidennya, aktivitas- aktivitasnya atau tujuan-tujuannya atau sebab-sebab yang berpengaruh pada jiwa ini, sedangkan forma jiwa sekaligus merupakan substansinya karena kesatuannya dalam spesiesnya dan aktivitasnya merupakan hal yang satu. Tujuannya tersambung padanya dan menyerupainya, maka pluralitasnya hanya akan terjadi, baik melalui materi maupun sebagaimana dia dalam ketetapannya (identitasnya), seperti tubuh padahal realitasnya jiwa terpisah dari tubuh. Hal ini jelas inkonsistensi. Yang kedua (Satu) karena diterimanya pluralitas setelah kesatuan dari spesifikasi ukuran-ukuran dan aksiden-aksidennya, sedangkan jiwa tidaklah demikian.

c. Jika jiwa diciptakan sebelum tubuh, maka jiwa pastilah merupakan akal murni sehingga tidak mungkin keadaannya berubah ketika dirinya terpisah dari lingkupan alam kesucian (“ālam al-Quds) dan kemudian dilingkupi berbagai keburukan tubuh. Atau jiwa tersebut merupakan jiwa substansial sehingga jiwa tersebut hanya vakum sejak azali karena kemustahilannya untuk berpindah dan tidak ada kevakuman dalam wujud. Mulla Sadra, dalam hal

P: 87


1- 13. Pandangan tentang kekeliruan reinkarnasi akan dijelaskan kemudian.

ini menunjukkan dalam penolakan terhadap reinkarnasi karena pandangan yang menunjukkan keberadaan jiwa sebelum kebaradaan raga terjebak pada persoalan reinkarnasi dan dengan pandangan ini juga, Mulla Sadra menunjukkan pengaruh gerakan transubstansial yang merubah materi menjadi ruhani, kemudian melepaskan jiwa dari ikatannya dengan materi dan masuk pada alam barzakh, kemudian terus berkembang menuju alam akhirat adalah alam ruhaniah dan puncak perkembangan jiwa.

Namun demikian, sekalipun bertentangan dengan sebagian besar filsuf sebelumnya, ada beberapa pandangan filsuf sebelum Mulla Sadra yang sesungguhnya juga memandang bahwa keberadaan jiwa tidaklah mendahului keberadaan raga. Al-Farabi dan Al-Ghazali meyakini bahwa jiwa belum ada sebelum keberadaan raga, hanya saja, keduanya tidak memberikan penjelasan secara rinci proses munculnya jiwa bersama dengan raga tersebut. Al-Ghazali hanya menyatakan

P: 88

sekilas bahwa jiwa diciptakan Allah di ‘Alam al-Amr, ketika janin telah siap untuk menerima kehadiran jiwa.(1) d. Dualisme Jiwa dengan Raga Untuk menunjukkan bahwa antara jiwa dan raga bukanlah sesuatu yang satu secara dimensional, Mulla Sadra mengemukakan beberapa argumentasi yang disebut Arsyiyyāh, yaitu:

Seperti yang diketahui bahwa persepsi merupakan hadirnya objek pada diri subjek. Sekiranya terjadi persepsi pada daya fisik (Tabi'ah al-Jasmaniyyah), sedangkan jiwa merupakan daya fisik, maka yang akan terjadi adalah aksiden berdiri dengan dirinya dan ini jelas tidak mungkin. Penjelasan untuk hal ini adalah sebagai berikut: jiwa mempersepsi daya fisik karena merupakan cara bagaimana merasakan sesuatu merupakan aksiden. Sekiranya jiwa merupakan daya fisik, maka yang akan terjadi adalah aksiden berdiri pada dirinya.

Hal ini tidak mungkin, mengingat aksiden jika berada di luar berada pada substansi dan tidak pada dirinya. Oleh karena itu, pasti subjek yang mempersepsi, bukan daya fisik, tetapi dia berada pada korpus yang lain. Korpus yang dimaksud bukan fisik mutlak karena hal tersebut tidak mungkin karena akan mengakibatkan setiap forma fisik akan dapat melakukan persepsi, bukan pula bagian dari fisik karena akan menyebabkan seluruh bagian dari fisik dapat melakukan persepsi; dan ini bertentangan dengan fakta. Karenanya, daya yang melakukan persepsi terhadap daya fisik tersebut pastilah selain dari daya fisik, dan bukan pula fisik tempat bersandarnya daya fisik. Pastilah sesuatu selain dari keduanya, yaitu jiwa.

Dengan argumentasi ini, Mulla Sadra membuktikan dualisme pada diri manusia dan keduanya memiliki perbedaan secara dimensional. Namun demikian, dualisme ini bukan sebagaimana yang dipahami Ibn Sina: jiwa dan raga merupakan

P: 89


1- 14. Lihat: Majid Fachry, Tarikh Falsafe dar Jihone Islom, hlm. 421. Pandangan Al-Ghazali tersebut mendapatkan kritik dari Mulla Sadra karena bagi Mulla Sadra, hal tersebut menyebabkan terjadinya reinkarnasi.

dua substansi yang berhubungan sejak awal keberadaan. Mulla Sadra menolak pola hubungan dua substansi yang diyakini Ibn Sina. Dualisme, dalam pengertian Mulla Sadra di sini, adalah jiwa, sekalipun berkembang bersama raga pada awalnya, tetapi kemudian menjadi korpus bagi seluruh daya dan potensi, berbeda dengan raga fisik yang hanya bersifat resesif bagi aktualisasi seluruh daya dan potensi tersebut. Mulla Sadra seringkali menggunakan perumpamaan bagi dualisme jiwa dan raga: seperti juru mudi dan perahu.(1) e. Transendensi Jiwa Rasional (Tajarrūd Al-Nafs Al- Nātiqah) Di antara persoalan penting yang menjadi bagian pembahasan dalam persoalan jiwa adalah transendensi jiwa rasional. Dalam konteks ini, para filsuf, khususnya Mulla Sadra, ingin menunjukkan bahwa jiwa, setelah mengalami perkembangan akibat gerakan transubstansial yang terjadi, menyebabkannya menjadi substansi yang nonmaterial yang ada pada diri manusia. Hal ini menjadi landasan utama keabadian diri manusia karena perkembangannya yang menonmateri tersebut dan kemampuan jiwa untuk dapat berpindah dari satu fase kehidupan (Nasy'ah) kepada fase kehidupan yang lain. Di antara argumentasi yang dikemukakan Mulla Sadra, (2) antara lain, a. Argumentasi ini berdasarkan prinsip ilmu hudūri dengan penjelasan sebagai berikut: kita dapat mempersepsi diri kita sendiri dan persepsi tersebut menghasilkan diri kita pada diri kita dan karena tidak ada sesuatu yang eksternal selain diri kita, maka pastilah hadirnya zat diri kita pada

P: 90


1- 15. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.Iv, hlm. 12.
2- 16. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.8, hlm. 270.

diri kita bersifat huduri, yaitu zat jiwa dihasilkan pada zat jiwa dan berdiri pada zatnya. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan terlepas dari materi.

b. Argumentasi kedua adalah argumentasi yang disebut Mulla Sadra dengan argumentasi Arsyiyyah dengan penjelasan sebagai berikut: jika daya rasional sama seperti halnya daya-daya fisik yang lain dan berada pada dimensi materi, maka pada daya ini akan berlaku hukum yang terjadi sebagaimana pada daya-daya fisik yang lain, pada saat fisik tersebut mencapai usia tua. Seperti halnya daya-daya fisik menjadi lemah ketika tua, demikian yang akan terjadi pada daya rasional, tetapi kenyataan terjadi sebaliknya. Usia tua tidak menyebabkan lemahnya daya rasional, bahkan semakin tua dan dewasa seseorang, semakin kuat daya rasionalnya. Karenanya, daya rasional tidak berada pada raga atau fisiknya, melainkan pada sesuatu yang nonmateri.

Pandangan bahwa jiwa sebagai substansi transenden, sebenarnya secara umum dikenal sebagai pengaruh filsafat Plato. Hal ini sepertinya seringkali menjadi sasaran kritik, seperti yang dilakukan Fazlur Rahman.(1) Namun demikian, patut disadari bahwa pandangan Plato dan Mulla Sadra tentang jiwa sangat berbeda dan dalam pandangan-pandangan filsafat yang dibangun Mulla Sadra, kita melihat pandangan utama bertransformasinya seluruh forma wujud pada tingkat yang lebih tinggi melalui gerakan transubstansial yang dikembangkannya, yang pada akhirnya, tentu saja melepaskan forma wujud tertentu dari materi, mengingat materi dalam teori Kosmologi

P: 91


1- 17. Kritik Fazlur Rahman tersebut dapat kita lihat pada Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Shadr al- Din al- Syirazi) hal. 263.

Mulla Sadra menempati level terendah dari level-level wujud yang diutarakannya.

Ada beberapa argumentasi lain berkaitan hal ini yang dikemukakan Mulla Sadra, tetapi dua argumentasi di atas sudah memadai untuk membuktikan transedensi jiwa dari raga dan materi.

f. Tetapnya Jiwa Pascakehancuran Raga Para filsuf muslim berpandangan bahwa jiwa akan tetap ada pascakehancuran raga, mengingat bahwa jiwa bersifat transenden dan jiwa tidak bergantung kepada raga, kecuali sebagai identitas bagi dirinya. Keberadaannya justru menjadi korpus bagi keberadaan raga, tetapi tidak sebaliknya. Ibn Sina menyatakan, “Sesungguhnya, jiwa tidaklah mengalami kematian dengan kematian raga, bahkan tidak akan mengalami kehancuran sama sekali."(1) Pandangan ini tentu menjadi pandangan yang sangat mendasar, mengingat kebangkitan hanya bisa terjadi jika jiwa tetap ada. Untuk menjelaskan persoalan ini, Mulla Sadra terlebih dahulu menjelaskan keterikatan jiwa dengan raga. Mulla Sadra menolak pandangan yang menyatakan bahwa kebersamaan antara jiwa dengan raga hanyalah kebersamaan kebetulan dan di antara keduanya tidak terjadi ikatan esensial (Zātiyyah). Baginya, ikatan di antara keduanya adalah ikatan keharusan (luzūmiyyāh), bukan kebersamaan kesetaraan (Mutadoifayn) dan bukan pula kebersamaan dua akibat untuk satu sebab dalam wujud.

Keterikatan di antara keduanya tidak lain, kecuali kebersamaan keharusan secara utuh, seperti antara materi dengan forma.

Bagi Mulla Sadra, raga membutuhkan jiwa tidak dalam

P: 92


1- 18. Hadi Rastgori, Ma'ad az didgohe Hukamo' va Shadro al- Muta’lihin Syirozi dalam jurnal Kherad nomeh Shadro (Tehran: Wezarat Farhangge va Omuzes, 1421) Vol. 15 hal. 69. Teks aslinya sebagai berikut: إن النفس لا تموت بموت البدن ولا تقبل الفساد أصلا

kekhususannya, melainkan secara mutlak dalam aktualisasinya, sedangkan jiwa membutuhkan raga bukan dari segi hakikat mutlak rasional, melainkan dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya serta kebaruan kedirian jiwa. Dengan penjelasannya tersebut, Mulla Sadra mendudukkan posisi raga hanyalah sebagai reseptif semata. Ketergantungan raga, menurutnya, adalah ketergantungan mutlak yang tidak akan lenyap selama adanya jiwa bersamanya dan tidak akan ada dengan ketiadaan jiwa.(1) Dalam logika Mulla Sadra, tidak mungkin jiwa mengalami kehancuran karena jika kehancuran dapat terjadi pada jiwa, maka pastilah pada jiwa terdapat potensi untuk menerima kehancuran, sedangkan potensi tersebut bukanlah substansi jiwa. Sesuatu yang memiliki potensi kehancuran haruslah bersama dengan sesuatu yang hancur dan itu adalah materi, sedangkan jiwa adalah substansi yang transenden yang reseptif terhadap forma-forma rasional. Karena itu menurut Mulla Sadra,

P: 93


1- 19. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 382.

tidak mungkin jiwa mengalami kehancuran.(1) Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Al-Farabi karena menurutnya, jiwa-jiwa yang tidak mengalami kesempurnaan akan tetap pada tingkatnya sebagai materi, bahkan dapat hancur bersama kehancuran materi tersebut.(2) Dengan argumentasi ini, Mulla Sadra ingin menunjukkan bahwa keterikatan yang terjadi di antara keduanya adalah keterikatan keharusan: secara eksternal, tidak mungkin ada raga tanpa jiwa, seperti halnya tidak mungkin materi ada tanpa keberadaan forma. Jiwa membutuhkan raga dalam kebaruan dirinya serta dalam identitasnya. Tanpa raga, tentu saja jiwa tidak akan memiliki identitas, tetapi keberadaan jiwa selanjutnya tidak lagi bergantung kepada raga, melainkan ragalah yang bergantung kepada jiwa, seperti halnya antara aksiden dengan substansi. Keberadaan aksiden secara eksternal akan selalu bergantung kepada keberadaan substansi, tetapi tidak sebaliknya. Kehancuran atau kematian raga sama sekali tidak menyebabkan kehancuran atau kematian pada jiwa. Kehancuran atau kematian hanya terjadi pada materi, sedangkan jiwa adalah substansi nonmateri yang terbebas dari ruang dan waktu sehingga terbebas dari kehancuran. Seperti yang dinyatakan juga oleh Khwaja NaSiruddin Tusi, “Jiwa hidup melalui zatnya dan menghidupkan selainnya, serta segala sesuatu yang hidup karena zatnya mustahil baginya kematian selama-lamanya."22 g. Fakultas Jiwa Pembagian terhadap fakultas yang dilakukan Mulla Sadra tidak murni berasal dari Mulla Sadra, melainkan mengikuti pembagian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ibn Sina di

P: 94


1- 20. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 388.
2- 21. Pandangan Al-Farabi yang seperti ini dapat kita lihat dalam pernyataannya sebagai berikut: “Sedang para penduduk negeri Jahiliyyah, sesungguhnya, jiwa mereka akan tetap dan tidak mengalami penyempurnaan dan untuk tetap ada membutuhkan materi sebagai keharusan, yaitu tidak tergambarkan padanya (penduduk Jahiliyyah) gambaran dari objek-objek intelek pertama sama sekali. Jika materinya hancur, yang selama ini menjadi dasar fundamen keberadaan mereka, maka hancur pulalah daya-daya yang selama ini merupakan personalitas dirinya, yang menjadikan dirinya sebagai sebuah identitas. Tinggallah padanya daya-daya yang tersisa dan jika materi ini hancur, maka berubahlah dirinya menjadi sesuatu yang lain dengan forma materi tersebut dan berubah dari forma sebelumnya... hingga berubah menjadi materi padat dan tetap sebagai materi padat tersebut sebagai forma akhirnya." Lihat: Al-Farabi, Kitab Ara' Ahl Al-Madinah Al- Fadilah (Beirut: Dar Al-Masyriq, 2002), hlm. 142.

dalam kitabnya, Al-Syifa'.(1) Pembagian tersebut sebagai berikut:

Fakultas jiwa terbagi secara mendasar menjadi tiga bagian, yaitu:

Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alami yang berorientasi kepada apa yang telah menghadirkannya, mengendalikannya, bahkan reproduksi. Kedua, jiwa hewani merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alami yang berorientasi kepada persepsi parsial dan bergerak dengan keinginan. Ketiga, jiwa manusia merupakan kesempurnaan pertama bagi fisik alami yang berorientasi kepada intelek general, melakukan aktivitas kreatif dengan menggunakan kemampuan berpikir dan analisis rasional. Pada ketiga fakultas ini terdapat kesempurnaan dan kekurangan yang berbeda-beda.

Pada jiwa tumbuh-tumbuhan terdapat tiga daya, yaitu daya konsumsi yang mengarahkan fisik untuk memiliki bentuk fisik sebagaimana jenisnya, daya berkembang adalah daya yang mengembangkan fisik untuk sempurna dalam tinggi, dalam, dan luas sehingga sempurna dalam pertumbuhannya, daya reproduksi adalah daya yang mengambil materi yang sama secara potensial dari fisik tempatnya bergantung dan kemudian melakukan aktivitas untuk mengembangkan fisik lain yang berkesesuaian dari segi bentuk, jenis, dan perbuatan.

Pada jiwa hewani terbagi menjadi dua daya, yaitu penggerak dan persepsi. Penggerak terbagi menjadi dua bagian, yaitu penggerak karena dirinya menjadi penyebab gerakan atau penggerak karena dirinya adalah subjek. Makna penyebab adalah 'dirinya merupakan sebab tujuan dan sebab ini adalah sebab paling utama dari empat sebab'.(2) Penyebab tersebut

P: 95


1- 23. Mulla Sadra, Al-Asfar , J. 8, him. 53 56.
2- 24. Sebab terdiri atas sebab sempurna dan sebab tidak sempurna. Di antara pembagian sebab tidak sempurna sebagai berikut: sebab internal, sebab eksternal, sebab subjek dan sebab tujuan. Lihat: Thabataba'i, Bidayah, hlm. 86.

merupakan daya kerinduan (Syawqiyyāh) yang berhubungan dengan daya imajinasi. Jika tergambarkan pada dirinya forma yang dituju atau yang datang kepadanya, muncullah daya penggerak yang lain untuk menggerakkan dan dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu bagian yang disebut daya syahwat, yaitu 'daya yang muncul karena gerakan yang mendekatinya dari sebab-sebab yang menggambarkan keharusan atau faidah yang mendatangkan kenikmatan' dan bagian yang disebut daya emosional (Ghadabiyyāh), yaitu 'daya yang muncul untuk menolak sesuatu yang digambarkan akan mendatangkan bahaya atau kerusakan dan daya ini menuntut untuk mengalahkan'.

Daya penggerak sebagai subjek yaitu 'daya yang terbit pada syaraf atau sejenisnya, mengerutkan urat-urat syaraf tersebut, menarik tulang-tulang dan syaraf-syaraf, serta ikatan-ikatan kepada posisi yang bertentangan dari posisi awalnya'.

Daya persepsi terbagi menjadi dua bagian, yaitu daya persepsi yang datang dari luar dan dari dalam. Daya persepsi dari luar adalah indriawi. Daya persepsi dari dalam terbagi menjadi daya persepsi parsial yang berasal dari indra eksternal dan daya persepsi general yang berasal dari indra mental.

Indra mental terbagi menjadi dua, yaitu indra mental yang hanya persepsi dan indra mental persepsi dan pengendali.

Indra pental persepsi terbagi lagi menjadi persepsi terhadap forma parsial dan makna parsial. Yang dimaksud forma parsial misalnya imajinasi terhadap diri seseorang, sedangkan yang dimaksud makna parsial misalnya persepsi terhadap A sebagai sahabat dan B adalah musuh. Pengindra terhadap forma parsial disebut indra bersama (Hissi Musytarāk) dan dia mengumpulkan beragam forma indriawi eksternal, sedangkan pengindra makna

P: 96

parsial disebut estimasi (Wahmi). Kedua daya ini memiliki perbendaharaan; perbendaharaan indra bersama adalah imajinasi, sedangkan estimasi adalah pengingat (Hāfizah).

Daya pengendali mengendalikan objek-objek perbendaharaan pada dua perbendaharaan tersebut dengan cara mengomposisikan dan menganalisis. Pengomposisian seperti manusia dalam rupa burung atau gunung zamrud. Daya ini, jika menggunakan daya estimasi hewani disebut imajinasi, jika menggunakan daya intelek (Nātiqah) disebut berpikir (Mufakkirāh).

Pembagian semua ini hanya berlaku untuk fakultas jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan, sedangkan pada jiwa manusia, bagi Mulla Sadra, tidak dapat terjadi pembagian daya, mengingat jiwa manusia hanya melakukan persepsi general dan sesuatu yang general, dalam konteks generalitasnya, bukanlah sesuatu yang dapat dibagi-bagi.(1) Untuk lebih jelas, kita dapat melihat diagram berikt ini:

P: 97


1- 25. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 260, pada pembahasan “Jiwa Berpikir bukanlah Fisik dan bukan pula Bentuk Berukuran dan tidak dapat Dilakukan Pembagian Atasnya".

photo

P: 98

Pembagian ini penting diutarakan, mengingat Mulla Sadra menunjukkan bahwa kualitas manusia didasarkan dominasi daya-daya tersebut dan daya yang mendominasi akan membentuk karakter jiwa sekaligus sebagai dasar pembentuk raga berikutnya. Daya-daya tersebut, pada intinya, merupakan komposisi yang membentuk jiwa manusia. Mulla Sadra menggambarkan daya-daya tersebut dalam karakter sebagai berikut:

Bahwa pada setiap manusia, batinnya bagaikan campuran dari beragam sifat daya: sebagian binatang, sebagian binatang buas, sebagian setan, sebagian malaikat.

Sifat yang keluar dari binatang adalah syahwat dan keburukannya adalah rakus dan dusta. Dari binatang buas adalah iri hati, permusuhan, dan kebencian. Dari setan adalah makar, tipu daya, licik, sombong, dan mencintai kekuasaan. Dari malaikat adalah, pengetahuan, kesucian dan kebersihan. Dasar keseluruhan empat karakter ini terkomposisi pada batin manusia sebagai komposisi yang sangat kuat dan tidak mudah untuk menguraikannya.(1) Patut di ingat bahwa dalam pandangan antropologis Mulla Sadra, jiwa mengalami proses perkembangan sebagaimana yang telah dibicarakan sebelumnya, tetapi yang paling mendasar bagi Mulla Sadra adalah pandangan ini didasarkan pada prinsipnya, al-Labs ba'da al-Labs(2), peningkatan kualitas jiwa pada tahap berikutnya tidaklah menghilangkan keberadaan jiwa sebelumnya, tetapi jiwa bertransformasi pada level yang lebih tinggi, sekaligus menghimpun level-level sebelumnya. Kita dapat membayangkan sebuah piramida yang terus berkembang naik. Dalam perkembangan tersebut, kita menyaksikan bahwa piramida tersebut menghimpun elemen yang semakin lama

P: 99


1- 26. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 93. Teks aslinya sebagai berikut: إن کل إنسان بشری باطنه کأنه معجون من صفات قوی بعضها بهیمیة, وبعضها سبعیة, وبعضها شیطانیة. وبعضها ملکیة حتی یصدر من البهمیة الشهوة والشره, والحرص والفجور, ومن السبعیة الحسد و العداوة والبغضاء, و من الشیطانیة المکر والخدیعة و الحیلة و التکبر و العز, و حب الجاه و الافتخار و الاستیلاء, ومن الملکیة العلم و التنزه. أو الطهارة, واصول جمیع الأخلاق هذه الأربعة وقد عجنت فی باطنه عجنا محکما لا یکاد یتخلص منها.
2- 27. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip al-Labs ba’da al-Labsyang dikembangkan Mulla Sadra bertentangan dengan prinsip al-Kawn wa al-Fasad yang dikembangkan filsuf Peripatetik. Bagi Mulla Sadra, dalam proses gerakan tidak ada satu bagianpun secara substansial yang hilang, tetapi akan terus berkembang bersama menuju tingkat kesempurnaan wujud.

semakin banyak tanpa harus kehilangan forma utamanya, yaitu piramida. Demikian pula dengan jiwa menurut Mulla Sadra. Jadi, ketika jiwa telah berkembang menjadi jiwa rasional, pastilah didalamnya terkandung jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang, hingga menjadi jiwa rasional.

Karenanya, menurut Mulla Sadra, forma jiwa akan sangat diwarnai oleh level mana jiwa tersebut menjadi sangat aktif.

Sekiranya jiwa tersebut hanya memfokuskan persepsinya pada level jiwa binatang, maka ketika jiwa berlalui dengan raga melalui proses kematian, forma binatanglah yang akan muncul sebagai identitas baru manusia tersebut.

Pandangan Mulla Sadra yang seperti ini jelas sangat berbeda dengan pandangan filsuf Peripatetik sebelumnya, khususnya Ibn Sina, yang menganggap bahwa jiwa spesifik pada setiap identitas dan berbeda satu sama lain.(1) Bahkan, pandangan Mulla Sadra yang seperti ini, menurut Fazlur Rahman, lebih dekat dengan pandangan para Sufi, seperti Ibn Arabi dan Al-Ghazali atau Syuhrawardi.(2)

3. Persoalan Reinkarnasi

3. Persoalan Reinkarnasi(3) Reinkarnasi merupakan pandangan yang berkaitan dengan kehidupan pascakematian dan pandangan ini muncul

P: 100


1- 28. Lihat: Ibn Sina, Al-Najah, hlm. 460.
2- 29. Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Shadr al-Din al-Syirazi), hlm. 271.
3- 30. Konsep reinkarnasi juga diistilahkan dengan metempsichosis, metensomatis atau juga palingenesis. Konsep ini, pada umumnya, dianut oleh agama-agama India, a.I, Hindu, Budha, Jainis, dan Sikh. Konsep ini telah ada sejak Mesir Kuno pada zaman Fir'aun, bahkan di Yunani, konsep ini sudah dikenal sejak Pherecydes, guru dari Pythagoras (582-507 S.M). Lihat: Mercia Eliade, Encyclopedia of Religion (USA: MacMilan Library Refrence), Vol. 11-12, hlm. 265–269.

jauh sebelum Islam. Hindu dan Budha merupakan dua agama yang menjadikan reinkarnasi sebagai keyakinan dasar bagi pemeluknya(1) berkaitan peristiwa kehidupan pascakematian.

Sebagian besar pemikir Islam, baik teolog maupun filsuf, menolak keyakinan ini, (2) mengingat reinkarnasi bertolak belakang dengan prinsip kebangkitan yang diyakini Islam.

Mulla Sadra, seperti halnya Ibn Sina dalam upayanya untuk menegakkan pandangannya dalam Eskatologi, mengemukakan argumentasi kekeliruan reinkarnasi, tetapi untuk lebih jelas sebelum mengemukakan argumentasi Mulla Sadra, ada baiknya diketahui terlebih dahulu makna, jenis dan pandangan berkaitan dengan prinsip reinkarnasi tersebut.

a. Makna dan Jenis Reinkarnasi Makna secara umum dari reinkarnasi adalah kelahiran kembali jiwa atau diri dalam rangkaian fisik atau penjelmaan yang di luar kebiasaan, yang biasanya (kelahiran tersebut) pada manusia atau binatang di alam semesta, tetapi kadang juga pada beberapa bentuk ruhaniah, seperti malaikat, setan, tumbuh- tumbuhan, atau astrologis'. (3) Kyosamsaki memberikan makna reinkarnasi sebagai “perpindahan jiwa-meliputi jiwa manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan- dari raga aktualnya kepada raga selainnya'. (4) Makna ini jelas meliputi segala jenis perpindahan jiwa, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, yaitu perpindahan jiwa dari raga yang lebih rendah kepada raga yang lebih tinggi secara kualitas, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun kehidupan berikutnya, sedangkan secara horizontal, yaitu perpindahan jiwa di antara raga di dunia dalam tingkat dan kualitas yang sama atau lebih rendah.

P: 101


1- 31. Abdul Rahim Guwahi, Rahnamoye Adyone Zendeh (Qom: Bustane Kitob, 1385), hlm. 779.
2- 32. Kecuali Al-Farabi, karena menurut Majid Fachry, Al-Farabi mempercayai terjadinya reinkarnasi sebagaimana yang ia tulis dalam Sir Falsafeh hlm. 144. Ia mengutip pernyataan Al-Farabi dari Al-Madinah Al-Fadilah sebagai berikut: “Para penduduk kota yang terlepas dari keutamaan, dari sana kebahagiaan mereka dalam kehidupan duniawi terbatas pada pemenuhan kecenderungan-kecenderungan dorongan jasmaniah semata, tidak sekalipun mereka akan terlepas dari kungkungan penjara material, bahkan bukan hanya itu, jiwa- jiwa mereka, bersamaan dengan perubahan materi dari satu bentuk pada bentuk lainnya, atau secara kontinu-jika memiliki kemampuan-dalam raga manusia lainnya ber-reinkarnasi atau secara bertahap turun pada tingkat binatang dan terus berada dalam tingkat ini”. Teks aslinya sebagai berikut: شهر وندان مدینه های عاری از فضیلت. از آنجا که سعادت آنان درحیات دنیوی منحصر در ارضای امیال غر یزی جسمانی بوده است. هر کز از زندان جسم رهایی نمی یا بند, بلکه به عکس, نفوس آنان همواره ازیکصورت مادی به صورتی دیگر منتقل می شوند. یا إلی الأبد - اکر مقدر با شد – در جسد انسان تنا سخ می یا بند, یا تدریجا به مرتبه حیوانی انحطاط پیدا می کنند و به تما می از میان می روند Namun demikian, penulis tidak menemukan padanan kata-kata Al-Farabi, sebagaimana yang disebutkan Majid Fachry di atas.
3- 33. Mercia Eliade, Encyclopedia of Religion, Vol. 11–12, hlm. 265.
4- 34. Kyosamsaki, Rozee, hlm. 232. Teks aslinya sebagai berikut: انتقال نفس - اعم از نفس انسان یا حیوان ویا نفس نباتی – از بدن فعلی خویش به بدنی دیکر.

Dari makna ini juga, muncul beragam jenis pembagian reinkarnasi, antara lain, Pertama, perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain dengan adanya keterikatan antara raga yang satu dengan lainnya. Reinkarnasi jenis ini disebut reinkarnasi bersambung (Ittisāli). Kedua, perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain dengan tanpa ikatan antara satu dengan lainnya yang disebut reinkarnasi terpisah (Infisāli). Ketiga, perpindahan jiwa kepada raga astrologis yang terbentuk dari materi duniawi yang disebut reinkarnasi penguasaan (Mulki). Keempat, perpindahan raga kepada raga imajinal dan ukhrawi yang disebut reinkarnasi kemalaikatan (Malākuti). Kelima, jika raga berikutnya lebih mulia dan utama dari raga sebelumnya, seperti perpindahan jiwa hewan kepada manusia, maka reinkarnasi jenis ini disebut reinkarnasi naik (Su’ūdi). Keenam, jika raga yang kedua secara kualitas lebih rendah dari raga pertama, maka jenis reinkarnasi seperti ini disebut reinkarnasi turun (Nuzuli). (1) Mulla Sadra melakukan pembagian lainnya, antara lain, jiwa mengalami perpindahan dari raga materi yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu, pada raga manusia disebut Nasakh, pada raga hewan disebut Masakh, pada raga tumbuh-tumbuhan disebut fasakh, dan pada raga materi keras disebut Rasakh.(2) b. Ragam Pandangan Tentang Reinkarnasi Mengingat persoalan reinkarnasi termasuk di antara persoalan penting berkaitan dengan pembahasan eskatologi, muncul beragam pandangan yang berkaitan persoalan tersebut.

Di dalam filsafat Islam, terjadi perbedaan pandangan antara Peripatetik dengan lluminasi. Namun patut diingat bahwa

P: 102


1- 35. Mulla Hadi Sabziwari, Asrar Al-Hikam (Qom: Intisyarat Bidor, 1374), hlm. 291.
2- 36. Mulla Sadra, al-Asfar, J. 9, hlm. 4.

perbedaaan pandangan tersebut khusus pada reinkarnasi terpisah (Infisāli). Dalam kitab Syarh Hikmah al-Isyraq(1), Qutbuddin Syirāzi mengemukakan beragam pandangan yantg berkaitan dengan reinkarnasi, antara lain, a. Pandangan ini berasal dari sekelompok kecil dari filsuf terdahulu dan disebut sebagai Kelompok Reinkarnasi.

Mereka berpandangan bahwa jiwa bukan wujud ruhani sehingga selalu membutuhkan raga fisik; jiwa pascakematian kembali lagi pada raga yang lain. Dengan dasar pandangan ini, semua jiwa akan terus, secara kontinu, berpindah dari raga yang satu pada raga yang lain dan pada pandangan ini sama sekali tidak terjadi perbedaan antara jiwa yang telah mencapai kesempurnaan ataupun tidak dan pada sisi ini terjadi perbedaan dengan pandangan kedua.

b. Pandangan kedua ini dikemukakan oleh kelompok Peripatetik, mulai dari Aristoteles dan pengikutnya hingga para filsuf Muslim Peripatetik, seperti halnya Al-Farabi, bahkan Ibn Sina dan para pengikutnya. Pandangan ini berkaitan dengan jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan, baik pada amal maupun ilmu. Pascakematian jiwa yang seperti ini akan hilang dan tidak dibangkitkan kembali atau juga masuk pada dunia nonmaterial atau ruhani dan meneruskan kehidupanya. Namun pada tingkat ini, terjadi persoalan pada reinkarnasi terpisah (Infisāli), yaitu tidak terjadi kaitan dengan raga sebelumnya.

c. Pandangan ketiga adalah pandangan yang menerima perpindahan dari satu raga kepada raga yang lain dalam satu spesies, seperti perpindahan dari raga manusia yang

P: 103


1- 37. Qutbuddin Syirazi, Hikmah al-Isyraq (Tp. Penerbit dan tth.), hlm. 476–481.

satu kepada raga manusia yang lain.

d. Pandangan keempat adalah pandangan yang menerima perpindahan jiwa kepada raga yang berbeda spesies, tetapi jika raga sebelumnya adalah raga hewan, maka raga berikutnya haruslah raga hewan juga.

e. Pandangan kelima adalah pandangan yang menyatakan bahwa jiwa manusia dapat pindah ke selain manusia, seperti pindah kepada raga tumbuh-tumbuhan, bahkan binatang f. Pandangan keenam menyatakan bahwa jiwa manusia dapat berpindah kepada raga apa saja, bahkan kepada bebatuan. Quthbudin Al-Razi menyebutkan bahwa Ikhwan al-Safa cenderung pada pandangan keenam ini, tetapi setelah melewati itu semua, jiwa akan berpindah ke alam astrologis imajinal.

g. Pandangan ketujuh adalah pandangan yang diyakini Syaikh Isyraq, bahwa jiwa menengah dari hamba- hamba yang mendapatkan kebahagiaan akan berpindah kepada fisik astrologis, sedangkan jiwa yang mengalami penderitaan akan berpindah kepada raga binatang.

Namun, Syaikh Isyraq menolak perpindahan jiwa manusia ke raga tumbuh-tumbuhan dan bebatuan. Dalam hal ini, Syaikh Isyraq mengutip pandangan Yüzasif, (1) seorang filsuf India yang mengemukakan dan meyakini pandangan reinkarnasi.

c. Penolakan Mulla Sadra terhadap Reinkarnasi Reinkarnasi, bagi Mulla Sadra, merupakan pandangan yang berasal dari kekeliruan pemahaman terhadap apa yang

P: 104


1- 38. Qutbuddin Al-Razi, Syarh Hikmah Al-Isyraq, hlm. 479.

dibawa para filsuf terdahulu maupun para nabi. Mulla Sadra secara mutlak menolak prinsip reinkarnasi ini, baik yang bersifat naik (Su'ūdi) maupun turun (Nuzuli). Untuk itu, ia kemukakan berbagai argumentasi penolakannya terhadap reinkarnasi,(1) antara lain, a. Jiwa memiliki keterikatan substantif dengan raga, komposisi keduanya adalah komposisi kesatuan alamiah, sekalipun satu dengan yang lainnya, secara substantif, memiliki gerakan transubstansial. Jiwa pada awal kehadirannya merupakan potensi dalam segala keadaannya, begitu pula dengan raga. Keduanya secara bersama keluar dari potensi menuju aktualitas dan derajat potensi serta aksi pada setiap bagian jiwa tertentu di hadapan keadaan raga yang khusus selama terikat dengan raga. Jiwa selalu berada dalam kondisi aktualisasi potensi selama fase kehidupannya bersama raga. Jiwa, berdasarkan amal perbuatannya, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk, merupakan aktualitas yang menghasilkan peringkat wujud.(2) Ketika jiwa telah berada pada aktualitas tertentu, maka mustahil baginya untuk kembali lagi pada tingkat potensi murni pada bentuk tersebut, sebagaimana mustahilnya kembalinya binatang yang telah mencapai

P: 105


1- 39. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 1– 12.
2- 40. Dengan dasar prinsip Tasykik al-Wujud.

derajat aktualitasnya sebagai binatang untuk kembali lagi pada awal penciptaannya sebagai nutfah atau 'alaqah karena gerakan transubstansial secara substantif terjadi dan tidak mungkin berbalik, baik itu dipaksakan, alamiah, keinginan, maupun ketidaksengajaan. Sekiranya ikatan jiwa berpindah kepada raga lain yang masih dalam bentuk janin misalnya, atau selainnya, maka akan mengakibatkan yang satu berwujud sebagai potensi, sedangkan yang lain dalam wujudnya secara aktua. Dengan kata lain, suatu bentuk yang satu pada saat yang sama adalah potensi, tetapi pada saat yang sama adalah aktual, dan ini jelas tidak mungkin karena komposisi di antara keduanya adalah kesatuan alamiah. Pada komposisi alamiah, mustahil terjadi pada dua hal yang menyatu satu bagiannya adalah potensi dan yang lain aktual.

b. Setiap yang terkomposisi alamiah tersusun dari materi dan forma, baik itu jiwa maupun raga, baik itu raga binatang, raga alami lain, maupun jenis lain dari kesatuan.

Tidak mungkin terjadi bahwa yang satu bagian menjadi hilang dan satu lainnya tetap sebagai unsur materi dan forma karena hubungan antara materi dengan forma adalah hubungan kekurangan, maka keberadaan setiap materi pastilah bersama dengan formanya yang keluar dari potensi menjadi aktual, demikian pula dengan forma dari segi substansi dan zatnya sebagai sebuah forma pastilah mengandung materi sebagai identitas dan kekhususan bagi kondisi dan aktivitasnya secara khusus.

Jika salah satu dari materi terbentuk, maka pastilah terbentuk dengan terbentuknya forma bersamanya dalam

P: 106

satu dimensi. Sekiranya materi tersebut hancur, maka hancur pulalah formanya karena forma dari sesuatu adalah pelengkap dan penyempurnanya sehingga wujud sesuatu yang kurang sebagai sesuatu yang kurang adalah mustahil karena kesempurnaan sesuatu adalah pendiri dan penyebabnya. Demikian pula kesempurnaan sesuatu; jika hilang kesempurnaannya, maka hilang pula sesuatu tersebut. Demikian pula bahwa setiap bagian dari satu genus; jika genus tersebut hilang, maka hilang pula jenis yang membentuk dirinya,(1) begitupun sebaliknya. Seperti itu juga hubungan antara jiwa dan raga tertentu yang bersamanya, kaitan keduanya adalah kaitan kejadian dan kehancuran (al-Kawn wa al-Fasād). Jiwa dalam posisinya sebagai jiwa merupakan hakikat forma spesies bagi raga dan merupakan sebab formal (Surriyyāh) bagi zat spesies yang dihasilkan dari aktivitas jiwa, sedangkan raga dalam posisinya sebagai raga merupakan materi bagi jiwa yang terikat kepadanya dan merupakan sebab materi bagi spesies. Sebagaimana yang telah diketahui, jiwa selama menjadi substansi yang lemah merupakan bagian dari wujud yang rendah dan membutuhkan hubungan dengan raga fisik, seperti halnya pada sebagian forma dan aksiden. Jika kaitan antara keduanya dalam bentuk yang seperti ini, kaitan dalam wujud dan kebersamaan substantif di antara keduanya merupakan kaitan materi dasar yang tetap (al-Hayūla al-Tsābita), maka hilangnya salah satu diantaranya akan menyebabkan hilangnya yang lain. Akan tetapi, pada jiwa manusia terdapat konteks lain dari wujud yang bukan merupakan wujud yang terikat

P: 107


1- 41. Sebagai contoh, ketika kita mendefinisikan singa adalah hewan yang buas, maka singa merupakan satu genus dengan diferensial sebagai spefikasi dirinya adalah kebuasan, di mana sekiranya singa menjadi hilang, maka hilang pulalah kebuasan, begitupun sebaliknya.

secara pasif alami (al-Wujūd ta'alūqi al-Infi'āli al-Tabi'i), baik rasional murni ataupun selainnya. Kehancurannya dalam konteksnya sebagai jiwa atau forma alami lainnya tidaklah menyebabkan kehancuran dirinya secara mutlak karena dirinya dihasilkan melalui keberadaan pembeda (Mufāriqi) dan wujud tersebut mustahil terikat pada raga materi setelah terpisah dan argumentasi ini membatalkan pandangan reinkarnasi, baik dalam bentuk Naik (Su’ūdi) ataupun Turun (Nuzūlī).

c. Jiwa manusia adalah sesuatu yang baru melalui kebaruan pencampuran manusia melalui tingkat nutfah, janin, hingga mencapai derajat manusia. Pada saat yang sama, manusia tersebut telah melalui proses penyempurnaan alami melewati derajat tumbuh-tumbuhan, hewan yang dihasilkan pada setiap bagian dari materi, forma, raga dan jiwa. Penyempurnaan nutfah manusia haruslah dalam proses perubahan ciptaan, mulai dari bebatuan, tumbuh-tumbuhan binatang, kemudian manusia.

Tidak sebagaimana pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa kejadian terjadi pascakehancuran dan kehancuran terjadi pascakejadian (al-Kawn wa al-Fasād); terbentuknya dari satu forma ke forma yang lain yang berbeda wujud (Mutabā'inah al-wujud). Yang seperti ini keliru, mengingat ketidakmungkinan perubahan subjek alami yang melakukan pengendalian terhadap materi menjadi subjek alami yang lain sehingga menjadikan dua subjek dalam satu tempat dalam proses perbuatan yang dilakukan, sebagaimana mustahilnya perpindahan aktivitas alami dari salah satu subjek alami kepada yang

P: 108

lainnya. Demikian pula kemustahilan yang terjadi pada perpindahan subjek yang satu dari perbuatan alami kepada perbuatan alami yang tidak berkaitan dengan yang pertama tanpa kesatuan dimensional di antara keduanya.

Hal tersebut adalah makna reinkarnasi. Dengan logika seperti ini, reinkarnasi adalah keliru.

d. Jiwa, setelah berpisah dari raga, terjadi fase keterpisahan.

Masa berpisahnya dari raga pertama bukanlah masa perpindahannya pada raga berikutnya dan di antara keduanya ada fase yang memisahkannya sehingga di antara kedua raga tersebut terjadi kevakuman dari pengendalian dan pengelolaan. Kevakuman tersebut adalah mustahil sehingga menyebabkan reinkarnasi pun mustahil.

e. Argumentasi kelima adalah argumentasi yang paling kuat yang dikemukakan Mulla Sadra, tetapi argumentasi ini membutuhkan beberapa premis, antara lain, pertama, ikatan jiwa dengan raga adalah ikatan esensial (Zātī).(1) Kedua, komposisi jiwa dan raga adalah komposisi alami.(2) Ketiga, komposisi jiwa dan raga adalah komposisi kesatuan.(3) Keempat, pada saat melakukan persepsi, jiwa dalam identitasnya sebagai yang nonmateri melakukan aktivitas tersebut, tetapi hubungan jiwa dengan raga tetap terpelihara. Kelima, dalam fase-fase perkembangannya, jiwa, bersamaan dengan keluarnya raga dari potensi menjadi aktual, tetap melakukan aktivitas spesifiknya dan ketika terjadi kematian-raga tidak lagi dapat melakukan aktivitasnya-jiwa berkembang pada tingkat kesempurnaan aktualitasnya dan ini menyebabkan putusnya hubungan antara jiwa dengan raga.(4)

P: 109


1- 43. Komposisi alami adalah komposisi yang terjadi secara alami, mulai dari awal keberadaannya dalam sebuah komposisi yang satu dan tanpa adanya intervensi yang menyebabkan terjadinya komposisi tersebut. Perkembangan keduanya berasal dari sesuatu yang satu dan membentuk satu identitas. Berbeda halnya pada komposisi buatan (Sanaſi); pada komposisi ini terjadi intervensi dari luar yang menyatukan unsur-unsur menjadi satu komposisi.
2- 43. Komposisi alami adalah komposisi yang terjadi secara alami, mulai dari awal keberadaannya dalam sebuah komposisi yang satu dan tanpa adanya intervensi yang menyebabkan terjadinya komposisi tersebut. Perkembangan keduanya berasal dari sesuatu yang satu dan membentuk satu identitas. Berbeda halnya pada komposisi buatan (Sanaſi); pada komposisi ini terjadi intervensi dari luar yang menyatukan unsur-unsur menjadi satu komposisi.
3- 44. Komposisi kesatuan adalah komposisi yang keduanya, pada hakikatnya, adalah satu dan tidak dibentuk dari dua unsur yang berbeda satu sama lain dan membentuk satu kesatuan seperti halnya komposisi H20 yang terkomposisi dari dua unsur independen membentuk kesatuan', tetapi seperti komposisi yang terjadi antara forma dan materi. Ini merupakan komposisi hakiki dan kesatuan yang didasarkan pada prinsip kesatuan wujud. Namun' perbedaan utama dengan kesatuan antara forma dan materi adalah kedua-duanya materi, sedangkan raga dan jiwa adalah yang satu materi sedangkan yang lain, setelah terjadi gerakan transubstansial mengalami perkembangan menjadi nonmateri.
4- 45. Dapat dianalogikan seperti halnya buah dengan pohonnya. Ketika buah tersebut terlepas dari ikatannya dengan pohon yang selama ini menjadi tempat tumbuh dan bergantung, ia memulai aktivitasnya sendiri dan pohon pun demikian. Jiwa pun demikian; ia membutuhkan raga untuk tumbuh dan berkembang dan ketika jiwa dalam perkembangannya tidak lagi membutuhkan raga, maka ia akan melepaskan diri dari raga dan memulai aktivitasnya.

Dengan lima pendahuluan ini, Mulla Sadra menolak konsep reinkarnasi. Menurutnya, jika jiwa pascakematian berpindah pada raga lain yang terpisah dan berbeda dengan raga sebelumnya. Perpindahan ini, baik tanpa membawa aktualitas raga sebelumnya dan sesuai dengan aktualitas raga kedua maupun jiwa dengan tetap menjaga aktualitasnya dalam kehidupan sebelumnya, mengalami perpindahan padaragakedua.

Akan tetapi, menurut Mulla Sadra, kedua pengandaian kaidah bersyarat yang berkesinambungan di atas keliru. Kekeliruan tersebut dipicu oleh dasar pijakan utama yang menyatakan jika jiwa terlepas dari beragam aktualitas sebelumnya yang pernah ada, kemudian kembali lagi pada tingkat potensial, maka pertama, perubahan ini adalah perubahan kemunduran dan seluruh pengetahuan, baik filsafat maupun sains, menolak hal ini; kedua, tidak bisa dikatakan bahwa personalitas berikutnya, setelah berpindahnya jiwa dari raga pertama pada raga kedua adalah personalitas diri sebelumnya. (1) Apa yang dimaksudkan Mulla Sadra di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: jiwa, selama kehidupannya pertama dengan raga yang pertama telah mengalami proses pengembangan diri dengan dan menghasilkan aktualitas hingga tingkat tertentu ketika terjadi kematian, selanjutnya, jika reinkarnasi dapat dibenarkan akan terjadi dua kemungkinan berikut, yaitu jiwa tersebut berpindah kepada raga berikutnya tanpa aktualitas yang dimiliki sehingga masuk ke dalam raga dan menyebabkan jiwa tersebut kembali lagi pada tingkat potensi yang sebelumnya telah aktual. Hal ini berdasarkan prinsip pengetahuan maupun filsafat tidak mungkin terjadi atau

P: 110


1- 46. Lihat: Kyosamsaki, Rozee, hlm. 241 – 242.

kemungkinan kedua, jiwa tersebut tetap dengan aktualitas yang dimilikinya masuk pada raga yang sesuai dan ini tetap akan menghilangkan identitas jiwa sebelumnya karena kebaruan raga tersebut menyebabkan jiwa menjadi baru pula, sedangkan raga kedua yang berkesesuaian tersebut untuk dapat sampai pada tingkat aktualitas, sebagaiamana yang dimiliki jiwa pertama, haruslah mengalami proses dan untuk itu, dia membutuhkan jiwa yang membawanya pada tingkat tersebut. Kemungkinan kedua ini menyebabkan dua hal: pertama, hilangnya identitas jiwa pertama dan menyebabkannya menjadi baru; dan kedua, terkumpulnya dua jiwa pada raga yang satu. Karenanya, dasar pengandaian ini keliru dan kekeliruan ini menghasilkan kesimpulan yang juga keliru.

Semangat Mulla Sadra dalam menolak reinkarnasi jelas berangkat dari prinsip-prinsip filsafat yang dikembangkannya, terutama gerakan transubstansial sebagai gerakan progresif, di samping, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ibn Sina. Hal ini terlihat dari pembelaan Mulla Sadra terhadap argumentasi penolakan reinkarnasi yang digunakan Ibn Sina.(1) Selain itu, dalam upayanya untuk memberikan landasan bagi pandangan Eskatologi yang dikembangkannya karena sekiranya masih ada kemungkinan terjadinya reinkarnasi, hal itu merupakan kesulitan besar bagi Mulla Sadra untuk dapat menetapkan kebenaran pandangan Eskatologinya, mengingat bahwa kritik Mulla Sadra terhadap pandangan Eskatologi pemikir muslim sebelum dirinya, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian bertumpu pada persoalan reinkarnasi sehingga adalah hal yang wajar Mulla Sadra dengan semangatnya yang luar biasa melakukan penolakan terhadap konsep reinkarnasi.

P: 111


1- 47. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 11. Argumentasi yang di kemukakan Ibn Sina dalam penolakannya terhadap reinkarnasi adalah: Jika demikian (terjadinya reinkarnasi), maka tidaklah mungkin terjadi jiwa yang telah terpisah dari raga kembali dan masuk kedalam raga manusia yang lain. Karena raga yang baru memunculkan jiwa yang baru bersamanya, maka (jika terjadi reinkarnasi) akan terjadi pada raga yang baru jiwa yang lain sehingga menyebabkan seorang manusia memiliki dua jiwa sekaligus. Akan tetapi, seluruh manusia, sesungguhnya, hanya memiliki satu jiwa, tidak dapat terpikirkan, kecuali jiwa yang satu semata. Sekalipun ada jiwa yang lain pada sebuah raga, maka tidaklah berfungsi bersamanya dan tidak juga memunculkan manfaat bagi raga, maka pastilah jiwa tersebut bukanlah jiwa dirinya karena jiwa di dalam raga tidaklah menempati hanya satu bagian tertentu atau menempel sebagai zat bagi bagian tertentu dari raga, melainkan jiwa merupakan pengendali dan difungsikan melalui raga. Maka jelas dan benderanglah bahwa jiwa-jiwa manusia adalah sesuatu yang baru dan tetap setelah (kehancuran) materi dan tidak tinggal di dalam raga-raga tersebut dan tidak juga terjadi reinkarnasi. Lihat: Ibn Sina, Al-Mabda, hal. 108-109. Teks aslinya sebagai berikut: وإذا کان هکذا فلا یجوز أن تکون النفس التی تفارق تعود فتدخل بدنا آخر من الناس. فان البدن الحادث یحدث له معه نفس, فان صارله نفس أخری صار ذلک الانسان ذانفسین, لکن کل انسان انما هو ذو نفس واحدة, ولا یشعر إلا بنفس واحدة, وإن کانت له نفس اخری لا یشعر بها ولا یحدث له منها فا ئدة فلیست تلک نفسا له, لأن کون النفس فی البدن لیس أنها تودع زاویة من البدن, اویکون عرضا فی جزء من البدن, بل علی أنها مدبرة للبدن مستعملة له. فقدبان ووضح أن الانفس الإنسانیة حادثة وباقیة بعد المادة بلا کرور فی الأبدان ولا تناسخ Kita dapat melihat argumen yang sama digunakan Mulla Sadra untuk menolak reinkarnasi. Hanya pada tangan Mulla Sadra argumentasi Ibn Sina ini mendapatkan perluasan makna.

Akan tetapi, persoalan yang patut di cermati dan menuntut penjelasan Mulla Sadra, berkaitan dengan penolakannya terhadap reinkarnasi, ada dua hal, yaitu pertama, berkaitan dengan konsep Ruj'ah dan kedua, berkaitan dengan peritiwa kembalinya Uzair dari kematian setelah seratus tahun.(1) Seperti yang telah diketahui, Mulla Sadra adalah penganut mazhab Syi'ah Imāmiyyah Itsna Asyariyyah (Syiah 12 Imam). Diantara doktrin teologis mazhab Syi'ah adalah keyakinan akan al-Ruj'ah. Yang dimaksud dengan al- Ruj’ah, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Mufid, adalah “Sesungguhnya, Allah Ta'ala akan menghidupkan sekelompok orang dari umat Muhammad Saw. setelah kematian mereka sebelum hari kiamat. Mazhab ini khusus mazhab keluarga Muhammad Saw..... Sesungguhnya, ruj'ah terjadi bagi mereka yang memiliki puncak keimanan dan puncak kemunafikan dari umat ini."(2) Bahwa sebelum hari Kiamat tiba dan setelah revolusi yang dilakukan Imam Al-Mahdi, (3) akan dibangkitkan sebagian manusia dari umat Nabi Muhammad Saw. Mereka yang dibangkitkan adalah sekelompok dari mereka yang memiliki keimanan dan kesalehan yang luar biasa, tetapi diperlakukan dengan zalim, bahkan terbunuh melalui tangan-tangan zalim.

Sekelompok lainnya adalah mereka yang kufur dan melakukan kezaliman. Tujuan utama mereka dibangkitkan agar masing-

P: 112


1- 48. Lihat QS 2:259. Dalam ayat ini, Allah Swt. menjelaskan tentang kembalinya Uzair a.s. dari kematian sebagai berikut: «أَوْ کَالَّذِی مَرَّ عَلَی قَرْیَةٍ وَهِیَ خَاوِیَةٌ عَلَی عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّی یُحْیِی هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ کَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ یَوْمًا أَوْ بَعْضَ یَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَی طَعَامِکَ وَشَرَابِکَ لَمْ یَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَی حِمَارِکَ وَلِنَجْعَلَکَ آیَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَی الْعِظَامِ کَیْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَکْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَیَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَی کُلِّ شَیْءٍ قَدِیرٌ » “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur ?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal disini?" la menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari", Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
2- 49. Syaikh Mufid dalam Ja'far Subhani, Al-llahiyat (Qom: Muasasa Nasr Al-Islami, 1416), hlm. 613. Teks aslinya sebagai berikut: ان الله تعالی یحیی قوما من أمة محمد .ص. بعد موتهم. قبل یوم القیامة ... والرجعة انما هی لممحضی الإ وهذا مذهب یختص به ال محمد. ص. یمان من اهل الملة و ممحضی النفاق منهم دون من سلف من الأمم الخالیة
3- 50. Imam ke-12.

masing mendapatkan haknya dan keadilan ditegakkan.(1) Pandangan al-Ruj'ah ini didasarkan pada ayat Alquran :

"Pada hari Kami kumpulkan dari setiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka Kami bagi-bagi."(2) Menurut Ja'far Subhani, ayat tersebut menunjukkan pengumpulan sekelompok orang, padahal jika yang dimaksud pengumpulan pada hari kiamat, maka seluruh manusia akan dikumpulkan secara bersama, tidak sebagiannya saja. Karenanya, peristiwa tersebut terjadi sebelum hari Kiamat tiba. (3) Kedua persoalan ini, sayangnya, sama sekali tidak disinggung oleh Mulla Sadra ketika membicarakan eskatologi, padahal sudah merupakan tradisi dalam teologi Syi'ah, ketika berbicara tentang eskatologi, maka termasuk tema yang dibahas di dalamnya adalah persoalan al-Ruj'ah. Hal ini dapat dipahami pada Mulla Sadra, mengingat penolakannya terhadap reinkarnasi dalam keseluruhan jenisnya, sedangkan pandangan al-Ruj'ah dan kembalinya Uzair a.s. dari kematian, jika Mulla Sadra menerima konsepsi tersebut, maka akan menjadi kontradiksi dengan konsepsinya tentang reinkarnasi karena tidak bisa tidak bahwa peristiwa tersebut harus juga digolongkan sebagai bagian reinkarnasi. Sekiranya Mulla Sadra menolak kedua persoalan tersebut, maka untuk persoalan kedua, Mulla Sadra haruslah menjelaskan secara lebih rinci, mengingat penerimaan apa yang digambarkan ayat tersebut secara zahir dapat menggugurkan penolakan Mulla Sadra terhadap reinkarnasi. Namun sampai saat ini, penulis belum menemukan penjelasan Mulla Sadra

P: 113


1- 51. Ja'far Subhani, Al-Ilahiyat, hal. 613-616.
2- 52. QS 27: 83 Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَیَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ کُلِّ أُمَّةٍ فَوْجًا مِمَّنْ یُکَذِّبُ بِآیَاتِنَا فَهُمْ یُوزَعُونَ »
3- 53. Ja'far Subhani, Al-llahiyat hal. 614.

berkaitan persoalan tersebut.

4. Sebelas Prinsip Dasar Eskatologi

Mulla Sadra, dalam upayanya membangun pandangan Eskatologinya, mengemukakan sebelas prinsip sebagaimana yang dikemukakannya, baik dalam al-Asfār al-Arba'āh maupun dalam al-Syawāhid al-Rububiyyāh. Kesebelas prinsip ini menjadi fondasi bagi teori-teori Eskatologi yang kemudian dikemukakan Mulla Sadra. Kesebelas prinsip tersebut, antara lain, Prinsip pertama, pada hakikatnya, setiap Pengada merupakan dasar bagi keberadaan (mawjudiyyāh), sedangkan kuiditas mengikutinya: bahwa hakikat setiap sesuatu itu adalah menyangkut orientasi kewujudan khasnya, tanpa kuiditasnya.

Hal ini didasari oleh pandangan Mulla Sadra tentang Prinsipalitas Wujud (ASālat al-Wujūd) dan prinsip ini berbeda dengan pandangan para filsuf sebelumnya yang beranggapan bahwa wujud masuk dalam kategori kedua (Ma'qūlat al-Tsāniyyah) dan bersifat sekunder. Baginya, wujud merupakan esensi murni (Huwiyyāt 'ayniyyāt) yang tidak tergapai oleh mental dan juga tidak dapat diisyaratkan, kecuali melalui pengetahuan makrifat kesaksian (Irfān Syuhūdi).

Prinsip kedua, personalitas sesuatu dan karakternya adalah wujud khasnya itu sendiri; wujud dan personalitas bersatu secara esensial (Zātī) dan berbeda secara konseptual (mafhūm) dan identitas (ism). Apa yang dinamakan aksiden personal, sesungguhnya, hanya merupakan kelaziman- kelaziman kuiditas personal wujud, bukan sebagai jati diri dan personalitasnya, tetapi hanya sebagai pengganti dalam aksiden sehingga dapat terjadi perubahan dari satu bentuk (Hād) pada bentuk (Hād) yang lain pada sebagian besar bagiannya atau

P: 114

secara keseluruhan. Akan tetapi identitas personalitasnya tetaplah dirinya.

Prinsip ketiga, sesungguhnya, tabiat wujud itu menerima intensitas (syiddat) dan keredupan (du'f) pada dirinya yang sederhana (basitat); diri yang tidak terkomposisi, baik secara eksternal maupun secara mental. Oleh karena itu, Sadra menyatakan, "Wujud itu berbeda jenis-jenisnya dan bahwa martabat-martabat yang paling intens dan paling tidak intens itu merupakan jenis-jenis yang berbeda-beda".

Prinsip keempat, sesungguhnya, wujud itu menerima intensifikasi (isytidad) dan ekstensifikasi (tada'uf); artinya wujud itu menerima gerak memadat; bahwa substansi dalam kesubstantifannya atau wujud substantifnya menerima perubahan esensial (istihālat al-Zātiyyāh). Telah dibuktikan bahwa bagian-bagian dari satu gerak kontinu dan batas-batasnya itu tidaklah ada secara aktual dalam sifat keberbedaan, tetapi wujud keseluruhan itu, pada prinsipnya, mewujud dalam wujud yang satu. Oleh karena itu, kuiditas-kuiditas yang menjadi lawan dari martabat-martabat wujud tersebut tidaklah kemaujudannya itu secara aktual dan spesifik, melainkan kemaujudannya bersifat global, seperti pada bagian-bagian batasan.

Prinsip kelima, sesungguhnya, setiap (wujud) komposisi itu, identitasnya terletak pada formanya, bukan pada materinya; sebuah ranjang disebut ranjang pada formanya, bukan pada materinya; sebuah pedang disebut pedang karena ketajamannya, bukan karena bajanya; hewan disebut hewan karena jiwanya, bukan karena raganya. Materi merupakan pembawa potensi sesuatu dan kontingensinya; ia merupakan tempat terjadinya gerak, seperti jika kita bayangkan satu bentuk tanpa mengikutkan

P: 115

materinya, akan tergambar secara keseluruhan bentuk sesuatu tersebut. Dengan kata lain, menurut Sadra, nisbah materi kepada forma adalah laksana nisbah kekurangan pada kesempurnaan; kekurangan membutuhkan kesempurnaan, tetapi kesempurnaan tidak memerlukan kekurangan. Demikian pula pada diferensiasi akhir pada kuiditas yang terdiri dari genus (Jins) dan pembeda (Fasl), seperti berbicara/berpikir (Nātiq) sebagai ciri manusia merupakan prinsip esensial genus. Seperti juga pendefinisian batasan karena dikategorikan sebagai batas karena memang dirinya terbatas. Bagi Mulla Sadra kuiditas memiliki komposisi yang disatukan oleh kesatuan alami (Thabi'iyyah) yang genus (Jins) dan Pembeda (Fall) dibentuk oleh unsur-unsurnya yang terdiri dari materi dan forma. Menurut Mulla Sadra, kuiditas memiliki dua sisi: sisi pertama didasarkan pada pluralitas dan spesifikasinya; sisi kedua didasarkan pada generalitas dan kesatuannya. Sementara menurut Mulla Sadra, jika kita ingin menyaksikan aspek wujudnya yang spesifik dan kita ingin melakukan pembatasan terhadapnya, maka menjadi keharusan bagi kita untuk menghadirkan seluruh makna yang mencakup keseluruhan bagiannya dan jika kita menyaksikan dari sisi wujudnya yang satu-hal tersebut merupakan forma kesempurnaannya-dan kita ingin melakukan pembatasan terhadapnya, padahal pembatasan hanya dapat terjadi pada sesuatu yang memiliki bagian-bagian sedangkan forma yang sederhana tidak memiliki bagian, baik di luar maupun di alam mental. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan melalui karakternya (lawăzim), sekalipun karakter tersebut tidak seperti umumnya karakter yang mewujud tanpa adanya wujud yang menjadi gambaran karakter tersebut (Malzūm). Akan

P: 116

tetapi, dirinya secara keseluruhan dapat dilihat sebagai forma sederhana dan sempurna yang dipahami langsung dari zatnya tanpa adanya sesuatu yang meliputinya. Wujud, menurut Mulla Sadra, tidaklah berada di dalam kuiditas karena dirinya tidak memiliki kuiditas, kecuali jati dirinya, sebagaimana sebelumnya bahwa forma sempurna bagi sesuatu merupakan wujud murni yang berbeda dalam rangkaian kewujudan-telah dijelaskan sebelumnya bahwa wujud tidaklah memiliki batasan-tetapi definisi yang didasarkan pada pemisalan karakter tersebut tidak berarti lebih rendah atau kurang dari definisi yang dibangun oleh genus dan pembeda karena genus dan pembeda bersatu di dalamnya dan diambil dari fundamen tersebut. Mulla Sadra, setelah menjelaskan pendefinisian dalam pola yang digambarkannya, bersandar pada pernyataan Ibn Sina dalam Hikmah al-Masyriqiyyāh, “Sesungguhnya, sesuatu yang sederhana dibatasi melalui karakter-karakter yang menyampaikan mental pada kesadaran tentang sumber munculnya karakter-karakter tersebut (Malzāmat) dan definisi melaluinya tidaklah lebih lemah dari definisi melalui pembatasan.(1) Menurut Mulla Sadra, manusia memiliki dua wujud, yaitu wujud spesifik dan wujud general. Wujud spesifik sesungguhnya terealisasi melalui materi substantif dan forma kontinu kuantitatif (Miqdāri). Forma merupakan sumber perkembangan dan pertumbuhan merupakan sumber indriawi dan gerakan yang bebas (Ikhtiyāri), selain itu juga merupakan sumber berpikir/ berbicara (Nātiqah) sehingga dapat dikatakan dalam batasannya bahwa dirinya merupakan substansi yang reseptif terhadap sisi-sisi, pertumbuhan, pengindraan, dan gerakan yang bebas dan ini merupakan bagian-bagian yang tersusun dalam wujud

P: 117


1- 54. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 187 – 188.

terunggulkan dalam keutamaan dan kesempurnaan. Setiap kali tersusun atas keutamaan yang khusus (Aqdam al-Akhas), maka menjadi keharusan tercapainya tingkat akhir keutamaan dalam bentuk yang lebih halus dan sederhana, sedangkan wujud generalnya terealisasi melalui jiwa inteleknya (Nātiqah) yang terdapat di dalamnya seluruh makna ini dalam bentuk yang lebih sederhana dan lebih tinggi.

Prinsip keenam, sesungguhnya, kesatuan personal pada setiap sesuatu itu adalah wujudnya, dan tidaklah dalam satu derajat dan kualitas seperti halnya wujud tidak dalam tingkat yang satu. Oleh karena itu, kesatuan personal pada tingkat ukuran-ukuran kontinunya merupakan kontinuitas dan intensitasnya; pada tingkat temporalitas dan tahapnya adalah kebaruannnya dan keaktualisasiannya; pada tingkat kuantitas adalah multiplikasi aktualnya; dan pada fisik alami adalah kepluralannya secara potensial. Oleh karena itu, satu raga mustahil akan menjadi korpus bagi banyak sifat yang saling berbeda, seperti pada saat yang sama, ia adalah hitam, ia juga adalah putih; pada saat ia manis, pada saat itu juga ia pahit; atau pada saat yang sama, ia mengalami kenikmatan tapi pada saat yang sama ia mengalami kesakitan. Hal demikian itu terjadi karena kekurangan wujudnya dan sempitnya ruang untuk banyak persoalan yang berbeda-beda. Korpus penglihatan pada tubuh manusia bukanlah korpus bagi pendengaran, begitu pun seperti korpus penciuman, bukanlah korpus bagi rasa.

Adapun substansi jiwa, bersama keunikannya itu, di dalamnya terkandung gambar hitam dan putih dan kontradiksi-kontradiksi yang lainnya.

Karenanya bagi Mulla Sadra, setiap kali seseorang

P: 118

meningkat abstraksi dan substansinya, dan memadat potensi dan kesempurnaannya, maka pengetahuannya tentang sesuatu akan menjadi lebih komprehensif dan rekonsiliasinya bagi kontradiksi-kontradiksi menjadi lebih sempurna; ia mengalami gradasi kesempurnaan sehingga dirinya memadai untuk gerak wujud keseluruhannya.

Dengan menyandarkan diri pada pendapat Ibn Sina, bahwa orang tersebut dapat berubah menjadi seorang manusia yang berpengetahuan rasional ('aliman ma'qūlan), dapat orang itu sendirilah yang menerima pengetahuan indriawi dan dapat memberi kesaksian atas kebaikan mutlak (al-hasan al-muthlaq dan al-khayr al-muthlaq) dan keindahan mutlak; ia menyatu dengannya dan menjadi manifestasinya, tercermin dalam perilakunya dan menjadi substansinya(1) sehingga menurut Mulla Sadra, seseorang yang melakukan persepsi terhadap objek-objek pengetahuan indriawi, imajinatif dan rasional, atau orang-orang yang melakukan objek-objek tindak alami, hewani, dan insani, pada dasarnya, jiwa orang itu sendirilah yang mengaturnya. Jiwa memiliki kemampuan untuk turun ke tingkat indra dan alat-alat alamiah, sebagaimana juga pada pada saat yang sama, ia memiliki

P: 119


1- 55. Lihat: Ibn Sina, Al-Syifa, Al-llahiyat, J. I, hlm. 65. Lihat juga: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 187 – 188

kemampuan untuk naik ke tingkat akal aktif dan akal yang lebih tinggi. Hal demikian dapat terjadi, menurut Mulla Sadra, karena keluasan wujudnya dan keterangbenderangan cahayanya yang menebar ke sekeliling dan sekitarnya sehingga zatnya terbentuk dalam berbagai ragam fase kehidupan (Nasy'ah) dan ukuran serta turun dengan perintah Allah pada tingkat potensi dan bagian fisik, serta sekiranya turun pada materi yang halus atau fisik, maka hukumnya adalah potensi dan jika ia kembali pada fundamen dan substansi pada saat kesempurnaanya, maka keseluruhannya dalam kesatuannya. (1) Melalui prinsip ini, menurut Mulla Sadra, jelas bahwa sesuatu yang terkait pada materi pada satu masa dapat menjadi nonmateri pada masa yang lain. Namun, kesimpulan demikian berbeda dengan kesimpulan yang terkenal dari kaum Peripatetik yang berpendapat bahwa modus wujud korelatif dan merdeka itu tidak dapat berkumpul pada sesuatu yang satu. Kritik Mulla Sadra atas pendapat Peripatetik tersebut, bahwa pendapat demikian tidak didasarkan pada argumentasi, kecuali jika yang dimaksud pada saat dan dimensi yang bersamaan.

Prinsip ketujuh, kuiditas raga dan personalitasnya adalah karena jiwanya bukan karena raga fisiknya. Zaid misalnya, merupakan Zaid karena jiwanya bukan karena fisiknya.

Untuk itu, raga seseorang itu bertahan sejauh bertahannya jiwa, sekalipun bagian-bagian fisiknya, atau berubah pula kebiasaannya baik menyangkut posisional, kuantitatif, kualitatif, dan kapannya, seperti yang terjadi pada sepanjang umurnya.

Demikian juga analoginya, jika forma alamiahnya berubah menjadi forma imajinal, seperti terjadi di alam mimpi, alam kubur, alam barzakh hingga hari kebangkitan manusia tersebut,

P: 120


1- 56. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hal. 187 – 188.

identitas diri manusia tersebut dengan beragam perubahan dan transformasi tetap saja satu, yaitu dirinya. Hal itu terjadi karena gerak kontinu yang unik dan gradatif (ʻala sabil al-ittisāl al-wahdāniy al-tadriji). Pembicaraannya bukan pada substansi secara spesifik dan batas-batas substansi yang aktual pada gerakan transubstansial, melainkan sesuatu yang berlangsung dan tetap, dan itu tidak lain adalah jiwa karena jiwa merupakan forma sempurna pada diri manusia dan jiwalah yang menjadi kuiditas dan zatnya yang sesungguhnya, sebagai korpus berkumpulnya zat dan hakikatnya, sumber bagi potensi dan alat-alatnya, dasar kemunculan sisi-sisi dan bagian-bagiannya serta penjaga baginya sepanjang alam fisik dan kemudian merubahnya secara gradatif menjadi bagian-bagian ruhani dan demikian seterusnya hingga menjadi akal yang sederhana.(1) Jika sampai pada kesempurnaan alam akal dengan ketetapan takdir dan tarikan Ilahiah, jika tidak, maka pada batas putus pada dirinya karena sebab-sebab putusnya yang terjadi padanya karena telah sampai pada tingkat kesempurnaan akhir dan hal ini membutuhkan penjelasan yang cukup panjang; jika kita bertanya tentang Zaid ketika anak-anak, muda, dan tuanya, maka jawaban yang akan muncul positif dan negatif karena didasarkan pada dua hal, pertama fisik dalam makna dirinya dan jiwanya merupakan persoalan yang telah dihasilkan (Muhassāl).

Kedua, fisik dalam makna genusnya adalah persoalan yang tidak jelas. Fisik dalam makna yang pertama merupakan bagian dari diri Zaid, bukan merupakan predikat baginya, sedangkan pada makna fisik yang kedua merupakan predikat bagi Zaid dan bersatu bersamanya, sedangkan jika ditanya pada Zaid muda apakah Zaid kanak-kanak adalah dirinya dan kelak akan

P: 121


1- 57. Sederhana yang dimaksud adalah tidak adanya komposisi unsur-unsur yang menjadi penunjang terbentuknya dirinya, karena puncak ruhani adalah hilangnya seluruh batasan.

menjadi tua, maka jawabnya pastilah positif bahwa kesemuanya adalah dirinya karena perubahan materi tidaklah merusak terhadap tetapnya komposisi secara keseluruhan; karena materi diketahui tidak dalam modus spesifik dan penetapan, melainkan dalam modus genus dan ketidakjelasan (ibhām), sebagaimana penjelasan lalu58 tentang pembahasan kuiditas mutlak dan kuiditas yang diambil melalui pensyaratan transendensi (al- Ma’khūzbi syarti al-tajrid) dan perbandingan perbedaan di antara keduanya adalah perbedaan di antara pembeda dengan forma dan antara aksiden dengan aksiden serta pada setiap bentuk tersebut merupakan predikat atas sesuatu yang didasarkan pada yang pertama, bukan predikat atasnya atas dasar yang kedua.

Prinsip kedelapan, daya imajinatif merupakan substansi yang tidak berdiri pada korpus raga atau pada anggota raganya.

la juga tidak mewujud pada orientasi alam fisik. la transenden, terlepas dari alam ini dan berada di alam substansi, yaitu alam antara alam akal pembeda (al-mufraqāt al-aqliyyāh) dan alam fisik material (‘alam al-tab'iyyāt al-mādiyyāt).

Prinsip kesembilan, sesungguhnya forma-forma imajinatif itu, bahkan gambar-gambar intelek, bukanlah kondisi terletak pada korpus jiwa, juga bukan di tempat lain, melainkan terjadi melalui jiwa secara aktual pada subjek (bi al-fa'il), bukan secara pasif (Maqbul) pada objek (bi al-qābil). Demikian penglihatan menurut kita, bukanlah seperti halnya pantulan bayangan cermin dan selainnya. Hal ini seperti pandangan para saintis; tidak pula seperti cahaya pada pandangan matematikawan serta tidak pula tambahan pengetahuan yang berada dalam korpus jiwa yang kemudian muncul pada forma eksternal ketika terpenuhinya seluruh persyaratan yang dibutuhkan, sebagaimana yang

P: 122

diduga para Iluminasi (Isyraqiyyūn). Bagi Mulla Sadra, seluruh pandangan ini keliru, temasuk pandangan Al-Farabi yang dikemukakannya pada kitab Al-Jam' bayna Al-ra'yayn.(1) Mulla Sadra mengembangkan argumentasi untuk membantah hal tersebut, bahwa menurutunya, selama jiwa itu melekat pada badan, maka penglihatannya-bahkan pengindraannya, bersifat mutlak, bukan imajinasi, sebab yang pertama (pengindraan) jiwa itu memerlukan materi eksternal dan syarat-syarat khusus, sedangkan pada yang kedua (imajinasi), jiwa tidak membutuhkannya. Ketika jiwa telah berpisah dari raga, maka tidak lagi tinggal perbedaan antara imajinasi dan pengindraan karena daya imajinasi sebagai khazanah indra telah menguat dan keluar dari kelemahan raga sehingga kelemahan dan keterbatasan raga telah menghilang, bahkan menurut Mulla Sadra, daya-daya imajinatif itu selanjutnya menyatu dan kembali kepada sumber bersamanya, sehingga jiwa beraktivitas melalui daya imajinasinya seperti aktivitasnya dengan daya-daya lainnya.

Karenanya, apa yang disaksikan mata imajinatifnya adalah apa yang disaksikannya melalui mata indrawinya; kekuatan, pengetahuan, dan syahwatnya menjadi satu. Oleh karena itu, kemampuan, pengetahuan, dan syahwatnya merupakan sesuatu yang satu. Pengetahuannya terhadap objek-objek yang menjadi kehendaknya adalah kekuasaanya itu sendiri dan penghadirannya padanya dapat dilakukan olehnya, bahkan menurut Mulla Sadra, apa yang ada di surga nantinya, tidak lain, adalah apa yang dikehendaki jiwa (Syahwat al-nafs) dan berdasarkan keinginannya. Untuk hal ini, Mulla Sadra mengutip firman Allah Swt., “Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan";(2) “Di dalam surga itu terdapat segala apa yang

P: 123

diingini oleh hati dan sedap dipandang mata. "(3) Prinsip kesepuluh, sesungguhnya, forma-forma yang memiliki ukuran, bentuk, dan gerak kosmik, sebagaimana yang dihasilkan oleh subjek melalui kesertaan materi yang bersifat reseptif, sesuai dengan potensialitas-potensialitas yang dimilikinya, demikian juga dapat dihasilkan dari dimensi subjek dan daya inteleknya tanpa penyertaan materi. Yang termasuk dalam konteks seperti ini adalah planet-planet dan bintang-bintang dari bahan utama akal melalui jalan penciptaan yang hanya dengan membayangkan forma-forma (TaSawurāt).

Alasannya karena sebelum fisik pertama (al-Ajsām awwaliyyāh), tidak ada materi-materi yang mendahuluinya. Dalam hal ini, seperti forma-forma imajiner yang muncul dari jiwa melalui daya penggambaran (al-MuSawirrah) dari materi-materi atau bentuk-bentuk yang sangat besar melampaui planet-planet eksternal secara general demikian pula penggambaran sahara atau gurun yang sangat luas, gunung yang sangat tinggi, negeri, perkebunan, pepohonan yang belum pernah diciptakan sebelumnya, sesungguhnya, hal yang seperti ini tidaklah bergantung pada materi otak dan tidak juga pada keadaan daya imajinasi, sebagaimana sebagian berargumentasi dengannya, tidak pula pada alam imajinal general, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, melainkan pada korpus jiwa, alam dan wilayahnya yang berada di luar alam materi (“Alam al-Hayūlāni) ini. Sebagaimana yang pernah disinggung sebelumnya, forma- forma yang digambarkan oleh jiwa melalui daya penggambaran dan disaksikan melalui penyaksian imajinasinya memiliki wujud yang jelas bukan pada alam ini, jika tidak, maka pastilah dapat disaksikan oleh setiap pemilik indra yang sehat. Jadi, forma-

P: 124


1- 59. Kekeliruan-kekeliruan pandangan tersebut dikemukakan Mulla Sadra ketika membicarakan teori Ittihad al-´Aqil wa Al- Ma'qul. Lihat Mulla Sadra, Al-Asfar, J. III, hlm. 313.
2- 60. QS 41:31. Teks ayat tersebut sebagai berikut : «وَلَکُمْ فِیهَا مَا تَشْتَهِی أَنْفُسُکُمْ وَلَکُمْ فِیهَا مَا تَدَّعُونَ »
3- 61. QS 43:71. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَفِیهَا مَا تَشْتَهِیهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْیُنُ » Juga, lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 192.

forma tersebut berada pada alam yang lain, yang tersembunyi dari alam ini, dan tidak berbeda dengan apa yang disaksikan jiwa melalui daya indriawinya, kecuali hanya ketiadaan konsistensinya dan kelemahan substansinya karena sibuknya jiwa(1) pada selainnya. Pengaruh yang seringkali melingkupi kesadaran intelek manusia, pada umumnya, berasal dari aktivitas eksternal, sekiranya pengaruh eksternal tersebut hilang, kemudian terjadi upaya pengerahan daya hewani dan fisikal dalam aktivitas imajinasi sehingga tergambar beragam forma fisik dalam rangkaian wujud, maka efeknya akan lebih kuat dibandingkan efek yang dihasilkan indra material, sebagaimana yang dikisahkan para ahli karimah dan keajaiban di luar hal yang alami dan jika keadaan jiwa dalam penggambaran sesuatu dalam bentuk yang seperti ini dan hal tersebut terjadi di dunia ini yang masih terikat dengan raga fisik, maka dapat dibayangkan kemampuan daya imajinatif setelah putus hubungan dengan dunia ini secara keseluruhan, disertai menguatnya seluruh daya dan aktivitasnya, seluruh jiwa manusia yang terpisah dari dunia dan termasuk dari kelompok yang selamat dari berbagai penyakit ruhaniah, keburukan akhlak dan karakter yang hina, yang menghalangi dirinya untuk kembali pada sumber asalanya, maka dirinya akan berada pada alam yang khusus dengan segala apa yang diinginkannya dan diharapkannya. Yang demikian masih berada pada tingkat yang rendah dari tingkatan-tingkatan kebahagiaan. Menurut Mulla Sadra, yang berada pada tingkat ini memiliki surga yang datarannya sebagaimana dataran langit- langit, sedangkan kedudukan para Abrār dan Muqarrabin berada jauh di atas tingkat dan kualitas ini hingga tak terbayangkan.

Prinsip kesebelas, sesungguhnya, jenis-jenis alam

P: 125


1- 62. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 270.

dan fase kehidupan (Nasy'ah) dengan kuantitasnya yang tak terbatas dapat dibagi ke dalam tiga bagian: pertama, alam yang paling rendah, yaitu alam forma fisikal yang merupakan alam kehancuran. Di tengahnya berada alam forma intelek indriawi yang terlepas dari materi dan mengandung kemungkinan- kemungkinan dan potensi-potensi serta reseptif terhadap berbagai kontradiksi, dan yang paling tinggi adalah alam forma rasional dan ideal-ilahiah. Jiwa manusia memiliki kekhususan dalam rangkaian keberadaan, yaitu memiliki ketiga alam tersebut bersama kontinuitas identitasnya. Seorang manusia, dari awal masa kanak-kanaknya, berada dalam alam material dan dia merupakan manusia biologis (Insan Basyari). Kemudian, dia mengalami perubahan dalam wujud: semakin murni dan semakin halus secara gradual dalam transformasi substansialnya hingga sampai pada tingkat akhir jiwa dan dia merupakan manusia ruhaniah ukhrawi (Insan Nafsāni Ukhrawi) sehingga memadai untuk bangkit dan muncul kembali dalam raga ruhani.

Inilah manusia kedua. Kemudian, ia bertransorfmasi dari semesta ini secara gradual hingga sampai pada alam intelek atau akal dan masuk kategori manusia intelektual (Insan “Akli) dan dia memiliki raga intelektual. Sekarang, dia memasuki bentuk manusia ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan Mu'ālim al- Falsafah al-Ilahiyyah(1) dalam kitabnya, Utsūlujiya(2).

Transformasi dan perubahan ini, yang terjadi pada diri seseorang dalam perjalanannya menuju Al-Haqq melalui tujuan yang jauh, hanya terjadi pada diri manusia; sekalipun segala sesuatu berorientasi kepada keagungan Ilahiah, tetapi yang melalui Sirat al-Mustaqim hingga berakhir pada batas akhir akhirat tidak akan terjadi, kecuali pada manusia dari keseluruhan apa

P: 126


1- 63. Yang dimaksud Mulla Sadra dengan Muallim al-Falsafah al- Ilahiyyah disini adalah Plotinus. Mulla Sadra dalam kitabnya, Al-Asfar, menyebutkan dua tokoh yang berbeda, pertama Muallim Al-Falsafah, maka yang dimaksud adalah Aristoteles dan Muallim Al-Falsafah Al-llahiyyah, yaitu Plotinus. Sayangnya, Sayyid Radi yang memberikan catatan kaki pada kitab Al-Asfar tidak menyadari hal ini.
2- 64. Kitab Utsulujiyya merupakan karya yang membahas persoalan jiwa dan proses emanasi yang terjadi (Teodesi). Awalnya, karya ini diduga sebagai karya Aristoteles, mengingat judul yang pertama kali dikemukakan adalah Utsulujiyya Aristoteles. Ada juga yang menisbahkannya pada Al-Farabi dengan judul Risalah fi Al-Ilmi Al-llahi li Al-Farabi. Abu Sulayman Al-Sajistani dalam kitabnya, Suwan Al-Hikmah, menisbahkan karya ini pada Syaikh Al-Yunani, yang dimaksud adalah Plato. Namun Syaikh Isyraq, Mulla Sadra, dan para peneliti belakangan menyebutkan karya ini sebagai karya Plotinus dan merupakan ringkasan dari karyanya, Enneads, yang di ambil dari bab IV, V dan VI.

yang ada dalam alam semesta ini; kemudian menjadi kemestian bagi selainnya. Jika kita gambarkan perjalanannya menuju alam kesucian (Hadrat al-Qudsiyyāh), terjadi transformasi dari genusnya menjadi genus yang lain melalui kejadian dan kehancuran (Kawn wa al-Fasād).

Pertama, yang dicapai adalah menjadi manusia kemudian darinya menuju alam kesucian dan melewati ketiga tingkat kehidupan tersebut secara sistemis untuk dapat kembali naik menuju Allah Swt.. Menurut Mulla Sadra, hal ini merupakan kebalikan dari perjalanan awal turun dari Allah Swt.. Akan tetapi, dalam dimensi yang lain, rangkaian kebermulaan diawali melalui fase tanpa waktu dan gerak; dan rangkaian kembali adalah rangkaian yang melalui fase waktu dan gerak. Hal ini seperti yang telah digambarkan sebelumnya tentang kurva naik dan kurva turun.

Bagi Mulla Sadra, ada alam yang mendahului kemunculan manusia dalam kebaruan sebagai identitas materi dan argumen ini menguatkan apa yang diungkapkan Plato, “Jiwa manusia merupakan bentuk akal yang sudah ada sebelum kemunculan fisik yang baru”.(1) Mulla Sadra, setelah memberikan bukti argumentasi rasionalnya, merujukkan pandangannya ini dengan prinsip nash, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam

P: 127


1- 65. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 195. Teks aslinya sebagai berikut : "النفس الإنسانیة کونا عقلیا قبل حدوت البدن"

dari sulbi mereka”,(1) serta pernyataan para Imam(2) yang mengindikasikan bahwa ruh para Nabi dan Kekasih Allah telah diciptakan terlebih dahulu sebagai tanah dari tempat yang tinggi (Illiyyin) sebelum diciptakan langit dan bumi, sekalipun fisik mereka diciptakan bukan dari tanah tersebut, seperti halnya para pengikut mereka. Hati dan fisik para munafik merupakan makhluk yang diciptakan dari tanah yang buruk (Sijjin). Demikian pula manusia telah ada pada alam sebelum alam (dunia) ini. (3) Bagi Mulla Sadra setiap manusia memiliki fitrah yang selalu berorientasi kepada akhirat secara gradatif dan kembali pada tujuan yang diharapkannya dimulai dengan wujud duniawi materinya menuju wujud forma ukhrawi. Perbandingan antara dunia dengan akhirat adalah seperti perbandingan antara kekurangan dengan kesempurnaan seperti juga antara anak- anak dan dewasa. Dari sini wujud ini membutuhkan perjalanan menuju liang lahat(4) sebagai tempat dan proses pengembangan fisik hingga ketika ia sampai pada puncak substansinya keluarlah dari wujud duniawi ini menuju wujud ukhrawi dan bersiap- siap untuk keluar dari alam ini menuju alam yang dijanjikan (Min hadza dar ila dar al-Qarār), sampai batas ini bahwa dari keberadaan jiwa dan lepasnya forma substansial yang dikenal dengan "peniupan forma" (Nafakh al-Sūri), menyebabkan kematian fisik dan keluar dari bentuk kehidupan ini yang di dalamnya berkumpul mukmin dan kafir, muwahid, musyrik dan atheis, yaitu tidak ada keselarasan di antara kesempurnaan wujud yang sama sekali tidak membutuhkan materi fisik dengan penderitaan dan penghukuman melalui neraka jahanam dan penanggungan azab yang pedih, bahkan justru menguatkannya, hal ini terjadi, menurut Mulla Sadra, karena kuatnya intensitas

P: 128


1- 66. QS 7:172. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَإِذْ أَخَذَ رَبُّکَ مِنْ بَنِی آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّیَّتَهُمْ »
2- 67. Di sini, yang dimaksud dengan para Imam oleh Mulla Sadra, tidak lain, adalah 12 Imam Syi'ah.
3- 68. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 195. Sekilas, pernyataan Mulla Sadra di sini seakan kontradiktif dengan pandangannya tentang awal kepermulaan jiwa, tetapi patut disadari bahwa Mulla Sadra di sini menjelaskan proses emanasi intelek-intelek, bahwa menurutnya, seperti halnya juga para Sufi, ruh para Nabi dan Kekasih Allah sebenarnya merupakan manifestasi dari intelek pertama yang diciptakan Allah Swt., yang dalam bahasa tasawuf dikenal dengan istilah Nur Muhammad.
4- 69. Sebagai tempat akhir perjalanan kesempurnaan duniawi.

wujud yang menyebabkan keluarnya jiwa dari lilitan dan pakaian materi dan hal itu akan menyebabkan persepsi maksimal bagi para pesakitan dan penderita karena beragam keburukan dan kejelekan ruhaniah yang dibiarkan, bahkan dipelihara ketika kehidupannya di dunia sebagi efek dari kelemahan jiwa dan tertutupnya mata batin; Ketika tersingkapnya hijab munculah azab. Jiwa, sebelum seluruh batasan-batasan fisik hancur, tidak akan sampai ke sisi Allah dan tidak berhak atas maqam disisi Allah (Indiyyāh). Menurut Mulla Sadra, kematian merupakan tingkat pertama dari tingkatan akhirat dan akhir dari tingkatan dunia, manusia setelah keluar dari dunia akan terpenjara pada sebagian Barzakh yang merupakan antara di antara dua alam, yaitu dunia dan akhirat dan berada di dalamnya dalam waktu yang panjang maupun sebentar, adakalanya naik secara cepat, baik melalui cahaya ma'rifah, kekuatan ketaatan, tarikan ruhaniah atau melalui syafa'at oleh para pemberi syafa'at, dan pemberi syafa'at yang utama adalah Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Mulla Sadra, dengan sebelas prinsip ini, menegaskan bahwa kebangkitan akan terjadi dan manusia akan dibangkitkan kembali dengan jiwa dan raganya yang raga tersebut bukanlah sesuatu bentuk fisik eksternal, melainkan terbentuk dan berasal dari jiwanya. Bagi Mulla Sadra, kekeliruan pemikiran tentang eskatologi yang dikemukakan para pemikir Islam sebelumnya terletak pada prinsip ini. Setiap daya, pada intinya, menuntut kesempurnaan dan manusia dengan seluruh daya yang dimilikinya haruslah melakukan usaha penyempurnaan tersebut. Penyempurnaan setiap daya tidak lain adalah upaya manusia untuk kembali pada asal sumber dirinya, dan melalui

P: 129

gerakan transubtsansial telah dibuktikan bahwa apa pun bentuk wujud melakukan gerakan transubstansial sebagai upaya penyempurnaan tersebut. Sekiranya manusia mengarahkan dirinya untuk wujud yang lebih tinggi dan berusaha melepaskan beragam ikatan materi pada dirinya, maka hal tersebut menghasilkan efek bagi jiwanya untuk naik pada kualitas yang lebih utama, tetapi jika tidak, maka manusia tersebut akan turun, bahkan pada tingkat yang paling buruk. Menurut Mulla Sadra, orang yang merenungkan dengan seksama sepuluh prinsip(1) tidak akan memiliki keraguan dalam persoalan eskatologi dan kebangkitan jiwa dan raga. Dan Mulla Sadra menyatakan bahwa raga, dengan kediriannya, akan dibangkitkan kembali pada hari Kiamat melalui forma fisik; tersingkap baginya rahasia kebangkitan yang meliputi seluruh jiwa dan raga dengan kedirian dan identitasnya. Mulla Sadra menggambarkan bahwa sesungguhnya yang dibangkitkan pada hari Kiamat, tidak lain, adalah raga dengan kediriannya, bukan raga lain yang tersusun dari unsur yang berbeda, sebagaimana pandangan pemikir Muslim atau raga imajinal, sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ilmunasi. Bagi Mulla Sadra, setiap daya dari daya- daya jiwa dan selainnya memiliki kesempurnaan khusus dan kenikmatan serta penderitaan yang berkaitan dengannya. Atas dasar tindakan atau perbuatan yang dilakukannya, merupakan keharusan baginya mendapatkan ganjaran material dan balasan sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para filsuf (Hukamā') dalam penetapan tujuan materi terhadap seluruh sumber dan potensi, baik yang tinggi maupun rendah. Aktualisasi ini memunculkan keyakinan terhadap keharusan kembalinya segala sesuatu (kepada-Nya) dan tidak akan ada kekeliruan pada

P: 130


1- 70. Sebagian menyebutkan kekeliruan Mulla Sadra, tapi sebagian lainnya menyebutkan kesalahan dalam pencetakan naskah.

tindakan-Nya. Menurut Mulla Sadra, inilah yang diinginkan filsafat dalam pembuktian terhadap kebenaran janji-janji Allah dan seluruh bentuk ciptaan akan selalu berorientasi pada tujuan yang dituntutnya serta kebangkitan setiap segala sesuatu pada apa yang sesuai dengan diri dan jenisnya.(1) Mulla Sadra dalam hal ini, secara khusus, mengerahkan perhatiannya untuk membuktikan pandangan utamanya. Hal ini merupakan sebuah keunggulan Mulla Sadra yang patut dipuji dibandingkan para pemikir Muslim sebelumnya. Dalam upayanya ini, Mulla Sadra mengerahkan hampir seluruh prinsip filsafatnya. Terlihat keseriusan Mulla Sadra untuk menyelesaikan persoalan utama eskatologi yang terjadi dalam diskursus pemikiran Islam, bahkan terkesan bahwa pemikiran filsafat Mulla Sadra sepertinya ditujukan untuk menyelesaikan persoalan ini, mengingat mulai dari jilid delapan dan sembilan, Mulla Sadra telah mencurahkan kajian terhadap persoalan eskatologi.

5. Kritik terhadap Pandangan Eskatologi Pemikir Muslim

a. Kritik Mulla Sadra terhadap Ibn Sina Ibn Sina merupakan tokoh utama dalam Filsafat Peripatetik. Dalam persoalan eskatologi, Ibn Sina menulis karya khusus yang berjudul Al-Mabda' wa Al-Ma'ad. Selain itu, pada karya-karyanya yang lain, Ibn Sina juga kerap membicarakan persoalan eskatologi. Di antara pandangan umum Ibn Sina dalam persoalan eskatologi, antara lain, Ibn Sina membagi dua pandangan Eskatologi. Menurutnya, ada pandangan Eskatologi yang berasal dari syari'at dan wahyu yang menggambarkan

P: 131


1- 71. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm.197.

kebangkitan dalam makna fisik. Bagi Ibn Sina, eskatologi dalam makna ini sama sekali tidak mungkin dipahami rasio. Rasio memberikan makna lain, yaitu kebangkitan ruhaniah.(1) Kebahagiaan dan penderitaan manusia bagi Ibn Sina sangat ditentukan oleh kualitas jiwa dalam proses pencapaian kualitas intelektual dan aktualitasnya. Baginya ada jiwa yang sampai pada tingkat kesempurnaan dalam potensi berpikir dan ada jiwa yang tidak sampai pada tingkat tersebut. Jiwa yang sampai pada tingkat kesempurnaan terbagi lagi atas jiwa yang mampu mengaktual secara sempurna dan jiwa yang tidak mampu mengaktual secara sempurna. Bagi jiwa yang mencapai kesempurnaan, baik dalam potensi berpikir maupun dalam aktualisasinya, akan dibangkitkan dalam kebangkitan ruhaniah dan kebahagiaan intelektual. Namun, bagi jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan dalam aktualitasnya, padahal kesempurnaan ini menjadi harapan baginya (bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut dan memiliki kerinduan untuk mencapainya karena pengetahuannya tersebut), maka jiwa tersebut akan mengalami azab ruhani dan penderitaan intelektual.(2) Bagi Ibn Sina, kebangkitan merupakan proses aktualisasi kesempurnaan bagi jiwa dan kesempurnaan jiwa tersebut hanya terjadi pada tingkat intelektual atau ruhaniah sehingga kebangkitan hanya terjadi pada tingkat ini. Ibn Sina menyatakan:

Dan yang tersisa bagi kita adalah upaya menjelaskan keadaan jiwa setelah berpisah (dari raga), dan haruslah terlebih dahulu dipaparkan pendahuluan, maka kami katakan: sesungguhnya bagi setiap potensi menuntut aktualisasi kesempurnaan baginya, dan tercapainya kesempurnaan adalah kebahagiaan baginya, kesempurnaan

P: 132


1- 72. Lihat: Ibn Sina, Al-llahiyat (Tehran: Nashir Khosrouw, 1363), hlm. 423 dan Al-Najah (Tehran: Nasir Khorouw, 1364), hlm. 291.
2- 73. Lihat: Ibn Sina, Al-Najah, hlm. 297; Al-Syifa (Al-Ilahiyyat), hlm. 431; Al-Isyarat, J.3, hlm. 355 dan Al-Mabda' wa Al-Ma'ad, hlm. 114.

dan kebahagiaan bagi syahwat adalah kenikmatan, kesempurnaan dan kebahagiaan bagi amarah adalah penguasaan, demikian pula pada ilusi, harapan, dan keinginan, sedangkan imajinasi adalah tergambarnya imajinasi-imajinasi yang indah. Demikian pula, kesempurnaan jiwa manusia bahwa sesungguhnya bersifat intelektual yang terlepas dari keterikatan dan kaitan dengan materi. (1) Dengan pernyataan di atas, Ibn Sina menggambarkan bahwa di hadapan pandangan Eskatologi berdasarkan wahyu, rasio membuktikan eskatologi dalam bentuk yang berbeda.

Argumentasi rasional menyatakan bahwa kebangkitan tidak lagi mungkin bersifat fisik, melainkan bersifat ruhaniah intelektual dan terlepas dari berbagai ikatan material. Pandangan ini jelas mirip dengan pandangan pendahulunya, Al-Farābi. Akan tetapi Ibn Sina menolak pandangan Al-Farabi yang menyatakan bahwa kebangkitan hanya terjadi pada jiwa yang sempurna.(2) Dalam pandangan Ibn Sina, seluruh jiwa akan dibangkitkan, sekalipun jiwa tersebut tidak mencapai kesempurnaan dan jiwa tidak hilang dengan hancurnya raga.(3) Jiwa yang tidak sempurna akan tetap ada setelah hancurnya raga maupun forma dan jiwa tersebut akan mengalami penderitaan ruhaniah karena tidak berhasil mencapai kesempurnaan.

Selain hal tersebut di atas, Ibn Sina menolak adanya kesadaran barzakhi pascakematian karena berpisahnya jiwa dari raga akibat kematian menghancurkan potensi imajinal pada diri manusia dan mengantarkan jiwa pada tingkat kemurnian intelektual atau immaterial murni sehingga tidak terjadi barzakh di antara kedua fase tersebut. Hal ini berangkat dari keyakinan

P: 133


1- 74. Ibn Sina, Al-Mabda' wa Al-Ma'ād (Tehran: Donesgoh Tehran, 1363), hlm. 109 (selanjutnya disebut Al-Mabda'). Teks aslinya sebagai berikut: والذی بقی علینا أن نوضحه أحوال الآ نفس بعد المفارقة. ویجب أن نقدم لذلک مقدمات فنقول: إن لکل قوة فعلا هو کمالها, وحصول کما لهاسعادتها, وکمال الشهوة وسعادتها هواللذة. وکمال الغضب وسعادته هو الغلبة, والوهم الرجاء والتمنی, والخیال تخیل المستحسنان, وکذلک کمال الا نفس الإنسانیة أن یکون عقللا مجدا عن المادة
2- 75. Al-Farabi berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan hanyalah jiwa yang sempurna, sedangkan jiwa yang tidak sempurna akan tetap bersama materi, berikut pernyataan Al- Farabi: “Dan jika perbuatan-perbuatan penduduk negeri tidak berkesesuaian dalam pencapaian kebahagiaan, maka sesungguhnya, dia tengah menghasilkan bentuk-bentuk yang buruk dari bentuk-bentuk jiwa.... Maka jiwa-jiwa mereka akan tetap sebagai jiwa pertama (Hayūla) yang tidak mengalami proses penyempurnaan dan tidak pula terlepas dari materi sehingga jika materi tersebut hancur, maka hancur pulalah jiwanya." Teks aslinya sebagai berikut: فإذا کانت أهل مدینة ما غیر مسددة نحو السعادة فإنها تکسبهم هیئات ردیئة من هیئة النفس ... فهولاء تبقی أنفسهم هیولانیة عیلر مستکملة استکمالا تفارق به الما دة حتی إذا بطلت المادة بطلت هی أیضا Abu Nashr Al-farabi, al-Siyasat al-Madaniah (India; Da'irah al-Ma'arif al-Utsmaniyah, 1345 H) hal. 53.
3- 76. Khwaja Nasiruddin Tusi, komentator Ibn Sina, dalam hal ini menyatakan sebagai berikut: "Ketahuilah bahwa sebagian pendahulu (Qudama') berpandangan bahwa jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan akan hancur, karena jiwa dapat tetap ada melalui forma yang melingkupinya. Maka hilangnya forma menyebabkan kematian jiwa, padahal tidaklah ada kematian pada wujud; akan tetapi argumentasi yang membuktikan tetapnya jiwa rasional (al-Nātiqah) menjadi bukti yang bertentangan dengan mazhab ini." Teks aslinya sebagai berikut: واعلم أن من القدماء من زعم أنها تفنی لأن النفس إتماتبقی بالصور المرتسمة فیها. فا لخالیة عنها معطلة. ولا معطل فی الوجود, ولکن الدلائل الدالة علی هذا المذهب بقاء النفوس الناطقة تقتضی نقض Khwaja Nashir Al-Din Al-Tusi, Syarh Al-Isyarat wa Al- Tanbiha, (Qom: Nashr Al-Balaghah, 1375) J. III, hlm. 355.

Ibn Sina bahwa potensi imajinal berada pada materi dan sama sekali tidak bersifat nonmateri. Penolakannya ini dapat kita ketahui:

Forma fisik an sich tidaklah menerima perbedaan dan tidak mungkin sebagian darinya eksis pada materi sedangkan sebagian lainnya eksis pada nonmateri. Adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi bahwa sebuah bentuk alami yang satu memiliki perbedaan dimensi dan terjadi pluralitas dalam keberadaan dirinya, karena wujud dari bentuk alami tersebut satu dalam makna kesatuan. Jika korpus wujudnya tidak hancur karena ketiadaan dirinya, pastilah dirinya adalah kuiditas dari tempat wujudnya tersebut dan jika tempat tersebut hancur karena kehancuran dirinya, pastilah dia merupakan substansi -yang wujudnya tidak bergantung pada sesuatu dari korpus wujudnya tersebut. Demikian juga, wujudnya yang satu pastilah (berada diantara beberapa kemungkinan) baik dia wujud pada materi atau wujud pada nonmateri atau sebagian wujud pada materi dan sebagian lain wujud pada nonmateri.

Adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi sebagian wujud pada materi dan sebagian lain wujud pada nonmateri karena berubahnya status wujud tersebut sebagai sesuatu yang satu dan tidak terdapat padanya perbedaan. Maka tinggallah kemungkinan bahwa wujud yang satu tersebut baik seluruhnya wujud pada nonmateri atau seluruhnya wujud pada materi, tetapi tidaklah seluruhnya wujud pada nonmateri, maka tinggalah kemungkinan terakhir bahwa seluruhnya wujud pada materi.(1) Dengan dasar ini, Ibn Sina meyakini tidak ada kehidupan Barzakhi pascakematian karena kehidupan Barzakhi merupakan gambaran dari terwujudnya potensi imajinal manusia.

Namun, pandangan Ibn Sina yang mendudukkan daya imajinasi berada pada korpus materi menimbulkan persoalan, yaitu dengan daya apa jiwa melakukan persepsi ketiga raga

P: 134


1- 77. Ibn Sina, Al-Najah, hlm. 203. Teks aslinya sebagai berikut: فاذا الصورة الجسمیة بماهی الصورة الجسمیة لامختلف فلایجوز أن یکون بعضهاقاعمافی المادة وبعضها غیرقا عما فیها. فانة من المحال أن تکون طبیعة لا اختلاف فیها من جهة ماهی تلک الطبیعة ویعرض لها إختلاف فی نفس وجودها لان کونهاذلک الواحد متفق و ایضا فان وجودها ذلک الواحدلا یخلو إما أن یکون قاعمافی مادة أو غیر قائم فی مادة أو بعضه قائما فیها و بعضه غیر قائم ومحال أن یکون بعضه قا ئما فیها وبعضه لیس لأن الاعتبارإئما تناول ذلک الوجود من حیث هوواحد غیر مختلف فبقی أن یکون ذلک الواحد إما کله کله غیر قائم فیها فبقی أن یکون کله غیر قائم فیها أو کله قائم فیها ولکم لیس فائما فیها

materinya hancur? Ibn Sina, dalam hal ini, mengemukakan pandangan bahwa pascaberpisahnya jiwa dan raga, jiwa akan menggunakan forma materi halus yang terbentuk dari udara dan asap yang di dalamnya tersimpan daya-daya material (al- Mizāj(1)). Jiwa bertindak sebagai pengendali bagi forma tersebut ketika melakukan persepsi, tetapi tidak menyatu dengan forma tersebut karena bagi Ibn Sina, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi.(2) Mulla Sadra mengkritik pandangan Ibn Sina yang seperti ini. Menurutnya, bagaimana mungkin Ibn Sina berpandangan bahwa korpus imajinal jiwa pascalepasnya dari fisik materi berasal dari udara dan uap, apalagi mengingat Ibn Sina merupakan filsuf Fisika dan Ilahiah. Menurut Mulla Sadra, sangat jelas bahwa fisik uap terlahir dari sebagian unsur-unsur yang terpisah melalui sebab yang rendah. Sekiranya tidak ada substansi yang menjaga keutuhannya sehingga dirinya tetap berada dalam pengendalian jiwa, maka dirinya tetap dalam substansinya sebagai bagian tumbuh-tumbuhan atau binatang karena dirinya merupakan korpus bagi persepsi imajinasi. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra, hal ini akan menyebabkan reinkarnasi karena materi uap tersebut akan menjadi binatang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan manusia yang terikat pada jiwa kemanusiaan sehingga hal tersebut akan menyebabkan manusia ini berubah menjadi binatang. Menurut

P: 135


1- 78. Menurut Syarif Al-Radi, yang dimaksud Mulla Sadra dengan Mizāj di sini adalah jiwa dalam tingkat pertama yang berkaitan dengan uap (Bukhar) dan asap dari Ruh Al-Bukhari. Lihat catatan kaki pada Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 149.
2- 79. Lihat: Ibn Sina, Al-Mabda' hal.

Mulla Sadra, hal tersebut karena syarat kemanusiaan adalah memiliki daya persepsi terhadap berbagai objek-objek intelek, baik secara aktual maupun potensial, dan baik yang dekat maupun jauh. Kedua hal tersebut tidak mungkin, mengingat potensi akan hancur karena kematian tanpa menjadi intelek secara aktual, kemudian jika diandaikan bahwa dirinya memiliki daya mengetahui objek-objek intelek, maka akan menjadi manusia yang lain dalam segala bentuknya. Hal ini jelas akan menyebabkan reinkarnasi. Argumentasi ini menurut Mulla Sadra tidak dapat disangkal hanya melalui pernyataan Ibn Sina, "Raga tersebut digunakan tanpa harus menjadi jiwa baginya.

Tidak ada makna bagi jiwa kecuali sebatas substansi intelek yang menggunakan materi hewan yang hidup secara potensial sebagai korpus bagi hasil inteleknya. "(1) Secara keseluruhan, Mulla Sadra menolak mazhab ini dan menurutnya, pernyataan tersebut keliru dan muncul dari tidak adanya ilmu terhadap lepasnya jiwa imajinal dan objek-objek inteleknya dari materi fisik.

Mulla Sadra juga menolak dengan sangat keras, bahkan menggunakan kata-kata yang cukup pedas terhadap Syaikh Ra'is:

Yang lebih aneh lagi dari pandangan Syaikh Abi Ali adalah bahwa kebahagiaan hakiki dirasakan melalui hubungan dirinya sebagian dengan sebagian yang lain dalam huubungan intelektual, sebagaimana hubungan antara subjek intelek dengan objek intelek. Padahal, belum dibuktikan makna hubungan intelek dan kesatuan esensial (zāti) di antara subjek intelek dengan objek intelek(2) Syaikh tidak dapat memberikan argumentasi, bahkan menolak pandangan tersebut dalam banyak kitabnya dalam puncak penolakan.(3)

P: 136


1- 80. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 150. Teks aslinya sebagai berikut: تستعمله من غیر أن تصیر نفسا لها. إذ لامعنی للنفس إلأ الجوهر الإدراکی المستعمل لجرم حیوانی ذی حیاة بالقوة موضوع الإدراکاته
2- 81. Postulat Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qūl dikemukakan oleh Mulla Sadra dalam bidang epistemologi. Pandangan ini telah dijelaskan pada Bab IV. Mulla Sadra mengemukakan pandangan ini di sini sebagai kritik terhadap inkonsistensi yang dikemukakan Ibn Sina yang menyatakan bahwa kenikmatan hakiki terletak pada pencerapan subjek intelek terhadap objek- objek intelek. Peristiwa ini terjadi dalam korpus jiwa yang tentu tidak lepas dari identitas personal dan menunjukkan terjadinya Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qul dan Ibn Sina, ketika berbicara epistemology, menolak postulat Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qūl tersebut.
3- 82. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 150. Teks aslinya sebagai berikut: والعجب من الشیخ أبی علی أیضا إنه ذکر فی هذا الکلام المنقول إن السعداء اتصالا عقلیا کا تصال الحقیقیین یتلذذون باتصال ذواتهم بعضهم ببعض معقول بمعقول مع أنه لم یحصل معنی الاتصال العقلی والاتحاد الذاتی بین العاقل و معقول, و لم یقدر علی اثباته بل أنکره فی أکثر کتبه غایة الانکار

Penolakan Mulla Sadra terhadap pandangan kebahagian yang dikemukakan Ibn Sina seperti yang telah dijelaskan di atas. Persoalan utama bagi Mulla Sadra di sini adalah puncak kebahagiaan berada pada tingkat intelektual, sedangkan hal tersebut hanya terjadi ketika jiwa melakukan pencerapan terhadap objek intelektual dan pandangan ini hanya bisa diterima jika didasarkan pada prinsip Ittihād al-'Aqil wa al- Maʼqūl, sementara Ibn Sina menolak prinsip tersebut.(1) b. Kritik Mulla Sadra terhadap Al-Ghazāli Dalam persoalan eskatologi, Al-Ghazāli banyak menulis, bahkan secara khusus dalam kitabnya Tahāfut al-Falāsifah, menyerang pandangan para filsuf tentang pandangan ini, yaitu keyakinan para filsuf bahwa kebangkitan yang akan terjadi pada manusia tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi hanya jiwa dan hal ini mengacu pada pandangan Eskatologi Ibn Sina. Bagi Al- Ghazāli, keyakinan yang seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip Alquran yang secara khusus menyebutkan bahwa kebangkitan manusia tidak hanya jiwa, tetapi juga meliputi fisik.

Pandangan Eskatologi para filsuf ini menegasikan kekuasaan Tuhan: bukankah Tuhan itu Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk sekedar menampilkan kembali fisik yang telah hancur ataupun mewujudkan yang baru? Al-Ghazāli juga mengajukan argumentasi bahwa kesempurnaan pada manusia hanya terjadi melalui perpaduan antara jiwa dan raga. Karenanya, menjadi wajib untuk diterima.(2) Menurut Al-Ghazāli, ketika kehidupan dan raga telah hancur, penciptaan kembalinya akan merupakan penciptaan

P: 137


1- 83. Ibn Sina, Al-Isyarat, J. 3, hlm. 292, 293. Secara khusus, dia menyebutkan penolakannya pada prinsip ini sebagai berikut: "Sesungguhnya kelompok yang mengeluarkan pernyataan bahwa substansi subjek ketika melakukan persepsi terhadap forma pengetahuan maka forma tersebut menjadi dirinya. Jika diandaikan bahwa substansi subjek mempersepsi objek dan berdasarkan pernyataan mereka, maka apakah dirinya tidak berubah seperti sebelum mempersepsi (objek tersebut)? Ataukah seluruh objek tersebut menjadi dirinya. Jika tidak terjadi perbedaan apa pun, maka sama saja keadaannya sebelum dan sesudah terjadinya persepsi. Jika tidak demikian mana yang akan hilang di antara dua hal ini; identitasnya atau esensi dirinya? Jika identitasnya yang lenyap dan esensi dirinya tetap maka ini seperti halnya kemustahilan yang lain bahwa diri (subjek) bukanlah sebagaimana yang diketahui; dan jika yang lenyap adalah esensinya dan menjadi sesuatu yang lain maka yang terjadi adalah hilangnya esensinya (terdahulu) dan menjadi sesuatu yang lain padahal kenyataannya tidaklah subjek menjadi sesuatu yang lain tersebut." Teks aslinya sebagai berikut: إن قوما من المتصدرین یقع عندهم أن الجوهم العاقل إذا عقل صورة عقلیة و کان هو علی قولهم بیعنه صار هو هی. فلنفرض الجوهر العا قل عقل المعقول من فهل هو حینئذ کما کان عند ما لم یعقل ؟ أو بطل منه ذلک. فإن کان کما کان فسواء عقل أو لم یعقلها. وإن کان بطل منه ذلک أبطل علی أنه حال له أو علی أنه ذاته ؟ فإن کان علی أنه حال له والذات با قیة فهو کسائر الاستحالات لیس هو علی مایقولون, وإن کان علی أنه ذاته وحدث شیء آخر لیس أنه صار شیئا آخر
2- 84. Abi Hamid Al-Ghazāli, Tahāfut Al-Falāsifah (Beirut: Dar Al- Maktabah Al-Hilal), hlm. 289, 290 (selanjutnya disebut: Tahafut).

yang semisal dengan apa yang ada sebelumnya, bukan raga yang dahulu digunakan ketika dalam kehidupan duniawi.(1) Namun bagi Al-Ghazali, makna “kembali” (Ma'ad) mengimplikasikan pengandaiaan keabadian sesuatu dan barunya sesuatu yang lain. Sebagaimana jika dikatakan bahwa seseorang kembali pada kenikmatan, yang dimaksud tidak lain, bahwa orang yang mendapatkan kenikmatan tersebut bersifat tetap dan abadi; dia telah meninggalkan kenikmatan tersebut, kemudian kembali merasakannya, yaitu dia kembali pada apa yang secara generik sama dengan apa yang dia rasakan sebelumnya, tetapi berbeda dalam kuantitasnya. Maka tidak lain, makna kembali adalah kembali kepada yang semisalnya.

Argumentasi dasar pandangan Al-Ghazāli ini adalah bahwa personalitas diri manusia bukanlah terletak pada raganya, melainkan jiwanya sehingga dibangkitkan dalam raga manapun, personalitas dirinya akan tetap.(2) Al-Ghazāli dengan pandangannya ini mempertanyakan; Apakah perpindahan seperti ini dari satu raga pada raga yang lain dalam dimensi yang berbeda dianggap reinkarnasi? Al-Ghazāli membantah anggapan bahwa hal yang seperti ini dianggap sebagai reinkarnasi. Baginya, reinkarnasi hanya terjadi jika berpindahnya ruh atau jiwa dari satu raga pada raga yang lain dalam kehidupan duniawi.(3) Jadi, menurut pandangan Al-Ghazāli, reinkarnasi tidak mungkin ada jika peristiwa tersebut terjadi dalam kehidupan duniawi. Namun, jika peristiwa tersebut adalah bangkitnya kembali jiwa dari alam kematiannya pada proses kehidupan akhirat, maka hal tersebut tidaklah tergolong sebagai reinkarnasi, tetapi masuk dalam kategori kebangkitan atau Ma'ād.(4) Untuk mendukung pandangannya ini, Al-Ghazāli, pertama,

P: 138


1- 85. Dalam Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali juga memberikan kemungkinan kembalinya raga duniawi. Menurutnya, jika Allah berkehendak, maka apa pun dapat terjadi, termasuk sekedar menampilkan kembali raga yang telah hancur. Lihat: Abi Hamid Al-Ghazāli, Tahāfut Al-Falāsifah (Beirut: Dar Al- Maktabah Al-Hilal), hlm. 289–290.
2- 86. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 207.
3- 87. Kyosyamsaki, Rozee, hlm. 250.
4- 88. Untuk lebih jelas dapat kita lihat pada Mulla Sadra, Syarh Hidayah Al-Atsiriyah, hlm. 381.

menyandarkan diri pada pandangan Ibn Sina yang menyatakan bahwajiwa pascakematian terikat pada fisik astrologis. Hal ini bagi Al-Ghazāli menunjukkan bahwa mungkinnya sebuah jiwa dapat terikat pada bentuk raga yang lain dalam dimensi yang berbeda.

Baginya, ayat-ayat Alquran, riwayat, dan argumen rasional yang menolak reinkarnasi hanya terbatas pada kehidupan di dunia dan tidak ada argumentasi yang memadai dalam penolakan terhadap masuknya jiwa dalam raga pada tingkat kehidupan berikutnya. Kedua, Al-Ghazāli pada saat yang sama melakukan kritik terhadap argumentasi ketidakmungkinan reinkarnasi yang dikemukakan Ibn Sina, yang menyatakan bahwa reinkarnasi akan menyebabkan bersatunya dua jiwa dalam raga yang satu dan mengakibatkan berkumpulnya potensi-potensi yang berbeda, bahkan bertolak belakang antara satu jiwa dengan jiwa yang lain dalam satu raga. Bagi Al- Ghazāli, argumentasi Ibn Sina ini memiliki kelemahan karena jika raga yang kemudian diciptakan Allah pada tingkat kehidupan berikutnya memiliki kesamaan potensial, bahkan sesuai dengan

P: 139

spesifikasi jiwa yang akan menempatinya sehingga tidak mungkin jiwa yang lain akan masuk ke dalamnya yang akan menyebabkan dua jiwa dalam satu raga, maka hal ini jelas bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi.(1) Mulla Sadra mengkritik pandangan Al-Ghazāli dengan menyatakan bahwa pertama, argumentasi tentang kekeliruan reinkarnasi tidak semata didasarkan kepada ayat maupun riwayat, tetapi argumentasi rasional ikut mendukung kekeliruan tersebut.

Kedua, argumentasi penolakan reinkarnasi yang dikemukakan Ibn Sina bahwa akan berkumpulnya dua jiwa dalam satu raga, menurut Mulla Sadra adalah argumentasi yang sempurna.

Ketiga, pandangan Ibn Sina bahwa jiwa dalam melakukan persepsi menggunakan fisik astrologis. Bagi Mulla Sadra, hal ini adalah sebuah kemungkinan dan bukan reinkarnasi, mengingat Ibn Sina mengemukakan bahwa fisik astrologis tersebut berasal dari pemanfaatan daya imajinasi yang menghasilkan persepsi- persepsi parsial sehingga mewujudkan forma fisik astrologis dan ini jelas tidak akan menyebabkan reinkarnasi. Keempat, kritik Al-Ghazāli terhadap argumentasi Ibn Sina bagi Mulla Sadra menimbulkan persoalan lain yang justru melemahkan pandangan Al-Ghazāli, mengingat Al-Ghazāli menyatakan bahwa terwujudnya raga yang baru di akhirat tidak akan mengakibatkan reinkarnasi karena dapat terwujud raga yang memiliki potensi yang hanya sesuai dengan jiwa yang akan menempatinya. Bagi Mulla Sadra, raga baru yang terwujud tersebut, untuk dapat bereksesuaian dengan jiwa, pastilah ia berada dalam kualitas yang setara dengan jiwa yang akan memasukinya. Raga yang seperti ini jelas memiliki jiwa tersendiri sehingga mencapai tingkat tersebut, yang pada akhirnya, ketika jiwa pertama

P: 140


1- 89. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 156.

memasuki raga tersebut, berkumpullah dua jiwa dalam satu raga dan ini tidak lain adalah reinkarnasi.

Bahkan, Mulla Sadra mendudukkan pandangan Al- Ghazāli ini sebagaimana pandangan mereka yang tidak percaya kehidupan akhirat, seperti yang dinyatakannya:

Pernyataannya (Al-Ghazāli) serupa dengan pernyataan mereka yang mengingkari akhirat dibandingkan keyakinan terhadapnya; karena kebanyakan kaum materialistis (Thaba'iyyāh wa Dahriyyāh) menyatakan hal yang sama, bahwa unsur-unsur materi-materi berkumpul melalui perantaraan gerakan angin, turunnya hujan ke bumi dan pancaran cahaya matahari dan bulan dan selainnya sehingga dari materi tersebut dihasilkan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, kemudian mati dan hancurlah formanya, kemudian berkumpul kembali bagian-bagiannya, baik dalam bentuk yang sama atau bentuk lainnya yang dekat dengannya, sehingga dihasilkan bentuk yang semisal sekali lagi, baik dengan tetapnya jiwa maupun ruh, sebagaimana pandangan mereka yang meyakini reinkarnasi atau dengan kebaruan diri dan hilangnya diri sebelumnya. Malang sekali mereka yang mengambil pandangan pertama hanya untuk membuktikan kesesuaian dengan kekuasaan Allah dalam hal tersebut. (1) Namun, sikap kritis yang berlebihan Mulla Sadra terhadap Al-Ghazali, bahkan cenderung pada kata-kata yang cukup pedas, jika tidak disebut sebagai kecaman, patut dipertanyakan, mengingat pandangan Mulla Sadra sebelum menggagas al- Hikmah al-Muta'aliyyah tidak jauh berbeda, bahkan mirip dengan pandangan Al-Ghazali. Sebagai bukti untuk hal ini, kita bisa melihat Mulla Sadra menulis pada kitabnya, Hidāyah Al- Atsiriyyāh, antara lain:

Kemudian, ketahuilah bahwa kembalinya jiwa pada

P: 141


1- 90. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hal. 156, 157. Teks aslinya sebagai berikut: وبالجملة کلامه أشبه بکلام المنکرین للآخرة منه بکلام المقرین بها. فإن أکثر الطباعیة والدهریة هکذا کانوا یقولون یعنی إن المواد العنصریة تجتمع بو اسطة هبوب الریاح ونزول الأمطار علی الأرض و وقوع الأشعة الشمسیة والقمریة وغیرهما علیها فیحصل من تلک المواد إنسان و حیوان ونبات, ثم نموت وتنفسخ صورها ثم تجتمع تلک الأجزاء مرة أخری علی هذه الهیأة أو علی هیأة آخری قریبة منها فیحصل منها أمثال هذه موالید تارة أخری امامع بقاء النفوس و الأرواح کما یقوله التنسخیة أو مع حدوث طائفة منها و بطلان طائفة سابقة و لیت شعری من الذی أنکر أن یحدث من ماءو تراب ومادة بعینها تارة بعد أخری صورة شبیهة با لصورة الأولی حتی یکون المطلوب أثبت قدرة الله فی ذلک

raga, sebagaimana raga yang dahulu digunakan di dunia, merupakan ciptaan pada hari Kiamat yang sejenis dengan raga ini setelah berpisahnya jiwa darinya, sebagaimana yang diungkapkan syariat... ini bukanlah sesuatu yang dapat ditakwil... dan tidak pula dapat mengambil makna yang jauh baginya... serta tidak juga mengalami proses kebaruan yang evolutif, baik dalam kesesuaian maupun potensialnya, karena terikatnya pada sesuatu yang dihasilkan secara evolutif (sebagaimana di dunia). Hal tersebut memiliki spesifikasi kebaruan tersendiri dan kebaruan yang seperti ini tidak berlaku pada manusia. Tidak akan menyebabkan bentuk keterikatan kesatuan yang nyata atau pengembalian, melainkan dapat terjadi ikatan akhirat dengan raga dalam bentuk tidak adanya penghalang dari sampainya aktivitas yang jauh dan efek yang luar biasa serta tampaknya persoalan-persoalan yang gaib, yang belum pernah jiwa menyaksikannya dalam kehidupan di dunia, demikian pula kemampuannya untuk menciptakan forma-forma luar biasa yang baik ataupun buruk, sesuai dengan sifat- sifat dan akhlaknya, dan tidak pula menjadi persoalan kita bahwa raga yang dibangkitkan bukan raga yang pertama berdasarkan identitas karena ketidakmungkinan sesuatu yang telah tiada mewujud kembali.(1) Bahkan, Mulla Sadra juga pernah berpandangan yang lebih ekstrem dari Al-Ghazali bahwa kebangkitan akan terjadi dalam raga duniawi, seperti yang dinyatakannya berikut ini:

Sesungguhnya, keyakinan dalam kebangkitan raga pada hari pembalasan, bahwa seorang manusia itu akan dibangkitkan dengan raga yang berasal dari kuburnya tersebut, jika seseorang menyaksikannya-bahwa setiap personal akan tetap dalam personalitasannya dengan atribut-atributnya dan berkata, “Ini adalah fulan yang sesungguhnya dan itu adalah fulan yang sesungguhnya tanpa keraguan dan kekeliruan." Keyakinan bahwa fulan tersebut adalah fulan yang sesungguhnya merupakan keyakinan yang benar sesuai dengan faktanya dan tidak merupakan raga imajinal atau bayang-bayang tanpa

P: 142


1- 91. Mulla Sadra, Syarh Hidayah Al-Atsiriyah, hlm. 381. Teks aslinya sebagai berikut: ثقا إعلم أن إعادة النفس إلی بدن مثل بدنها الذی کان لها فی الدنیا مخلوق من سنخ هذا البدن بعد مفارقتها عنه فی القیامة کما نطقت به الشریعة ... غیر قابلة لتأویل ...ولا استبعاد ایضا فیها ... ولا یلزم أن یکون حدوث لیاقته واستعداده لتعلقها مما یحصل له شیئا فشیئا (کما فی الدنیا ... فإن ذالک نحو خاص من الحدوث والحدوث لا ینحصر للإنسان فی هذا النحو ... ولا یلزم أن یکون نحو التعلق واحدا فی البد ووالإعادة بل یجوز أن یکون التعلق الأ خروی إلی البدن علی وجه لا یکون ما نعا من حصول الأفعال الغریبة و الآ ثار العجیبة و مشاهدة أمور غیبیة لم یکن من شأن النفس مشاهدتها إیاها فی النشأة الدنیاویة و کذا أقتدارها علی إیجاد صور عجیبة غیریبة حسنة مناسبة الأوصافها و أخلاقها, ولا یضرنا ایضا کون البدن المعاد غیر البدن الأول بحسب الشخص لاستحالة کون المعد وم بعینه معاد

identitas, tetapi raga manusia yang dapat dibenarkan dalam esensinya sebagai manusia dengan seluruh hakikatnya, bukan imajinal atau bayang-bayangnya. (1) Jika melihat bukti-bukti ini, tidak seharusnya Mulla Sadra mengkritik Al-Ghazali sedemikian pedasnya. Sudah seharusnya juga Mulla Sadra mengakui kekeliruan pandangannya terdahulu.

Namun sayangnya, hal tersebut sama sekali tidak penulis temukan dalam karya-karya Mulla Sadra.

C. Kritik Mulla Sadra terhadap Syaikh Isyraq Syaikh Isyraq atau Syihabuddin Suhrawardi yang merupakan pendiri filsafat Illuminasi (Isyraqiyyah) memiliki pandangan tersendiri dalam eskatologi. Syaikh Isyraq memandang akan adanya forma-forma imajinal yang akan eksis pascaberpisahnya jiwa dan raga melalui proses kematian dan forma-forma tersebut sebagai manifestasi dari perilaku manusia pada kehidupan dunianya. Dalam karyanya, Al-Talwihat, Syaikh Isyraq menjelaskan bahwa orang-orang yang mencapai kebahagiaan setelah kematiannya akan muncul imajinasi- imajinasi dan forma yang luar biasa indahnya dan merasakan kenikmatan dengannya, sedangkan orang-orang yang menderita tidak akan memiliki hubungan dengan materi-materi yang mulia, yang merupakan substansi jiwa-jiwa bercahaya, maka terimajinasikan melaluinya perbuatan-perbuatan buruk mereka dalam imajinasi yang berasal dari api dan ular yang berbisa. (2) Pandangan ini, dalam dunia tasawuf, disebut sebagai Tajassud al-A'mal, bahwa forma pascakematian akan sangat ditentukan oleh amal perbuatan manusia selama kehidupannya di dunia dan sangat wajar diyakini oleh Syaikh Isyraq, mengingat penekanan

P: 143


1- 92. Mulla Sadra, Al-Mabda' wa Al-Ma'ad, hlm. 395— 396. Teks aslinya sebagai berikut: إنما الاعتقاد فی حشر الأبدان یوم الجزاء, هو أن یبعث أبدا من القبور, إذا کل واحد واحد منها - یقول: هذا فلان بعینه, وهذا فلان بعینه, و من راه أحد غیر شک وریب, ویکون اعتقاده بأن هذا فلان بعینه اعتقادا صحیحا مطابقا أن یکون الأبدان مثلا وأشباها بلاأشخاص, بل الأبدان الا ما هو الواقع نسانیة یجب أن یکون مما یصدق علیها ذوات الأ ناسی و حقائقها, دون أمثا لها و أظلالها
2- 93. Suhrawardi, “Al-Talwihat" dalam Majmu'ah, J. 1, hlm. 90.

pada riyadah ruhani dalam ajaran filsafatnya.

Dalam bagian lain, Syaikh Isyraq menggambarkan, “Dan orang-orang yang berbahagia dari kelompok menengah dan para zahid dari kelompok yang bersih termurnikan menuju alam imajinal terikat (Mualaqqah) yang manifestasinya adalah barzakh-barzakh keagungan."(1) Forma imajinal atau Surah al-Mitsāliyah merupakan forma yang membungkus jiwa setelah terpisah jiwa dari raga materinya karena bagaimanapun, menurut Syaikh Isyraq, jiwa tetaplah memiliki kuiditas pribadi dan hal itu hanya dimungkinkan melalui forma imajinal tersebut. 96 Pandangan forma imajinal ini menunjukkan usaha Syaikh Isyraq dalam membuktikan kebangkitan jasmaniah sehingga antara bukti- bukti rasional tentang kebangkitan dengan doktrin-doktrin wahyu dapat diselaraskan. Namun sayangnya, usaha Syaikh Isyraq ini tidak tuntas, mengingat argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya, berkaitan dengan konsep eskatologinya ini, sangat sedikit sehingga memberikan kesan bahwa konsep tersebut lebih sebagai hasil intuisi yang ia dapatkan dibanding hasil berpikir filosofis.

Syaikh Isyraq menganggap jiwa yang telah terpisah dari raganya membutuhkan daya sebagai alat mempersepsi hasil perbuatan yang telah dilakukan selama hidupnya di dunia dan hal ini tidak mungkin terjadi jika jiwa bersifat transenden intelektual karena persepsi yang terjadi pada tingkat tersebut bersifat universal sehingga jiwa membutuhkan raga imajinal untuk dapat mempersepsi. Pandangan Syaikh Isyraq yang seperti ini jelas sangat dipengaruhi oleh pandangan Ibn Sina yang berangkat dari pemikiran bahwa daya imajinal berada

P: 144


1- 94. Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq , dalam Majmu'ah, J.2, hlm. 229-230. Teks aslinya sebagai berikut:

Mulla Sadra mengungkapkan ketakjubannya dengan pandangan Syaikh Isyraq yang seperti ini. Menurutnya, bagaimana mungkin pandangan ini muncul dari seorang filsuf dan ahli riyadah ruhaniah dengan kaliber Syaikh Isyraq. Untuk itu, Mulla Sadra mengungkapkan kritiknya(1) dalam beberapa dasar:

Kritik pertama: jika raga yang berasal dari raga astrologis atau bukan astrologis hendak dijadikan sebagai korpus imajinal jiwa, hal tersebut mengharuskan antara raga tersebut dan jiwa yang telah ada terjadi relasi kausalitas secara esensial atau teraktualisasinya kausalitas tersebut melalui sesuatu yang lain, yang memiliki relasi kausalitas secara esensial, sehingga jiwa tersebut memiliki forma sempurna melalui sebagian daya yang ada padanya, baik substantif maupun aksiden, dan secara mutlak bahwa raga tersebut berada di bawah kendali jiwa dalam berbagai bentuknya. Paling tidak, relasi yang seharusnya ada antara raga astrologis dengan jiwa adalah seperti cermin atau benda-benda yang berkilap yang memancarkan sebagian dari hasil persepsi berdasarkan relasi yang terjadi dengan benda tersebut terhadap materi raga yang merupakan korpus bagi aktivitas jiwa dan materi bagi daya-dayanya. Raga astrologis, atau sesuatu seperti raga astrologis tersebut, tidak dapat memberikan efek pada sesuatu yang berhadapan dengan

P: 145


1- 97. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 40- 47.

jiwanya yang berasal dari sumbernya. Dalam pandangan Mulla Sadra, fisik-fisik yang agung bukanlah sesuatu yang dipengaruhi selain dari sumber kebermulaannya yang bersifat intelektual, bukan reseptif bagi efek-efek asing yang berasal dari sebab- sebab yang dipaksakan atau disepakati. Sebagaimana tidak adanya raga pada jiwa yang telah terpisah menurut pandangan para pengikut iluminasi, raga langit merupakan korpus bagi imajinasi-imajinasi hingga terjadi relasi yang langsung antara raga-raga tersebut dengan raga langit sehingga menyebabkan raga tersebut seperti cermin bagi jiwa. Disaksikan padanya berbagai forma yang disebabkan dua relasi yang terjadi, yaitu material dan relasi posisional (Wad'iyāh) yang sesuai dengan materi; pada saat terangkatnya relasi material antara jiwa dan raga duniawinya melalui peristiwa kematian, terangkat pula relasi posisional padanya dalam kaitan dengan raga tersebut, bahwa yang kedua tersebut bersumber dari yang pertama dan jika yang pertama keliru, kelirulah yang menjadi pandangannya (Syaikh Isyraq).

Kritik kedua: jika relasi yang terjadi antara jiwa dan raga astrologis sebagaimana refleksi cermin, hal tersebut merupakan tempat terjadinya persepsi jiwa, imajinasi, dan penggambaran merupakan jiwa astrologis tersebut, bukan jiwa manusia yang bereinkarnasi. Pada saat yang sama, dasar pandangan ini untuk menggambarkan yang terjadi dari hasil perbuatan dan perilaku yang merupakan sumber dari imajinasi jiwa manusia dalam arti raga material (Basyari). Dalam ibarat yang lain, gambaran yang terwujud dalam jiwa astrologis berasal dari forma imajinal dan yang terletak di antara rangkaian silsilah sebab-sebab keberadaan selain daripada astrologis dan wujud pada rangkaian kurva turun

P: 146

(Qawsi al- Nuzūl). Padahal, persepsi ukhrawi dihasilkan melalui karakter dan perilaku jiwa manusia dalam makna fisik material yang berada dalam kurva naik (Qawsi al-Su'ūd).

Kritik ketiga: menurut Mulla Sadra, bagaimana mungkin raga yang satu dapat menjadi korpus imajinasi yang tanpa batas bagi seluruh jiwa manusia? Padahal, daya fisik memiliki efek yang sangat terbatas.

Sekalipun Mulla Sadra mengkritisi pandangan Syaikh Isyraq, tetapi menurut penulis, gagasan eskatologi Syaikh Isyraq ikut berpengaruh besar terhadap pandangan Eskatologi Mulla Sadra. Hal ini dapat kita lihat dari gagasan yang ditawarkan Mulla Sadra yang berkaitan tentang kebangkitan raga imajinal, sekalipun dalam jenis yang berbeda, tetapi gagasan tersebut menggunakan gagasan Syaikh Isyraq sebagai model solutif bagi persoalan eskatologi yang dihadapi filsuf.

6. Mulla Sadra dan Persoalan Kebangkitan Jasmani

Selain berbagai ragam pandangan Eskatologi yang dikemukakan oleh para filsuf Muslim pra-Mulla Sadra, ada pula berbagai keraguan (Syubhah) yang menjadi persoalan dalam eskatologi. Para filsuf dan teolog telah banyak memberikan kontribusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut sesuai dengan dasar bangunan pemikiran yang dianutnya. Mulla Sadra, sebagai penggagas aliran filsafat yang baru, ikut memberikan jawaban terhadap persoalan tersebut dalam upayanya untuk menegaskan pandangan Eskatologisnya. Persoalan dan jawaban yang dikemukakan Mulla Sadra (1)sebagai berikut:

a. Persoalan Pemakan (Ākil) dan yang Dimakan (Ma'kūl)

P: 147


1- 98. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm.199.

Persoalan ini adalah persoalan yang dikemukakan para filsuf Peripatetik berkaitan ketidakmungkinan kebangkitan jasmani. Inti persoalan tersebut, antara lain, jika seorang manusia menjadi santapan bagi manusia yang lain, maka apakah nantinya raga yang telah dimakan tersebut dibangkitkan sebagai raga bagi pemakan atau tetap sebagai raga bagi orang yang dimakan? Pada diri siapa pun, di antara keduanya, yang dibangkitkan akan menyebabkan ketidaksempurnaan, apalagi jika yang dimakan adalah raga seorang Mukmin dan yang memakan seorang kafir, sekiranya dibangkitkan kelak menjadi satu raga, maka pada saat yang sama, orang tersebut mendapatkan azab karena kekafirannya dan mendapatkan kenikmatan karena kemukminannya.

Menurut Sadra, personalitas setiap manusia bukan terletak pada raga fisiknya, melainkan pada jiwanya. Raga tidak akan bermakna apa pun tanpa adanya jiwa tidak sebagai sebuah identitas ataupun zat yang tetap. Tidak berarti bahwa ketika raga Zaid dibangkitkan, maka seluruh apa yang pernah dimakan oleh Zaid, baik binatang ataupun manusia akan dibangkitkan bersamanya, tetapi yang akan dibangkitkan adalah apa yang terikat dengan jiwanya dan itu tidak lain adalah raga Zaid yang dahulu juga. Keyakinan kebangkitan jasmani pada hari Kiamat adalah bangkitnya raga dari kubur. Jika seseorang menyaksikan dirinya, dia akan berkata ini adalah diri fulan.

b. Keterbatasan Materi Bumi Materi bumi memiliki ukuran yang sempit, terbatas, dan dapat diukur dengan ukuran panjang, yaitu meter, kilometer dan mil, sedangkan kuantitas jiwa tidak terbatas, maka materi

P: 148

duniawi tidak akan memadai untuk menjadi raga bagi semua jiwa yang dibangkitkan tersebut.

Mulla Sadra mengemukakan jawaban untuk persoalan ini dengan menggunakan dasar bahwa personalitas sangat bergantung kepada jiwa, bukan materi. Raga di akhirat berkembang dari jiwa berdasarkan karakternya, bukan jiwa muncul dari materi berdasarkan bentuk dan kualitasnya, sebagaimana dalam kehidupan duniawi. Perlu ditegaskan pula bahwa ukuran berkembang, baik ketebalan maupun kuantitasnya, dari satu bentuk materi, bahwa materi dasar (Hayūla) merupakan potensi murni yang sama sekali tidak memiliki ukuran pada dirinya dan juga tidak dibatasi oleh batasan ataupun kuantitas tertentu, tetapi muncul padanya secara aksidental ukuran dan pembagian yang berasal dari luar, dia pada dasarnya memiliki potensi untuk dibagi menjadi bagian-bagian yang tidak terhingga. Tidak ada ketentuan yang menunjukkan keharusan forma dunia akan tetap dalam kebangkitan, tetapi dapat terjadi perubahan menjadi materi berdasarkan kemauan Allah Swt..

c. Tidak Mungkinnya Surga dan Neraka Memiliki Fisik Surga dan neraka, jika keduanya merupakan wujud yang memiliki fisik, maka dimanakah tempat keberadaannya? Pada dimensi yang mana dari keseluruhan dimensi alam semesta keduanya akan muncul? Sekiranya kehadiran salah satu atau keduanya di atas semua dimensi, maka akan terjadi pada sesuatu yang tidak memiliki ruang terdapat ruang atau pada sesuatu yang tidak memiliki dimensi terjadi dimensi. Sekiranya berada di antara tingkatan langit dan bumi, maka akan terjadi tumpang tindih (tadakhul) atau pemisahan antara langit dengan

P: 149

langit dan semuanya keliru. Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah Swt., “Dan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi.(1) Mulla Sadra memberikan jawaban untuk persoalan ini sebagai berikut: bahwa persoalan ini didasarkan pada pandangan bahwa surga-neraka memiliki ruang sebagaimana di dunia, tetapi dasar pijakan utama pandangan bahwa surga memiliki ruang adalah kesalahan. Karenanya, jelas persoalan ini tertolak. Selanjutnya, Mulla Sadra memberikan argumentasi atas tidak mungkinnya surga-neraka memiliki ruang seperti halnya di dunia. Menurutnya, alam akhirat adalah alam kesempurnaan dan tidak ada apa pun yang melampaui substansinya. Dimensi ini jelas tidak menunjukkan ruang seperti halnya keseluruhan alam ini tidak memiliki ruang. Bukankah ruang dihasilkan melalui penisbahan atas apa yang meliputi dirinya dan berada di luar dari dirinya, sedangkan surga-neraka tidak ada sesuatu yang meliputi dan di luar dirinya? Karena jika tidak, maka tidaklah sempurna keberadaannya. Tidak mungkin juga indriawi manusia dapat memberikan isyarat terhadap surga-neraka ini sebagai alam yang sempurna, baik isyarat eksternal maupun internal, dan tidak pula dapat ditetapkan kategori di mana maupun ruang baginya. Inilah makna dari diktum filsafat “alam dalam kesempurnaannya tidaklah diliputi ruang". (2) d. Tujuan Kebangkitan Kebangkitan bukanlah untuk satu tujuan yang sia-sia karena tentu tidak sesuai dengan sifat Hakim. Tujuan ini, jika berasal dari Zat Hakim, akan menunjukkan ketidaksempurnaan, maka wajib melepaskan diri-Nya dari memiliki tujuan. Jika

P: 150


1- 99. QS 3: 133. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ »
2- 100. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 203. Teks aslinya sebagai berikut: "العا لم بتها مه لا مکن لها"

tujuan dalam kebangkitan adalah upaya meliputi diri seorang hamba dengan penderitaan adalah tujuan yang tidak pantas bagi Hakim yang Adil, bagaimana mungkin tujuan seperti itu muncul dari pencipta Hikmah dan Keadilan, jika tujuan dari kebangkitan tersebut adalah menyampaikan kenikmatan.

Namun patut diingat bahwa kenikmatan tidak lain adalah hasil dari penghilangan penderitaan, seperti halnya seseorang yang makan hidangan yang lezat, dia tidak akan merasakan kelezatan hidangan tersebut jika dirinya telah merasakan kenyang.

Kelezatan tersebut akan terasa hanya bagi orang yang lapar.

Demikian karakter pada kenikmatan indriawi. Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi Tuhan untuk membuat hamba- Nya menderita terlebih dahulu hingga dia akan merasakan kenikmatan dan yang demikian jelas bertentangan dengan sifat hakim yang adil. Bagaimana mungkin dapat disebut hakim adil jika dia harus memotong tangan seseorang agar orang tersebut merasakan kenikmatan memiliki tangan? Persoalan ini berasal dari Muhammad bin Zakariya (925 H)(1) dan Mulla Sadra memberikan jawaban sebagai berikut:

ada perbedaan mendasar antara tujuan dan keharusan. Bahwa pada setiap perbuatan terdapat tujuan material dan keharusan.

Kematian merupakan perpindahan dari dimensi kehidupan ini pada dimensi kehidupan yang lain diatasnya. Kenikmatan akhirat, begitu pun dengan penderitaan, merupakan hasil dari perbuatan jiwa sehingga berimplikasi pada keharusan dan karakter Allah Ta'ala, terlepas dari efek kebaikan seseorang yang taat kepada-Nya atau efek kejelekan dari seseorang yang tidak mentaati-Nya. Tidaklah perbuatan Allah Swt. terhadap hamba- Nya dalam upaya untuk mendapatkan kemuliaan sebagaimana

P: 151


1- 101. Muhammad bin Zakaria, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariyya Al-Razi, merupakan seorang filsuf yang menguasai dan menulis dalam banyak bidang pengetahuan, a.l., Filsafat, Teologi, Fisika, Kedokteran dan Kimia. Di antara karya-karyanya Al-Tibb Al-Ruhani, Al-Sirr Al-Falsafiya, dsb. Al-Razi dikenal juga sebagai Syaikh Al- Musyakkikin karena kritik-kritiknya yang cukup luar biasa terhadap pandangan-pandangan filsafat. Al-Razi Meninggal dunia di Kota Rayy, Iran, pada 925 H.

halnya seorang raja yang memuliakan para sahabatnya untuk mendapatkan penghormatan dan memerangi musuh-musuhnya untuk menimpakan kemarahannya. Akan tetapi, perbuatan Allah layaknya seperti seorang dokter terhadap pasien yang memberikan resep obat dan larangan-larangan tertentu. Jika pasien tersebut mengikuti aturan dan meminum obat sesuai dengan yang disarankan, ia akan sembuh dan selamat dan jika tidak, ia akan mengalami penderitaan. Semuanya berasal dari sikap pasien itu sendiri. Demikian pula kedudukan jiwa di dalam alam ini. Seperti layaknya pasien, dunia merupakan rumah sakit, sedangkan para nabi merupakan dokter-dokter yang diutus dari sisi Allah Ta'ala. Di antara pasien tersebut ada yang taat dan ada yang tidak taat. Karenanya, Allah berlepas tangan dari para musyrikin sebagaimana firman-Nya “Katakanlah Kebenaran berasal dari Tuhanmu, siapa menginginkan, dia dapat beriman dan siapa menginginkan, dia dapat kafir."(1) Kenikmatan dan penderitaan di akhirat bukanlah masuk dalam kategori kenikmatan dan penderitaan duniawi hingga kenikmatannya merupakan hasil penghilangan penderitaan, seperti halnya di dunia. Kenikmatan duniawi seluruhnya merupakan efek dari aktivitas yang datang dari luar dan kemudian mempengaruhi jiwa berbeda halnya dengan kenikmatan akhirat yang terpancar pada jiwa dan bersumber dari dirinya dan merupakan tindakan atau akitivitas jiwa itu sendiri. Kategori aktif dan pasif adalah dua kategori yang berbeda dan tidak tergabung dalam satu dimensi; demikian kenikmatan aktif berbeda dengan kenikmatan pasif, baik dalam jenis maupun batasannya. Tidak dapat dibandingkan satu dengan lainnya. Di akhirat, seluruh kenikmatan jiwa berada pada puncak kesempurnaan. Seluruh bentuk kenikmatan

P: 152


1- 102. QS 18:28. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «فَمَنْ شَاءَ فَلْیُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْیَکْفُرْ »

tersebut berada pada puncak kesempurnaan dan kemuliaan di atas seluruh kenikmatan duniawi yang segera sirna. Karenanya, hendaklah manusia melakukan upaya penyucian bagi jiwanya sehingga menghasilkan potensi untuk mempersepsi kebaikan dan kebahagian yang abadi sehingga ketika potensi berpindah menjadi aksi dan berpindah dari kekurangan menjadi kesempurnaan, maka akan terpancarkan apa yang selama ini menjadi niat dan harapannya. Jika yang niat dan harapannya adalah kebenaran, maka dia akan mendapatkan kemenangan, sedangkan jika yang menjadi niat dan harapannya selama ini adalah sesuatu yang rendah dari kehidupan duniawi yang terdiri atas pemenuhan syahwat, emosi, dan keyakinan yang sesat dan keliru, maka rusaklah forma dan raganya sehingga menimbulkan penyesalan dan penderitaan yang pedih.

e. Kemustahilan Rasio untuk Memahami Hakikat Kebangkitan Kebangkitan kembali raga akan terjadi apakah pada sebagian ataukah pada keseluruhan manusia; jika yang pertama yang akan terjadi, maka hal tersebut adalah pernyataan tanpa sandaran (Tarjih bila murājīb), sedangkan yang kedua akan menyebabkan pergesekan (tazahum) ruang mengingat raga manusia yang luar biasa kuantitasnya. Hal ini juga menjadi isyarat Allah Swt., “Apakah kami yang akan dibangkitkan ataukah bapak- bapak kami yang terdahulu",(1) kemudian Allah memberikan jawaban melalui nabi-Nya, “Katakanlah sesungguhnya yang terdahulu maupun yang akan datang akan dikumpulkan pada tempat dihari yang ditetapkan."(2) Allah menunjukkan tidak adanya pergesekan di antara raga pada wujud akhirat. Oleh

P: 153


1- 103. QS 56:47-48. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ *أَوَآبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ
2- 104. QS 56:49-50. Teks ayat tersebut sebagai berikut: قال إن الأولین والآخرین لمجموعون إلی میقت یوم معلوم

karena itu, forma yang akan muncul pastilah tidak berasal dari materi yang memiliki ruang, tetapi dari imajinasi jiwa, sebagaimana tidak adanya pergesakan yang terjadi pada forma yang ada dalam alam mental manusia karena memiliki dimensi lain dari alam ini. Demikian pula ruang pada hari Kiamat tersingkaplah seluruh rahasia adalah yang jelas bagi Allah, tetapi tidak terjangkau oleh pikiran, apalagi indra material manusia. Karenanya, seluruh persoalan Kiamat adalah rahasia yang tersembunyi dari kehidupan manusia dan mustahil untuk memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang terjadi pada Kiamat. Manusia hanya akan mampu memahaminya setelah dibangkitkan dari kubur-kubur mereka tentang rahasia tersebut.

Menurut Mulla Sadra, rahasia tersebut hanya untuk mereka yang terbungkus oleh tirai kegelapan dan kekafiran, tetapi bagi mereka yang mampu menyingkapkan tabir kegelapan tersebut dan kembali kepada Allah serta bangkit secara sukarela dan tidak terpaksa, seperti layaknya kebanyakan manusia, bagi mereka terpancar jelas pengetahuan tentang hakikat kebangkitan.

Dunia ini seperti halnya janin di dalam rahim ibu. Jiwa manusia sebelum kelahirannya yang kedua tidak akan keluar dari rahim dunia. Untuk pernyataannya ini, Mulla Sadra mengutip

P: 154

pernyataan Nabi Isa a.s., “Tidak akan memahami rahasia langit bagi mereka yang belum terlahir dua kali". (1) Kelahiran kedua ini terjadi pada para urafa yang sempurna melalui kematian yang diinginkan (Tradi), sedangkan manusia umumnya, mati secara alami. Jika salik dalam perjalanan ruhaninya mampu menyingkap tirai-tirai kegelapan tersebut, tersingkaplah seluruh rahasia Kiamat baginya secara jelas dan “Ayn al-Yaqin.

Demikian beberapa jawaban persoalan-persoalan yang, pada umumnya, muncul dalam pembahasan eskatologi. Ada beberapa persoalan lain yang diungkapkan Mulla Sadra dalam Al-Asfār, tetapi persoalan tersebut tidak terlalu perlu untuk dikemukakan di sini karena apa yang dikemukakan di atas, secara umum, telah meliputi persoalan-persoalan lainnya.

P: 155


1- 105. Mulla Sadra, al-Asfar, J. 9 hlm. 218. Teks aslinya sebagai berikut: "لن یلج ملکوت السموات من لم یولد مر تیذ"

Catatan 4:

1. Jawadi Amuli merupakan seorang ulama Syi'ah yang digelari Ayatullah yang sangat disegani di Kota Qom. Dilahirkan di Kota Amul (utara Iran) 1325 HQ (thn Iran). Saat ini, ia dianggap sebagai perwakilan utama dari aliran filsafat Sadrian di Iran.

Merupakan pengajar utama kitab al-Hikmah al-Muta’aliyyah dan telah melahirkan filsuf-filsuf besar. Di antara muridnya yang cukup terkenal adalah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.

2. Jawadi Amuli, Dah Maqolehye piromune Mabda va Ma'ad (Tehran: Intisyarat Al-Zahra', 1372), hlm. 281.

3. Thabathaba'i, Bidayah, hlm. 69. Teks aslinya sebagai berikut:

الجوهر المجرد عن المادة ذات المتعلق بها فعلا 4.Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, j.9, hlm. 6–10.

5.Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J 8, hlm. 20–21.

6.Thabathaba'l, Bidayah, hlm. 68. Teks aslinya sebagai berikut:

إذا وجدت فی الخارج وجدت لا فی موضوع مستغن عنها فی وجوده 7.Thabathaba'i, Bidayah, hlm.68. Teks aslinya sebagai berikut:

إذا وجدت فی الخارج وجدت فی موضوع مستغن عنها 8. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Syarh jilid hasytum Asfar Arba'eh, (Qom: Intisyarat Omuzisyi wa Pezuhesyi Imam Khomeini, 1378), hlm. 114-115.

9. Ada beberapa pandangan sebelum Mulla Sadra yang berkaitan dengan cara hadirnya jiwa pada raga. Pertama, jiwa merupakat hakikat yang real, sedangkan raga adalah hakikat relative, seperti wujud dan kuiditas; keberadaan jiwa, dengan sendirinya, menghadirkan forma materi. Kedua, dua bentuk

P: 156

substansi, tetapi yang pertama merupakan penyebab dan kedua adalah akibat, atau seperti wujud Mumkin dengan wujud niscaya; bahwa jiwa sebagai sebab bagi raga. Ketiga, jiwa terlebih dahulu ada dan posisinya sebagai substansi, sedangkan raga datang kemudian dengan posisi sebagai aksiden bagi jiwa. Keempat, raga sebagai substansi dan jiwa sebagai aksiden, raga hadir terelebih dahulu, baru kemudian jiwa dan akan hancur bersama hancurnya raga. Untuk lebih jelas, lihat: Hadi Rastegori "Ma'ad az Didgohe Hukamo' va Sadra Muta'alihin Syirozi" dalam Kherad Nomeh Sadro, Vol.

15 th. 1420, hlm. 68.

10. Prinsip ini jelas mengacu pada akar filsafatnya yang dibangun di atas dasar gerakan transubstansial, bahwa segala elemen wujud mengalami proses gerakan. Jiwa yang berawal sebagai materi, sebagai elemen terendah dalam wujud, berkembang ke arah yang lebih tinggi, yaitu tingkat ruhaniah. Karenanya bagi Mulla Sadra, semua jiwa, sekalipun jiwa tumbuh-tumbuhan, akan bergerak menuju tingkat ruhaniah. Baca: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm. 267.

11. Mulla Sadra, Al-Syawahid Al-Rububiyyah fi Al-Manāhij Al- Sulūkiyyah (Masyhad: Markaze Nasyr Donesgohi, 1360), hlm.

223 (selanjutnya disebut: Al-Syawahid).

12. Lihat Mulla Sadra, Al-Syawahid, halm. 220–228.

13. Pandangan tentang kekeliruan reinkarnasi akan dijelaskan kemudian.

14. Lihat: Majid Fachry, Tarikh Falsafe dar Jihone Islom, hlm. 421.

Pandangan Al-Ghazali tersebut mendapatkan kritik dari Mulla Sadra karena bagi Mulla Sadra, hal tersebut menyebabkan terjadinya reinkarnasi.

P: 157

15. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.Iv, hlm. 12.

16. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.8, hlm. 270.

17. Kritik Fazlur Rahman tersebut dapat kita lihat pada Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Shadr al- Din al- Syirazi) hal. 263.

18. Hadi Rastgori, Ma'ad az didgohe Hukamo' va Shadro al- Muta’lihin Syirozi dalam jurnal Kherad nomeh Shadro (Tehran:

Wezarat Farhangge va Omuzes, 1421) Vol. 15 hal. 69. Teks aslinya sebagai berikut:

إن النفس لا تموت بموت البدن ولا تقبل الفساد أصلا 19. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 382.

20. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 388.

21. Pandangan Al-Farabi yang seperti ini dapat kita lihat dalam pernyataannya sebagai berikut:

“Sedang para penduduk negeri Jahiliyyah, sesungguhnya, jiwa mereka akan tetap dan tidak mengalami penyempurnaan dan untuk tetap ada membutuhkan materi sebagai keharusan, yaitu tidak tergambarkan padanya (penduduk Jahiliyyah) gambaran dari objek-objek intelek pertama sama sekali. Jika materinya hancur, yang selama ini menjadi dasar fundamen keberadaan mereka, maka hancur pulalah daya-daya yang selama ini merupakan personalitas dirinya, yang menjadikan dirinya sebagai sebuah identitas.

Tinggallah padanya daya-daya yang tersisa dan jika materi ini hancur, maka berubahlah dirinya menjadi sesuatu yang lain dengan forma materi tersebut dan berubah dari forma sebelumnya... hingga berubah menjadi materi padat dan tetap sebagai materi padat tersebut sebagai forma akhirnya." Lihat: Al-Farabi, Kitab Ara' Ahl Al-Madinah Al- Fadilah (Beirut: Dar Al-Masyriq, 2002), hlm. 142.

22. Khwaja NaSiruddin Al-Tusi, Tahsil Al-Muhasal (Qom: Intisyarat Bidor, 1373), hlm. 524. Teks aslinya sebagai berikut:

والنفس حیة بذاتها و یحیی بها غیرها وکل ما کان حیاته لذاته یستحیل علیه

P: 158

الموت دائما" 23. Mulla Sadra, Al-Asfar , J. 8, him. 53 56.

24. Sebab terdiri atas sebab sempurna dan sebab tidak sempurna.

Di antara pembagian sebab tidak sempurna sebagai berikut:

sebab internal, sebab eksternal, sebab subjek dan sebab tujuan. Lihat: Thabataba'i, Bidayah, hlm. 86.

25. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 260, pada pembahasan “Jiwa Berpikir bukanlah Fisik dan bukan pula Bentuk Berukuran dan tidak dapat Dilakukan Pembagian Atasnya".

26. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 93. Teks aslinya sebagai berikut:

إن کل إنسان بشری باطنه کأنه معجون من صفات قوی بعضها بهیمیة, وبعضها سبعیة, وبعضها شیطانیة. وبعضها ملکیة حتی یصدر من البهمیة الشهوة والشره, والحرص والفجور, ومن السبعیة الحسد و العداوة والبغضاء, و من الشیطانیة المکر والخدیعة و الحیلة و التکبر و العز, و حب الجاه و الافتخار و الاستیلاء, ومن الملکیة العلم و التنزه. أو الطهارة, واصول جمیع الأخلاق هذه الأربعة وقد عجنت فی باطنه عجنا محکما لا یکاد یتخلص منها.

27. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip al-Labs ba’da al-Labsyang dikembangkan Mulla Sadra bertentangan dengan prinsip al-Kawn wa al-Fasad yang dikembangkan filsuf Peripatetik. Bagi Mulla Sadra, dalam proses gerakan tidak ada satu bagianpun secara substansial yang hilang, tetapi akan terus berkembang bersama menuju tingkat kesempurnaan wujud.

28. Lihat: Ibn Sina, Al-Najah, hlm. 460.

29. Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Shadr al-Din al-Syirazi), hlm. 271.

30. Konsep reinkarnasi juga diistilahkan dengan metempsichosis, metensomatis atau juga palingenesis. Konsep ini, pada

P: 159

umumnya, dianut oleh agama-agama India, a.I, Hindu, Budha, Jainis, dan Sikh. Konsep ini telah ada sejak Mesir Kuno pada zaman Fir'aun, bahkan di Yunani, konsep ini sudah dikenal sejak Pherecydes, guru dari Pythagoras (582-507 S.M). Lihat:

Mercia Eliade, Encyclopedia of Religion (USA: MacMilan Library Refrence), Vol. 11-12, hlm. 265–269.

31. Abdul Rahim Guwahi, Rahnamoye Adyone Zendeh (Qom:

Bustane Kitob, 1385), hlm. 779.

32. Kecuali Al-Farabi, karena menurut Majid Fachry, Al-Farabi mempercayai terjadinya reinkarnasi sebagaimana yang ia tulis dalam Sir Falsafeh hlm. 144. Ia mengutip pernyataan Al-Farabi dari Al-Madinah Al-Fadilah sebagai berikut: “Para penduduk kota yang terlepas dari keutamaan, dari sana kebahagiaan mereka dalam kehidupan duniawi terbatas pada pemenuhan kecenderungan-kecenderungan dorongan jasmaniah semata, tidak sekalipun mereka akan terlepas dari kungkungan penjara material, bahkan bukan hanya itu, jiwa- jiwa mereka, bersamaan dengan perubahan materi dari satu bentuk pada bentuk lainnya, atau secara kontinu-jika memiliki kemampuan-dalam raga manusia lainnya ber-reinkarnasi atau secara bertahap turun pada tingkat binatang dan terus berada dalam tingkat ini”. Teks aslinya sebagai berikut:

شهر وندان مدینه های عاری از فضیلت. از آنجا که سعادت آنان درحیات دنیوی منحصر در ارضای امیال غر یزی جسمانی بوده است. هر کز از زندان جسم رهایی نمی یا بند, بلکه به عکس, نفوس آنان همواره ازیکصورت مادی به صورتی دیگر منتقل می شوند. یا إلی الأبد - اکر مقدر با شد – در جسد انسان تنا سخ می یا بند, یا تدریجا به مرتبه حیوانی انحطاط پیدا می کنند و به تما می از میان می روند Namun demikian, penulis tidak menemukan padanan

P: 160

kata-kata Al-Farabi, sebagaimana yang disebutkan Majid Fachry di atas.

33. Mercia Eliade, Encyclopedia of Religion, Vol. 11–12, hlm.

265.

34. Kyosamsaki, Rozee, hlm. 232. Teks aslinya sebagai berikut:

انتقال نفس - اعم از نفس انسان یا حیوان ویا نفس نباتی – از بدن فعلی خویش به بدنی دیکر.

35. Mulla Hadi Sabziwari, Asrar Al-Hikam (Qom: Intisyarat Bidor, 1374), hlm. 291.

36. Mulla Sadra, al-Asfar, J. 9, hlm. 4.

37. Qutbuddin Syirazi, Hikmah al-Isyraq (Tp. Penerbit dan tth.), hlm. 476–481.

38. Qutbuddin Al-Razi, Syarh Hikmah Al-Isyraq, hlm. 479.

39. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 1– 12.

40. Dengan dasar prinsip Tasykik al-Wujud.

41. Sebagai contoh, ketika kita mendefinisikan singa adalah hewan yang buas, maka singa merupakan satu genus dengan diferensial sebagai spefikasi dirinya adalah kebuasan, di mana sekiranya singa menjadi hilang, maka hilang pulalah kebuasan, begitupun sebaliknya.

Selain ikatan esensial (Zātī), ada lagi ikatan aksidensial (´Arādi).

Perbedaan keduanya, jika pada ikatan esensial kita tidak dapat memisahkan antara keduanya, artinya menghilangkan yang satu berarti juga menghilangkan yang lain. Sedangkan pada ikatan aksidensial, tidak berarti menghilangkan yang satu akan menghilangkan yang lain, seperti halnya warna yang menempel pada satu materi. Jika warnanya kita hilangkan dari materi tersebut, maka materi tetap sebagai mana adanya.

Prinsip ini didasarkan pada jiwa merupakan hasil dari kebaruan

P: 161

fisik, yaitu pada awalnya, jiwa tidak lain raga, yang kemudian, setelah terjadi gerakan transubstansial, berkembang menjadi jiwa.

43. Komposisi alami adalah komposisi yang terjadi secara alami, mulai dari awal keberadaannya dalam sebuah komposisi yang satu dan tanpa adanya intervensi yang menyebabkan terjadinya komposisi tersebut. Perkembangan keduanya berasal dari sesuatu yang satu dan membentuk satu identitas. Berbeda halnya pada komposisi buatan (Sanaſi); pada komposisi ini terjadi intervensi dari luar yang menyatukan unsur-unsur menjadi satu komposisi.

44. Komposisi kesatuan adalah komposisi yang keduanya, pada hakikatnya, adalah satu dan tidak dibentuk dari dua unsur yang berbeda satu sama lain dan membentuk satu kesatuan seperti halnya komposisi H20 yang terkomposisi dari dua unsur independen membentuk kesatuan', tetapi seperti komposisi yang terjadi antara forma dan materi. Ini merupakan komposisi hakiki dan kesatuan yang didasarkan pada prinsip kesatuan wujud. Namun' perbedaan utama dengan kesatuan antara forma dan materi adalah kedua-duanya materi, sedangkan raga dan jiwa adalah yang satu materi sedangkan yang lain, setelah terjadi gerakan transubstansial mengalami perkembangan menjadi nonmateri.

45. Dapat dianalogikan seperti halnya buah dengan pohonnya.

Ketika buah tersebut terlepas dari ikatannya dengan pohon yang selama ini menjadi tempat tumbuh dan bergantung, ia memulai aktivitasnya sendiri dan pohon pun demikian. Jiwa pun demikian; ia membutuhkan raga untuk tumbuh dan berkembang dan ketika jiwa dalam perkembangannya tidak

P: 162

lagi membutuhkan raga, maka ia akan melepaskan diri dari raga dan memulai aktivitasnya.

46. Lihat: Kyosamsaki, Rozee, hlm. 241 – 242.

47. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 11. Argumentasi yang di kemukakan Ibn Sina dalam penolakannya terhadap reinkarnasi adalah:

Jika demikian (terjadinya reinkarnasi), maka tidaklah mungkin terjadi jiwa yang telah terpisah dari raga kembali dan masuk kedalam raga manusia yang lain. Karena raga yang baru memunculkan jiwa yang baru bersamanya, maka (jika terjadi reinkarnasi) akan terjadi pada raga yang baru jiwa yang lain sehingga menyebabkan seorang manusia memiliki dua jiwa sekaligus. Akan tetapi, seluruh manusia, sesungguhnya, hanya memiliki satu jiwa, tidak dapat terpikirkan, kecuali jiwa yang satu semata. Sekalipun ada jiwa yang lain pada sebuah raga, maka tidaklah berfungsi bersamanya dan tidak juga memunculkan manfaat bagi raga, maka pastilah jiwa tersebut bukanlah jiwa dirinya karena jiwa di dalam raga tidaklah menempati hanya satu bagian tertentu atau menempel sebagai zat bagi bagian tertentu dari raga, melainkan jiwa merupakan pengendali dan difungsikan melalui raga. Maka jelas dan benderanglah bahwa jiwa-jiwa manusia adalah sesuatu yang baru dan tetap setelah (kehancuran) materi dan tidak tinggal di dalam raga-raga tersebut dan tidak juga terjadi reinkarnasi.

Lihat: Ibn Sina, Al-Mabda, hal. 108-109. Teks aslinya sebagai berikut:

وإذا کان هکذا فلا یجوز أن تکون النفس التی تفارق تعود فتدخل بدنا آخر من الناس. فان البدن الحادث یحدث له معه نفس, فان صارله نفس أخری صار ذلک الانسان ذانفسین, لکن کل انسان انما هو ذو نفس واحدة, ولا یشعر إلا بنفس واحدة, وإن کانت له نفس اخری لا یشعر بها ولا یحدث له منها فا ئدة فلیست تلک نفسا له, لأن کون النفس فی البدن لیس أنها تودع زاویة من البدن, اویکون عرضا فی جزء من البدن, بل علی أنها مدبرة للبدن مستعملة له. فقدبان ووضح أن الانفس الإنسانیة حادثة وباقیة بعد المادة بلا کرور فی الأبدان ولا تناسخ

P: 163

Kita dapat melihat argumen yang sama digunakan Mulla Sadra untuk menolak reinkarnasi. Hanya pada tangan Mulla Sadra argumentasi Ibn Sina ini mendapatkan perluasan makna.

48. Lihat QS 2:259. Dalam ayat ini, Allah Swt. menjelaskan tentang kembalinya Uzair a.s. dari kematian sebagai berikut:

«أَوْ کَالَّذِی مَرَّ عَلَی قَرْیَةٍ وَهِیَ خَاوِیَةٌ عَلَی عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّی یُحْیِی هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ کَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ یَوْمًا أَوْ بَعْضَ یَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَی طَعَامِکَ وَشَرَابِکَ لَمْ یَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَی حِمَارِکَ وَلِنَجْعَلَکَ آیَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَی الْعِظَامِ کَیْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَکْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَیَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَی کُلِّ شَیْءٍ قَدِیرٌ » “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur ?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal disini?" la menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari", Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." 49. Syaikh Mufid dalam Ja'far Subhani, Al-llahiyat (Qom: Muasasa Nasr Al-Islami, 1416), hlm. 613. Teks aslinya sebagai berikut:

ان الله تعالی یحیی قوما من أمة محمد .ص. بعد موتهم. قبل یوم القیامة ... والرجعة انما هی لممحضی الإ وهذا مذهب یختص به ال محمد. ص.

یمان من اهل الملة و ممحضی النفاق منهم دون من سلف من الأمم الخالیة

P: 164

50. Imam ke-12.

51. Ja'far Subhani, Al-Ilahiyat, hal. 613-616.

52. QS 27: 83 Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَیَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ کُلِّ أُمَّةٍ فَوْجًا مِمَّنْ یُکَذِّبُ بِآیَاتِنَا فَهُمْ یُوزَعُونَ » 53. Ja'far Subhani, Al-llahiyat hal. 614.

54. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 187 – 188.

55. Lihat: Ibn Sina, Al-Syifa, Al-llahiyat, J. I, hlm. 65. Lihat juga:

Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 187 – 188 56. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hal. 187 – 188.

57. Sederhana yang dimaksud adalah tidak adanya komposisi unsur-unsur yang menjadi penunjang terbentuknya dirinya, karena puncak ruhani adalah hilangnya seluruh batasan.

58. Penjelasan tentang ini ada pada Al-Ahkam Al-Māhiyah pada Al-Asfar, J. IV, hlm. 229.

59. Kekeliruan-kekeliruan pandangan tersebut dikemukakan Mulla Sadra ketika membicarakan teori Ittihad al-´Aqil wa Al- Ma'qul. Lihat Mulla Sadra, Al-Asfar, J. III, hlm. 313.

60. QS 41:31. Teks ayat tersebut sebagai berikut :

«وَلَکُمْ فِیهَا مَا تَشْتَهِی أَنْفُسُکُمْ وَلَکُمْ فِیهَا مَا تَدَّعُونَ » 61. QS 43:71. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَفِیهَا مَا تَشْتَهِیهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْیُنُ » Juga, lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 192.

62. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 8, hlm. 270.

63. Yang dimaksud Mulla Sadra dengan Muallim al-Falsafah al- Ilahiyyah disini adalah Plotinus. Mulla Sadra dalam kitabnya, Al-Asfar, menyebutkan dua tokoh yang berbeda, pertama

P: 165

Muallim Al-Falsafah, maka yang dimaksud adalah Aristoteles dan Muallim Al-Falsafah Al-llahiyyah, yaitu Plotinus. Sayangnya, Sayyid Radi yang memberikan catatan kaki pada kitab Al-Asfar tidak menyadari hal ini.

64. Kitab Utsulujiyya merupakan karya yang membahas persoalan jiwa dan proses emanasi yang terjadi (Teodesi). Awalnya, karya ini diduga sebagai karya Aristoteles, mengingat judul yang pertama kali dikemukakan adalah Utsulujiyya Aristoteles.

Ada juga yang menisbahkannya pada Al-Farabi dengan judul Risalah fi Al-Ilmi Al-llahi li Al-Farabi. Abu Sulayman Al-Sajistani dalam kitabnya, Suwan Al-Hikmah, menisbahkan karya ini pada Syaikh Al-Yunani, yang dimaksud adalah Plato. Namun Syaikh Isyraq, Mulla Sadra, dan para peneliti belakangan menyebutkan karya ini sebagai karya Plotinus dan merupakan ringkasan dari karyanya, Enneads, yang di ambil dari bab IV, V dan VI.

65. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 195. Teks aslinya sebagai berikut :

"النفس الإنسانیة کونا عقلیا قبل حدوت البدن" 66. QS 7:172. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَإِذْ أَخَذَ رَبُّکَ مِنْ بَنِی آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّیَّتَهُمْ » 67. Di sini, yang dimaksud dengan para Imam oleh Mulla Sadra, tidak lain, adalah 12 Imam Syi'ah.

68. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 195. Sekilas, pernyataan Mulla Sadra di sini seakan kontradiktif dengan pandangannya tentang awal kepermulaan jiwa, tetapi patut disadari bahwa Mulla Sadra di sini menjelaskan proses emanasi intelek-intelek,

P: 166

bahwa menurutnya, seperti halnya juga para Sufi, ruh para Nabi dan Kekasih Allah sebenarnya merupakan manifestasi dari intelek pertama yang diciptakan Allah Swt., yang dalam bahasa tasawuf dikenal dengan istilah Nur Muhammad.

69. Sebagai tempat akhir perjalanan kesempurnaan duniawi.

70. Sebagian menyebutkan kekeliruan Mulla Sadra, tapi sebagian lainnya menyebutkan kesalahan dalam pencetakan naskah.

71. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm.197.

72. Lihat: Ibn Sina, Al-llahiyat (Tehran: Nashir Khosrouw, 1363), hlm. 423 dan Al-Najah (Tehran: Nasir Khorouw, 1364), hlm.

291.

73. Lihat: Ibn Sina, Al-Najah, hlm. 297; Al-Syifa (Al-Ilahiyyat), hlm.

431; Al-Isyarat, J.3, hlm. 355 dan Al-Mabda' wa Al-Ma'ad, hlm.

114.

74. Ibn Sina, Al-Mabda' wa Al-Ma'ād (Tehran: Donesgoh Tehran, 1363), hlm. 109 (selanjutnya disebut Al-Mabda'). Teks aslinya sebagai berikut:

والذی بقی علینا أن نوضحه أحوال الآ نفس بعد المفارقة. ویجب أن نقدم لذلک مقدمات فنقول: إن لکل قوة فعلا هو کمالها, وحصول کما لهاسعادتها, وکمال الشهوة وسعادتها هواللذة. وکمال الغضب وسعادته هو الغلبة, والوهم الرجاء والتمنی, والخیال تخیل المستحسنان, وکذلک کمال الا نفس الإنسانیة أن یکون عقللا مجدا عن المادة 75. Al-Farabi berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan hanyalah jiwa yang sempurna, sedangkan jiwa yang tidak sempurna akan tetap bersama materi, berikut pernyataan Al- Farabi:

“Dan jika perbuatan-perbuatan penduduk negeri tidak berkesesuaian dalam pencapaian kebahagiaan, maka sesungguhnya, dia tengah menghasilkan bentuk-bentuk yang buruk dari bentuk-bentuk jiwa.... Maka jiwa-jiwa

P: 167

mereka akan tetap sebagai jiwa pertama (Hayūla) yang tidak mengalami proses penyempurnaan dan tidak pula terlepas dari materi sehingga jika materi tersebut hancur, maka hancur pulalah jiwanya." Teks aslinya sebagai berikut:

فإذا کانت أهل مدینة ما غیر مسددة نحو السعادة فإنها تکسبهم هیئات ردیئة من هیئة النفس ... فهولاء تبقی أنفسهم هیولانیة عیلر مستکملة استکمالا تفارق به الما دة حتی إذا بطلت المادة بطلت هی أیضا Abu Nashr Al-farabi, al-Siyasat al-Madaniah (India; Da'irah al-Ma'arif al-Utsmaniyah, 1345 H) hal. 53.

76. Khwaja Nasiruddin Tusi, komentator Ibn Sina, dalam hal ini menyatakan sebagai berikut:

"Ketahuilah bahwa sebagian pendahulu (Qudama') berpandangan bahwa jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan akan hancur, karena jiwa dapat tetap ada melalui forma yang melingkupinya. Maka hilangnya forma menyebabkan kematian jiwa, padahal tidaklah ada kematian pada wujud; akan tetapi argumentasi yang membuktikan tetapnya jiwa rasional (al-Nātiqah) menjadi bukti yang bertentangan dengan mazhab ini." Teks aslinya sebagai berikut:

واعلم أن من القدماء من زعم أنها تفنی لأن النفس إتماتبقی بالصور المرتسمة فیها. فا لخالیة عنها معطلة. ولا معطل فی الوجود, ولکن الدلائل الدالة علی هذا المذهب بقاء النفوس الناطقة تقتضی نقض Khwaja Nashir Al-Din Al-Tusi, Syarh Al-Isyarat wa Al- Tanbiha, (Qom: Nashr Al-Balaghah, 1375) J. III, hlm. 355.

77. Ibn Sina, Al-Najah, hlm. 203. Teks aslinya sebagai berikut:

فاذا الصورة الجسمیة بماهی الصورة الجسمیة لامختلف فلایجوز أن یکون بعضهاقاعمافی المادة وبعضها غیرقا عما فیها. فانة من المحال أن تکون طبیعة لا اختلاف فیها من جهة ماهی تلک الطبیعة ویعرض لها إختلاف فی نفس وجودها لان کونهاذلک الواحد متفق و ایضا فان وجودها ذلک الواحدلا یخلو إما أن یکون قاعمافی مادة أو غیر قائم فی مادة أو بعضه قائما فیها و بعضه غیر قائم ومحال أن یکون بعضه قا ئما فیها وبعضه لیس لأن الاعتبارإئما تناول

P: 168

ذلک الوجود من حیث هوواحد غیر مختلف فبقی أن یکون ذلک الواحد إما کله کله غیر قائم فیها فبقی أن یکون کله غیر قائم فیها أو کله قائم فیها ولکم لیس فائما فیها 78. Menurut Syarif Al-Radi, yang dimaksud Mulla Sadra dengan Mizāj di sini adalah jiwa dalam tingkat pertama yang berkaitan dengan uap (Bukhar) dan asap dari Ruh Al-Bukhari. Lihat catatan kaki pada Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 149.

79. Lihat: Ibn Sina, Al-Mabda' hal.

80. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 150. Teks aslinya sebagai berikut:

تستعمله من غیر أن تصیر نفسا لها. إذ لامعنی للنفس إلأ الجوهر الإدراکی المستعمل لجرم حیوانی ذی حیاة بالقوة موضوع الإدراکاته 81. Postulat Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qūl dikemukakan oleh Mulla Sadra dalam bidang epistemologi. Pandangan ini telah dijelaskan pada Bab IV. Mulla Sadra mengemukakan pandangan ini di sini sebagai kritik terhadap inkonsistensi yang dikemukakan Ibn Sina yang menyatakan bahwa kenikmatan hakiki terletak pada pencerapan subjek intelek terhadap objek- objek intelek. Peristiwa ini terjadi dalam korpus jiwa yang tentu tidak lepas dari identitas personal dan menunjukkan terjadinya Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qul dan Ibn Sina, ketika berbicara epistemology, menolak postulat Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qūl tersebut.

82. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 150. Teks aslinya sebagai berikut:

والعجب من الشیخ أبی علی أیضا إنه ذکر فی هذا الکلام المنقول إن السعداء اتصالا عقلیا کا تصال الحقیقیین یتلذذون باتصال ذواتهم بعضهم ببعض معقول بمعقول مع أنه لم یحصل معنی الاتصال العقلی والاتحاد الذاتی بین

P: 169

العاقل و معقول, و لم یقدر علی اثباته بل أنکره فی أکثر کتبه غایة الانکار 83. Ibn Sina, Al-Isyarat, J. 3, hlm. 292, 293. Secara khusus, dia menyebutkan penolakannya pada prinsip ini sebagai berikut:

"Sesungguhnya kelompok yang mengeluarkan pernyataan bahwa substansi subjek ketika melakukan persepsi terhadap forma pengetahuan maka forma tersebut menjadi dirinya. Jika diandaikan bahwa substansi subjek mempersepsi objek dan berdasarkan pernyataan mereka, maka apakah dirinya tidak berubah seperti sebelum mempersepsi (objek tersebut)? Ataukah seluruh objek tersebut menjadi dirinya. Jika tidak terjadi perbedaan apa pun, maka sama saja keadaannya sebelum dan sesudah terjadinya persepsi. Jika tidak demikian mana yang akan hilang di antara dua hal ini; identitasnya atau esensi dirinya? Jika identitasnya yang lenyap dan esensi dirinya tetap maka ini seperti halnya kemustahilan yang lain bahwa diri (subjek) bukanlah sebagaimana yang diketahui; dan jika yang lenyap adalah esensinya dan menjadi sesuatu yang lain maka yang terjadi adalah hilangnya esensinya (terdahulu) dan menjadi sesuatu yang lain padahal kenyataannya tidaklah subjek menjadi sesuatu yang lain tersebut." Teks aslinya sebagai berikut:

إن قوما من المتصدرین یقع عندهم أن الجوهم العاقل إذا عقل صورة عقلیة و کان هو علی قولهم بیعنه صار هو هی. فلنفرض الجوهر العا قل عقل المعقول من فهل هو حینئذ کما کان عند ما لم یعقل ؟ أو بطل منه ذلک. فإن کان کما کان فسواء عقل أو لم یعقلها. وإن کان بطل منه ذلک أبطل علی أنه حال له أو علی أنه ذاته ؟ فإن کان علی أنه حال له والذات با قیة فهو کسائر الاستحالات لیس هو علی مایقولون, وإن کان علی أنه ذاته وحدث شیء آخر لیس أنه صار شیئا آخر 84. Abi Hamid Al-Ghazāli, Tahāfut Al-Falāsifah (Beirut: Dar Al- Maktabah Al-Hilal), hlm. 289, 290 (selanjutnya disebut:

Tahafut).

85. Dalam Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali juga memberikan kemungkinan kembalinya raga duniawi. Menurutnya, jika Allah berkehendak, maka apa pun dapat terjadi, termasuk

P: 170

sekedar menampilkan kembali raga yang telah hancur. Lihat:

Abi Hamid Al-Ghazāli, Tahāfut Al-Falāsifah (Beirut: Dar Al- Maktabah Al-Hilal), hlm. 289–290.

86. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 207.

87. Kyosyamsaki, Rozee, hlm. 250.

88. Untuk lebih jelas dapat kita lihat pada Mulla Sadra, Syarh Hidayah Al-Atsiriyah, hlm. 381.

89. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 156.

90. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hal. 156, 157. Teks aslinya sebagai berikut:

وبالجملة کلامه أشبه بکلام المنکرین للآخرة منه بکلام المقرین بها. فإن أکثر الطباعیة والدهریة هکذا کانوا یقولون یعنی إن المواد العنصریة تجتمع بو اسطة هبوب الریاح ونزول الأمطار علی الأرض و وقوع الأشعة الشمسیة والقمریة وغیرهما علیها فیحصل من تلک المواد إنسان و حیوان ونبات, ثم نموت وتنفسخ صورها ثم تجتمع تلک الأجزاء مرة أخری علی هذه الهیأة أو علی هیأة آخری قریبة منها فیحصل منها أمثال هذه موالید تارة أخری امامع بقاء النفوس و الأرواح کما یقوله التنسخیة أو مع حدوث طائفة منها و بطلان طائفة سابقة و لیت شعری من الذی أنکر أن یحدث من ماءو تراب ومادة بعینها تارة بعد أخری صورة شبیهة با لصورة الأولی حتی یکون المطلوب أثبت قدرة الله فی ذلک 91. Mulla Sadra, Syarh Hidayah Al-Atsiriyah, hlm. 381. Teks aslinya sebagai berikut:

ثقا إعلم أن إعادة النفس إلی بدن مثل بدنها الذی کان لها فی الدنیا مخلوق من سنخ هذا البدن بعد مفارقتها عنه فی القیامة کما نطقت به الشریعة ...

غیر قابلة لتأویل ...ولا استبعاد ایضا فیها ... ولا یلزم أن یکون حدوث لیاقته واستعداده لتعلقها مما یحصل له شیئا فشیئا (کما فی الدنیا ... فإن ذالک نحو خاص من الحدوث والحدوث لا ینحصر للإنسان فی هذا النحو ... ولا یلزم أن یکون نحو التعلق واحدا فی البد ووالإعادة بل یجوز أن یکون التعلق الأ خروی إلی البدن علی وجه لا یکون ما نعا من حصول الأفعال الغریبة و الآ

P: 171

ثار العجیبة و مشاهدة أمور غیبیة لم یکن من شأن النفس مشاهدتها إیاها فی النشأة الدنیاویة و کذا أقتدارها علی إیجاد صور عجیبة غیریبة حسنة مناسبة الأوصافها و أخلاقها, ولا یضرنا ایضا کون البدن المعاد غیر البدن الأول بحسب الشخص لاستحالة کون المعد وم بعینه معاد 92. Mulla Sadra, Al-Mabda' wa Al-Ma'ad, hlm. 395— 396. Teks aslinya sebagai berikut:

إنما الاعتقاد فی حشر الأبدان یوم الجزاء, هو أن یبعث أبدا من القبور, إذا کل واحد واحد منها - یقول: هذا فلان بعینه, وهذا فلان بعینه, و من راه أحد غیر شک وریب, ویکون اعتقاده بأن هذا فلان بعینه اعتقادا صحیحا مطابقا أن یکون الأبدان مثلا وأشباها بلاأشخاص, بل الأبدان الا ما هو الواقع نسانیة یجب أن یکون مما یصدق علیها ذوات الأ ناسی و حقائقها, دون أمثا لها و أظلالها 93. Suhrawardi, “Al-Talwihat" dalam Majmu'ah, J. 1, hlm. 90.

94. Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq , dalam Majmu'ah, J.2, hlm.

229-230. Teks aslinya sebagai berikut:

95. Perlu diingat bahwa Syaikh Isyraq mendasari pandangan filsafatnya dengan Keutamaan Kuditas (Asalat al-Mahiyyah).

96. Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq ,dalam Majmu'ah, J.2, hlm.

229 230.

97. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 40- 47.

98. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm.199.

99. QS 3: 133. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ » 100. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 203. Teks aslinya sebagai berikut:

P: 172

"العا لم بتها مه لا مکن لها" 101. Muhammad bin Zakaria, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariyya Al-Razi, merupakan seorang filsuf yang menguasai dan menulis dalam banyak bidang pengetahuan, a.l., Filsafat, Teologi, Fisika, Kedokteran dan Kimia. Di antara karya-karyanya Al-Tibb Al-Ruhani, Al-Sirr Al-Falsafiya, dsb. Al-Razi dikenal juga sebagai Syaikh Al- Musyakkikin karena kritik-kritiknya yang cukup luar biasa terhadap pandangan-pandangan filsafat. Al-Razi Meninggal dunia di Kota Rayy, Iran, pada 925 H.

102. QS 18:28. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«فَمَنْ شَاءَ فَلْیُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْیَکْفُرْ » 103. QS 56:47-48. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ *أَوَآبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ 104. QS 56:49-50. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

قال إن الأولین والآخرین لمجموعون إلی میقت یوم معلوم 105. Mulla Sadra, al-Asfar, J. 9 hlm. 218. Teks aslinya sebagai berikut:

"لن یلج ملکوت السموات من لم یولد مر تیذ"

P: 173

P: 174

BAGIAN KEEMPAT MAKNA PERISTIWA-PERISTIWA ESKATOLOGI

Point

setelah mendasari pandangannya dengan prinsip-prinsip filsafat, Mulla Sadra menjelaskan pandangan-pandangannya yang berkaitan dengan peristiwa eskatologi, yaitu beragam peristiwa pascaterpisahnya jiwa dari raga. Peristiwa-peristiwa penting yang dikemukakan Mulla Sadra, antara lain, Hakikat Kematian dan Alam kubur, Azab Kubur, Keberlangsungan Daya Fisik Pascakematian, Hakikat Kiamat, Makna Kebangkitan dan Pengumpulan, Materi Akhirat, Kebangkitan Jasmani dan Fisikalisasi Perbuatan, Sirāt, Lembaran dan Kitab, Perhitungan dan Timbangan, Tingkatan dan Keadaan Manusia pada Hari Kiamat, Hakikat Surga dan Neraka, Kebahagiaan dan Penderitaan, serta Makna Keabadian dan pembaharuan Penghuni Surga dan Neraka.

Uraian tentang peristiwa-peristiwa tersebut sebagai berikut:

1. Hakikat Kematian dan Alam Kubur

Kematian adalah peristiwa yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia karena memang menjadi sifat alami dalam kehidupan duniawi bahwa segala bentuk yang memiliki jiwa akan mengalami kematian. Pencitraan tentang kematian terjadi dalam agama apa pun dan oleh siapa pun, ada yang menakutkan ada juga yang membahagiakan, serta ada juga yang beranggapan bahwa kematian sebagai akhir kehidupan.(1) Agama Islam, seperti juga agama-agama yang lain, secara khusus

P: 175


1- 1. Para filsuf Barat, seperti Karl Marx (1818-1883), Sigmund Freud (1856-1939) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980) tidak mempercayai konsep Kebangkitan-kembali setelah kematian. Lihat H.P. Owen, “Eschatology", Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan Publishing Co.Inc and The Free Press, 1972), J. III, hlm. 48.

memberikan gambaran tertentu tentang peristiwa kematian.

Beberapa petunjuk Alquran seringkali dirujuk ketika berbicara tentang kematian, antara lain, bahwa Allah telah mengetahui kematian setiap manusia dan bahwa manusia memiliki batasan umur sampai saat tertentu (“Ajal al-Musamma).(1) Dalam bagian lain, Allah mengisyaratkan manusia mengalami kematian dua kali dan hidup dua kali.(2) Para pemikir Muslim pun memberikan banyak sekali sumbangan penggambaran tentang kematian.

Al-Farabi menggambarkan kematian sebagai kehancuran raga materi. Jiwa sempurna akan mengalami perjalanan kehidupan selanjutnya, sedangkan jiwa yang tidak sempurna akan mengalami kehancuran bersamaan dengan hancurnya materi.(3) Ibn Sina menyebut kematian sebagai “perpisahan antara jiwa dan raga”.(4) Al-Ghazali melukiskan kematian sebagai “Kiamat kecil" (al-Qiyamah al-Sughra) dan makna ini berasal dari hadis yang dikutip Al-Ghazali, “Siapa yang meninggal dunia, maka Kiamatnya telah bangkit". (5) Bahkan di antara para pemikir ini melukiskan kematian dengan sangat mendetail. Sebagai contoh, apa yang ditulis oleh Abu Layth Al-Samarkandi dalam kitabnya, Ahwal al-Qiyāmah. Dia menggolongkan kematian itu sebagai makhluk yang diciptakan Allah. Ketika kematian terjadi, jerit kematian berkata :

“Akulah kematian yang memisahkan segala yang dicintai! Akulah kematian yang memisahkan lelaki dan perempuan, suami dan istri! Akulah kematian yang memisahkan anak-anak perempuan dan ibunya! Akulah kematian yang memisahkan anak-anak lelaki dari bapaknya! Akulah kematian yang memisahkan antara saudara lelaki yang satu dan yang lainnya! Akulah kematian yang menundukkan kekuatan anak-anak Adam. Akulah kematian yang menghuni kubur.... Tidak satu pun makhluk

P: 176


1- 2. QS Al-Baqarah 2:282; 6:2, 60; 11:3; 13:2; 14:10, dst. «کَیْفَ تَکْفُرُونَ بِاللَّهِ وَکُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْیَاکُمْ ثُمَّ یُمِیتُکُمْ ثُمَّ یُحْیِیکُمْ ثُمَّ إِلَیْهِ تُرْجَعُونَ »
2- 3.“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
3- 4.Lihat: Abu Nashr Al-farabi, Al-Siyasat Al-Madaniah" (India: Da'irah Al-Ma'arif Al-Utsmaniyah, 1345 H), hlm. 53.
4- 5.Ibn Sina, Al-Najāh, hlm. 291.
5- 6.Al-Ghazali, “Al-Madnun Bih 'Ala Gayr Ahlih", Majmu'ah Al- Risalah Al-Imam Al-Gazhali (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996), hlm.350.

yang bisa bertahan untuk tidak merasakanku...."(1) Mulla Sadra, seperti para pemikir sebelumnya, dalam persitiwa kematian ini memberikan makna khusus. Baginya, “Kematian merupakan kebenaran sebagai peristiwa alami kembalinya jiwa dari kehidupan duniawi dan awal, dan perjalanan kembali menuju Allah Swt..(2) Bagi Mulla Sadra, jiwa, setelah berpisah dari raga materi, tetap memiliki keterikatan tertentu dengan raga, tetapi bukan dengan bagian materinya karena setelah terpisah, jiwa tetap membawa daya estimasi (wahmiyah) yang melakukan persepsi terhadap beragam makna parsial secara substansial dan forma fisik melalui daya imajinasi.

Karenanya, sekalipun raga seseorang hancur karena terbakar atau dimakan binatang buas, seperti yang telah digambarkan sebelumnya, tidak akan berpengaruh pada jiwa. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Al-Gazhali yang beranggapan bahwa jiwa tetap memiliki keterikatan dengan raga tersebut dan merasakan perlakuan kasar atau lembut ketika raganya dimandikan dan dikuburkan.(3) Posisi kematian, bagi Mulla Sadra, merupakan proses gradasi wujud dari level wujud yang rendah, melalui proses kematian, menuju level wujud yang lebih tinggi, sebagaimana gambaran ambiguitas wujud yang diutarakan Mulla Sadra.

Kematian tidak berarti lenyapnya kehidupan. Kehidupan akan terus berlangsung karena kematian hanyalah proses alami pemisah antara

P: 177


1- 7.Abu Layth Al-Samarkandi, Kitab Al-Ahwāl Al-Qiyāmah (Kairo: Silsilah Al-Saqafah Al-Islamiyyah, 1964), hlm. 11 – 13.
2- 8.Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 218. Teks aslinya sebagai berikut: أأن الموت حق وأن الطبیعی منه نهایة الرجوع عن الدنیا وابتداء الر جوع الر الله
3- 9.Lihat: Al-Gazhali, Al-Durrah al-Fakhirah fi Kasyfi ulum al- Akhirah, (Beirut: Mu'asasah al-Kutub al-Saqafiyyah, 1992) hal.7-11.

kehidupan pada tingkat duniawi dengan kehidupan pada tingkat berikutnya. Sayangnya, Mulla Sadra tidak banyak menjelaskan peristiwa kematian yang terjadi, seperti yang dijelaskan Al- Gazhali. Terutama yang cukup mendasar, dibutuhkan penjelasan berkaitan proses keluarnya jiwa dari raga berdasarkan prinsip filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra, mengingat beragam kisah yang mungkin sangat sulit untuk dicerna akal.(1) Hal ini sepertinya karena dasar filsafat yang digunakan Mulla Sadra, seperti juga para filsuf sebelumnya yang menyinggung pemaknaan kematian hanya sebatas penjelasan umum.

Pascakematian, menurut Mulla Sadra, jiwa tetap memiliki daya imajinasi, mengingat daya ini memiliki independensi dalam wujud.

Kebutuhan daya ini pada raga sebagai sumber pembentukan awal dan tidak dalam keabadiannya. Daya ini, ketika berpisah, tetap melakukan persepsi terhadap objek-objek parsial dan material melalui forma-formanya, seperti layaknya yang terjadi dalam kehidupan di dunia.

Perbandingan kubur dengan alam

P: 178


1- 10. Abu Layth al-Samarkandi menjelaskan bahwa malaikat maut mendatangi orang yang akan dicabut nyawanya tersebut dan orang itu sendiri menolak, sehingga Allah memerintahkan malaikat Izrail menuliskan nama-Nya di telapak tangan orang tersebut barulah ruh itu keluar dalam bentuk seperti lebah namun berbentuk manusia. Lihat: al-Samarkandi, Kitab al- Haqāiq wa al-Daqāiq, (Qom: Intisyorot Behesyti, 1436) hal. 7.

akhirat, bagi Mulla Sadra, seperti janin yang berada dalam rahim ibunya, sedangkan akhirat adalah alam aktual pascakeluarnya janin tersebut dari rahim. Untuk ini, dia sebutkan sebagai berikut, “Perbedaan antara fase kubur dan fase kebangkitan seperti perbedaan antara dua keadaan manusia di dalam rahim ketika hendak keluar darinya; sesungguhnya keadaan kubur adalah gambaran dari keadaan Kiamat."'(1) Sebagai sebuah embrio bagi kehidupan akhirat, apa yang terjadi di dalam kubur pun merupakan permisalan apa yang terjadi di akhirat hanya dalam bentuk yang lebih rendah dan lemah secara kualitas. Hal ini disebabkan oleh kemampuan daya persepsi yang dimiliki penghuni kubur tersebut belum mencapai kesempurnaan untuk mampu menangkap realitas akhirat dan sekiranya tercapai kesempurnaan tersebut, maka tersingkaplah realitas akhirat dan hakikat dirinya yang ada di alam tersebut.

Mulla Sadra juga menjelaskan bahwa pengalaman yang dirasakan penghuni kubur tidak tergantung kepada raga materi mayat, sekalipun raga mengalami kematian alami, terbakar ataupun tenggelam di lautan, tetapi persepsi terhadap pengalamannya lahir dari substansi jiwa, seperti yang diungkapkannya, "Bahwa sesungguhnya yang menyebabkan dirinya menderita atau memberikan pengaruh, terjadi secara substansial pada jiwa dan hal-hal seperti ini tidak terjadi pada raga, melainkan pada forma yang sampai kepada jiwanya karena relasinya dengan raga."(2) Pandangan Mulla Sadra, dalam hal ini, tidak jauh berbeda dengan pandangan para teolog pada umumnya yang memandang adanya proses kehidupan di alam barzakh, bahwa kehidupan di alam tersebut menjadi sangat aktif tanpa

P: 179


1- 11. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 219. Teks aslinya sebagai berikut: عن غبار هذه الهیئات کما یخرج الجنین من والبعث عبارة عن خروج النفس القرار المکین, والفرق بین حالة القبرو حالة البعث کا لفرق بین حالتی الإنسان فی الرحم وعند الخروج منه, فإن حالة القبر أنموذج من أحوال القیامة
2- 12. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 220. Teks aslinya sebagai berikut: هذه الأمور الواقعة علی بدنه بل فإن الذی یؤلمه یؤثر فی نفسه بالذات لیس صورتها الواصلة الی نفسه لعلاقة لها مع البدن

kekosongan aktivitas. (1)Berbeda dengan para filsuf Peripatetik yang tidak memercayai adanya kehidupan barzakh,(2) sedangkan penggambaran kehidupan yang bersifat imajinatif karena daya imajinatif bagi Mulla Sadra berada pada korpus jiwa adalah gagasan yang tidak jauh berbeda, bahkan dapat disebut mirip dengan apa yang digambarkan Ibn 'Arabī. Menurut Ibn 'Arabī, karena menguatnya daya imajinatif pada jiwa yang terpisah dari raga, maka ketika manusia mengalami kematian, ia seakan terjaga dari tidur dan mimpi-mimpinya selama ini, kehidupan di alam barzakh bagi Ibn 'Arabī jauh lebih real dibanding kehidupan di dunia. (3) Seperti halnya Mulla Sadra yang memandang kualitas alam barzakh berada di atas kualitas kehidupan dunia namun berada di bawah kualitas akhirat.

2. Nikmat dan Azab Kubur

Seperti penggambaran sebelumnya bahwa alam kubur atau alam barzakh merupakan alam antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Ketika manusia mengalami kematian, raganya hancur dan kembali terurai sebagai materi, (4) sedangkan jiwanya mengalami kehidupan berikutnya di alam kubur atau alam barzakh tersebut.

Sebagai sebuah dimensi alam, di dalamnya terjadi proses kehidupan. Beragam pencitraan terhadap kehidupan yang terjadi di alam barzakh banyak ditemui dalam karya-karya para pemikir Muslim ketika berbicara eskatologi.(5) Sebagian mengisahkan kejadian demi kejadian yang dihadapi mayat dimulai ketika dirinya telah dikuburkan. Tahap awal, pada umumnya, digambarkan sebagai tahap pengadilan yang sulit.

Dua orang malaikat akan datang untuk menanyai mayat tentang

P: 180


1- 13. Lihat: Jane Idelman, The Islamic Understanding of Death, hlm. 195.
2- 14. Filsuf Peripatetik, seperti Al-Farabi, Ibn Sina dan Bahmaniyar, tidak mempercayai adanya kehidupan barzakh karena bagi mereka, daya imajinal hanya ada pada materi. Dan pascakematian jiwa menjadi nonmateri murni sehingga tersingkap realitas akhirat bagi mereka. Lihat: Abu Nashr Al- farabi, Al-Siyasat Al-Madaniah (India: Da'irah Al-Ma'arif Al- Utsmaniyah, 1345 H), hlm. 53; Ibn Sina, Al-Najāh, hlm. 203; dan Bahmaniyar, Al-Tahsil (Tehran: Instisyarat Donesgoh,1375), hlm. 736.
3- 15. William C. Chittick, “Death and The World of Imagination: Ibn Al-Arabi's Eschatology" dalam The Muslim World, a Journal Devoted to the Study of Islam and Christian-Muslim Relationship in Past and Present (The Duncan Black Macdonald Center at Hartfold Seminary, 1988), Vol. LXXVIII No.1, hlm. 64.
4- 16. Kecuali kasus-kasus khusus, dalam banyak riwayat disebutkan adanya jaminan ketidakhancuran raga-raga orang-orang sholeh, seperti para nabi, wali, dan penghafal Alquran.
5- 17. Jane Idelman Smith menuliskan pandangan-pandangan para pemikir Eskatologi berkaitan dengan kehidupan di alam barzakh. Ia menyebutkan, “... Orang mati akan membaca Alquran di kubur mereka, para penulis ini berpendapat bahwa ruh-ruh lain akan memerintahkan menghafalkan Alquran kepada ruh manapun yang belum melaksanakan praktik itu. Dengan cara yang sama, ruh-ruh dari tingkatan yang lebih tinggi akan memberikan sejenis petunjuk umum kepada ruh-ruh di tingkatan yang lebih rendah. Sebagian kalangan bahkan berkata bahwa barzakh mirip dengan semacam institusi perguruan tinggi, dengan kuliah-kuliah dalam wilayah intelektual yang jauh di luar segala yang bisa kita bayangkan di muka bumi ini. Ruh-ruh itu akan lebih bersemangat dalam kehidupan berikutnya ketimbang saat masih hidup di dunia, dan tidak ada kemalasan atau kekosongan aktivitas. Barzakh pada kenyataannya digambarkan sebagai ruang besar untuk beraktivitas yang semuanya diarahkan untuk saling memberikan layanan penuh cinta satu sama lain dan kesenangan aktivitas. Ruh-ruh itu menikmati peradaban tinggi, dilengkapi adanya kesempatan membaca dan meneliti, menikmati musik, apresiasi seni, dan jenis-jenis hiburan mutakhir. Mereka berbicara, berjalan, makan, minum, menikah, dan-menurut sebagian orang-bahkan menghasilkan keturunan. Mereka tidur ketika menginginkan, bukan karena butuh tidur, mereka makan dan minum karena kebiasaan atau kesenangan. Makanan dinikmati melalui selera spiritual." Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, hlm. 195

perilakunya selama di dunia dan menyiksa mayat tersebut. Ide tentang hal ini tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam Alquran, bahkan menurut Fazlur Rahman, ide ini merupakan hasil adopsi ajaran zoroasterianisme di Iran ketimbang ajaran Islam, sekalipun dalam riwayat dapat ditemukan dua nama yang dinisbahkan kepada malaikat tersebut, yaitu Munkar dan Nakir.(1) Bagaimana kondisi jiwa si mayat ketika ditanya, pada umumnya, pandangan dalam hal ini terbagi menjadi tiga bagian, antara lain, pandangan yang menyatakan bahwa Allah mengembalikan ruh orang mati tersebut kepada raganya untuk diadili, ruh ditanyai tanpa keterlibatan raga, dan ruh tetap berada di antara raga dan kafannya. (2) Studi eskatologi, pada umumnya menjelaskan kondisi pengadilan prosesi yang berbeda-beda, tetapi secara keseluruhan ingin menegaskan bahwa kehidupan barzakh adalah kehidupan pengadilan dan pembalasan atas apa yang terjadi pada diri mayat selama kehidupannya di dunia.

Mulla Sadra, dalam kaitan pengalaman manusia di alam barzakh, memposisikan kehidupan di alam tersebut sebagai kesadaran yang dialami jiwa dan persepsi jiwa terhadap beragam fragmen yang terjadi. Persepsi tersebut terjadi karena tetapnya daya imajinasi pada jiwa. Jiwa menyadari kondisi dirinya yang telah menjadi mayat dan dikuburkan serta menyadari dirinya ketika berada di dalam kubur.

Daya imajinasi berfungsi sebagai indra bagi jiwa untuk melakukan persepsi dalam kehidupan di alam barzakh. Namun, berbeda dari makna umum, bagi Mulla Sadra, kehidupan di alam tersebut adalah kehidupan imajinatif yang tidak memiliki ruang maupun waktu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi, pada

P: 181


1- 18. Fazlur Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity (New York: The Crossroad Publishing Company, 1987), hlm. 127. Selanjutnya disebut Health and Medicine.
2- 19. Jane Idelman Smith, The Understanding of death an resurrection (English, Oxford University, 2002), hlm. 72.

dasarnya, bersumber dari jiwa manusia, bukan sesuatu yang eksternal dari dirinya.

Karenanya, kenikmatan maupun penderitaan yang dirasakan mayat bukanlah kenikmatan maupun penderitaan fisik materi, sebagaimana yang sering digambarkan dalam karya-karya eskatologi. (1) Dalam gambaran Mulla Sadra, manusia yang mendapatkan kebahagiaan di alam barzakh akan mendapati beragam hidangan dalam bentuk yang menyenangkan, sebagaimana gambaran surga dan apa yang ada di dalamnya. Selanjutnya Mulla Sadra mengutip hadis Nabi Saw., “Kubur merupakan taman dari taman-taman surga atau bagian dari bagian neraka”. (2) Namun, sekiranya manusia tersebut penuh dengan keburukan, ia akan merasakan penderitaan yang menimpa dirinya melalui forma- forma keburukan yang menyiksa dirinya.

Mulla Sadra, dalam hal ini meyakini terjadinya kenikmatan maupun azab kubur, semuanya berasal dari jiwa manusia karena substansi manusia terletak pada jiwanya, bukan pada raganya.

Beragam aktivitas yang dilakukan manusia di dunia akan membentuk karakter tersendiri di dalam jiwa manusia tersebut

P: 182


1- 20. Kita dapat dengan mudah menemukan kisah-kisah penyiksaan di alam kubur yang bersifat fisik dalam karya-karya pemikir Muslim abad pertengahan. Sebagai contoh apa yang digambarkan Al-Ghazali: Ada seseorang yang pernah diberi mimpi. la ditanya, "Bagaimana keadaanmu? Bukankah engkau telah mati?", “Benar, aku telah mati. Aku berada dalam kondisi baik. Hanya saja, ada sebuah batu yang telah mematahkan tulangku saat tanah kuburanku diratakan, lalu batu itu menghantamku." Kemudian kuburannya digali kembali dan ternyata memang ada sebongkah batu seperti yang diceritakannya di dalam mimpi itu. Dan yang lain pernah datang kepada anaknya yang sedang tidur (mimpi), lalu berkata, “Wahai anak jelek, perbaikilah kuburan ayahmu! Hujan telah membuatku merasa kesakitan." Ketika pagi, orang tadi menyuruh orang lain untuk melihat kuburan ayahnya dan ternyata kuburannya terendam air." Al-Ghazali, Al-Durrah, hlm. 37 – 38.
2- 21. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 219. Teks hadis tersebut sebagai berikut : "القبر اما روضة من ریاض الجنة أو حفرة من حفر النیران" Kita dapat menemukan hadis tersebut pada Al-Kulayni, Furu' al-Kahfi (Beirut: Dar Turats Al-Arabi, 1997), ). 4, hlm.256.

dan itu tidak hanya terjadi nanti di alam berikutnya, tetapi juga saat ini ketika kehidupan manusia masih berada pada tingkat dunia. Mulla Sadra menunjukkan pandangannya ini dengan menggambarkan penyaksian ruhani yang terjadi pada sebagian orang, seperti yang disebutkannya berikut ini, “Sebagian ulama berkata, “Setiap orang yang menyaksikan melalui pancaran cahaya mata hati batin di dunia dapat menyaksikan orang yang tersiksa oleh beragam siksaan dan tujuh keburukan seperti syahwat, kemarahan, makar, hasad, kebencian, ujub dan riya'."(1) Semua karakter yang buruk ini mengantarkan manusia pada penderitaan dan ketika di alam kubur, berbagai karakter buruk tersebut memunculkan forma-forma imajinal yang sesuai dengan hakikatnya masing-masing. Forma-forma imajinal ini melingkupi diri mayat tersebut dan menimbulkan penderitaan.

Berbeda halnya jika jiwa manusia tersebut memiliki jiwa yang sehat, maka beragam forma imajinal yang memberikan kenikmatan dan sesuai dengan hakikat jiwanya akan terwujud dan menemaninya dalam kehidupannya di alam kubur. Hal ini sebagaimana dinyatakan Mulla Sadra berikut ini:

“Dan ketika tersingkap darinya tirai dan dirinya berada di alam kuburnya, terbentuklah forma-forma imajinal yang sesuai dengan maknanya, dari karakter-karakternya- sehingga disaksikan dengan matanya beragam kalajengking, ular berbisa yang melingkupi dirinya, padahal sesungguhnya hal tersebut adalah karakter dan sifat dirinya yang sekarang muncul di dalam dirinya, maka terbukalah baginya beragam forma batin yang hakiki dan bahwa setiap makna-karakter-ada forma-forma yang sesuai dengannya dan azab kubur yang demikian bagi mereka yang celaka, sedangkan mereka yang berbahagia mendapatkan hal yang sebaliknya."(2)

P: 183


1- 22. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 220. Teks aslinya sebagai berikut : العلماء: کل من شاهد بنور البصیرة با طنه لرآه مشحونا بأنواع قال بعض المؤذیات والسباع کالشهوة والغضب والمکرو الحسد والحقد و العجب و الر پاء «یَوْمَ تَرَی الْمُؤْمِنِینَ وَالْمُؤْمِنَاتِ یَسْعَی نُورُهُمْ بَیْنَ أَیْدِیهِمْ وَبِأَیْمَانِهِمْ »
2- 23. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 220. Teks aslinya sebagai berikut : فإذا انکشف عنه الغطاء ووضع فی قبره عاینها, وقد تمثلت بصورها وأشکالها الموافقة لمعانیها فیری بعینه العقارب والحیات قد احدقت به, وإنما هی ملکاته و صفاته الحاضرة الآن فی نفسه, وقد انکشف له صورها الباطنیة الحقیقیة فإن لکل معنی صورة یناسبها, فهذا عذاب القبر إن کان شقیا, وإن کان سعیدا کان بخلا فه

Ide Mulla Sadra tentang forma-forma imajinal yang muncul seperti ini, sesungguhnya telah dimulai oleh Syaikh Isyraq, bahkan pencitraan tentang forma-forma imajinal yang melingkupi mayat tidak dapat kita sebut sebagai ide murni Mulla Sadra, mengingat kita dapat menemukan kemiripan ungkapan Mulla Sadra dengan apa yang diungkapkan oleh Syaikh Isyraq berikut ini:

"Sedangkan orang-orang yang mencapai kebahagiaan, maka akan ter-imajinasikan imajinasi-imajinasi dan forma yang luar biasa... dan merasakan kenikmatan dengannya..., sedangkan orang-orang yang menderita tidak akan memiliki hubungan dengan materi-materi yang mulia yang merupakan substansi jiwa-jiwa bercahaya... maka terimajinasikan melaluinya perbuatan-perbuatan buruk mereka dalam imajinasi yang berasal dari api dan ular yang berbisa...."(1) Fazlur Rahman mengkritik ide alam barzakh yang seperti ini. Menurutnya, ini merupakan pengaruh ajaran Zoroaster yang kemudian diadopsi pemikir-pemikir Muslim Persia.(2) Dalam doktrin Zoroaster manusia yang meninggal dunia pada hari ketiga dari kematiannya akan berjumpa dengan sosok Daena, seorang gadis cantik berusia lima belas tahun. Daena merupakan citra diri yang berasal dari perilaku kehidupannya di dunia. Sekiranya kebaikan mendominasi perilakunya, maka Daena muncul untuk mengantarkannya pada citra surgawi, jika perilakunya buruk dalam kehidupan duniawi, maka Daena akan mengantarkannya pada citra neraka, sedangkan orang yang tidak termasuk keduanya akan berada di daerah Hamistagan (daerah bersama): sebuah tempat tinggal dari bayang-bayang, ia tidak merasakan nikmat ataupun sengsara. Gambaran terakhir

P: 184


1- 24. Suhrawardi, “Al-Talwihat" dalam Majmu'ah, J. 1, hlm. 90. Teks aslinya sebagai berikut : "اما السعداء فیتخیلون مثلا وصورا عجیبة أنیقة ویتلذذون بها ... واما الا شقیاء فلا یکون علاقتهم مع هذه الاجرام الشریفة ذوات النفوس النورانیة ... فیتخیلون به من اعمالهم السیئه مثلا من نیران وعقارب ..."
2- 25. Fazlur Rahman, Health and Medicine, hlm. 172.

ini mirip dengan gagasan Syaikh Isyraq tentang jiwa anak-anak atau orang yang idiot setelah terjadi kematian pada mereka. (1) Namun Fazlur Rahman lupa bahwa pencitraan alam barzakh yang demikian tidak hanya berasal dari pemikir Persia, kita juga dapat melihat hal yang sama pada karya-karya pemikir tasawuf, khususnya Ibn 'Arabī, bahkan ide tentang imajinasi alam barzakh jauh lebih dalam digambarkan Ibn ‘Arabi dibandingkan pemikir Persia, seperti Al-Gazhali ataupun Syaikh Isyraq.(2) Disamping itu, gagasan ini sesungguhnya berakar pada Alquran yang pada beberapa ayatnya menyebutkan istilah Barzakh.(3) Dari sini juga, kita dapat melihat kecenderungan Mulla Sadra pada pemikiran tasawuf, mengingat gagasan yang seperti ini tidak kita temui pada para filsuf Peripatetik, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.

3. Keberlangsungan Daya Fisik Pascakematian

Ketika kematian terjadi pada diri manusia, terpisahlah antara jiwa dan raganya. Jiwa manusia, seperti yang telah dibicarakan terdahulu, tetap berkembang melakukan aktivitasnya. Mulla Sadra menggambarkan hubungan antara jiwa dengan raga seperti halnya pohon dengan buah: buah membutuhkan keberadaan pohon untuk menghadirkan dirinya dan mengembangkan dirinya. Setelah buah tersebut matang, terpisahlah dirinya dengan pohon dan masing-masing melakukan aktivitasnya.

Jiwa, setelah berpisah dari raga, tetap memiliki raga yang sederhana karena jika tidak, maka hilanglah identitas diri manusia tersebut. Namun demikian, terjadi perbedaan pandangan terhadap substansi raga tersebut. Mulla Sadra,

P: 185


1- 26. Lihat: Gherardo Gnoli, “Zoroastrianism", Encyclopedia of Religion, diedit oleh Mircea Eliade (New York: Macmillan Publishing Company and London: Collier Macmillan Publisher,1978), J. XV, hlm. 585. Pandangan Syaikh Isyraq tersebut sebagai berikut: "Sedangkan jiwa-jiwa sederhana yang bersih, seperti jiwa anak-anak dan jiwa orang-orang bodoh dari kalangan awam, maka jiwa mereka ketika terpisah dari raga, tetap dalam kesederhanaannya sehingga mereka tidak akan merasakan kenikmatan dan tidak pula merasakan penderitaan serta tidak terikat pada alam ini maupun alam berikutnya." Lihat: Suhrawardi, “Yazdhon snokht", dalam Majmu'ah, J. III, hlm. 438.
2- 27. Lihat William C.Chittick, “Death and the World of Imagination: Ibn Al-Arabi's Eschatology" dalam The Muslim World, hlm.59–65. «لَعَلِّی أَعْمَلُ صَالِحًا فِیمَا تَرَکْتُ کَلَّا إِنَّهَا کَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَی یَوْمِ یُبْعَثُونَ »
3- 28."Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan."

sebelum mengemukakan pandangannya tentang hal tersebut, mengemukakan beragam pandangan tentang raga pascakematian. Sebagian ulama menyatakan bahwa hal tersebut adalah Akal Material (“Akal Hayūlani), ada juga yang menyatakan bahwa raga tersebut adalah Materi Dasar (Hayūla). Al-Gazhali berpandangan bahwa yang akan terbentuk nantinya adalah jiwa dan padanya akan terpancar kehidupan akhirat. (1) Abū Yazid Waqwafi (w. 457 H) berpandangan bahwa jiwa akan muncul dalam bentuk substansi personal yang tetap seperti kehidupan dunianya tanpa mengalami perubahan, sedangkan Ibn 'Arabī dalam Al-Futūhāt Al- Makiyyāh berpandangan bahwa yang akan tinggal adalah entitas tetap (“Ayn al-Tsābit) dari diri manusia, (2) sedangkan menurut Mulla Sadra, yang tetap dari raga manusia pascakematian adalah daya imajinalnya karena bagi Mulla Sadra, daya imajinal tersebut adalah bentuk terakhir dari daya-daya yang berkembang pada diri manusia, mulai dari daya alami, kemudian tumbuh-tumbuhan, binatang, yang secara bergantian berkembang pada materi manusia di alam ini. Daya imajinasi sebagai daya terakhir muncul pada diri manusia di alam dunia

P: 186


1- 29. Maksud Al-Gazhali adalah bahwa jiwa manusia pasca kematiannya akan memunculkan sebagian dari gambaran kehidupan ukhrawi di dalam kuburnya.
2- 30. Ibn 'Arabī, al-Futūhāt al-Makiyyah (Beirut: Dar al-Sodir, Tp. Tahun) J. 2. hal. 626. Selanjutnya disebut: al-Futūhāt

ini dan merupakan daya dasar atau pertama dalam kehidupan akhirat. (1) Mulla Sadra menggambarkan bahwa sebuah bentuk dari segala bentuk di dunia, baik itu materi, forma maupun dayanya secara substansial, identitasnya berpindah dari alam ini menuju alam akhirat, kecuali setelah terjadi perubahan dan proses pembentukan. Manusia tidak akan dapat mencapai kebangkitan, kecuali dengan kesempurnaan dayanya yang merupakan forma terakhir dari karakter semesta (al-Thaba'i al-Kawniyyāh) dan forma materi dasar (Surah al-Hayūlaniyyāh). Hal tersebut berkembang dari unsur, materi keras, tumbuh-tumbuhan, dan binatang dalam daya perasa sebagai tahap pertama, kemudian berkembang lagi menjadi pengecap, penciuman, pendengaran, bahkan penglihatan.

Ketika manusia pertama kali terbentuk, maka yang terbentuk pertama kali setelah unsur dan materi keras adalah daya untuk memenuhi kebutuhan makanan, kemudian berkembang lagi membentuk daya merasakan dan ini merupakan tingkat kualitas indrawi, seperti merasakan rasa hangat, dingin, dan selainnya, kemudian dengan itu merasakan makanan, angin, suara, warna, dan beragam objek penglihatan, seperti cahaya dan sebagainya. Berkembang bersama dengan indra adalah daya kecenderungan yang menghasilkan rasa cinta dan benci, kemudian berhenti pada daya yang memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran seperti apa yang diserap oleh indra eksternal setelah indra eksternal nonaktif, dan kemudian memelihara dan menjaga gambaran tersebut agar tidak hilang dan lenyap. Daya ini terpelihara, seperti halnya indra eksternal manusia dan tetap ada pada diri manusia setelah kehancuran

P: 187


1- 31. Lihat: Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9. hal. 221.

raganya. Daya tersebut tetap terpelihara, sekalipun terjadi fase kehidupan akhirat. Daya ini merupakan materi pertama bagi forma-forma dan kesempurnaan akhirat yang utama dalam kemuliaan dan kedekatan pada sumber aktivitas (Mabda' al- Fa’āl). Daya tersebut merupakan barzakh menengah yang terkumpul elemen dunia dan akhirat, atap bagi dunia dan lantai bagi akhirat. (1) Perkembangan yang seperti ini didasari pandangan Mulla Sadra bahwa jiwa yang berawal dari materi akan terus berkembang menjadi ruhani, di samping tentu saja sebelas prinsip eskatologi yang dikemukakannya, juga turut menjadi dasar bagi pandangannya tersebut. Patut diingat bahwa pandangan Mulla Sadra yang seperti ini adalah pandangan baru di kalangan filsafat Islam karena para pendahulunya, baik dari kalangan filsuf Peripatetik maupun lluminasi, memandang bahwa daya imajinasi berada pada materi dan tidak akan tinggal pascaberpisahnya jiwa dengan raga. Menurut Ibn Sina dan juga Syaikh Isyraq, yang akan tinggal hanyalah jiwa dengan kemurnian intelektualnya.

Gagasan Mulla Sadra tentang daya fisik yang tetap ada pada jiwa pascaberpisahnya jiwa dan raga menjadi penting, mengingat sebagian besar pandangan Mulla Sadra dalam eskatologi mendapatkan sandaran dari pandangan ini.

4. Hakikat Kiamat

Peristiwa yang sangat penting dalam kajian Eskatologi adalah peristiwa Kiamat karena gagasan tentang kehidupan akhirat sebagai kehidupan akhir dari perjalanan kehidupan manusia bermula pascaterjadinya Kiamat. Gagasan Kiamat

P: 188


1- 32. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 222.

berasal dari doktrin Alquran.(1) Di dalam Alquran, kita dapat menemukan banyak sekali gambaran peristiwa Kiamat tersebut, bahkan beberapa surat dinamakan dengan istilah yang mengindikasikan peristiwa Kiamat. Surat-surat tersebut, antara lain, Al-Waqi'ah (Kejadian), Al-Haqqah (Hari Kiamat), Al-Qiyāmah (Kiamat), Al-Nabā' (Berita Besar), Al-Takwir (Menggulung), Al-Infitār (Terbelah), Al-Ghāsiyyah (Peristiwa yang Dahsyat), Al-Zilzalah (Kegoncangan), dan Al-Qāri'ah (Yang Mengetuk dengan Keras) sehingga wajar kemudian banyak penulis eskatologi mendudukkan peristiwa Kiamat ini sebagai isu sentral alquran di samping ketaatan kepada Allah Swt..

Beberapa ayat Alquran mendudukkan keimanan terhadap hari akhir ini bergandengan dengan keimanan terhadap Allah Swt.. (2) Kiamat berasal dari kata Qoma yang berarti 'berdiri', yaitu berdirinya makhluk dihadapan Tuhannya.(3) Alquran secara khusus mendefinisikan hari kiamat sebagai ‘hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.

Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah',(4) dan banyak nama yang digunakan untuk mengisyaratkan tentang hari tersebut.(5) Di samping itu, Alquran menggambarkan peristiwa Kiamat sebagai peristiwa yang luar biasa dahsyatnya, matahari digulung, (6) langit terbelah,(7) bintang-bintang pudar cahayanya, (8) gunung-gunung hancur. (9) Peristiwa yang mengawali Kiamat, sebagaimana yang disebutkan Alquran, dimulai dengan peniupan sangkakala. Dari situ, mulailah peristiwa kehancuran seluruh alam semesta.

Peristiwa ini merupakan awal kehidupan berikutnya, yaitu kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang digambarkan Alquran maupun para pemikir Muslim sebagai kehidupan yang

P: 189


1- 33. Di dalam Alquran, ayat-ayat yang langsung menyebutkan kata Kiamat terulang 72 kali.
2- 34. Di antara ayat-ayat yang menggandengkan keimanan kepada kedua objek tersebut, antara lain, QS 2:8,126, 177, 228, 232 « لِلَّذِینَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِی مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِینَ فِیهَا » dst.
3- 35. Hasan Al-Mustavawi, Al-Tahqiq fi Kalimat Alquran Al-Karim (Tehran: Wizarat Tsaqafah va Irsyade Islomi, 1368), J. 9, hlm.345.
4- 36. QS. 82:19. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «یَوْمَ لَا تَمْلِکُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَیْئًا وَالْأَمْرُ یَوْمَئِذٍ لِلَّهِ » "(yaitu) Hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain, dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah."
5- 37. Al-Ghāzali mengumpulkan 101 nama Kiamat antara lain: Yawm al-Qiyāmah (Hari Kiamat), Yawm al-Hasrah (Hari Penyesalan), Yawm al-Nadāmah (Hari Menyesal), Yawm al- Muhāsabah (Hari Perhitungan), Yawm al-Musā'alah (Hari Pertanyaan), Yawm al-Musābaqah (Hari perlombaan), Yawm al-Munāqasyah (Hari Perdebatan), Yawm al-Munāfasah (Hari Perlombaan), Yawm al-Zilzalah (Hari Kegoncangan), Yawm al-Damdamah (Hari Kebinasaan), Iqa Yawm al-Sā'h (Hari Halilintar), Yawm al-Wāqi'ah (Hari Kegoncangan yang sulit), Yawm al-Qāri'ah (Hari Peristiwa Besar), Yawm al-Rājifah (Hari Bumi Bergoncang), Yawm al-Rādifah (Hari yang Mengiringi Kegoncangan), Yawm al-Gāsyiyah (Hari Peristiwa yang Menyelubungi), Yawm al-Dāhiyah (Hari Bencana), Yawm al- Āzifah (Hari yang Sudah Dekat Waktunya), Yawm al-Haqqah (Hari Kebenaran), Yawm al-Tammah (Hari Bahaya), Yawm al-Sākhkhah (Hari yang Memekakan telinga), Yawm al- Talāq (Hari Pertemuan dengan Tuhan), Yawm al-Firāq (Hari Perpisahan), Yawm al-Masāq (Hari Dihalaukan), Yawm al- Qisās (Hari Qisas), Yawm al-Tanad (Hari Saling Memanggil), Yawm al Hisab (Hari Perhitungan Amal), Yawm al-Ma'āb (Hari Kembali), Yawm al-´Azāb (Hari Penyiksaan), Yawm al-Firār (Hari Lari), Yawm al-Qarār (Hari Tetap), Yawm al-Liqā' (Hari Pertemuan), Yawm al-Baqā' (Hari Keabadian), Yawm al-Fadā' (Hari Keterbukaan), Yawm al-Jazā' (Hari Pembalasan), Yawm al- Balā' (Hari Percobaan), Yawm al-Bukā' (Hari Menangis), Yawm al-Hasyr (Hari Berkumpul), Yawm al-wa'id (Hari Perjanjian [siksa]), Yawm al-'Arad (Hari Datang), Yawm al-Wazn (Hari Timbangan), Yawm al-Haqq (Hari Kebenaran), Yawm al-Hukm (Hari Hukuman), Yawm al-Fasl (Hari Pemisahan), Yawm al- Jam' (Hari Berkumpul), Yawm al-Ba'ts (Hari Kebangkitan), Yawm al-Fath (Hari kemenangan), Yawm al-Khizy (Hari Kehinaan), Yawm al-'Azim (Hari Keagungan), Yawm al-'Aqim (Hari sial), Yawm al-Asīr (Hari Sukar), Yawm al-Dīn (Hari Agama), Yawm al-Yaqīn (Hari Keyakinan), Yawm al-Nusyūr (Hari Berserak-serak), Yawm al-Masīr (Hari Tempat Kembali), Yawm al-Nafkhah (Hari Tiupan), Yawm al Sihah (Hari Teriakan ), Yawm al-Rajfah (Hari Kegoncangan), Yawm al-Rajjah (Hari Bergerak), Yawm al-Zajrah (Hari yang menakuti), Yawm al- Sakrah ( Hari kemabukan), Yawm al- Faz' (Hari ketakutan), Yawm al- Jaz' Hari kegundahan), Yawm al-Muntahā (Hari Kesudahan), Yawm al-Ma'wā (Hari Tempat Tinggal), Yawm al-Miqāt (Hari Tepat Waktu), Yawm al-Miād (Hari Tempat Kembali), Yawm al-Mirsad (Hari Menanti), Yawm al-Qalaq (Hari Kekacauan), Yawm al-'Araq (Hari Keringat), Yawm al- Iftiqār (Hari Keperluan), Yawm al-Inkidār (Hari Kekeruhan), Yawm al-Intisyar (Hari Bertebaran), Yawm al-Insyiqā (Hari Terbelahnya Langit), Yawm al-Wuquf (Hari Berhenti), Yawm al-Khurūj (Hari Keluar), Yawm al-Khulūd (Hari Kekekalan), Yawm al-Taqābun (Hari Terpedaya), Yawm al-“Abūs (Hari Kesukaran), Yawm Ma'lum (Hari yang Diketahui), Yawm al- Maw'ūd (Hari yang Dijanjikan), Yawm al-Masyhūd (Hari yang Disaksikan), Yawm Lākayb Fih (Hari yang Tiada Keraguan Padanya), Yawm Tublā al-Sarā'ir (Hari yang Dicobakan Segala Rahasia), Yawm Lālajzi Nafs'an Nafs Syai'an (Hari yang Tidak Dapat SatuDiri Menggantikan Diri Lain), Yawm Tasykhas fih al-Absār (Hari yang Memandang Padanya Semua Mata), Yawm lā yugnīmaulan ‘an maulan syai'an (Hari yang seorang sahabat tidak dapat menolong sahabatnya sedikitpun), Yawm Yudda'ün ilā Nāri Jahannam Da'an (Hari yang digiring ke Neraka dengan kekerasan), Yawm Yushabūn fī Nār Jahannam 'alā Wujūhihim (Hari yang mereka ditarik ke Neraka atas mukanya), Yawm Tuqallab Wujūhuhum fi an-Nār (Hari yang muka mereka dibolak-balik dalam Neraka), Yawm là Yajzi Walid'an Waladih (Hari yang tidak dapat bapak menolong anaknya), Yawm Yafirr Mar'min Akhih wa Ummih wa Abih (Hari yang manusia lari dari saudara, ibu dan bapaknya), Yawm là Yantiqūn wa lā Yuʼzan lahum fa Ya'tažirūn (Hari yang mereka tidak bercakap- cakap, tidak diizinkan, lalu mereka pun minta kemaafan), Yawm lā Maradda lah min Allāh (Hari yang tiada penolakan baginya dari Allah), Yawm hum Bārizūn (Hari yang mereka datang ke muka, Yawm hum ‘alā an-Nār Yuftanūn (Hari yang mereka dicoba atas Neraka), Yawm là Yanfa' Māl wa lā Banūn (Hari yang tiada bermanfaat harta dan anak), Yawm lāYanfa'al- zālimīma maʼżiratuhum wa lahum al la'nah wa lahum sū' al- dār (Hari yang tidak bermanfaat bagi orang-orang zalim akan dalih mereka dan bagi mereka kutukan dan tempat tinggal yang buruk), Yawm turadd fih al-ma'āžīr wa tublā al-sarā'ir wa tuzhar al-damā'ir wa tuksyaf al-astāruh (Hari yang tertolak padanya segala dalih, dicoba segala rahasia, dilahirkan segala isi hati dan disingkapkan segala tirai), Yawm takhsya' fihal- absār wa taskun al-aswāt wa yaqill fih al-tifāt wa tabruz al- khafiyyāt wa tazhar al-khatīāt (Hari yang tetap padanya segala penglihatan,tenang segala suara, sedikit padanya berpaling, lahir segala yang tersembunyi, dan tampak segala kesalahan), dan Yawm Yusāq al-'ibād wa ma'ahum al- Asyhād wa Yasyīb al-Sagīr wa Yaskar al-Kabīr (Hari yang dihalau seorang hamba, yang bersama mereka anggota badannya yang menjadi saksi, anak kecil menjadi beruban, orang tua menjadi mabuk). Lihat al-Gazālī, Ihya' Ulum al-Din, J. IV hal. 549-550.
6- 38. QS 81:1. Teks ayat tersebut sebagai berikut: إذا الشمس کورت
7- 39. QS 83:18. Teks ayat tersebut sebagai berikut: کما إن کتاب الأبرار یلف علیین
8- 40. QS 81:2. Teks ayat tersebut sebagai berikut: وإذا التجوم انکدرت
9- 41. QS 70:9. Teks ayat tersebut sebagai berikut: وتکون الجبال کالعهن

sesungguhnya, sedangkan kehidupan duniawi adalah kehidupan sementara dan main-main.(1) Mulla Sadra, dalam membicarakan Kiamat ini, mengawali dengan membagi Kiamat menjadi dua bagian: Kiamat kecil dan Kiamat besar. Kiamat kecil bagi Sadra adalah kematian yang terjadi pada diri manusia. Ketika manusia tersebut mengalami kematian, maka terjadilah Kiamat baginya, sedangkan Kiamat besar, Mulla Sadra memberikan makna yang berbeda dari umumnya umat Islam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Kiamat merupakan kehancuran alam semesta dan kematian seluruh makhluk, tetapi bagi Mulla Sadra, Kiamat besar bermakna terfokusnya orientasi segala yang rendah kepada Yang Mahatinggi, segala sesuatu kepada sumber aslinya, segala forma pada hakikatnya, akibat pada sebabnya serta tersambungnya jiwa-jiwa langit pada jiwa intelek(2).

Akhirat, menurut Mulla Sadra, hanya akan dihasilkan melalui peristiwa terangkatnya segala bentuk hijab yang membatasi seorang manusia akan kesadaran tentang hakikat, tanggalnya segala forma yang selama ini membatasi diri, terpancarnya Al-Haqq dengan ketunggalannya yang hakiki, demikian pula terpaparkan segala sesuatu dalam forma

P: 190


1- 42. QS 6:32, 29:54. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَمَا الْحَیَاةُ الدُّنْیَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَیْرٌ لِلَّذِینَ یَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ » «وَمَا هَذِهِ الْحَیَاةُ الدُّنْیَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِیَ الْحَیَوَانُ لَوْ کَانُوا یَعْلَمُونَ » Al-Ghazali menggambarkan kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang hakiki dan abadi, sedangkan kehidupan duniawi hanyalah kehidupan yang sekilas dan sementara. Lihat: Al-Ghazali, Ihya', J. IV, hlm. 539.
2- 43. Lihat: Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9 hal. 278.

substantifnya yang hakiki. Bagi Mulla Sadra, segala sesuatu yang selama kehidupan di dunia merupakan batin bagi manusia, akan tampil secara zahir di akhirat karena segala bentuk hijab yang membatasi manusia tersebut selama ini telah terangkat.(1) Mulla Sadra menyatakan bahwa peristiwa Kiamat besar ini sebenarnya tidak terjadi pada satu fase tertentu seperti yang diyakini awam, melainkan bahwa peristiwa ini terjadi setiap masa dan puncaknya ketika segala sesuatu sampai pada puncak tujuan perjalanannya yang tidak ada tujuan lagi setelahnya. Itulah yang dimaksud Mulla Sadra sebagai “waktu atau hari Ketuhanan yang satu" dan baginya, siapa saja yang memiliki kesadaran tentang prinsip gerakan transubstansial dan hatinya dipenuhi dengan cahaya keyakinan, dapat menyaksikan peristiwa perubahan segala bentuk parsial, identitas, dan jiwa menuju Allah Swt.. Peristiwa tersebut disebut sebagai Kiamat menurut Mulla Sadra, karena segala sesuatu berdiri kembali dalam wujud yang abadi dan tidak akan pernah mengalami kesirnaan atau kehancuran.(2) Inilah yang dimaksud Mulla Sadra sebagai Kiamat dan dengan prinsip al-Harākat al-Jawhariyyāh yang dikembangkan Mulla Sadra. Sebuah kesulitan bagi Mulla Sadra untuk menerima doktrin bahwa Kiamat adalah peristiwa yang terjadi pada masa tertentu karena berdasarkan prinsip ini, segala sesuatu terus menerus dalam gerakan dan hanya akan berhenti setelah sampai pada tujuan akhirnya. Namun, tidak berarti bahwa tidak akan ada peristiwa segala sesuatu di alam semesta akan mengalami kehancuran, bahkan berdasarkan prinsip-prinsip filsafat yang dikembangkan Mulla Sadra dapat dipastikan bahwa segala sesuatu akan mengalami Kiamat karena segala sesuatu,

P: 191


1- 44. Lihat: Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9 hal. 278.
2- 45. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J.9, hlm. 279.

bagi Mulla Sadra, memiliki jiwa yang terus-menerus mengalami gerakan transubstansial dan berorientasi pada puncak wujud yang disitu berakhir segala gerakan.

Apa yang digambarkan Mulla Sadra tentang makna Kiamat ini merupakan sesuatu yang baru, dibandingkan para filsuf sebelumnya, yang sama sekali tidak memberikan penjelasan secara khusus tentang Kiamat, sekalipun tidak dapat dibandingkan dengan karya-karya para teolog, seperti Al-Gazhali dan selainnya, yang secara mendetail menjelaskan peristiwa-peristiwa khusus ketika Kiamat terjadi. Ini dapat dipahami, mengingat Mulla Sadra berusaha secara konsisten membicarakan peristiwa tersebut dalam koridor filsafat yang dikembangkannya sehingga sepertinya, Mulla Sadra tidak merasa perlu untuk menggambarkan peristiwa tersebut melalui riwayat-riwayat yang, pada umumnya, digunakan para teolog.

5. Makna Kebangkitan dan Pengumpulan

Dalam kajian Eskatologi, peristiwa yang cukup mendasar dan cukup menjadi perdebatan serius antara para filsuf dan teolog adalah peristiwa bangkitnya manusia yang telah mati dari kuburnya. Karena itu juga, keseluruhan kajian yang berkaitan keadaan jiwa pascakematian disebut dengan peristiwa kebangkitan kembali, yaitu al-Ma'ād.

Doktrin ini adalah doktrin yang, pada umumnya, sulit diterima pada awal-awal sejarah Islam. Karenanya, di dalam Alquran dabadikan keberatan kaum Jahiliyyah terhadap doktrin ini.(1) Keberatan terhadap doktrin ini tidak terbatas pada kaum Jahiliyyah, melainkan juga pada setiap zaman tetap ada kelompok yang menolak doktrin kembangkitan kembali ini, seperti yang

P: 192


1- 46. Kita melihat keberatan dan jawaban yang diberikan Allah atas keberatan tersebut pada QS 36:78. Berkaitan dengan ayat ini, Mulla Sadra menolak menjadikan ayat ini sebagai bukti kebangkitan karena menurutnya, ayat ini hanya menunjukkan kemampuan Allah untuk menyusun kembali tulang-tulang yang telah hancur. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 48.

telah disebutkan bahwa pada zaman modern ini, para filsuf Barat, seperti Marx, Freud dan yang lainnya, tetap menolak doktrin ini. Karenanya, tetap menjadi signifikan pembicaraan tentang doktrin ini.

Di dalam Islam, tentu tidak terjadi penolakan terhadap peristiwa ini, tetapi yang menjadi persoalan, sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab 1, adalah dalam makna dan forma seperti apa kebangkitan itu terjadi.

Mulla Sadra, ketika membicarakan tentang kebangkitan manusia dari kuburnya, memberikan makna sebagai peristiwa ketika seluruh manusia terjaga dari penjaranya selama ini di dalam kubur dengan aktifnya indra untuk dapat mempersepsi hakikat-hakikat kehidupan akhirat. Bagi Mulla Sadra, alam dunia ini seperti halnya rahim bagi kehidupan barzakh dan alam barzakh merupakan rahim bagi kehidupan akhirat. Di alam barzakh, manusia melakukan proses penyempurnaan diri untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya hingga mampu mempersepsi alam akhirat yang merupakan alam dengan untuk dapat memiliki kesadaran kualitas yang lebih tinggi dari alam-alam sebelumnya. Makna kebangkitan ini diungkapkan Sadra sebagai berikut:

Keluarnya jiwa dari patikel partikel bentuk yang selama ini meliputinya sebagaimana keluarnya janin dari rahim yang kokoh, kubur hakiki adalah tertutup dan terkepungnya

P: 193

jiwa setelah kematian raga pada bentuk yang selama ini menempel padanya dan jiwa tersebut di antara kematian dan kebangkitan berada dalam tingkatan janin atau orang yang tidur dan pancaindranya menjadi tidak aktif untuk dapat mempersepsi objek-objek akhirat dan ketika tiba waktu bangkit, terjagalah seluruh manusia dari penjara ini dan melangkah menuju Allah Swt., baik dengan kebebasan secara mutlak dari berbagai bentuk keterikatan dan penjara hawa nafsu maupun dipenuhi kebahagiaan dalam perjumpaan dengan Allah Ta'ala.(1) Bagi Mulla Sadra, setiap dimensi alam memiliki kualitas spesifik yang satu lebih utama dari yang lainnya. Jiwa manusia, untuk dapat memiliki kesadaran pada dimensi alam berikutnya, haruslah memiliki kesempurnaan yang sesuai dengan kualitas alam tersebut. Karenanya, fase kehidupan di dunia ini adalah fase penyempurnaan jiwa untuk dapat mempersepsi alam barzakh dan fase kehidupan alam barzakh adalah fase penyempurnaan jiwa untuk dapat mempersepsi alam akhirat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, panjang-pendeknya masa seseorang di alam barzakh sangat bergantung pada kualitas jiwa seseorang tersebut. Hal ini masih menyisakan persoalan yang berkaitan dengan jiwa-jiwa orang-orang kafir: apakah jiwa tersebut akan mendekam selamanya di alam barzakh? Mulla Sadra menyatakan tidak. Menurutnya, ada masa tertentu Allah Swt.

akan membangkitkan semua jiwa tersebut, tetapi jiwa orang- orang kafir tersebut menjadi buta dan tidak mampu menangkap realitas akhirat.(2) Setelah terjadi kebangkitan tersebut, manusia akan masuk dalam kelompok-kelompok yang mewakili identitas dirinya.

Identitas tersebut ditentukan oleh forma-forma yang muncul dari jiwa. Forma-forma, – sebagaimana yang akan dibicarakan

P: 194


1- 47. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 224, 225. Teks aslinya sebagai berikut: عن غبار هذه الهیئات المحیطة بها کما یخرج أما البعث فهوخروج النفس الجنین من القرار المکین, وقد مرت الإشارة إلی أن القبر الحقیقی هو انغمار النفس وانحصارها بعد موت البدن فی تلک الهیئات المکتفنة, فهی ما بین الموت و البعث بمنزلة الجنین أو النائم لم تقوقواها ومشاعرها لإدراک المدرکات الآخرة, فإذا جاء وقت القیام انبعث الإنسان من هذ الا نغمار قادما إلی الله تعالی متوجها إلی الحضرة الالهیة إما مطلقا حرا عن قید التعلقات واسر الشهوات فرحانا بذاته مسرورا بلقائه تعالی - و من أحب لقاء الله أحب الله لقائه - وإما مقبوضا مأ سورا بأیدی الزاجرات القاسرات کارها للقائه تعالی و من کره لقاءالله کره الله لقائه
2- 48. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 225. Hal yang sama juga disebutkan Alquran pada QS 17:72.

pada Fisikalisasi Perbuatan (Tajassum al-A'māl) – terbentuk dari karakter yang melekat pada jiwa manusia. Atas kategori formatif seperti itu, menurut Mulla Sadra, manusia digiring untuk berada dalam kelompok yang sesuai dengan forma dirinya.

Pengelompokan dalam kategori formatif inilah yang disebut Mulla Sadra sebagai Pengumpulan (al-Hasyr). Mulla Sadra menggambarkan proses pengumpulan tersebut dengan gambaran bahwa manusia, ketika di dunia berada dalam satu genus yang sama dan sesuai satu sama lain, sedangkan di alam akhirat, jenis manusia menjadi beragam dengan kuantitas yang tidak terbatas karena forma jiwa merupakan materi reseptif bagi forma-forma akhirat yang berbeda-beda berdasarkan bentuk dan karakter yang melekat pada dirinya. Sehingga menurut Mulla Sadra bahwa Allah Swt. memakaikan manusia tersebut forma- forma yang sesuai dengan karakternya, kemudian dikumpulkan semua manusia dalam ragam seperti itu. Mulla Sadra, ketika memberikan penjelasan ini, mengutip ayat alquran, “Pada hari Kami tiupkan seruling dan mereka datang dengan tergesa- gesa"(1) sehingga menurut Mulla Sadra, berkumpullah manusia berdasarkan perbuatan, karakter, dan pikiran. Di antara kelompok tersebut, menurut Mulla Sadra, ada yang berjalan dengan penuh kehormatan. Untuk ini, Mulla Sadra mengutip ayat, “Dan ingatlah ketika kami kumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat". (2) Ada juga menurutnya kelompok yang berjalan menuju penderitaan. Untuk kelompok ini Mulla Sadra mengutip ayat, “Dan pada hari dikumpulkan musuh-musuh Allah menuju neraka"(3) dan “Dan Kami kumpulkan mereka pada hari Kiamat dalam keadaan buta".(4)

P: 195


1- 49. QS 78:18. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «یَوْمَ یُنْفَخُ فِی الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا »
2- 50. QS 19:85. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «یَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِینَ إِلَی الرَّحْمَنِ وَفْدًا »
3- 51. QS 41:19. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَنَحْشُرُهُ یَوْمَ الْقِیَامَةِ أَعْمَی » “Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka."
4- 52. QS 20:124. Teks ayat tersebut sebagai berikut : وشهد یوم القیﺎمة أعمی “Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." Juga, lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 227.

Pengelompokkan ini, menurut Mulla Sadra, sangat dimungkinkan terjadi mengingat pada jiwa manusia terdapat beragam forma dan forma ini tidaklah hancur dengan hancurnya raga, melainkan tetap akan dibangkitkan pada hari Kiamat serta menjadi forma raga akhirat. Kehidupannya tidak sebagaimana kehidupan raga yang terkomposisi secara aksiden yang terbentuk dari materi eksternal, tetapi kehidupannya seperti kehidupan jiwa an sich. Manusia tersebut akan dikumpulkan berdasarkan genusnya masing-masing. Jika genusnya masuk kategori genus hewani, maka ia akan berada dalam genus tersebut dalam forma-forma yang berkesesuaian dengan genusnya tersebut.

Bagi Mulla Sadra, forma genus tersebut menjadi identitas karena karakter jiwa selama dalam kehidupan di dunia adalah karakter dari genus tersebut. Jika selama di dunia karakter yang muncul darinya adalah karakter genus hewani, maka genus itulah yang menjadi aktif sebagai identitas dirinya.

Selain makna di atas, Mulla Sadra menjelaskan juga bahwa kebangkitan yang terjadi pada manusia terjadi berulang kali dan tidak hanya sekali, seperti yang dinyatakan Mulla Sadra, “Sesungguhnya pada manusia ada beragam kebangkitan"(1), untuk ini Mulla Sadra mengutip pernyataan Syaikh Ibn 'Arabī:

"Ketahuilah, bahwa ruh manusia dijadikan Allah sebagai pengendali bagi forma indrawi, baik itu di dunia, di alam barzakh, di alam akhirat atau dalam keadaan apa pun dirinya. Forma pertama yang dipakai oleh manusia adalah adalah forma yang diambil melalui peristiwa perjanjian terhadap ketuhanan Al-Haqq, kemudian manusia dibangkitkan dari forma tersebut menjadi forma fisik duniawi, mulai dari rahim sang ibu hingga waktu kematiannya. Ketika kematiannya tiba, ia dibangkitkan dalam forma lain hingga saat pertanyaan tiba. Ketika tiba

P: 196


1- 53. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 232. Teks aslinya sebagai berikut: "إن الانسان أنواعا من الحشر"

saat pertanyaan, akan dibangkitkan kembali dengan forma fisiknya,(1) tetapi tetap dalam sifatnya sebagai kematian.

Kemudian, dihidupkan kembali, tetapi manusia tidak dapat mendengar dan menyaksikan kehidupan mereka, kecuali mereka yang dibukakan Allah dari para Nabi dan Wali- Nya. Kemudian dibangkitkan kembali setelah pertanyaan dengan forma barzakh dan menjaganya dalam kondisi seperti itu. Forma tersebut adalah identitas barzakh, tidur dan kematian dalam keadaan seperti itu hingga tiupan seruling kebangkitan. Kemudian, dibangkitkan dari forma tersebut menuju forma yang berbeda dari kehidupan dunia, sekiranya masih tersisa pertanyaan baginya dan jika bukan termasuk golongan tersebut, dia akan dibangkitkan dengan forma penghuni surga, sedangkan penghuni neraka seluruhnya dalam pertanyaan. Dan setelah masuk kedalam surga dia akan menetap di dalamnya kemudian diseru untuk menyaksikan selanjutnya dibangkitkan dengan forma yang tidak dapat dicapai, kecuali dengan penyaksian dan ketika dibangkitkan dalam forma yang berkesesuain dengan surga, maka terlupakanlah beragam forma yang pernah terjadi padanya sebelumnya ... dan ketika dirinya masuk ke pasar(2) di surga tersaksikan beragam forma, forma manapun yang dipandangnya indah maka dirinya akan dibangkitkan dengan forma tersebut dan disurga selalu terjadi kebangkitan dirinya dari satu forma kepada forma yang lain yang tiada akhirnya”.(3) Hal ini, bagi Mulla Sadra, menunjukkan terjadinya peristiwa kebangkitan pada diri manusia secara berulang-ulang berdasarkan gerakan transubstansial yang terjadi pada substansi diri manusia tersebut. Akan tetapi bagi Mulla Sadra, apa yang diungkapkan Ibn 'Arabī tersebut hanya didasarkan penyaksian ruhaniah semata dan tidak didasarkan pada argumentasi rasional, sedangkan bagi Mulla Sadra, hal ini hanya dapat digunakan, tidak lebih, sebagai perumpamaan semata, sementara kebenaran harus berdasarkan bukti rasional. Sekalipun Mulla Sadra

P: 197


1- 54. Mulla Sadra menolak kebangkitan fisik yang seperti ini karena menurutnya akan menyebabkan reinkarnasi. Namun menurut Sayid Radhi, pernyataan Syaikh ini lebih dalam upaya menjaga pada umumnya keyakinan kaum muslimin.
2- 55. Citra pasar di surge, pada umumnya, muncul pada karya- karya Eskatologi abad pertengahan, seperti yang digambarkan oleh Al-Samarkandi dalam Ahwal Al-Qiyamah hlm. 34 sebagai berikut: “Pada hari Jumat, mereka akan keluar ke pasar- pasar di surga dan mendapatkan pakaian yang paling indah yang belum pernah mereka kenakan sebelumnya". Hal ini kemungkinan besar didasarkan kepada riwayat-riwayat, tetapi apa makna yang sesungguhnya di balik hal tersebut, penulis belum menemukan penjelasan yang khusus.
3- 56. Mulla Sadra, Al-Asfar J. 9, hlm. 233-234. Ibn 'Arabi, Al- Futuhat, J. 3, hlm. 267 – 268. Teks aslinya sebagai berikut: اعلم أن الروح الإنسانی أوجده الله مدبرا لصورة حسیة سواء کان فی الدنیا أو فی البرزخ أو فی الدار الآخرة أو حیث کان, فأول صورة لبسها الصورة التی أخذ علیه فیها المیثاق بالا قرار بربوبیة الحق علیه, , ثم إنه حشر من تلک الصورة إلی هذه الصورة الجسمیة الدنیا ویه و حبس بها فی رابع شهر من تکون صورة جسده فی بطن أمة إلی ساعة موته: فاذا مات حشرإلی صورة أخری من حین موته إلی وقت سؤاله, فإذا جاء وقت سؤاله حشر من تلک الصورة إلی صورة جسده الموصوف بالموت فیحیی به ویؤخذ بأسماع الناس وأبصاو هم عن حیاته بذلک الروح إلأ من خصه الله با لکشف من نبی أوولی, ثم یحشر بعد السؤال إلی صورة أخری فی البرزخ یمسک فیها, بل تلک الصورة عین البرزخ والنوم والموت فی ذلک علی السواء إلی نفخة البعث فیبعث من تلک الصورة ویحشر إلی الصورة التی کان فإرق ها فی الدنیا, إن کان بقی علیه سؤال, فإن لم یکن من أهل ذلک الصنف حشر فی الصورة التی یدخل بها الجنة أو النار, وأهل النار کلهم مسؤلون, فإذا دخلوا الجنة واستقروا فیها ثم دعوا إلی الرؤیة ونودوا حشروا فی صوره لا تصلح إلا للرؤیة فإذا عادوا حشروا فی صورة تصلح للجنة و فی کل صورة تنسی صورته التی کان علیها, ویرجع حکمه إلی حکم الصورة التی انتقل إلیها و حشر فیها فإذا دخل سوق الجنة و رآی مافیه من الصورفأی صورة رآها و استحسنها حشر فیها فلا یزال فی الجنة دائما یحشر من صورة إلی مالا نهایة له

seakan-akan menyederhanakan hasil penyaksian ruhani Ibn ‘Arabī tersebut, tetapi justru pada banyak bagian, Mulla Sadra seringkali mengutip pernyataan-pernyataan Ibn 'Arabī, seakan-akan apa yang dihasilkannya secara argumentatif juga dapat ditemukan pada hasil penyaksian ruhani Ibn 'Arabī dan satu-satunya pandangan yang selalu menjadi rujukan Mulla Sadra dalam kesepakatannya hanyalah Ibn 'Arabi. Jika kita melihat lebih kritis, kita tidak dapat menampik bahwa banyak pemikiran Mulla Sadra diwarnai pemikiran Ibn 'Arabī, bahkan berdasarkan penelitian James Winston Morris, sebagian besar pandangan Eskatologi Mulla, berakar pada Futūhāt al-Makiyyah karya Ibn 'Arabī.(1) Salah satu yang cukup baru dalam pandangan Eskatologi yang dikemukakan para filsuf Muslim adalah pandangan Mulla Sadra yang meyakini bahwa semua makhluk akan dibangkitkan kembali oleh Allah Swt.. Hal ini sebagaimana yang dinyatakannya, “Dan kami memiliki risalah dalam bab ini yang menjelaskan persoalan kebangkitan segala sesuatu di alam ciptaan ini, sekalipun bebatuan atau tumbuh-tumbuhan, menuju alam akhirat dan dibangkitkan seluruhnya untuk menuju Allah Ta'ala."(2) Pandangan ini jelas bertentangan dengan pandangan filsuf sebelumnya yang meyakini bahwa kebangkitan hanya

P: 198


1- 57. James Winston Morris, “Mafhum Barzakh dar Nazd Mulla Sadra" dalam Majmu'ah Maqolehye Mulla Sadro (Tehran: Siprin, 2007), hlm. 95.
2- 58. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 198. Teks aslinya sebagai berikut: "ولنا رسالة علی حدة فی هذا الباب بینا فیها حشر جمیع الأشیاء الکائنة حتی الجماد والنبات إلی الدار الآخرة وحشر الکل إلیه تعالی"

terjadi pada manusia, mengingat bahwa pencapaian pada tingkat rasional hanya terjadi pada diri manusia tidak pada selainnya.

Selain itu juga, beban kewajiban (taklīf) hanya dibebankan pada manusia, tidak pada selainnya.

Namun menurut Mulla Sadra, Allah Swt. menciptakan segala sesuatu dengan tujuan dan setiap bentuk wujud yang diciptakan dalam komposisi memiliki empat hal: sumber aktivitas, tujuan, materi, dan forma. Setiap tujuan akan memiliki tujuan lain yang terus akan mengantarkannya pada puncak dari segala tujuan, seperti halnya sebab: pasti ada sebab sebelumnya hingga sampai pada puncak sebab yang tidak ada sebab lagi sebelumnya. Tujuan dari segala tujuan dan sebab dari segala sebab, tidak lain, adalah Wujud niscaya (Wajib Al-Wujūd), pada dirinya berakhir hirarki wujud. Menurut Mulla Sadra, sekiranya segala bentuk wujud tersebut tidak mencapai puncak tujuan mereka, maka yang terjadi tidak lebih penetapan tujuan pada makhluk selain manusia tersebut adalah relatif, bukan hakiki.

Padahal tujuan pada setiap keberadaan adalah sesuatu yang hakiki. Dengan demikian, menurut Mulla Sadra, segala bentuk wujud memiliki tujuan dan tujuan tersebut mengantarkan seluruh bentuk wujud untuk dibangkitkan kembali.

Persoalan yang terjadi adalah pada tingkat dan rupa, seperti apa jiwa-jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan segala bentuk ciptaan tersebut, akan dibangkitkan. Mulla Sadra memberikan jawaban untuk persoalan ini bahwa menurutnya, forma tumbuh-tumbuhan, jika terputus dari sumbernya atau mengering, maka ia akan menempuh perjalanan pertama menuju alam forma-forma berukuran tanpa materi, kemudian kepada alam rasio dan berakhir pada alam forma. Mulla Sadra

P: 199

membagi dua genus tumbuh-tumbuhan yang sudah mencapai forma tersebut. Menurutnya, tumbuh-tumbuhan yang berasal dari jenis makanan yang baik, seperti buah-buahan yang manis dan tumbuh-tumbuhan yang mengeluarkan wewangian akan menjadi pepohonan di surga dan jika berasal dari makanan yang buruk, rasanya pahit, dan aroma yang busuk seperti pohon zaqum, ia akan menjadi pepohonan di neraka sebagai sumber makanan bagi para pendosa. Keseluruhan pohon-pohon ini, puncaknya berakhir pada sidrat al-muntahā yang padanya terdapat surga al-Ma'wa. Hal ini, menurut Mulla Sadra, sebagai gambaran atas seluruh jiwa yang pada tahap pertama berakhir pada jiwa universal yang diatasnya terdapat akal universal. Dan itu merupakan manifestasi ma'wa jiwa universal, sebagaimana juga puncak terakhir bagi jiwa parsial. (1) Beberapa jenis makhluk lain akan dibangkitkan menurut kesesuaianya masing-masing, sebagaimana yang dijelaskan Mulla Sadra dalam Mafātīh al-Ghaib,(2) antara lain, makhluk yang berada di alam ruhani murni, seperti ruh-ruh yang tinggi, akal-akal kesucian, forma-forma diferensial, ide-ide Ilahi (al- Mutsūl al-llahiyyāh) dan pengatur-pengatur cahaya (al-Arbāb al- Nūriyyāh), maka kebangkitan yang akan terjadi pada makhluk- makhluk ini, tidak lain, menuju Zat Ahaddiyyah Niscaya. Alam jiwa astrologis, maka kebangkitan yang terjadi padanya dari sisi kesatuan dalam genusnya dan gerakan kecintaan kepada kesempurnaan mutlak, kebaikan mutlak, dan keindahan mutlak adalah menuju Allah Swt.. Dari sisi perbedaan kuiditas dan kecenderungannya menyebabkan perbedaan gerakan dan kesempurnaan serta kecintaan kepada emanasi akliah, maka kebangkitan yang akan terjadi adalah menuju kesempurnaan

P: 200


1- 59. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 256.
2- 60. Mulla Sadra, Mafātīh al-Ghaib (Tehran: Muasasah Mutala'at va Tahqiqat Farhangge, 1363), him. 612 - 613.

yang menjadi kecenderungannya tersebut dan dibangkitkan dalam kemurnian dari segala forma. Bagi alam materi yang agung dan bentuk yang kuat, seperti langit-langit, planet-planet, matahari, bulan, dan segala bentuk bintang, maka kebangkitan bagi mereka, dari sisi daya imajinatifnya, akan dibangkitkan menuju alam jiwa dan imajinal; dari sisi daya materi dasarnya (Hayyūliyyāh) akan dibangkitkan menuju neraka.

Gagasan Mulla Sadra ini dapat menjadi solusi gambaran Alquran ketika menceritakan peristiwa setelah Kiamat, bahwa segala sesuatu menjadi hidup, gunung-gunung berjalan,(1) hewan- hewan buas dibangkitkan kembali, (2) kaki-kaki menjadi saksi,(3) dan sebagainya. Selama ini, tidak ada petunjuk di kalangan para pemikir Eskatologi yang memberikan gambaran kebangkitan makhluk-makhluk lain selain manusia, sekalipun ide bahwa segala sesuatu adalah hidup dapat kita temui pada pemikiran Ibn 'Arabi dalam karyanya, Fushūs Al-Hikam. (4) Namun, penulis belum menemukan penjelasan Ibn 'Arabī secara spesifik yang menunjukkan gagasan bahwa segala sesuatu tersebut akan dibangkitkan, seperti halnya gagasan Mulla Sadra.

Gagasan Mulla Sadra merupakan sumbangan baru bagi kajian eskatologi namun sayangnya Mulla Sadra tidak memberikan rincian yang memadai dalam genus seperti apa setiap tingkatan wujud tersebut ketika dibangkitkan. Dalam hal ini, Mulla Sadra hanya memberikan gambaran pada sebagian jenis wujud tertentu.

6. Bahan Dasar Akhirat

Akhirat sebagai alam terakhir bagi perjalanan seluruh makhluk. Karenanya juga disebut akhirat yang berasal dari

P: 201


1- 61. QS 18:47. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَیَوْمَ نُسَیِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَی الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا » “Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka."
2- 62. QS 81:5. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ » “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan."
3- 63. QS 24:24. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «یَوْمَ تَشْهَدُ عَلَیْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَیْدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا کَانُوا یَعْمَلُونَ » "Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan."
4- 64. Dalam Syarh Fushūs Al-Hikam yang ditulis oleh Qaysari, pada bagian Muqaddimah, Qaysari menjelaskan pandangan Syaikh Ibn 'Arabī yang meyakini bahwa segala sesuatu adalah hidup dan pandangan ini di dasari ayat Alquran: QS 17:44. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِیهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَیْءٍ إِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَکِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِیحَهُمْ إِنَّهُ کَانَ حَلِیمًا غَفُورًا » "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."

kata akhir sebagai tempat berhentinya perjalanan.(1) Akhirat merupakan substansi dari seluruh alam yang ada, sebagai tempat tinggal terakhir dari seluruh makhluk yang kehidupan menjadi abadi.

Seperti argumentasi-argumentasi yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, alam ini, eksistensinya merupakan keharusan. Di dalamnya, seluruh tindakan manusia selama kehidupan di dunia mendapatkan ganjaran, baik dalam bentuk kenikmatan di surga maupun penderitaan di neraka.

Akhirat, sebagai sebuah alam sekalipun, merupakan substansi murni dari seluruh alam. Bagi Mulla Sadra, akhirat tetaplah terbentuk dari bahan dasar tertentu yang menopang keberadaannya. Karena akhirat merupakan dimensi, maka pada dirinya tetap dibentuk oleh bahan-bahan tertentu, sekalipun sangat bertolak belakang dengan bahan dasar yang membentuk materi dunia.

Mulla Sadra merasa penting untuk menjelaskan hal ini, mengingat banyak persoalan terkait dengan gagasan posisi surga dan neraka. Karena pada sebagian pandangan Eskatologi, ada pandangan-pandangan yang meyakini bahwa surga dan neraka berada di alam dunia ini juga.(2) Pandangan seperti ini jelas-jelas ditolak oleh Mulla Sadra.

Mulla Sadra mengemukakan argumen bahwa setiap materi dasar (Hayūla) merupakan wujud yang paling halus dan paling cepat sebagai reseptif bagi forma. Demikian pula setiap materi dasar adalah substansi yang paling sederhana dan secara ruhani paling dominan dan dirinya merupakan forma yang paling utama dan sempurna. Komposisi antara materi dan forma adalah komposisi kesatuan, sebagaimana

P: 202


1- 65. Al-Mustavawi, Al-Tahqiq fi Kalimat Alquran Al-Karim, J. I, hlm.87.
2- 66. Di antara pemikir Eskatologi yang meyakini bahwa surga dan neraka berada di alam dunia ini, juga yang di kreasi ulang, Jane Idelman menyebutkan pandangan Al-Ghazali tersebut. Al-Ghazali menyatakan, “Pada akhirnya, Allah akan membuka salah satu tempat simpanan barang yang berharga di 'Arsy, dan dari situ, lautan kehidupan akan menghujani tanah yang kering dan tandus, yang membuatnya bergetar karena munculnya kehidupan yang baru. Ketika seluruh bumi tertutup oleh empat hasta air, pertumbuhan ulang yang sesungguhnya dari jasad individu akan mulai, diawali dengan tulang sulbi. Jasad-jasad kemudian akan tumbuh dalam kubur mereka masing-masing, seperti tumbuhnya pepohonan, sampai semuanya mencapai bentuk seperti dulu ketika kematian menimpanya, anak kecil berbentuk anak kecil, orang dewasa berbentuk dewasa". Jane Idelman, The Islamic Understanding of Death, hlm. 117. Salah seorang filsuf kontemporer di Qom, Iran, Fayazi menyatakan hal yang sama. Baginya, setelah terjadi Kiamat, Allah akan merekonstruksi ulang alam semesta ini, termasuk bumi, dan kemudian manusia dibangkitkan kembali di bumi yang dahulu dia tinggali, tetapi dalam forma yang baru (wawancara pribadi, Qom: 17 Mei 2007).

komposisi antara genus dan diferensial; di antara keduanya terdapat hubungan yang kuat sebagai penyebab kesatuan tersebut. Sebagai penjelasan untuk hal tersebut, seperti halnya air, substansinya lebih halus dibandingkan substansi tanah sehingga lebih cepat untuk menjadi objek tindakan dan reseptif terbaik, dibandingkan tanah, dalam menerima segala bentuk, warna, rasa, dan sebagainya. Demikian pula udara yang lebih halus dari keduanya, lebih utama, dan lebih cepat dalam mengalir sehingga lebih cepat dalam menjadi objek aktivitas dan lebih mudah menjadi reseptif terhadap apa yang ada dihadapannya. Dari seluruh reseptif yang paling utama dan paling halus, di antara reseptifitas air dan tanah, adalah angin dan suara. Demikian pula cahaya dan sinar, dalam mereseptif apa yang ada di hadapannya, sangat cepat dalam masa, bahkan saat. Hal ini, menurut Mulla Sadra, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dapat menerima warna dan bentuk lebih bersifat ruhaniah dan lebih dekat terhadap alam ruhani. Demikian pula ruh terpancar dari rongga jantung dan naik menuju rongga otak. Hal ini jauh lebih halus dan lebih utama dari tiga hal yang telah disebutkan sebelumnya. Ruh tersebut akan menerima apa yang diterima oleh tiga hal tersebut, baik dari kualitas, rasa, angin, warna, bahkan lebih halus dan lebih utama dan sampai di sini, berakhirlah kehalusan materi fisik alami.(1) Bagi Mulla Sadra, substansi jiwa memiliki beragam tingkatan yang berbeda dalam daya wujud, baik yang lemah hingga yang sempurna kehalusan dan kekurangannya. Tingkat kehalusan yang paling rendah dari jiwa merupakan bentuk yang jauh lebih halus dari cahaya indrawi. Karenanya, dia dapat menjadi reseptif bagi segala bentuk objek indrawi, imajinal,

P: 203


1- 67. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J.9, hlm. 223.

dan intelektual pada saat terbentuknya pada cahaya indra, imajinasi, dan intelek. Yang pertama merupakan materi yang dapat menerima tingkat kehidupan akhirat dan dia merupakan daya imajinal dari jiwa yang kemudian memberikan gambaran padanya dan berada di dalamnya, seperti halnya objek-objek indra serta forma-formanya yang terpisah dari materinya.

Perbedaan utama yang terjadi antara bahan dasar dunia dan akhirat, dalam pandangan Mulla Sadra, terletak pada gerakan, bahwa bahan dasar duniawi tidak akan terurai dan berkembang, kecuali setelah terjadi gerakan potensial dan melampaui waktu terlebih dahulu. Padanya ada dimensi reseptif dan ada sebab eksternal. Hal ini bertentangan dengan bahan dasar akhirat, bahwa penyebab forma, tidak lain, adalah pancaran dirinya yang berasal dari daya pembentuk forma dan sebab-sebab internal. Karenanya, dirinya merupakan subjek dalam proses pembentukan Materi dunia, jika kehilangan forma tertentu dari dirinya, membutuhkan sebab eksternal untuk mengembalikan forma tersebut kembali kepada materi, seperti warna putih atau manis dan selainnya.

Jika forma materi tersebut hadir pada satu materi, kemudian hilang, maka objek reseptif tidak dapat

P: 204

menghadirkannya kembali. Berbeda dengan daya jiwa, jika hilang forma yang dihasilkan, maka untuk menghadirkannya kembali, tidak membutuhkan usaha yang baru atau sebab yang di luar dirinya (munfāsil), melainkan cukup melalui zat dan fundamen dirinya (Muqawimātuhā).

Kita dapat menyimpulkan pandangan Mulla Sadra tersebut, bahwa menurut Mulla Sadra bahan dasar akhirat tidaklah terbentuk dari sesuatu yang eksternal dari jiwa manusia karena di akhirat tidak lagi terjadi gerakan seperti yang terjadi di dunia, sedangkan materi eksternal membutuhkan gerakan untuk dapat berkembang, karenanya materi atau bahan dasar akhirat tidak lain berasal dari jiwa manusia. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Mulla Sadra pada intinya, ingin menyatakan bahwa neraka ataupun surga terbentuk dari jiwa manusia.

Melihat gagasan Mulla Sadra yang seperti ini, jelas sekali pengaruh pandangan tasawuf pada diri Mulla Sadra karena pandangan seperti ini tidak ditemui pada pandangan para filsuf sebelumnya, apalagi para teolog. Bagi Al-Gazhali misalnya, akhirat merupakan tempat yang melingkupi diri manusia sebagai sebuah realitas yang eksternal.(1) Bagi Mulla Sadra, prinsip kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan menunjukkan kesatuan tersebut terjadi di alam akhirat sehingga tidak dapat dikatakan posisi surga dan neraka berada di mana karena semua itu terjadi tidak dalam lingkup ruang atau waktu, melainkan di alam substansial jiwa manusia tersebut. Bagi Mulla Sadra, jiwalah yang membentuk realitas tersebut.

7. Kebangkitan Jasmani dan Fisikalisasi Perbuatan

Persoalan mendasar yang memicu ketegangan antara

P: 205


1- 68. Lihat: Al-Ghazali, Ihya', J. IV, hlm. 545.

filsuf dan teolog berkisar pada persoalan dalam bentuk seperti apa kebangkitan tersebut terjadi, apakah kebangkitan ruhani semata atau jasmani semata(1) atau ruhani-jasmani. Para filsuf, khususnya filsuf Peripatetik, meyakini kebangkitan ruhani atau intelektual, bahwa setelah berpisahnya jiwa dengan raga, maka jiwa akan bersifat ruhani dan tidak mungkin lagi dibangkitkan bersama raga karena akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi. (2) Namun bagi Al-Gazhali, hal ini sama saja dengan menegasikan kekuasaan Tuhan, tidak ada sesuatu yang mustahil bagi Tuhan, apalagi sekedar mengembalikan kehidupan yang pernah ada sebelumnya. Tuhan adalah Zat Yang Mahakuasa sehingga pertanyaan apakah Allah akan membangkitkan manusia dalam bentuknya yang ruhaniah ataukah dengan raga, bukanlah sebuah persoalan bagi Tuhan.(3) Pandangan para filsuf ini, menurut Al- Gazhali, adalah keliru dan sesat.

Polemik pada persoalan inilah yang telah memicu “pengkafiran" terhadap filsafat, khususnya kajian Eskatologi, sehingga kemudian memunculkan anggapan bahwa kajian eskatologi sudah dianggap sebagai final. Menurut Jane Idelman,(4) kajian-kajian Eskatologi pasca-Al-Gazhali lebih bersifat penjelasan literal terhadap doktrin-doktrin Eskatologi ketimbang filosofis.(5) Mulla Sadra secara khusus mencurahkan kajian Eskatologinya dalam usahanya untuk menyelesaikan persoalan eskatologis tersebut. Sebelas prinsip yang dikemukakan Mulla Sadra tampaknya merupakan upayanya untuk menjelaskan persoalan ini. Tugas ini menjadi sangat penting bagi Mulla Sadra karena berkaitan dengan karakter yang dibangun dalam aliran filsafatnya sebagai filsafat yang melintasi Filsafat Peripatetik,

P: 206


1- 69. Pandangan ini berasal dari Asy'ariyyah dan filsuf Skolastik yang menyatakan bahwa jiwa tidaklah memiliki karakter spiritual, melainkan bergantung pada raga. Teori atom yang dikembangkan Asy'ari menyatakan bahwa kehidupan tetap kontinu dalam atom-atom tersebut, sekalipun telah terurai dan kebangkitan terjadi dengan tersusunnya kembali atom- atom yang telah terpisah tersebut. Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm. 335.
2- 70. Argumentasi Ibn Sina, dalam hal ini, sebagai berikut: “Jika demikian (terjadinya reinkarnasi), maka tidaklah mungkin terjadi jiwa yang telah terpisah dari raga kembali dan masuk kedalam raga manusia yang lain. Karena raga yang baru memunculkan jiwa yang baru bersamanya, maka (jika terjadi reinkarnasi) akan terjadi pada raga yang baru jiwa yang lain sehingga menyebabkan seorang manusia memiliki dua jiwa sekaligus, akan tetapi seluruh manusia sesungguhnya hanyalah memiliki satu jiwa semata, tidak dapat terpikirkan kecuali jiwa yang satu semata. Sekalipun ada jiwa yang lain pada sebuah raga maka tidaklah berfungsi bersamanya dan tidak juga memunculkan manfaat bagi raga, maka pastilah jiwa tersebut bukanlah jiwa dirinya karena jiwa di dalam raga tidaklah menempati hanya satu bagian tertentu atau menempel sebagai zat bagi bagian tertentu dari raga, tetapi jiwa merupakan pengendali dan terfungsikan melalui raga. Maka jelas dan benderanglah bahwa jiwa-jiwa manusia adalah sesuatu yang baru dan tetap setelah (kehancuran) materi dan tidak tinggal di dalam raga-raga tersebut dan tidak juga terjadi reinkarnasi" Ibn Sina, Al-Mabda' wa Al-Ma'ād, 108–109.
3- 71. Al-Ghazali mengemukakan argumentasinya sebagai berikut: “Ketika kehidupan dan raga telah hancur, penciptaan kembalinya akan merupakan penciptaan yang semisal dengan apa yang ada sebelumnya. Namun, makna “kembali”, sebagaiamana yang kami pahami,, mengimplikasikan pengandaiaan keabadian sesuatu dan barunya sesuatu yang lain. Sebagaimana jika dikatakan bahwa seseorang kembali pada kenikmatan, yang dimaksud tidak lain, bahwa orang yang mendapatkan kenikmatan tersebut bersifat tetap dan abadi; dia telah meninggalkan kenikmatan tersebut kemudian kembali merasakannya; yaitu, dia kembali pada apa yang secara jenerik sama dengan apa yang dia rasakan sebelumnya akan tetapi berbeda dalam kuantitasnya. Maka tidak lain makna kembali adalah kembali kepada yang semisalnya." Al-Ghazali, Tahāfut Al-Falāsifah (Beirut: Dar Al-Maktabah Al- Hilal), hlm. 289–290. Selanjutnya disebut: Tahafut.
4- 72. Jane Idelman Smith adalah Profesor Studi Islam dan Wakil Direktur Pusat Studi Islam dan Hubungan Muslim-Kristen Macdonald pada Hartford Seminary, penulis buku The Islamic Understanding of Death and Resurrection.
5- 73. Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death and Resurrection, hlm.62.

Iluminasi, irfan dan teologi. Karena itu, dalam bagian ini, Mulla Sadra berusaha memberikan jawaban solutif bagi persoalan tersebut. Usaha Mulla Sadra, dalam hal ini, dilakukan dalam beberapa langkah utama, antara lain, Pertama, Mulla Sadra mengkritisi pandangan Al-Gazhali dan Fakhr Al-Rāzī, yang menyatakan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan bukan persoalan bagi Allah untuk membangkitkan manusia secara ruhaniah atau ragawi. Bagi Mulla Sadra, dasar ini sangat tidak rasional dan tidak tepat dalam penggunaannya. Mulla Sadra sama sekali tidak menolak Ke- Mahakuasa-an Allah Swt.. Namun baginya, apa yang dilakukan Allah adalah pada persoalan yang mumkin al-wujūd, bukan pada persoalan yang mustahil al-wujūd. Menurutnya, bagaimana sesuatu dapat terjadi pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil); mungkin tidaknya sesuatu tersebut dapat dijelaskan secara rasional. Karena itu, bagi Mulla Sadra, tindakan Allah Swt. meliputi hal hal yang mumkin al-wujūd dan hal ini merupakan sunnahtullah.(1) Kedua, Mulla Sadra, seperti yang telah dijelaskan pada bagian kritik Mulla Sadra terhadap para pemikir Muslim sebelumnya, dengan argumentasi filosofis yang dikemukakannya, menolak secara mutlak konsep

P: 207


1- 74. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 199–217

reinkarnasi. Bagi Mulla Sadra, perpindahan jiwa pada raga apa pun, baik itu raga materi, raga astrologi, imajinal, maupun raga ukhrawi, merupakan reinkarnasi. Karena itu, Mulla Sadra menolak solusi yang diberikan oleh Syaikh Isyraq ataupun Al- Gazhali karena solusi tersebut baginya masuk dalam kategori reinkarnasi.(1) Ketiga, Mulla Sadra mengemukakan sebelas prinsip Eskatologi yang menghasilkan kesimpulan bahwa kebangkitan terjadi meliputi jiwa dan raga. Namun, tidak mungkin raga materi duniawi yang dibangkitkan juga raga yang terbentuk di luar jiwa manusia tersebut.(2) Hal ini mungkin karena wujud akan terus mengalami perkembangan pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi kualitasnya dengan melalui proses gerakan transubstansial.

Dengan tiga dasar utama tersebut, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa raga dengan kediriannya akan dibangkitkan kembali pada hari kiamat melalui forma fisik. Dan kebangkitan, tidak lain, meliputi seluruh jiwa dan raga dengan kedirian dan terpelihara identitasnya. Namun, raga yang dibangkitkan tersebut bukanlah raga yang tersusun dari unsur yang berbeda, sebagaimana pandangan sebagian tokoh-tokoh Islam atau raga imajinal sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ilmunasi.(3) Kesimpulan Mulla Sadra ini menunjukkan bahwa manusia akan dibangkitkan tetap bersama raganya dengan seluruh atribut yang menunjukkan identitas diri manusia yang dibangkitkan tersebut sehingga kita dapat menyebutkan bahwa sosok manusia yang dibangkitkan di akhirat adalah sosok manusia yang dahulu di dunia.

Kesimpulan yang digambarkan Mulla Sadra didasarkan

P: 208


1- 75. Baca kembali Bab IV pada bagian Kritik terhadap Pandangan Eskatologi Pemikir Muslim.
2- 76. Karena, bagaimanapun dan dari jenis apa pun, raga yang terbentuk secara eksternal dari jiwa manusia, dalam pandangan Mulla Sadra, masuk kategori reinkarnasi.
3- 77. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 197.

pada prinsip-prinsip yang telah dikemukakannya terdahulu.

Namun, untuk menguatkan pandangannya ini, Mulla Sadra mengharuskan adanya prinsip lain, yaitu adanya ikatan alamiah dan fundamental (Zātī) antara raga tersebut dengan jiwa dan kemudian raga ikut melakukan proses penyempurnaan diri, sebagaimana jiwa mulai dari tingkat alam materi, kemudian berkembang menuju alam imajinal dan alam rasional atau akliah.

Berdasarkan kesimpulan dan prinsip-prinsip yang dikemukakan Mulla Sadra, kita dapat menjelaskan bahwa raga yang dimaksudkan Mulla Sadra yang akan dibangkitkan kelak bukanlah raga rasional atau akliah, seperti pandangan Ibn Sina dan para filsuf Peripatetik. Juga bukan raga imajinal terpisah (MunfaSil),(1) seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Isyraq karena pada keduanya tidak terjadi ikatan alamiah dan juga tidak lepas dari wilayah reinkarnasi. Kemungkinan ketiga yang dimaksudkan Mulla Sadra adalah raga Imajinal, yaitu imajinal bersambung (MuttaSil) yang muncul dari daya imajinasi jiwa yang sejak kehadiran manusia di dunia, sudah ada bersamanya dan terus bersama manusia tersebut ketika terjadi kematian karena daya tersebut tidak lain adalah daya sempurna yang ada pada diri manusia. Berbeda halnya dengan imajinal terpisah yang hanya hadir secara aksidental. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan Kyosamsaki, seorang peneliti Mulla Sadra. Ia menyebutkan:

Berdasarkan bukti pandangan-Mulla Sadra-maka raga tersebut tidak akan mungkin raga materi ataupun raga rasional atau akliah. Karenanya, tidak bisa tidak bahwa- raga yang dimaksud-adalah wujud imajinal. Namun demikian, ini bukanlah akhir dari perjalanan: mengingat bahwa jika raga akhirat merupakan bentuk wujud imajinal

P: 209


1- 78. Alam imajinal mutlak atau terpisah (Munfasyl) adalah alam imajinal independen dan hakiki yang merupakan forma dari segala sesuatu yang terwujud dalam satu kondisi yang sama antara kehalusan ruhaniah dan kepadatan materi, sedangkan alam imajinal tidak mutlak atau bersambung (Muttasy/) merupakan alam imajinal yang tidak terpisah dari jiwa seseorang dan menampilkan beragam forma yang berasal dari alam imajinal mutlak atau terpisah. Lihat: Malikeh Sobiri, “Alam Mitsal va Tajarude Khiyol" dalam jurnal Kherad Nomeh Sadra, Vol. 15, him. 72-73.

dan terikat pada alam imajinal munfasil karena tidak akan mungkin terjadi ikatan alami (takwini) khusus dengan jiwa khusus manapun sehingga dapat menjadi raga manusia tersebut (juga karena ketiadaan bentuk wujud yang seperti ini). Karenanya, tidak ada jalan lain, kecuali menerima bahwa raga di akhirat adalah raga imajinal, bukan imajinal mutlak terpisah (Munfasil), tetapi raga imajinal tidak mutlak (Muqayyad) dan bersambung (Muttasil), yang tidak lain merupakan daya imajinasi.(1) Mulla Sadra memberikan gambaran bahwa raga akhirat berada di antara dua alam dan meliputi keduanya, yaitu alam immaterial dan material. Dirinya diliputi oleh banyak elemen raga duniawi. Sesungguhnya, raga akhirat seperti bayang- bayang, perumpamaan, imajinasi bagi ruh, bahkan antara raga tersebut dengan ruh atau jiwa bersatu dalam wujud. (2) Sifat dari raga tersebut, menurut Mulla Sadra, serupa dengan forma- forma yang disaksikan manusia di dalam tidurnya atau dalam sebagian penyaksian, tetapi terpisah, baik secara zat maupun hakikat. Kemiripan antara keduanya adalah kedua-duanya tidak berada pada korpus materi, ruang, dan dimensi, seperti materi duniawi ini. Juga tidak terjadi pergesekan antara beragam forma tersebut. Satu bentuk tidak akan menghalangi bentuk yang lain, baik berdasarkan ruang atau waktu, seperti halnya di alam ini. (3) Thaba'thaba'i, sebagai salah satu komentator Mulla Sadra, menunjukkan kesatuan identitas pada raga dan pemilik raga yang dibangkitkan tersebut sebagai berikut: “Raga yang akan datang, jika dibandingkan dengan raga yang sebelumnya, adalah permisalan darinya, sedangkan manusia pemilik raga kemudian, jika dibandingkan dengan pemilik raga sebelumnya, adalah dirinya, bukan sepertinya, karena identitas terletak pada

P: 210


1- 79. Kyosamsaki, Rozee, hlm. 261. Teks aslinya sebagai berikut: اما دیدیم که بدن مذکورنه می تواند مادی باشد و نه عقلی. پس به ناچار موجودی است مثالی به هر روی این پایان راه نیست زیرا چنانچه بدن اخروی, موجودی مثالی و متعلق به عالم مثال منفضل با شد. رابطه تکوینی خاصی با هیچ نفس خاصی نخواهد داشت تا بدن آن به شمار آید (نبود توازی وجودی). بنابراین چاره ای نیست جز اینکه بپذیریم بدن اخروی بدنی است مثالی, ولی نه در مثال مطلق ومنفضل بلکه در مثال مقید ومتصل یا همان قوه خیال
2- 80. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 183.
3- 81. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 176.

jiwa dan jiwa satu dalam identitasnya".(1) Solusi Mulla Sadra tentang raga imajinal ini kemudian mendapatkan kritik Fazlur Rahman karena menurut Rahman, solusi yang ditawarkan Mulla Sadra tidak berbeda dengan apa yang ditawarkan Al-Gazhali tentang tatanan badan citra, padahal sebelumnya, Mulla Sadra menolak solusi Al-Gazhali. Namun, Rahman tidak menyadari bahwa kritiknya tersebut sangat tidak tepat, mengingat Al-Gazhali tidak pernah menawarkan solusi tentang raga imajinal atau raga citra. Dalam bahasa Rahman, yang dimaksudkan Al-Gazhali adalah raga ukhrawi yang terbentuk dari unsur-unsur akhirat, sedangkan yang memberikan tawaran raga imajinal dalam konteks ini hanyalah Syaikh Isyraq dan Rahman mengabaikan fakta adanya beragam jenis alam imajinal.

Raga imajinal bersambung yang akan menjadi raga bagi manusia yang dibangkitkan di akhirat, sebagaimana yang ditawarkan Mulla Sadra, adalah gagasan yang sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah ada sebelumnya dan gagasan ini menarik, mengingat persoalan yang terjadi dalam diskursus kebangkitan berkisar pada persoalan kebangkitan ruhani atau ragawi. Jika raga yang dibangkitkan maka dari jenis raga yang mana, raga materi duniawi, raga ukhrawi atau raga imajinal? Diskursus dalam hal inilah yang telah memutuskan studi Eskatologi di kalangan filsuf dan di antara alasan yang menyebabkan terjadinya pengkafiran para filsuf. (2) Apa yang menjadi tawaran Mulla Sadra ini dapat menjembatani semua persoalan tersebut. Secara argumentasi rasional, dapat diterima bahwa kebangkitan tidak berarti kembalinya raga materi duniawi, juga terhindar dari persoalan

P: 211


1- 82. Muhammad Husayn Thabathaba'i, Al-Mizān fi Tafsir Alquran (Qom: Muasasah Matbu'ati Ismailiyyon, 1412), J. XVII, hlm.114. Teks aslinya sebagai berikut: البدن اللاحق من الإنسان إذا اعتبر بالقیاس إلی البدن السابق منه کان مثله لا عینه لکن الإنسان ذا البدن اللاحق إذا قیس إلی الإنسان ذی البدن السابق کا عینه لا مثله لان الشخصیة بالنفس وهی واحدة بعینها
2- 83. Tentang pengkafiran para filsuf ini dapat dilihat pada: Fazlur Rahman, Islam (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), him. 120.

reinkarnasi yang ditolak oleh para filsuf, terutama oleh Mulla Sadra, tetapi sekaligus juga sesuai dengan doktrin-doktrin nash yang juga menjadi dasar para teolog untuk menunjukkan adanya kebangkitan ragawi.

Namun, patut dicermati di sini bahwa gambaran solusi Mulla Sadra ini, di dalam karyanya, Al-Asfār, tidak tergambarkan secara sistematis, yaitu bahwa untuk sampai pada kesimpulan tentang pandangannya ini, haruslah merunut seluruh gagasannya dari awal, termasuk prinsip-prinsip filsafatnya karena jika hanya melihat bagian pembahasannya yang hanya berkaitan dengan eskatologi, kita hanya mendapatkan prinsip-prinsip utama eskatologi dan gambaran sekilas dari makna-makna eskatologi yang ditawarkannya.

Salah satu di antara gagasan lain Mulla Sadra dalam Eskatologi adalah fisikalisasi perbuatan. Bagi Mulla Sadra, setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia di dunia ini, apakah tindakan tersebut baik atau buruk, memberikan warna tersendiri bagi jiwa (Tajawhur), dan tindakan-tindakan yang telah tersubstansi dalam diri seseorang akan menciptakan beragam forma yang akan muncul pada kehidupan berikutnya.

Sekiranya jiwa manusia tersebut adalah jiwa yang baik, maka forma-forma yang akan muncul adalah forma-forma yang baik dan menyenangkan, termasuk tentunya forma ragawi yang menjadi raga bagi jiwa tersebut. Berbeda halnya jika jiwa tersebut adalah jiwa yang buruk, yang cenderung hanya terbatas pada sesuatu yang rendah, maka dia akan turun pada tingkat barzakh para binatang. Imajinasi-imajinasi yang muncul pada mereka terbatas pada tujuan-tujuan pemenuhan hawa nafsu kebinatangan dan kebuasan binatang buas sehingga raga yang

P: 212

akan dibangkitkan dengan mereka adalah raga dengan forma- forma binatang tersebut.

Pandangan Mulla Sadra yang seperti ini, sebenarnya telah berkembang sebelumnya di dunia tasawuf. Para Sufi mengemukakan pandangan tentang efek perbuatan terhadap rupa yang akan muncul pada diri seorang manusia dalam kehidupannya, baik di dunia ini maupun di akhirat. (1) Pandangan ini, dalam khazanah tasawuf, dikenal dengan istilah Tajassum al-A'māl atau Tajassud al-A'māl. (2) Husain Mazahiri menjelaskan tentang dengan Tajassum al-A'māl:

Karakter yang melekat tersebut, baik yang utama maupun yang rendah, memiliki efek yang sampai pada identitas dan hakikat manusia. Hakikat manusia dan identitasnya tergambarkan dalam bentuk yang sesuai dengan karakter tersebut. Bagi siapa yang berakhlak dengan akhlak manusia yang mulia, maka derajatnya akan sampai pada tingkat manusia sempurna... dan bagi siapa yang berakhlak dengan akhlak binatang buas (Bahimah wa Sab'iyyah), derajatnya akan turun dan keluar dari tingkat manusia karena akhlak tersebut dan terbentuk dengan bentuk binatang-binatang buas atau selainnya dari bentuk yang sesuai dengan karakter tersebut. (3) Mulla Sadra, dalam hal ini, menggambarkan manusia akan dibangkitkan dalam forma yang sesuai dengan orientasi kehidupannya masing-masing. Baginya, jiwa adalah korpus bagi ragam karakter manusia dan ragam imajinal yang diciptakan jiwa berdasarkan karakter yang melekat pada dirinya. Karenanya, kelak ketika dibangkitkan, manusia akan dibangkitkan dengan aneka ragam forma, baik dalam bentuk manusia maupun binatang, sesuai dengan dominasi karakter pada korpus jiwanya tersebut. Hal ini menurut Mulla Sadra karena setiap manusia

P: 213


1- 84. Banyak kisah Sufi yang menunjukkan bahwa para Sufi tersebut dapat menyaksikan raga batin seseorang di balik raga materinya yang terbentuk dari perilaku manusia tersebut. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada Abu Basyir, “Suatu saat aku menunaikan ibadah haji bersama Muhammad Al-Baqir, kemudian Imam Al-Baqir berkata, “Sungguh banyak talbiyah yang terucap, tapi sedikit sekali yang haji”. Kemudian yang mulia mengusapkan tangannya ke wajahku dan aku melihat sebuah pemandangan ajaib. Sebagian besar manusia yang aku saksikan berbentuk binatang yang bermacam-macam, sebagian berbentuk monyet dan sebagian lagi berbentuk babi dan aku melihat orang-orang yang beriman di antara mereka seperti gemintang yang menerangi kegelapan". Faid Al- Kasyani, Mahajjat al-Bayda' (Qom: Muasasah Nashr Al-Islami, 1383), J.1, him. 132.
2- 85. Lihat: Abd Al-Razzaq Al-Kasyāni, Istilāhāt Al-Sufiyyah (Tehran: Hauzehye Hunar, 1376), Bab Jim, hal.79.
3- 86. Husain Mazahiri, Dirasat fi al-Akhlak (Qom: Dar Al-Syafaq, 1413), hlm. 47. Teks Aslinya sebagai berikut: إن الملکات، رذیلة کانت أو فضیلة تحصل من الأفعال والأقوال والأفکار، وهویة الانسان وحقیقیته تحصل من تلک الملکات، فالعفة والشجاعة والعدالة علی الأعمال، کما أن ضدها من الشره والتهور والطغیان یکون کذلک. تتوقف وتلک الملکات، رذیلة کانت أو فضیلة، توثر تأثیرا بالغا فی هویة الانسان وحقیقته. فحقیقة الانسان وهویته تتصور بتناسب الملکات

menuju tujuan yang selama ini dia usahakan dan kepada apa yang dia cintai. Setiap kontinuitas perbuatan akan menyebabkan kebaruan dalam karakter yang melekat dan setiap karakter yang melekat, yang meliputi jiwa manusia, akan membentuk forma- forma pada hari Kiamat sesuai dengan karakternya tersebut. Raga pada akhirat, bagi Mulla Sadra, akan membentuk forma-forma yang sesuai dengan karakter jiwa dan sifat manusia tersebut. (1) Mulla Sadra menunjukkan isyarat tentang hal tersebut yang ada, baik di dalam Alquran maupun Al-Hadis, antara lain, “Dan pada hari dibangkitkan binatang-binatang buas", (2) dan di dalam pernyatan Nabi Saw., “Akan dibangkitkan sebagian manusia dalam bentuk monyet dan babi". (3) Pandangan Mulla Sadra yang seperti ini memberikan kekuatan argumentasi bagi penyaksian ruhaniah bagi para Sufi yang seringkali menggambarkan diri manusia dengan aneka bentuk yang aneh. Pandangan ini jelas merupakan pandangan yang baru di kalangan pemikir Islam. Akan tetapi, pandangan ini menjadi bentuk solutif yang dapat menjembatani konflik antara filsuf yang berpegang pada argumentasi rasional dengan para teolog yang mendasari kebenaran pada teks-teks Alquran dan hadis, sekalipun pandangan ini tidak semua pemikir Muslim dapat menerimanya, seperti halnya Fazlur Rahman yang menyebut gagasan ini sebagai pengaruh agama Persia kuno.(4)

8. Sirāt, Lembaran dan Kitāb, Penghitungan dan Penimbangan

Sirāt secara umum dimaknai sebagai 'jalan'. Pembicaraan tentang Sirāt ini tentu saja didasari pada keyakinan Islam yang termaktub baik dalam alquran; Sirāt al-Mustaqim(5) (Jalan yang

P: 214


1- 87. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 176.
2- 88. QS 81:5. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ » “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan."
3- 89. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut: "یحشر بعض الناس علی صوة تحسن عندها القردة و الخنازیر
4- 90. Lihat: Fazlur Rahman, Health and Medicine, hlm.172.
5- 91. Syaikh Soduq menyebutkan bahwa Sirāt, tidak lain, adalah syari'at (lihat: Syarh kitab Al-Tawhid Soduq, J. 9, hlm. 387). Al-Ghazali memaknai Sirāt sebagai jalan yang memisahkan antara surga dan neraka (lihat: Al-Durrah, hlm. 263). Ayat- ayat Alquran banyak berbicara tentang Sirāt. Paling tidak ada45 ayat yang secara khusus menyebutkan kata Sirat dengan beragam sandingannya.

lurus) ataupun di dalam hadis Nabi Saw,(1) yang mengisyaratkan akan adanya sirat yang harus dilewati manusia pada hari ketika manusia dibangkitkan kelak.

Dikalangan ilmuwan Muslim terjadi beragam penafsiran tentang yang dimaksud Sirāt tersebut. (2) Mulla Sadra dalam hal ini memberikan makna tersendiri terhadap doktrin tentang Sirāt, yaitu 'gerakan fundamental (zāti)',(3) gerakan yang terjadi secara aksidental pada kualitas diri(4) manusia yang disebabkan oleh dorongan agama yang didasrkan pada prinsip Tauhid dan metode Ahli Tawhid seperti para Nabi, Wali dan pengikut mereka.(5) Bagi Sadra makhluk yang tidak berjalan pada Sirāt dalam makna ini mereka menempuh Sirāt-Sirāt yang lain yang menyampaikan mereka pada tujuan selain Alah Swt. dan penyimpangan dari Sirāt yang benar ini akan menyebabkan

P: 215


1- 92. Hadis Nabi Saw. tentang Sirāt pada hari kiamat sebagai berikut: "أن الصراط یظهر یوم القیامة للابصار علی قدر الما رین علیه فیکون دقیقا فی حق بعض و جلیلا فی حق أخرین" Faidh Al-Kasyani, Ilmu Al-Yaqin fi Ushul Al-Din (Qom: Intisyarat Bidor, 1418) hlm. 1184. Selanjutnya disebut: Faidh Al-Kasyani, Ilmu Al-Yaqin.
2- 93. Lihat Makarim Syirazi, Al-Amtsāl fi Tafsir Kitabullah Al-Munzāl (Beirut: Muasasah Al-Bi'tsah, 1413), J. 1, hlm. 25.
3- 94. Berbeda dengan gerakan transubstansial, gerakan zati merupakan gerakan yang terjadi pada diri makhluk atau manusia sebagai akibat dari ketaatan atau ketundukan terhadap perintah atau larangan, baik secara alamiah (Takwinī) maupun secara syari'at (Tasyri'i).
4- 95. Yang dimaksud Mulla Sadra dengan kualitas diri di sini bukan Maʼqūlat (Kategori) sebagai Kaif al-Nafsani, tetapi ‘kondisi, karakter, pengetahuan pada diri manusia yang didorong oleh keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.'.
5- 96. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 284.

fitrah keaslian diri mereka jatuh dan masuk ke dalam neraka al- Jahim, dan mereka terkungkung di dalamnya.

Mulla Sadra juga menjelaskan tentang sifat Sirāt yang digambarkan Nabi Saw. bahwa Sirāt “lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang”,(1) karena Sirat pada hakikatnya berkaitan dengan kesempurnaan manusia yang sangat bergantung pada aktualisasi daya atau potensinya.

Aktualisasi daya intelek meliputinya dengan kebenaran dan cahaya keyakinan pada jalan analisis mendalam yang pada kedalamannya dan kecermatannya, lebih halus dari sehelai rambut, sedangkan aktualisasi daya tindakan adalah dengan menyeimbangkan tiga daya utama, yaitu syahwat, emosional, dan berpikir dalam tindakannya untuk mencapai keadaan jiwa yang stabil antara dua titik ekstrem kekurangan dan kesangatan. Usaha untuk berada dalam kondisi yang stabil di antara dua titik ekstrem yang bertentangan tersebut dimaknai oleh Mulla Sadra sebagai “lebih tajam dari sebilah pedang". Karenanya bagi Mulla Sadra, Sirāt memiliki dua karakter utama, yaitu lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang. Sekiranya manusia tidak mengaktualisasikan yang pertama, maka ia akan terjatuh dari fitrah aslinya dan jika tidak mengaktualisasikan yang kedua, ia akan terputus dari Sirat yang benar; kedua-duanya menjadi penyebab terjerumusnya manusia kedalam neraka.

Pemaknaan Mulla Sadra terhadap Sirāt yang seperti ini sesungguhnya mirip sekali dengan pemaknaan yang diberikan Al-Gazhali. Al-Gazhali, dalam karyanya Al-Madnūn Al-Saghir, menerjemahkan al-Sirāt al-Mustaqim sebagai berikut:

Al-Sirāt al-Mustaqim adalah ungkapan yang menjelaskan tentang kesetimbangan di antara akhlak yang saling

P: 216


1- 97. Teks hadis tersebut sebagai berikut: "الصراط أدق من الشعر وأ هد من السیف" | Faidh Al-Kasyani, Ilmu Al-Yaqin fi Ushul Al-Din (Qom: Intisyarat Bidor, 1418), hlm. 1184.

bertentangan... contoh-contoh kesetimbangan dalam akhlak mulia ini adalah sifat kedermawanan yang muncul di antara sifat royal dan kikir, sifat berani di antara sifat nekat dan pengecut, sifat hemat di antara sifat boros dengan sifat kikir, sifat sopan di antara sifat sombong dan rendah diri, sifat takwa di antara menuruti dorongan syahwat dan menghancurkan dorongan syahwat....(1) Namun, sekalipun sama dalam hal pemaknaan ini, Al- Gazhali dengan pemaknaan yang dilakukan Mulla Sadra, tetapi Al-Gazhali tetap pada akhirnya memaknai Sirat dan gagasan lainnya secara literal(2) yang sangat berbeda dalam hal ini dengan pemaknaan yang dilakukan Mulla Sadra.

Sebagaimana keyakinan Sadra terhadap termanifestasikannya hakikat segala sesuatu pada fase akhirat, demikian pula dengan Sirāt. Sirāt, menurut Mulla Sadra, akan terbentang di hadapan manusia pada hari kiamat, tetapi penyaksian manusia terhadapnya sangat bergantung kepada benderangnya cahaya keyakinan yang dimilikinya dan kuatnya usaha ruhaniah yang telah dilakukannya. Kemampuan atau cepat dan lambatnya dalam melewati Sirāt bergantung pada hal tersebut Dalam hal ini, Mulla Sadra mengutip firman Allah Swt., “Pada hari ketika kamu menyaksikan orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan disebelah kanan mereka." (3) Namun demikian, Sirāt tersebut tidaklah sebagaimana yang dibayangkan manusia karena menurut Mulla Sadra, antara orang yang berjalan di atas Sirāt dengan jarak yang terbentang dan forma yang bergerak di atas Sirāt keduanya adalah satu kesatuan. Demikian ini karakter jalan di akhirat yang akan

P: 217


1- 98. Al-Gazhali, Al-Madnūn, hlm.353.
2- 99. Lihat: Sibawaihi, Eskatologi Al-Gazāli dan Fazlur Rahman, hlm.127.
3- 100. QS 57:12. Teks ayat tersebut sebagai berikut : "(yaitu) Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.

ditempuh jiwa manusia.(1) Apa yang dimaksudkan Mulla Sadra ini dapat dipahami dengan pendekatan pandangan Ittihād al-´Aqil wa al- Ma'qul yang dikemukakannya.

Penggambaran Mulla Sadra tentang Sirat yang seperti ini tentu sangat berbeda dengan pemaknaan umum yang menggambarkan Sirāt sebagai jembatan yang akan ditempuh oleh seluruh manusia yang sangat halus, lebih halus dari rambut yang dibelah tujuh. Pemahaman Mulla Sadra yang seperti ini berangkat dari pemaknaannya tentang akhirat karena bagi Mulla Sadra, akhirat tidak lain sebagai dimensi tempat teraktualisasinya apa yang ada di dalam batin manusia.

Lembaran dan Kitab merupakan salah satu doktrin Kiamat lainnya yang diberikan penjelasan khusus oleh Mulla Sadra.

Doktrin ini secara umum dimaknai pemberian kitab catatan amal perbuatan manusia di akhirat. Sekiranya manusia tersebut adalah manusia yang baik, maka dirinya akan menerima lembaran atau kitab dari sebelah kanan dan apabila dirinya adalah manusia yang buruk, maka dia akan menerima lembaran atau kitab dari sebelah kiri.

Berbeda dengan apa yang dipahami selama ini, Mulla Sadra mendefinisikan bahwa Lembaran atau Kitab, sebenarnya, tidak lain adalah hati dan ruh manusia. Hati dan ruh merupakan ruang substansif jiwa tempat seluruh aktivitas manusia tersebut tercatat. Untuk itu Mulla Sadra menjelaskan bahwa

P: 218


1- 101. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 290.

perkataan ataupun tindakan yang dilakukan manusia memiliki pengaruh pada jiwa manusia dan jika perkataan dan perbuatan tersebut dilakukan secara berulang, maka kedua hal tersebut akan membentuk karakter atau forma jiwa dan ini merupakan sumber bagi segala efek yang muncul pada diri manusia. Mulla Sadra menunjukkan contoh-contoh untuk hal ini, di antaranya, seorang manusia tidak akan mungkin dapat melakukan tindakan ilmiah tertentu, kecuali setelah hal tersebut dilakukan secara kontinu hari demi hari. Demikian juga guru yang mengajar murid-muridnya, tidak akan mungkin kemampuan tersebut ada, kecuali setelah melalui proses yang kontinu.

Proses belajar maupun pendidikan yang dilakukan manusia, pada intinya, merupakan usaha dirinya untuk menulis dan membuat lukisan bagi lembaran dirinya. Sekiranya manusia tersebut mampu melepaskan dirinya dari berbagai keburukan, seperti sifat kebinatangan, syaitaniyyah, syahwat, atau kecenderungan kepada dunia, maka dia telah menuliskan tulisan yang indah pada lembaran jiwanya dan hatinya menjadi buku yang indah: “kitab yang yang bercahaya seperti ini karena kemuliaan penulisnya. Kemuliaan yang berasal dari substansi diri dan perbuatannya yang terbebas dari kerendahan pengaruh fisik materi."(1) Lembaran dan Kitab yang seperti inilah yang akan termanifestasi kelak pada hari Kiamat yang, pada intinya, tidak lain adalah hati atau ruh sebagai substansi jiwa dari manusia sebagai tempat tercatatnya segala amal perbuatan, keyakinan, serta ilmu yang dimiliki manusia tersebut. Di samping itu, Lawh al-Mahfuz juga diterjemahkan Mulla Sadra sebagai ruh manusia karena segalanya tercatat, termasuk takdir masa depan bagi

P: 219


1- 102. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 291. Teks aslinya sebagai berikut: والکتاب لمثل هذه الکتابة النوریة هم الکرام الکاتبون لکرامة ذواتهم وأفعالهم عن دناءة الجسمیة

manusia, karena bagi Mulla Sadra, takdir masa depan manusia sebagai akibat semata dari sebab yang telah terjadi sebelumnya di dunia.

Doktrin lain yang akan terjadi ketika manusia dibangkitkan adalah penghitungan atas catatan amal perbuatan yang selama ini dilakukan manusia tersebut di dunia. Penghitungan tersebut melewati masa yang khusus yang di dalam Alquran, Allah Swt.

menyebutnya sebagai Yawm al-Hisāb, (1) kemudian pada proses penghitungan tersebut, amal perbuatan tersebut akan ada timbangan-timbangan yang mengukur amal perbuatan tersebut.

Timbangan yang dimaksud di dalam Alquran disebut sebagai al-Mizān. (2) Pemaknaan terhadap perhitungan ini cukup beragam namun secara umum kita dapat membagi dua pandangan, pertama kelompok literis yang beranggapan bahwa perhitungan dan timbangan bersifat fisik dan kedua kelompok yang beranggapan bahwa perhitungan dan timbangan bersifat simbolis dan alegoris. (3) haruslah berasal dari jenisnya, Secara khusus, Alquran tidak pernah menjelaskan secara spesifik apa dan bagaimana perhitungan

P: 220


1- 103. QS 38:16 dan 53, 40:27, Teks ayat tersebut sebagai beriku الحسابیؤمقبل قطنا لنا عجلربناو قالوا الحساب لیوم توعدون ما هذا «وَقَالَ مُوسَی إِنِّی عُذْتُ بِرَبِّی وَرَبِّکُمْ مِنْ کُلِّ مُتَکَبِّرٍ لَا یُؤْمِنُ بِیَوْمِ الْحِسَابِ 27.»
2- 104. Pada umumnya, di dalam Alquran, Allah Swt. menyebutkan kata al-Mizan dalam bentuk pluralnya, yaitu al-Mawazin. Ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut, antara lain, QS21:47; 7:8-9; 23:102 - 103; 101 :6 dan 8.
3- 105. Lihat: Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, him. 214 - 220.

dan timbangan tersebut terjadi.

Mulla Sadra dalam gagasan tentang perhitungan (al-Hisāb) dan timbangan (al-Mizān) memberikan penjelasan yang bersifat alegoris. Menurutnya, yang dimaksud dengan perhitungan, tidak lain merupakan gambaran ketika Allah Swt. menyingkapkan hasil dari seluruh perbuatan manusia dan menimbang seluruh bentuk parsial dari perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia selama kehidupannya di dunia, dan semuanya akan disaksikan di hadapan manusia pada saat itu juga.

Sedangkan Timbangan memiliki beragam jenis yang luar biasa banyaknya. Sebagian merupakan timbangan ilmu pengetahuan dan sebagian lain merupakan timbangan bagi amal perbuatan manusia. Timbangan ilmu pengetahuan merupakan timbangan yang jelas dari Allah Swt. yang melakukan penimbangan terhadap substansi hakikat intelek dan beragam forma intelek yang ada pada diri manusia.

Timbangan secara hakikat tidaklah memiliki bentuk khusus ataupun forma fisik, tetapi sesuatu yang membandingkan dan menimbang sesuatu dan bersifat umum, meliputi yang fisik maupun nonfisik, seperti halnya ilmu logika yang menjadi timbangan bagi berpikir, ilmu Nahwu sebagai timbangan bagi bahasa, indra sebagai timbangan bagi sebagian forma intelek, atau rasio sebagai timbangan bagi segala sesuatu. Hal ini berarti bahwa timbangan haruslah berasal dari jenisnya, termasuk puncak dari segala bentuk timbangan yang terjadi pada hari perhitungan nantinya.

Selain itu, Mulla Sadra juga menggambarkan bahwa jiwa manusia sebagai timbangan bagi perbuatan yang dilakukannya karena setiap perbuatan melahirkan efek pada jiwa. Jika

P: 221

perbuatan baik yang dilakukan, maka efek yang akan timbul adalah kebersihan dan kesucian yang melepaskan dirinya dari pengaruh syahwat dan dunia. Jika kualitas perbuatan baik tersebut meningkat, maka meningkat pula cahaya yang muncul dari jiwa. Begitu pun sebaliknya, jika perbuatan buruk yang dilakukan, maka perbuatan tersebut memberikan efek buruk dan kegelapan pada jiwa. Semua ini tersembunyi di dunia, tetapi ketika tiba Kiamat, terbuka keadaan jiwa di hadapannya sehingga menjadi timbangan bagi dirinya. Karenanya menurut Sadra, setiap individu manusia memiliki timbangan, bahkan secara spesifik untuk setiap perbuatan yang dilakukan.

Bagi yang ingin mendapatkan kemudahan dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri keselamatan, menurut Mulla Sadra, harus memahami mizān yang terjadi antara fase kehidupan dunia dengan fase kehidupan akhirat, antara ‘alam Mulk dengan ‘alam Syahādah dan antara ‘alam Malākūt dengan alam Ghaib. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan ini yang akan terbuka kesadaran segala sesuatu yang ada sehingga memudahkannya untuk melepaskan pengaruh rendah yang meliputi dirinya.

Pemahaman ini hanya terjadi, menurut Mulla Sadra, jika manusia tersebut melakukan upaya penyucian ruhani dan menempuh jalan spiritual.

Karena dengan cara seperti itu,

P: 222

terangkat hijab yang membatasi manusia tersebut dan mampu memahami mizān antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat.

Tawaran Mulla Sadra menunjukkan pengaruh tasawuf pada dirinya, bahwa bagaimanapun, tetap ada wilayah yang tidak mungkin dicapai manusia secara intelektual. Pencapaian tersebut hanya melalui proses intuitif. Karenanya juga, kita dapat menemukan dengan mudah gambaran-gambaran intuitif yang diperkenalkan Ibn 'Arabī pada karya-karya Mulla Sadra, khususnya pada karyanya Al-Asfār.

Inilah pemaknaan Mulla Sadra terhadap Sirāth, Lembaran dan Kitab, serta Perhitungan dan Timbangan.

9. Tingkatan-Tingkatan dan keadaan Manusia pada Hari Kiamat

Manusia, ketika dibangkitkan Allah Swt. di akhirat, memiliki kelompok yang berbeda berdasarkan derajat masing- masing. Pandangan tentang tingkatan dan pembagian kelompok ini, secara umum, diisyaratkan nash dan juga pandangan, pada umumnya, pemikir Eskatologi.

Mulla Sadra secara umum membagi dua kelompok besar manusia pada hari Kiamat yaitu pertama, mereka yang dekat dengan Allah (al-Muqarrabīn) dan mereka adalah Kelompok Kanan (Ashāb al-Yamin); kedua, mereka yang celaka (al-Asyqiya') dan mereka adalah Kelompok kiri dan yang mendapatkan perhitungan.

Menurut Mulla Sadra, dari sisi perhitungan manusia terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu mereka yang masuk surga tanpa perhitungan. Kelompok ini terbagi menjadi tiga

P: 223

bagian, yaitu pertama, mereka yang dekat dengan Allah dan sempurna dalam pengetahuan dan spiritual karena upaya penyucian diri dan ketinggian kedudukan mereka dalam menjaga perhitungan dan mizān hingga mereka dapat masuk kedalam surga tanpa perhitungan; kedua, Kelompok Kanan atau kelompok yang tidak pernah melakukan maksiat di dunia dan tidak berambisi mendapatkan kedudukan di dunia serta fitrah mereka selamat dari pengingkaran karena ketaatan dan mereka masuk surga tanpa perhitungan; ketiga, mereka yang catatan amalnya kosong, baik dari perbuatan baik maupun dari perbuatan jelek. Menurut Mulla Sadra, kelompok ini masuk surga tanpa perhitungan, mengingat firman Allah Swt., “Dan tidaklah Aku menzalimi seorang hamba". (1) Mulla Sadra, dalam hal ini berbeda dengan pendahulunya, Syaikh Isyraq, yang meyakini akan adanya tempat yang khusus bagi orang-orang yang catatan amalnya kosong dari kebaikan dan keburukan. (2) Kelompok kedua adalah kelompok yang terancam siksaan.

Mereka pun terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pertama, mereka yang catatannya kosong dari perbuatan baik dan kafir murni sehingga kelompok seperti ini masuk neraka tanpa perhitungan; kedua, mereka yang melakukan kebaikan tetapi “Maka hancurlah apa yang mereka buat dan lenyaplah seluruh perbuatan baik mereka". (3) Kelompok ini pun akan masuk neraka tanpa perhitungan; ketiga, mereka yang tercampur antara keburukan dan kebaikan. Kelompok ini terbagi dua bagian, yaitu mereka yang melakukan keburukan dan kebaikan, tetapi berlaku zalim kepada sesama manusia sehingga Allah-pun akan memperlakukan mereka sebagaimana mereka memperlakukan makhluk Allah dan kelompok yang bercampur perbuatan baik

P: 224


1- 106. QS 50:29. Ayat tersebut sebagai berikut : وما أنا بظلم للعبید “Dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba- Ku."
2- 107. Lihat: Suhrawardi, “Yazdhon Snokht", dalam Majmu'ah, J.III, him. 438.
3- 108. QS 11:16. Ayat tersebut sebagai berikut : «وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِیهَا وَبَاطِلٌ مَا کَانُوا یَعْمَلُونَ » “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan."

dan buruknya, tetapi mereka termasuk hamba-hamba yang takut keburukan perhitungan dan khawatir terhadap azab pada hari Kiamat. Menurut Mulla Sadra, mereka yang masuk kelompok ini sudah sangat menderita dengan masuk dalam kelompok yang menanti perhitungan. Karenanya, bagaimana mungkin mereka akan mendapatkan azab lagi setelah perhitungan yang membuat diri mereka menderita tersebut.

Pembagian yang dilakukan Mulla Sadra ini, sayangnya, masih sangat umum. Berbeda halnya dengan beberapa pemikir Eskatologi yang lebih jauh merinci tingkatan dan keadaan manusia di akhirat dengan sangat spesifik, bahkan pada tingkat karakter yang sangat parsial. Sebagai contoh di sini, Al-Gazhali bahkan membagi kelompok manusia berdasarkan karakter atau sifat-sifat khusus yang dimiliki manusia tersebut selama kehidupannya di dunia, seperti orang yang dermawan akan dikelompokkan pada kelompok orang yang dermawan, bahkan orang-orang yang biasa membaca surah-surah tertentu akan dibangkitkan sebagai kelompok dengan nama-nama surah tersebut. (1) Hal yang sama juga dilakukan Syaikh Sadūq yang membagi manusia berdasarkan karakter dan perbuatan yang mendominasi dalam kehidupan manusia tersebut di dunia. (2)

10. Hakikat Surga dan Neraka

Salah satu term yang paling penting dalam pembicaraan Eskatologi adalah term surga dan neraka, yang dalam istilah umum Alquran disebut sebagai al-Jannah dan al-Nār. (3) Keduanya secara sekilas mengisyaratkan pada tempat balasan bagi perbuatan manusia setelah melalui perhitungan dan timbangan. Jika manusia tersebut banyak melakukan perbuatan

P: 225


1- 109. Al-Ghazali, Al-Durrah, hlm. 172.
2- 110. Syaikh Al-Mufid, Syarh Tawhid Al-Shoduq (Iran: Wizarat Tsaqafat va Irsyad, 1999), J. 3, hlm. 622.
3- 111. Ada istilah khusus yang juga digunakan untuk istilah surga dan neraka. Untuk surga, antara lain, Al-Ma'wa, Al-Firdaws, Adn, Illiyin dan untuk neraka, antara lain, Al-Jahim, Al-Jahannam, Al-Saqar, Hawiyyah, Ladza, dan Hutamah.

baik, maka tempat yang akan ditinggalinya adalah surga sebagai pusat kenikmatan yang menjadi ganjaran bagi kebaikannya tersebut, sedangkan jika manusia tersebut banyak melakukan kejahatan, maka tempat yang akan ditinggalinya adalah neraka yang penuh dengan azab dan penderitaan sebagai balasan bagi kebaikannya.

Penggambaran kenikmatan surga dan penderitaan neraka ini sama sekali tidak di jumpai pada kitab-kitab suci agama lain.

Kedua penggambaran ini merupakan tema spesifik Alquran.

Tema ini banyak di angkat dalam surat-surat pendek yang, pada umumnya, diturunkan di Kota Mekkah pada awal karir Nabi Muhammad Saw..(1) Karena itu pula, penggambaran Alquran terhadap surga dan neraka cenderung literal, bahkan ada yang menuduh penggambaran tersebut sebagai materialistis. (2) Surga digambarkan sebagai taman yang mengalir sungai- sungai di dalamnya, sedangkan neraka sebagai tempat api yang menyala- nyala dan akan membakar manusia yang berdosa, (3)

P: 226


1- 112. Lihat: Sachiko Murata and W.C.Chittick, The Vission of Islam (London and New York: I.B. Tauris Publisher, 1996), hlm. 211
2- 113. Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, hlm.133.
3- 114. Penggambaran Alquran tentang surga yang demikian dapat kita temukan pada QS 2:25 dan penggambaran alquran tentang neraka yang seperti ini dapat kita temukan pada QS : 104: 5–9.

mengingat masyarakat Arab masa itu yang hidup dengan kehidupan keras dan gersang menjadikan taman dengan air yang mengalir sebagai sebuah kehidupan yang indah dan ideal.(1) Bagi kalangan pemikir yang lebih berorientasi pada filsafat atau tasawuf, tentu penggambaran surga dan neraka yang disebutkan oleh teks-teks ayat Alquran tersebut hanyalah bersifat simbolis, makna sesungguhnya tentulah tidak dapat dipahami dari hanya dari ibarat yang disampaikan.

Mulla Sadra, ketika berbicara tentang surga dan neraka, selain didasarkan pada argumentasi rasional yang telah dipaparkan sebelumnya, juga berdasarkan nash-nash, pernyataan para Imam (2) dan mukāsyafah. Hal ini dinyatakannya pada awal penjelasannya tentang realitas surga dan neraka, mengingat realitas surga-neraka secara spesifik adalah sesuatu yang tidak terjangkau akal. Argumentasi rasional yang dikemukakan Mulla Sadra, pada intinya, hanya membuktikan kenonmaterian surga- neraka dan substansi yang telah mencapai puncaknya tidak lagi terjadi gerakan dalam makna teraktualisasinya potensi.

Karenanya, seperti pada pendahuluan yang dikemukakannya, hampir sebagian besar penjelasan lain berdasar pada nash dan mukāsyafah.(3) Mulla Sadra menggambarkan sifat surga sebagai tempat keabadian dan keselamatan yang tidak ada kematian, kelemahan, sakit, derita, kesulitan, kehilangan, maupun kelenyapan. Surga, sebagai tempat kemuliaan yang menyenangkan jiwa dan pandangan, dan para penghuninya abadi di dalamnya, baik itu bersifat indrawi maupun intelek, hal tersebut sesuai dengan tingkat kecenderungan jiwa penghuninya. Namun Sadra menegaskan bahwa apa yang ada di surga, semuanya bersifat

P: 227


1- 115. Lihat: Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, hlm. 138.
2- 116. Yang dimaksud adalah imam-imam Syi'ah. a.l, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan ibn Ali, Al-Husain Ibn Ali, Ali Ibn Al-Husain, Muhammad Ibn Ali, Ja'far Ibn Muhammad, Musa Ibn Jaʼfar, Ali Ibn Muhammad, Muhammad Ibn Ali, Ali Ibn Muhammad, Al- Hasan Ibn Ali dan Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazar.
3- 117. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 319.

intelektual(1) dan sama sekali tidak ada materi, gerak, sebab aktivitas, pembaruan dan perpindahan karena wujud di surga tidak lain adala formatif. (2) Neraka merupakan tempat di mana penghuninya berada dalam kehinaan, penderitaan, kesedihan, kesakitan, kelaparan, kehausan, pembaruan azab, dan pergantian kulit. Neraka, bagi Sadra, hanya khusus bagi orang-orang kafir dan musyrik, sedangkan pengikut ajaran Tauhid yang berdosa akan keluar darinya dengan kasih sayang dan syafaat dari Allah Swt.. (3) Pernyataan Mulla Sadra ini menegaskan semangatnya dalam bersandar pada nash dan pandangan teolog Syi'ah (4) yang meyakini bahwa umat Islam, sekalipun berdosa besar, akan tetap mendapati ampunan dan akan keluar dari ancaman api neraka dengan beragam syafa'at. Mulla Sadra menyatakan bahwa keyakinannya ini juga didukung argumentasi rasional bahwa “Ahli tauhid, jiwa mereka telah terpancarkan cahaya kebenaran dan keyakinan dan terangkat dari alam yang rendah menuju kedudukan yang tinggi”. (5) Di antara persoalan yang seringkali muncul dalam pembicaraan surga dan neraka adalah doktrin Alquran yang menyebutkan penghuni surga kekal dan abadi di dalamnya,(6) tetapi Alquran juga menunjukkan kasus keluarnya Adam dari surga dan sepertinya, kedua hal tersebut menunjukkan kontradiksi Alquran. Dalam hal ini, Mulla Sadra menjelaskan bahwa surga yang dihuni Nabi Adam sebelum diturunkan ke dunia berbeda dengan surga yang akan menjadi tempat balasan bagi hamba yang saleh. Mulla Sadra menyebut surga Adam tersebut sebagai “Surga Para Ruh" (Jannāt al-Arwāh) atau dikenal dikalangan ahli ma'rifah sebagai “tempat perjanjian".

P: 228


1- 118. Intelektual yang dimaksud Mulla Sadra di sini adalah bersifat nonmateri.
2- 119. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 321.
3- 120. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, him. 320.
4- 121. Diantara teolog yang utama di kalangan Syi'ah adalah Syaikh Tusi dan hadis yang menjadi sandaran: “Tidak seorang dari ahli Tauhid yang akan ditimpa penderitaan neraka sekiranya mereka dimasukkan kedalamnya akan tetapi mereka akan menderita ketika dilepaskan dari neraka sebagai balasan bagi dosa-dosa mereka." Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 320.
5- 122. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 320. Teks aslinya sebagai berikut: لأن العارف بالتوحید یکون نفسه منورة بنور الحق والیقین مرتفعة عن العالم الأسفل إلی مقام العلویین
6- 123. QS 3:15. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

Ketidakmungkinan surga Adam dan surga yang akan ditempati orang-orang yang bertakwa nantinya adalah sama, disebabkan oleh surga dan neraka yang akan ditempati manusia nantinya terjadi pascakematian dan kehancuran alam semesta, tempat akhir dari seluruh aktivitas, dan ini terjadi pada kurva naik (Qaws al-Su’ūd), sedangkan apa yang terjadi pada Adam merupakan entry point gerakan dan itu terjadi pada kurva turun (Qaws al-Nuzūl). (1) Dengan dasar ini pula, Mulla Sadra membagi surga kedalam dua kategori: surga indrawi dan surga intelektual.

Surga indrawi adalah 'surga yang berisikan beragam forma tanpa materi yang dapat dipersepsi secara indrawi dan dapat mengalami perubahan', sedangkan surga intelektual berisikan 'forma-forma intelek (“Akliyyah) dan imajinal bercahaya'. Hal ini, menurut Mulla Sadra, didasarkan tingkat kualitas jiwa yang masuk ke dalamnya. Tingkat kualitas jiwa yang belum pernah sampai pada kenikmatan intelektualitas hanya merasakan kenikmatan forma-forma indrawi, sedangkan jiwa yang telah mengecap kenikmatan intelektual dan cenderung padanya akan merasakan kenikmatan intelek yang sama sekali berbeda dari kenikmatan indrawi. Mulla Sadra menyebut kedua kelompok tersebut dengan Kelompok Kanan (Ashāb al-Yamīn) dan kelompok orang-orang yang dekat, yang punya kedudukan sangat tinggi (al-Muqarabūn wa hum Illiyyūn). Pembagian ini juga didasarkan Mulla Sadra pada ayat Alquran, “Dan bagi yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga."(2) Mulla Sadra juga membagi neraka menjadi dua bagian, yaitu neraka indrawi yang dikhususkan bagi orang-orang kafir dan berisikan siksaan bagi fisik, dan neraka maknawi

P: 229


1- 124. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 320.
2- 125. QS 55:46. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ » "Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya, ada dua surga."

yang dikhususkan bagi orang-orang munafik dan sombong karena kemunafikan maupun kesombongan merupakan dua karakter batin dan siksaannya pun bersifat siksaan hati (Qalbī).

Mulla Sadra menggambarkan, "Penciptaan surga secara substantif, sedangkan penciptaan neraka secara aksiden."(1) Penjelasan yang dimaksudkan Mulla Sadra tersebut adalah bahwa Allah Swt. memiliki sifat fundamental (Zāti) dan sifat aktivitas (Fi'lī).

Kasih Sayang Allah masuk dalam kategori sifat fundamental- Nya, sedangkan Kemarahan atau Pembalasan masuk dalam kategori sifat aktivitas. Sifat fundamental ini mendahului sifat aktivitas, seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi, “Kasih sayang-Ku mendahului kemarahan-Ku"(2) atau di dalam ayat alquran “Dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,"(3) sehingga, sekalipun neraka dalam forma kemarahan Allah, tetap pada hakikatnya diliputi kasih sayang-Nya karena Kasih sayang-Nya bersifat substantif dan meliputi segala sesuatu.

Seperti jawaban yang dikemukakan Mulla Sadra terhadap

P: 230


1- 126. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 322.
2- 127. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 322.
3- 128. QS 7:156. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَرَحْمَتِی وَسِعَتْ کُلَّ شَیْءٍ » “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu."

persoalan ruang dan waktu – surga dan neraka, Mulla Sadra kembali menjelaskan bahwa surga dan neraka memiliki dimensi berbeda dari alam dunia ini, terutama dalam kefanaan dunia dan keabadian surga dan neraka, seperti yang disebutkannya:

“Sebagaimana yang telah Anda ketahui, bahwa akhirat tidaklah menempati satu tempat di alam dunia ini, tidak pada puncaknya maupun pada dasarnya, karena seluruh tempat di alam ini selalu terjadi kebaruan, kehilangan, ketidakmungkinan, dan kehancuran, dan segala sesuatu yang memiliki sifat tersebut adalah alam dunia, sedangkan akhirat merupakan negeri akhir dan bukanlah negeri kehancuran. Negeri akhirat berada di dalam alam ini dan dibalik tirai batin langit dan bumi. Perbandingan posisinya dengan dunia ini seperti halnya dunia sebagai janin yang ada dalam rahim ibu, sebagaimana yang telah dijelaskan (1) akan tetapi surga dan neraka memiliki manifestasi dan cerminan pada alam (dunia) ini berdasarkan kehalusan dan jenis kehidupan yang partikular". (2) Dengan pendekatan yang dilakukan Mulla Sadra ini, kita dapat menjelaskan beragam teks hadis yang seakan-akan menunjukkan bahwa surga atau neraka terjadi di alam ini, seperti “Kubur Mukmin merupakan bagian dari taman surga, sedangkan kubur munafik merupakan bagian dari siksaan neraka,"(3) karena surga dan neraka, sekalipun berada di balik alam materi ini, tetapi memiliki manifestasi dan cerminan di alam dunia ini. Kenikmatan maupun penderitaan merupakan bagian dari manifestasi tersebut.

Manusia mempersepsi objek-objek di alam akhirat, sebagaimana manusia mempersepsi objek-objek di alam dunia, tetapi perbedaan utama bahwa manusia mempersepsi objek duniawi dengan menggunakan lima indra materi, sedangkan di

P: 231


1- 129. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 219. (Lihat kembali pembahasan “Hakikat Kematian dan Alam Kubur”).
2- 130. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 322. Teks aslinya sebagai berikut: وقد علمت أن لیس للاخرة مکان فی هذا العالم لا فی علوه ولا فی سفله لأن جمیع مافی أمکنة هذا العالم متجددة دائرة مستحیلة فانیة, وکل ماهو کذلک فهو من الدنیا والآخرة عقبی الدار لیست دار البو ار, و هی فی داخل هذا العالم وفی با طن حجب السماوات والأرض, و منزلتها من الدنیا منزلة الجنین من رحم الأم کما مر, و لکن لکل من الجنة والنار مظا هر ومرائی فی هذا العالم بحسب رقائفها و نشئاتها الجزئیة
3- 131. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 322. Teks hadis tersebut sebagai berikut: قبرالمؤمن روضة من ریاض الجنة وقبر المنا فق حفر النیران

alam akhirat, manusia melakukan persepsi dengan indra imajinal dan semua bagian yang selama ini, dengan beragam bagian indra materi, akan dipersepsi hanya melalui indra imajinal tersebut.

Tidak akan ada lagi pemisahan indra seperti yang terjadi di dunia. Begitu pula dengan raga, bahwa raga di alam akhirat maupun alam imajinal adalah ruh pada alam dunia. Hanya saja, menurut Mulla Sadra, ruh di dunia terikat kepada raga di dunia sehingga tidak memiliki raga tersendiri, sedangkan di akhirat membentuk raga tersendiri. (1) Dengan demikian, Mulla Sadra ingin menegaskan bahwa apa yang terjadi di alam akhirat adalah real, bukan hanya vision semata, baik kenikmatan dan penderitaan adalah sesuatu yang faktual atau memiliki objek-objek eksternal, sekalipun dalam forma imajinal.

Namun, dalam pembagian surga dan penghuni surga, terlihat jelas bahwa Mulla Sadra lebih mendasarkan diri pada tingkat intelektualitas. Hal ini yang kemudian mendapatkan kritik Fazlur Rahman karena bagi Rahman, pembagian penghuni surga atau neraka lebih didasari oleh sikap moral.(2) Menurut penulis, seharusnya Rahman menyadari bahwa karakter filsafat yang mendominasi pandangan Mulla Sadra merupakan faktor mendasar yang membuat Mulla Sadra berpandangan seperti itu karena pandangan yang sama juga

P: 232


1- 132. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 338.
2- 133. Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm.258.

dikemukakan Ibn Sina ketika menggambarkan penggabungan jiwa dengan akal aktif.

11. Kebahagiaan dan Penderitaan

Para filsuf dan pemikir Eskatologi, pada umumnya, berusaha untuk merumuskan tentang apa yang disebut kebahagiaan dan penderitaan karena ketika berbicara tentang akhirat, pembicaraan yang terkait, tidak lain, adalah pembicaraan tentang kebahagiaan dan penderitaan. Kebahagiaan merupakan kondisi yang menjadi harapan bagi seluruh manusia, sedangkan penderitaan adalah kondisi yang dihindari manusia. Kedua kondisi ini akan muncul dalam kemurniannya di akhirat.

Karenanya, ketika membahas Eskatologi, pembicaraan tentang esensi kebahagiaan dan penderitaan menjadi bagian di dalamnya.

Kebahagiaan bagi Mulla Sadra adalah kesempurnaan wujud, begitu pula sebaliknya dengan penderitaan. Semakin berkualitas wujud manusia, meningkat kesempurnaan dan kemuliaannya dari beragam kekurangan dan ketiadaan, maka tingkat kebahagiaan yang terjadi lebih sempurna dan lebih lengkap. Adapun kualitas wujud yang paling tinggi adalah wujud Al-Haqq sebagai sumber awal kemudian wujud diferensial intelektual (Mufāriqat al-´Aqliyyāh), kemudian wujud jiwa dan yang paling rendah adalah beragam objek wujud, yaitu materi pertama, waktu, gerakan, kemudian forma fisik, beragam makhluk (Thabā’i), baru kemudian jiwa.

Bagi Mulla Sadra, kenikmatan akan terasa ketika satu forma wujud dapat mencapai forma wujud sebabnya karena wujudnya menjadi lebih sempurna. Karena wujudnya lebih sempurna, maka kebahagiaan yang dirasakan juga jauh lebih mulia dan sempurna.

P: 233

Pada diri manusia, wujud daya intelek jauh lebih utama dan mulia dibandingkan wujud pada tingkat hewani, syahwat ataupun emosional. Karenanya, transformasi jiwa dari jiwa hewani, syahwati ataupun emosional tersebut kepada jiwa intelektual akan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan yang jauh lebih sempurna dan utama. Karena itu, menurut Mulla Sadra, pencapaian daya tersebut akan memberikan kebahagiaan yang tidak ada bandingnya dan tidak akan ada lagi penderitaan yang diarasakan. Jiwa, jika mengalami transformasi kesempurnaan, akan menjadi lebih kuat sehingga ikatannya dengan raga materi menjadi hilang, kemudian kembali pada substansi hakikinya dan substansi sumbernya serta akan merasakan kebahagiaan dan kenikmatan yang tidak akan mungkin dapat disifati atau dibandingkan dengan kenikmatan fisik karena sebab dari kenikmatan pada tingkat ini lebih kuat dan lebih utama. (1) Penjelasan Mulla Sadra tentang kebahagiaan ini tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diberikan Ibn Sina dalam kitabnya, Al-Mabda' wa Al-Ma'ād. Bagi Ibn Sina, kebahagiaan adalah sempurnanya aktualitas daya tersebut, seperti daya syahwati kesempurnaannya pada kelezatan yang dirasakan atau daya emosional pada penguasaan atau jiwa rasional pada persepsi terhadap kebaikan murni. Aktualitas dari beragam daya tersebut adalah kesempurnaan dan hal tersebut menghasilkan kebahagiaan.(2) Mulla Sadra juga menjelaskan bahwa kebahagiaan, selain terjadi dengan terpenuhi apa yang dituntut oleh setiap daya,(3) hal tersebut disebabkan oleh substansi wujud yang merupakan kebahagiaan dan hal ini berbeda dengan pandangan Ibn Sina. Perbedaan ini dipicu oleh prinsip dasar filsafat Mulla Sadra, yaitu Tasykik al-Wujūd dan Ittihād al-

P: 234


1- 134. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 122.
2- 135. Ibn Sina, Mabda' wa Al-Ma'ād, hlm. 109–114.
3- 136. Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 162.

'Aqil wa al-Ma'qul dan Ibn Sina menolak pandangan Ittihād al- 'Āqil wa al-Ma'qūl. (1) Selain hal tersebut, Mulla Sadra juga menjelaskan bahwa kebahagiaan indrawi sebagian sesuai dengan kebahagiaan, tetapi sebagian lagi tidak sesuai, mengingat objek-objek indrawi memiliki beragam pertentangan dan kontradiksi karena objek objek tersebut tidak lepas dari ketidaksempurnaan dan kekurangan dalam wujud. Berbeda keadaannya dengan intelek, pada intelek tidak lagi terdapat kontradiksi dan pertentangan karena kesempurnaan merupakan substansi dirinya.

Upaya pencapaian kebahagiaan, menurut Mulla Sadra, dengan aktivitas yang menyucikan beragam kekurangan, keburukan, dan penyakit yang ada pada jiwa, seiring dengan aktivitas intelek dan proses berpikir yang menghasilkan beragam pengetahuan terhadap segala sesuatu sehingga menjadikan intelek aktual (bi al-Fi'il). Mulla Sadra sangat menekankan aktivitas intelek sebagai jalan penyempurnaan diri karena baginya, “Pengetahuan merupakan bibit penyaksian. Hal tersebut karena di antara kita dengan objek-objek rasio terdapat pembatas yang disebabkan, baik oleh kebodohan maupun karena kesibukan terhadap selainnya, seperti raga, materi- materi fisik, dan beragam daya yang menempel padanya,"(2) dan

P: 235


1- 137. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Kholid Al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra pandangan Ittihad Al-'Āqil wa Al-Ma'qul (Bandung: Muthahari Press, 2005).
2- 138. Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9, hlm. 123. Teks aslinya sebagai berikut: أن المعرفة بدر المشا هدة, وذلک لأن الحجاب بیننا وبین العقلیات إما عدم التفطن لها و هو الجهل وإما الاشتغال بغیرها کالبدن والمواد الحسیة و قواها المنطبعة

“Puncak kebahagiaan hakiki bagi manusia adalah terhasilkannya pada jiwa penyaksian terhadap sumber dari keberadaannya. "(1) Penderitaan merupakan kondisi sebaliknya dari kebahagiaan. Penderitaan terjadi karena tidak tercapainya kesempurnaan wujud. Mulla Sadra membagi dua kelompok utama orang-orang yang menderita di akhirat. Kelompok pertama adalah orang-orang yang sesat karena merupakan pecinta dunia, pelaku kezaliman, dan puncaknya adalah orang- orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang sesungguhnya memiliki potensi untuk mengenal cahaya pengetahuan, tetapi tersesat dan memenuhi diri mereka dengan beragam tindakan sehingga menjadikan diri mereka berada dalam kegelapan yang membuat jiwa mereka, ketika dibangkitkan, merasakan penderitaan dengan kebutaan yang tidak mampu menangkap realitas pada saat kebangkitan tersebut, bahkan menurut Mulla Sadra, “Penderitaan terbesar bagi mereka tertutupi dari penyaksian terhadap Tuhan mereka". (2) Kelompok kedua adalah orang-orang kafir yang merupakan penghuni hakiki neraka. Untuk kelompok kedua ini, Mulla Sadra mengutip ayat Alquran, “Sesungguhnya orang- orang kafir itu, baik mereka diberikan peringatan atau tidak ...

bagi merekalah azab yang pedih". (3) Bagi mereka, penderitaan yang menyakitkan adalah tertutupinya hati mereka, yaitu daya intelek dari Masy’ār Ilahi sebagai tempat pengetahuan dan ilham sehingga di dalam batin mereka tidak ada jalan untuk sampai pada ilmu hakiki baik secara batin maupun zahir.

Dengan pembagian dua kelompok besar dari orang- orang yang menderita di akhirat, Mulla Sadra membagi dua pula penyebab penderitaan tersebut. Pertama, dihasilkan

P: 236


1- 139. Mulla Sadra, Al-Asfār, J.9, hlm. 131. Teks aslinya sebagai berikut: أن الشرف والسعادة با لحقیقة إنما یحصل للنفس من جهة جزئها النظری الذی هو أصل ذا تها
2- 140. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 133. Teks aslinya sebagai berikut: "ومن أعظم الآلآم لهم إنهم عن ربهم لمحجو بون"
3- 141. QS 2:6-7. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «إِنَّ الَّذِینَ کَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَیْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا یُؤْمِنُونَ خَتَمَ اللَّهُ عَلَی قُلُوبِهِمْ وَعَلَی سَمْعِهِمْ وَعَلَی أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِیمٌ » "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat."

melalui aktivitas raga seperti ketidaktaatan, baik dalam daya indra, daya syahwati dan daya emosional. Ketidaktaatan dalam pengendalian daya-daya tersebut akan menyebabkan penderitaan fisik di akhirat. Kedua, disebabkan oleh penyakit batin, seperti hasad, riya' dan penderitaan yang terjadi pada mereka adalah penderitaan batin dan intelektual di akhirat serta hilangnya beragam daya, seperti yang dimiliki penghuni surga. (1) Melihat penjelasan Mulla Sadra tentang kebahagiaan, kita tentu menyadari betapa Mulla Sadra memberikan penghargaan yang luar biasa kepada intelek sehingga kita mungkin dapat menyatakan bagi Mulla Sadra kebahagiaan yang tertinggi hanya mampu dicapai oleh para filsuf karena pada para filsuflah, aktivitas intelektual teraktualisasi secara maksimal.

Gagasan kebahagiaan yang dikembangkan Mulla Sadra ini merupakan satu hal yang cukup menarik sekalipun tentu tidak akan lepas dari kritik terkait pengutamaannya pada intelek tersebut, tetapi jika dipahami lebih jauh, dapat memberikan kesadaran bahwa upaya manusia untuk mencapai derajat kebahagiaan tertinggi tidak semata melalui jalan pembersihan moralitas, tetapi juga intelektualitas. Dengan prinsip ini, tentu akan memberikan motivasi baru bagi manusia untuk melakukan aktivitas intelektual yang lebih serius.

P: 237


1- 142. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 134-135.

12. Makna keabadian dan Kontinuitas Pembaruan Penghuni Surga dan Neraka

Persoalan yang kerap menjadi objek kajian dalam Eskatologi adalah makna keabadian dan pembaharuan (Tajaddud) yang terjadi pada penghuni surga dan neraka.

Gagasan ini muncul berdasarkan isyarat-isyarat yang diberikan Alquran yang menunjukkan keabadian penghuninya. (1) Namun, ada juga di antara para teolog yang menolak keabadian tersebut, mengingat keabadian menurut mereka hanya semata terjadi pada zat Allah Swt.,(2) sedangkan gagasan pembaruan yang terjadi didasarkan pada isyarat ayat Alquran yang menunjukkan terjadinya pergantian kulit yang terus-menerus. (3) Mulla Sadra meyakini terjadinya perubahan pada para penghuni neraka dan surga. Namun, perubahan tersebut tidaklah disebabkan gerakan, sebagaimana yang terjadi di dunia, yaitu teraktualisasinya potensi. Mulla Sadra memberikan makna lain untuk perubahan yang terjadi baik bagi penghuni neraka maupun penghuni surga.

Para penghuni neraka mengalami perubahan keadaan, kulit, raga, dari satu forma kepada forma yang lain, sebagaimana yang digambarkan Alquran, “Dan setiap kali kulit-kulit mereka terbakar Kami ganti dengan kulit-kulit selainnya agar mereka merasakan azab."(4) Hal ini menurut Mulla Sadra karena genus neraka berasal dari daya fisik materi dan karena gerakan perputaran yang keluar dari materi-materi langit yang memiliki dimensi yang bertentangan menjadi penyebab bagi munculnya kondisi tanpa cahaya dan menyebabkan para penghuni merasakan penderitaan dan perubahan yang terus-menerus, bahkan Mulla

P: 238


1- 143. Ayat-ayat yang menunjukkan indikasi keabadian tersebut antara lain QS : 2 : 82, 217 dst.
2- 144. Di antara teolog yang berpandangan seperti ini, a.l., Al- Fachrurrazi al-Samarkandi dan hal ini di dasari ayat Alquran, antara lain, QS 28:88.
3- 145. QS 4:56. «کُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَیْرَهَا لِیَذُوقُوا الْعَذَابَ » "Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab."
4- 146. QS 4:56. Teks ayat tersebut sebagai berikut : «کُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَیْرَهَا لِیَذُوقُوا الْعَذَابَ »

Sadra menyebutkan, “Hukum yang terjad pada neraka dan penghuninya menyerupai hukum dunia dan penghuninya."(1) Yang dimaksud Mulla Sadra dengan “menyerupai" merupakan keadaan neraka yang di dalamnya terjadi perubahan dan juga penderitaan yang terus-menerus baru. Hukum yang seperti ini merupakan hukum yang menyerupai hukum yang terjadi pada kehidupan di dunia. Di dunia, selalu terjadi perubahan dan juga bahwa penderitaan maupun kenikmatan tidak terjadi secara kekal, melainkan mengalami perubahan dan terus-menerus membaru dalam kehidupan manusia.

Keadaan penghuni neraka bagaikan berada di antara dan kematian: "tidak mati dan juga tidak hidup"(2) dan kondisi seperti ini seperti kondisi penghuni dunia bahwa mereka mendapatkan kenikmatan, tetapi di balik kenikmatan tersebut terdapat bencana dan mereka mendapatkan kehidupan, tetapi di balik kehidupan terdapat kematian.

Hal ini, menurut Mulla Sadra, disebabkan oleh kehidupan penghuni neraka masih terikat dengan hukum materi dan perubahan forma pada penghuni neraka karena perubahan yang terjadi pada bintang-bintang yang melingkupinya tersebut.

Bagi penghuni surga, perubahan yang terjadi tidaklah sebagaimana yang terjadi pada penghuni neraka. Menurut Mulla Sadra, perubahan tidaklah dalam bentuk kehancuran,

P: 239


1- 147. Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 381. Teks aslinya sebagai berikut: "حکم النار وأهلها قریب من حکم الدنیا وأهلها"
2- 148. QS 20:74. Teks ayat tersebut sabagai berikut: «ثُمَّ لَا یَمُوتُ فِیهَا وَلَا یَحْیَی »

pembentukan, dan pergantian karena surga berada pada kondisi yang jauh melampaui kehidupan alami dan hukum-hukumnya.

Gerakan dan aktivitas yang terjadi pada para penghuni surga bukanlah gerakan fisik yang menyebabkan kelelahan atau keletihan, melainkan sebagaimana gerakan imajinasi dan lintasan bayangan yang ada di benak manusia. Hal ini menyebabkan waktu yang terjadi adalah kumpulan dari yang lampau, sekarang dan akan datang, sedangkan tempat yang hadir di hadapan mereka adalah apa pun yang ada dilangit dan bumi. Apa yang ada di surga bukanlah dari dimensi alami materi, melainkan forma yang ada adalah forma yang dapat dipersepsi berasal dari wujud jiwa yang nonmateri sehingga perubahan yang terjadi hanyalah perubahan forma surga semata akibat gerakan yang terjadi pada jiwa penghuni surga, bukan kehancuran dan pembentukan seperti yang terjadi pada penghuni neraka. Kehidupan surga, tidak lain, adalah kehidupan jiwa dan alam yang meliputinya adalah alam jiwa.

Terjadi perbedaan di antara para filsuf, teolog dan urafa tentang makna Keabadian Mulla Sadra menyatakan bahwa penghuni surga dan neraka mengalami keabadian. Penderitaan bagi penghuni neraka dan kenikmatan bagi penghuni surga bersifat abadi, sekalipun masing-masing memiliki makna keabadian tersendiri.

Mulla Sadra menolak pandangan Ibn 'Arabi yang menyatakan bahwa penderitaan bagi penghuni neraka akan berhenti setelah lama waktu penyiksaan tersebut, sesuai dengan waktu kehidupannya dan kemudian neraka menjadi tempat yang nyaman.(1) Bagi Mulla Sadra, penderitaan akan terus terjadi selama-lamanya.

P: 240


1- 149. Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 357. Penolakan Mulla Sadra tersebut mengacu pada pernyataan Ibn 'Arabī di dalam kitabnya, Al-Futuhat Al-Makiyyah, sebagai berikut: “Maka ditunjukkan baginya kepada Kursyi yang memiliki dua kaki hingga terbagi padanya kalimat ruhaniah...Keduanya memiliki bentuk pada fisik general alami. Hal ini menunjukkan dua kaki yang setiap kaki tersebut menetap pada satu tempat, yang satu bernama neraka dan yang lain bernama surga. Tidak ada lagi tempat di atas kedua kedua tempat kaki tersebut. Keduanya tidak lain berasal dari Zat Maha Pengasih yang duduk diatas Arsyi dan tidak keluar dari-Nya, kecuali kasih sayang. Sesungguhnya, yang akhir akan kembali kepada permulaan dengan kebijaksanaan... karena perjalanan penurunan sebagai perjalanan penderitaan menyebabkan dunia, akhirat, dan barzakh. Dan ketika berakhir pada puncak kediaman para pelaku maksiat akan mendapatkan ketenangan dan terjadi kepada mereka kenikmatan pada alam keabadian” (Ibn 'Arabī, Al-Al-Futuhat al-Makiyyah (Beirut: Dar Sadir, tth.), J. 3, hlm. 462).

Mulla Sadra menunjukkan harmonisasi yang terjadi jika segala sesuatu kembali kepada realitas-realitas fundamental yang menjadi tujuan-tujuan alamiah dari setiap makhluk tersebut dan karena realitas-realitas tersebut merupakan tujuan akhir maka mereka kekal didalamnya, sebagaimana pernyataannya:

"Dan pada kami terdapat prinsip yang menunjukkan bahwa neraka dan penderitaan serta keburukan akan kekal bagi penghuninya, sebagaimana surga dan kenikmatan, serta kebaikan adalah kekal bagi penghuninya, kecuali bahwa masing-masing kekekalan tersebut memiliki makna tersendiri. (1) Seperti yang anda ketahui bahwa tatanan dunia tidak akan menjadi lebih baik kecuali dengan adanya orang- orang yang berjiwa kasar dan berhati keras. Kalau semua orang hidup bahagia, tentu tatanan ini menjadi rusak... jika keberadaan setiap kelompok itu menurut ketentuan ilahi dan tuntutan kemunculan nama Rabbani, maka mereka memiliki tujuan-tujuan alamiah dan stasiun-stasiun substantif. Realitas-realitas fundamental yang menjadi asal ciptaan segala sesuatu, jika segala sesuatu itu kembali padanya, itu akan menjadi keharmonisan, walaupun telah terjadi perpisahan darinya dalam rentang waktu yang panjang, sebagaimana firman Allah, “Dan dihalangi di antara mereka dan apa yang mereka inginkan'. (2) Allah menampakkan semua nama-Nya dalam semua maqam.

Dia-lah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Dia Mahabijaksana lagi Maha Pengampun."(3) Tujuan alamiah yang dimaksudkan Mulla Sadra merupakan tujuan dari gerakan seluruh makhluk dan tujuan tersebut, tidak lain, adalah nama-nama Allah yang secara umum terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu Jalāl dan Jamāl. Neraka dan surga adalah manifestasi dari kedua nama tersebut sehingga ketika manusia masuk ke dalamnya, pada intinya, dia telah sampai pada puncak tujuannya. Karenanya, bagi Mulla Sadra, tidak ada alasan bahwa

P: 241


1- 150. Yang dimaksud Mulla Sadra dengan memiliki makna tersendiri adalah bahwa kekekalan yang terjadi antar penghuni surga dan neraka memiliki makna berbeda dan spesifik.
2- 151. QS 34:54. Teks ayat tersebut sebagai berikut: «وَحِیلَ بَیْنَهُمْ وَبَیْنَ مَا یَشْتَهُونَ »
3- 152. Mulla Sadra, Al-Syawāhid, hlm. 314, 315. Teks aslinya sebagai berikut: و عندنا ایضا اصول دالته علی أن الجحیم و آلامها وشرورها دایمة باهلها, کماان الجنة و نعیمها و خیراتها دایمه با هلها الا ان الدوام لکل منهما علی معنی آخر. و انت تعلم: أن نظام الدنیا لا ینصلح الا بنفوس غلیظة و قلوب قاسیة ولو کان الناس کلهم سعداء بنفوس خائفة من عذاب الله وقلوب خاشیة الاختل النظام. فاذا کان و جود کل طائفة بحسب قضاء الهی و مقتض ظهور اسم ربانی فیکون لها غایات طبیعیة ومنازل ذاتیة والأمور الذاتیة التی جبلت علیها الأ شیاء اذا وقع الرجوع الیها یکون ملا یمة لذیذة, وان وقعت المفارقة عنها امدا بعیدا, والحیلولة عن السکون الیها والاستقرار لها زمانا مدیدا, کما قال تعا له: ((وحیل بینهم وبین ما یشتهون)) والله متجل بجمیع - الأسما فی جمیع المقامات والمراتب فهو الرحیم وهوالعزیز القهار

mereka, para penghuni surga atau neraka, untuk keluar darinya.

Pandangan Mulla Sadra yang seperti ini adalah pandangan yang jelas-jelas dipengaruhi oleh pandangan Ibn 'Arabī.

Menurut Ibn 'Arabi, segala forma wujud akan berjalan menuju Allah Swt. melalui dua nama utamanya, yaitu Jalal dan Jamal.

Namun, berbeda dengan Mulla Sadra yang beranggapan bahwa perjalanan tersebut terhenti hanya pada tingkat tersebut, bagi Ibn 'Arabi, perjalanan tersebut akan terus karena pada intinya, sifat Jalal berasal dari sifat Jamal dan puncaknya, tidak lain, adalah kembalinya segala sesuatu pada sifat jamal-Nya.(1)

P: 242


1- 153. Lihat: Hasan Zadeh Amuli, Mumid Al-Himmam dar Syarh Fushūs Al-Hikam (Tehran: Wezarate Farhangge va Irsyode Islomi, 1378), him. 161.

Catatan 5:

(1) Para filsuf Barat, seperti Karl Marx (1818-1883), Sigmund Freud (1856-1939) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980) tidak mempercayai konsep Kebangkitan-kembali setelah kematian.

Lihat H.P. Owen, “Eschatology", Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan Publishing Co.Inc and The Free Press, 1972), J. III, hlm. 48.

(2) QS Al-Baqarah 2:282; 6:2, 60; 11:3; 13:2; 14:10, dst.

«کَیْفَ تَکْفُرُونَ بِاللَّهِ وَکُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْیَاکُمْ ثُمَّ یُمِیتُکُمْ ثُمَّ یُحْیِیکُمْ ثُمَّ إِلَیْهِ تُرْجَعُونَ » (3)“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

(4)Lihat: Abu Nashr Al-farabi, Al-Siyasat Al-Madaniah" (India:

Da'irah Al-Ma'arif Al-Utsmaniyah, 1345 H), hlm. 53.

(5)Ibn Sina, Al-Najāh, hlm. 291.

(6)Al-Ghazali, “Al-Madnun Bih 'Ala Gayr Ahlih", Majmu'ah Al- Risalah Al-Imam Al-Gazhali (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996), hlm.350.

(7)Abu Layth Al-Samarkandi, Kitab Al-Ahwāl Al-Qiyāmah (Kairo:

Silsilah Al-Saqafah Al-Islamiyyah, 1964), hlm. 11 – 13.

(8)Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 218. Teks aslinya sebagai berikut:

أأن الموت حق وأن الطبیعی منه نهایة الرجوع عن الدنیا وابتداء الر جوع الر الله (9)Lihat: Al-Gazhali, Al-Durrah al-Fakhirah fi Kasyfi ulum al- Akhirah, (Beirut: Mu'asasah al-Kutub al-Saqafiyyah, 1992) hal.7-11.

P: 243

(10) Abu Layth al-Samarkandi menjelaskan bahwa malaikat maut mendatangi orang yang akan dicabut nyawanya tersebut dan orang itu sendiri menolak, sehingga Allah memerintahkan malaikat Izrail menuliskan nama-Nya di telapak tangan orang tersebut barulah ruh itu keluar dalam bentuk seperti lebah namun berbentuk manusia. Lihat: al-Samarkandi, Kitab al- Haqāiq wa al-Daqāiq, (Qom: Intisyorot Behesyti, 1436) hal. 7.

(11) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 219. Teks aslinya sebagai berikut:

عن غبار هذه الهیئات کما یخرج الجنین من والبعث عبارة عن خروج النفس القرار المکین, والفرق بین حالة القبرو حالة البعث کا لفرق بین حالتی الإنسان فی الرحم وعند الخروج منه, فإن حالة القبر أنموذج من أحوال القیامة (12) Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 220. Teks aslinya sebagai berikut:

هذه الأمور الواقعة علی بدنه بل فإن الذی یؤلمه یؤثر فی نفسه بالذات لیس صورتها الواصلة الی نفسه لعلاقة لها مع البدن (13) Lihat: Jane Idelman, The Islamic Understanding of Death, hlm. 195.

(14) Filsuf Peripatetik, seperti Al-Farabi, Ibn Sina dan Bahmaniyar, tidak mempercayai adanya kehidupan barzakh karena bagi mereka, daya imajinal hanya ada pada materi. Dan pascakematian jiwa menjadi nonmateri murni sehingga tersingkap realitas akhirat bagi mereka. Lihat: Abu Nashr Al- farabi, Al-Siyasat Al-Madaniah (India: Da'irah Al-Ma'arif Al- Utsmaniyah, 1345 H), hlm. 53; Ibn Sina, Al-Najāh, hlm. 203; dan Bahmaniyar, Al-Tahsil (Tehran: Instisyarat Donesgoh,1375), hlm. 736.

(15) William C. Chittick, “Death and The World of Imagination:

P: 244

Ibn Al-Arabi's Eschatology" dalam The Muslim World, a Journal Devoted to the Study of Islam and Christian-Muslim Relationship in Past and Present (The Duncan Black Macdonald Center at Hartfold Seminary, 1988), Vol. LXXVIII No.1, hlm. 64.

(16) Kecuali kasus-kasus khusus, dalam banyak riwayat disebutkan adanya jaminan ketidakhancuran raga-raga orang-orang sholeh, seperti para nabi, wali, dan penghafal Alquran.

(17) Jane Idelman Smith menuliskan pandangan-pandangan para pemikir Eskatologi berkaitan dengan kehidupan di alam barzakh. Ia menyebutkan, “... Orang mati akan membaca Alquran di kubur mereka, para penulis ini berpendapat bahwa ruh-ruh lain akan memerintahkan menghafalkan Alquran kepada ruh manapun yang belum melaksanakan praktik itu.

Dengan cara yang sama, ruh-ruh dari tingkatan yang lebih tinggi akan memberikan sejenis petunjuk umum kepada ruh-ruh di tingkatan yang lebih rendah. Sebagian kalangan bahkan berkata bahwa barzakh mirip dengan semacam institusi perguruan tinggi, dengan kuliah-kuliah dalam wilayah intelektual yang jauh di luar segala yang bisa kita bayangkan di muka bumi ini. Ruh-ruh itu akan lebih bersemangat dalam kehidupan berikutnya ketimbang saat masih hidup di dunia, dan tidak ada kemalasan atau kekosongan aktivitas.

Barzakh pada kenyataannya digambarkan sebagai ruang besar untuk beraktivitas yang semuanya diarahkan untuk saling memberikan layanan penuh cinta satu sama lain dan kesenangan aktivitas. Ruh-ruh itu menikmati peradaban tinggi, dilengkapi adanya kesempatan membaca dan meneliti, menikmati musik, apresiasi seni, dan jenis-jenis hiburan

P: 245

mutakhir. Mereka berbicara, berjalan, makan, minum, menikah, dan-menurut sebagian orang-bahkan menghasilkan keturunan. Mereka tidur ketika menginginkan, bukan karena butuh tidur, mereka makan dan minum karena kebiasaan atau kesenangan. Makanan dinikmati melalui selera spiritual." Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, hlm. 195 (18) Fazlur Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition:

Change and Identity (New York: The Crossroad Publishing Company, 1987), hlm. 127. Selanjutnya disebut Health and Medicine.

(19) Jane Idelman Smith, The Understanding of death an resurrection (English, Oxford University, 2002), hlm. 72.

(20) Kita dapat dengan mudah menemukan kisah-kisah penyiksaan di alam kubur yang bersifat fisik dalam karya-karya pemikir Muslim abad pertengahan. Sebagai contoh apa yang digambarkan Al-Ghazali: Ada seseorang yang pernah diberi mimpi. la ditanya, "Bagaimana keadaanmu? Bukankah engkau telah mati?", “Benar, aku telah mati. Aku berada dalam kondisi baik. Hanya saja, ada sebuah batu yang telah mematahkan tulangku saat tanah kuburanku diratakan, lalu batu itu menghantamku." Kemudian kuburannya digali kembali dan ternyata memang ada sebongkah batu seperti yang diceritakannya di dalam mimpi itu. Dan yang lain pernah datang kepada anaknya yang sedang tidur (mimpi), lalu berkata, “Wahai anak jelek, perbaikilah kuburan ayahmu! Hujan telah membuatku merasa kesakitan." Ketika pagi, orang tadi menyuruh orang lain untuk melihat kuburan ayahnya dan ternyata kuburannya terendam air." Al-Ghazali, Al-Durrah, hlm. 37 – 38.

P: 246

(21) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 219. Teks hadis tersebut sebagai berikut :

"القبر اما روضة من ریاض الجنة أو حفرة من حفر النیران" Kita dapat menemukan hadis tersebut pada Al-Kulayni, Furu' al-Kahfi (Beirut: Dar Turats Al-Arabi, 1997), ). 4, hlm.256.

(22) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 220. Teks aslinya sebagai berikut :

العلماء: کل من شاهد بنور البصیرة با طنه لرآه مشحونا بأنواع قال بعض المؤذیات والسباع کالشهوة والغضب والمکرو الحسد والحقد و العجب و الر پاء «یَوْمَ تَرَی الْمُؤْمِنِینَ وَالْمُؤْمِنَاتِ یَسْعَی نُورُهُمْ بَیْنَ أَیْدِیهِمْ وَبِأَیْمَانِهِمْ » (23) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 220. Teks aslinya sebagai berikut :

فإذا انکشف عنه الغطاء ووضع فی قبره عاینها, وقد تمثلت بصورها وأشکالها الموافقة لمعانیها فیری بعینه العقارب والحیات قد احدقت به, وإنما هی ملکاته و صفاته الحاضرة الآن فی نفسه, وقد انکشف له صورها الباطنیة الحقیقیة فإن لکل معنی صورة یناسبها, فهذا عذاب القبر إن کان شقیا, وإن کان سعیدا کان بخلا فه (24) Suhrawardi, “Al-Talwihat" dalam Majmu'ah, J. 1, hlm. 90. Teks aslinya sebagai berikut :

"اما السعداء فیتخیلون مثلا وصورا عجیبة أنیقة ویتلذذون بها ... واما الا شقیاء فلا یکون علاقتهم مع هذه الاجرام الشریفة ذوات النفوس النورانیة ...

فیتخیلون به من اعمالهم السیئه مثلا من نیران وعقارب ..." (25) Fazlur Rahman, Health and Medicine, hlm. 172.

(26) Lihat: Gherardo Gnoli, “Zoroastrianism", Encyclopedia of Religion, diedit oleh Mircea Eliade (New York: Macmillan

P: 247

Publishing Company and London: Collier Macmillan Publisher,1978), J. XV, hlm. 585. Pandangan Syaikh Isyraq tersebut sebagai berikut:

"Sedangkan jiwa-jiwa sederhana yang bersih, seperti jiwa anak-anak dan jiwa orang-orang bodoh dari kalangan awam, maka jiwa mereka ketika terpisah dari raga, tetap dalam kesederhanaannya sehingga mereka tidak akan merasakan kenikmatan dan tidak pula merasakan penderitaan serta tidak terikat pada alam ini maupun alam berikutnya." Lihat: Suhrawardi, “Yazdhon snokht", dalam Majmu'ah, J. III, hlm. 438.

(27) Lihat William C.Chittick, “Death and the World of Imagination:

Ibn Al-Arabi's Eschatology" dalam The Muslim World, hlm.59–65.

«لَعَلِّی أَعْمَلُ صَالِحًا فِیمَا تَرَکْتُ کَلَّا إِنَّهَا کَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَی یَوْمِ یُبْعَثُونَ » (28)"Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan." (29) Maksud Al-Gazhali adalah bahwa jiwa manusia pasca kematiannya akan memunculkan sebagian dari gambaran kehidupan ukhrawi di dalam kuburnya.

(30) Ibn 'Arabī, al-Futūhāt al-Makiyyah (Beirut: Dar al-Sodir, Tp.

Tahun) J. 2. hal. 626. Selanjutnya disebut: al-Futūhāt (31) Lihat: Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9. hal. 221.

(32) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 222.

(33) Di dalam Alquran, ayat-ayat yang langsung menyebutkan kata Kiamat terulang 72 kali.

(34) Di antara ayat-ayat yang menggandengkan keimanan kepada kedua objek tersebut, antara lain, QS 2:8,126, 177, 228, 232 « لِلَّذِینَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِی مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِینَ فِیهَا »

P: 248

dst.

(35) Hasan Al-Mustavawi, Al-Tahqiq fi Kalimat Alquran Al-Karim (Tehran: Wizarat Tsaqafah va Irsyade Islomi, 1368), J. 9, hlm.345.

(36) QS. 82:19. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«یَوْمَ لَا تَمْلِکُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَیْئًا وَالْأَمْرُ یَوْمَئِذٍ لِلَّهِ » "(yaitu) Hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain, dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah." (37) Al-Ghāzali mengumpulkan 101 nama Kiamat antara lain:

Yawm al-Qiyāmah (Hari Kiamat), Yawm al-Hasrah (Hari Penyesalan), Yawm al-Nadāmah (Hari Menyesal), Yawm al- Muhāsabah (Hari Perhitungan), Yawm al-Musā'alah (Hari Pertanyaan), Yawm al-Musābaqah (Hari perlombaan), Yawm al-Munāqasyah (Hari Perdebatan), Yawm al-Munāfasah (Hari Perlombaan), Yawm al-Zilzalah (Hari Kegoncangan), Yawm al-Damdamah (Hari Kebinasaan), Iqa Yawm al-Sā'h (Hari Halilintar), Yawm al-Wāqi'ah (Hari Kegoncangan yang sulit), Yawm al-Qāri'ah (Hari Peristiwa Besar), Yawm al-Rājifah (Hari Bumi Bergoncang), Yawm al-Rādifah (Hari yang Mengiringi Kegoncangan), Yawm al-Gāsyiyah (Hari Peristiwa yang Menyelubungi), Yawm al-Dāhiyah (Hari Bencana), Yawm al- Āzifah (Hari yang Sudah Dekat Waktunya), Yawm al-Haqqah (Hari Kebenaran), Yawm al-Tammah (Hari Bahaya), Yawm al-Sākhkhah (Hari yang Memekakan telinga), Yawm al- Talāq (Hari Pertemuan dengan Tuhan), Yawm al-Firāq (Hari Perpisahan), Yawm al-Masāq (Hari Dihalaukan), Yawm al-

P: 249

Qisās (Hari Qisas), Yawm al-Tanad (Hari Saling Memanggil), Yawm al Hisab (Hari Perhitungan Amal), Yawm al-Ma'āb (Hari Kembali), Yawm al-´Azāb (Hari Penyiksaan), Yawm al-Firār (Hari Lari), Yawm al-Qarār (Hari Tetap), Yawm al-Liqā' (Hari Pertemuan), Yawm al-Baqā' (Hari Keabadian), Yawm al-Fadā' (Hari Keterbukaan), Yawm al-Jazā' (Hari Pembalasan), Yawm al- Balā' (Hari Percobaan), Yawm al-Bukā' (Hari Menangis), Yawm al-Hasyr (Hari Berkumpul), Yawm al-wa'id (Hari Perjanjian [siksa]), Yawm al-'Arad (Hari Datang), Yawm al-Wazn (Hari Timbangan), Yawm al-Haqq (Hari Kebenaran), Yawm al-Hukm (Hari Hukuman), Yawm al-Fasl (Hari Pemisahan), Yawm al- Jam' (Hari Berkumpul), Yawm al-Ba'ts (Hari Kebangkitan), Yawm al-Fath (Hari kemenangan), Yawm al-Khizy (Hari Kehinaan), Yawm al-'Azim (Hari Keagungan), Yawm al-'Aqim (Hari sial), Yawm al-Asīr (Hari Sukar), Yawm al-Dīn (Hari Agama), Yawm al-Yaqīn (Hari Keyakinan), Yawm al-Nusyūr (Hari Berserak-serak), Yawm al-Masīr (Hari Tempat Kembali), Yawm al-Nafkhah (Hari Tiupan), Yawm al Sihah (Hari Teriakan ), Yawm al-Rajfah (Hari Kegoncangan), Yawm al-Rajjah (Hari Bergerak), Yawm al-Zajrah (Hari yang menakuti), Yawm al- Sakrah ( Hari kemabukan), Yawm al- Faz' (Hari ketakutan), Yawm al- Jaz' Hari kegundahan), Yawm al-Muntahā (Hari Kesudahan), Yawm al-Ma'wā (Hari Tempat Tinggal), Yawm al-Miqāt (Hari Tepat Waktu), Yawm al-Miād (Hari Tempat Kembali), Yawm al-Mirsad (Hari Menanti), Yawm al-Qalaq (Hari Kekacauan), Yawm al-'Araq (Hari Keringat), Yawm al- Iftiqār (Hari Keperluan), Yawm al-Inkidār (Hari Kekeruhan), Yawm al-Intisyar (Hari Bertebaran), Yawm al-Insyiqā (Hari Terbelahnya Langit), Yawm al-Wuquf (Hari Berhenti), Yawm

P: 250

al-Khurūj (Hari Keluar), Yawm al-Khulūd (Hari Kekekalan), Yawm al-Taqābun (Hari Terpedaya), Yawm al-“Abūs (Hari Kesukaran), Yawm Ma'lum (Hari yang Diketahui), Yawm al- Maw'ūd (Hari yang Dijanjikan), Yawm al-Masyhūd (Hari yang Disaksikan), Yawm Lākayb Fih (Hari yang Tiada Keraguan Padanya), Yawm Tublā al-Sarā'ir (Hari yang Dicobakan Segala Rahasia), Yawm Lālajzi Nafs'an Nafs Syai'an (Hari yang Tidak Dapat SatuDiri Menggantikan Diri Lain), Yawm Tasykhas fih al-Absār (Hari yang Memandang Padanya Semua Mata), Yawm lā yugnīmaulan ‘an maulan syai'an (Hari yang seorang sahabat tidak dapat menolong sahabatnya sedikitpun), Yawm Yudda'ün ilā Nāri Jahannam Da'an (Hari yang digiring ke Neraka dengan kekerasan), Yawm Yushabūn fī Nār Jahannam 'alā Wujūhihim (Hari yang mereka ditarik ke Neraka atas mukanya), Yawm Tuqallab Wujūhuhum fi an-Nār (Hari yang muka mereka dibolak-balik dalam Neraka), Yawm là Yajzi Walid'an Waladih (Hari yang tidak dapat bapak menolong anaknya), Yawm Yafirr Mar'min Akhih wa Ummih wa Abih (Hari yang manusia lari dari saudara, ibu dan bapaknya), Yawm là Yantiqūn wa lā Yuʼzan lahum fa Ya'tažirūn (Hari yang mereka tidak bercakap- cakap, tidak diizinkan, lalu mereka pun minta kemaafan), Yawm lā Maradda lah min Allāh (Hari yang tiada penolakan baginya dari Allah), Yawm hum Bārizūn (Hari yang mereka datang ke muka, Yawm hum ‘alā an-Nār Yuftanūn (Hari yang mereka dicoba atas Neraka), Yawm là Yanfa' Māl wa lā Banūn (Hari yang tiada bermanfaat harta dan anak), Yawm lāYanfa'al- zālimīma maʼżiratuhum wa lahum al la'nah wa lahum sū' al- dār (Hari yang tidak bermanfaat bagi orang-orang zalim akan dalih mereka dan bagi mereka kutukan dan tempat tinggal

P: 251

yang buruk), Yawm turadd fih al-ma'āžīr wa tublā al-sarā'ir wa tuzhar al-damā'ir wa tuksyaf al-astāruh (Hari yang tertolak padanya segala dalih, dicoba segala rahasia, dilahirkan segala isi hati dan disingkapkan segala tirai), Yawm takhsya' fihal- absār wa taskun al-aswāt wa yaqill fih al-tifāt wa tabruz al- khafiyyāt wa tazhar al-khatīāt (Hari yang tetap padanya segala penglihatan,tenang segala suara, sedikit padanya berpaling, lahir segala yang tersembunyi, dan tampak segala kesalahan), dan Yawm Yusāq al-'ibād wa ma'ahum al- Asyhād wa Yasyīb al-Sagīr wa Yaskar al-Kabīr (Hari yang dihalau seorang hamba, yang bersama mereka anggota badannya yang menjadi saksi, anak kecil menjadi beruban, orang tua menjadi mabuk). Lihat al-Gazālī, Ihya' Ulum al-Din, J. IV hal. 549-550.

(38) QS 81:1. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

إذا الشمس کورت (39) QS 83:18. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

کما إن کتاب الأبرار یلف علیین (40) QS 81:2. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

وإذا التجوم انکدرت (41) QS 70:9. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

وتکون الجبال کالعهن (42) QS 6:32, 29:54. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَمَا الْحَیَاةُ الدُّنْیَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَیْرٌ لِلَّذِینَ یَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ » «وَمَا هَذِهِ الْحَیَاةُ الدُّنْیَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِیَ الْحَیَوَانُ لَوْ کَانُوا یَعْلَمُونَ »

P: 252

Al-Ghazali menggambarkan kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang hakiki dan abadi, sedangkan kehidupan duniawi hanyalah kehidupan yang sekilas dan sementara.

Lihat: Al-Ghazali, Ihya', J. IV, hlm. 539.

(43) Lihat: Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9 hal. 278.

(44) Lihat: Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9 hal. 278.

(45) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J.9, hlm. 279.

(46) Kita melihat keberatan dan jawaban yang diberikan Allah atas keberatan tersebut pada QS 36:78.

Berkaitan dengan ayat ini, Mulla Sadra menolak menjadikan ayat ini sebagai bukti kebangkitan karena menurutnya, ayat ini hanya menunjukkan kemampuan Allah untuk menyusun kembali tulang-tulang yang telah hancur. Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 48.

(47) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 224, 225. Teks aslinya sebagai berikut:

عن غبار هذه الهیئات المحیطة بها کما یخرج أما البعث فهوخروج النفس الجنین من القرار المکین, وقد مرت الإشارة إلی أن القبر الحقیقی هو انغمار النفس وانحصارها بعد موت البدن فی تلک الهیئات المکتفنة, فهی ما بین الموت و البعث بمنزلة الجنین أو النائم لم تقوقواها ومشاعرها لإدراک المدرکات الآخرة, فإذا جاء وقت القیام انبعث الإنسان من هذ الا نغمار قادما إلی الله تعالی متوجها إلی الحضرة الالهیة إما مطلقا حرا عن قید التعلقات واسر الشهوات فرحانا بذاته مسرورا بلقائه تعالی - و من أحب لقاء الله أحب الله لقائه - وإما مقبوضا مأ سورا بأیدی الزاجرات القاسرات کارها للقائه تعالی و من کره لقاءالله کره الله لقائه (48) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 225. Hal yang sama juga disebutkan Alquran pada QS 17:72.

(49) QS 78:18. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«یَوْمَ یُنْفَخُ فِی الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا » (50) QS 19:85. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«یَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِینَ إِلَی الرَّحْمَنِ وَفْدًا »

P: 253

(51) QS 41:19. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَنَحْشُرُهُ یَوْمَ الْقِیَامَةِ أَعْمَی » “Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka." (52) QS 20:124. Teks ayat tersebut sebagai berikut :

وشهد یوم القیﺎمة أعمی “Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." Juga, lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 227.

(53) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 232. Teks aslinya sebagai berikut:

"إن الانسان أنواعا من الحشر" (54) Mulla Sadra menolak kebangkitan fisik yang seperti ini karena menurutnya akan menyebabkan reinkarnasi. Namun menurut Sayid Radhi, pernyataan Syaikh ini lebih dalam upaya menjaga pada umumnya keyakinan kaum muslimin.

(55) Citra pasar di surge, pada umumnya, muncul pada karya- karya Eskatologi abad pertengahan, seperti yang digambarkan oleh Al-Samarkandi dalam Ahwal Al-Qiyamah hlm. 34 sebagai berikut: “Pada hari Jumat, mereka akan keluar ke pasar- pasar di surga dan mendapatkan pakaian yang paling indah yang belum pernah mereka kenakan sebelumnya". Hal ini kemungkinan besar didasarkan kepada riwayat-riwayat, tetapi apa makna yang sesungguhnya di balik hal tersebut, penulis belum menemukan penjelasan yang khusus.

(56) Mulla Sadra, Al-Asfar J. 9, hlm. 233-234. Ibn 'Arabi, Al- Futuhat, J. 3, hlm. 267 – 268. Teks aslinya sebagai berikut:

P: 254

اعلم أن الروح الإنسانی أوجده الله مدبرا لصورة حسیة سواء کان فی الدنیا أو فی البرزخ أو فی الدار الآخرة أو حیث کان, فأول صورة لبسها الصورة التی أخذ علیه فیها المیثاق بالا قرار بربوبیة الحق علیه, , ثم إنه حشر من تلک الصورة إلی هذه الصورة الجسمیة الدنیا ویه و حبس بها فی رابع شهر من تکون صورة جسده فی بطن أمة إلی ساعة موته: فاذا مات حشرإلی صورة أخری من حین موته إلی وقت سؤاله, فإذا جاء وقت سؤاله حشر من تلک الصورة إلی صورة جسده الموصوف بالموت فیحیی به ویؤخذ بأسماع الناس وأبصاو هم عن حیاته بذلک الروح إلأ من خصه الله با لکشف من نبی أوولی, ثم یحشر بعد السؤال إلی صورة أخری فی البرزخ یمسک فیها, بل تلک الصورة عین البرزخ والنوم والموت فی ذلک علی السواء إلی نفخة البعث فیبعث من تلک الصورة ویحشر إلی الصورة التی کان فإرق ها فی الدنیا, إن کان بقی علیه سؤال, فإن لم یکن من أهل ذلک الصنف حشر فی الصورة التی یدخل بها الجنة أو النار, وأهل النار کلهم مسؤلون, فإذا دخلوا الجنة واستقروا فیها ثم دعوا إلی الرؤیة ونودوا حشروا فی صوره لا تصلح إلا للرؤیة فإذا عادوا حشروا فی صورة تصلح للجنة و فی کل صورة تنسی صورته التی کان علیها, ویرجع حکمه إلی حکم الصورة التی انتقل إلیها و حشر فیها فإذا دخل سوق الجنة و رآی مافیه من الصورفأی صورة رآها و استحسنها حشر فیها فلا یزال فی الجنة دائما یحشر من صورة إلی مالا نهایة له (57) James Winston Morris, “Mafhum Barzakh dar Nazd Mulla Sadra" dalam Majmu'ah Maqolehye Mulla Sadro (Tehran:

Siprin, 2007), hlm. 95.

(58) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 198. Teks aslinya sebagai berikut:

"ولنا رسالة علی حدة فی هذا الباب بینا فیها حشر جمیع الأشیاء الکائنة حتی الجماد والنبات إلی الدار الآخرة وحشر الکل إلیه تعالی" (59) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 256.

(60) Mulla Sadra, Mafātīh al-Ghaib (Tehran: Muasasah Mutala'at va Tahqiqat Farhangge, 1363), him. 612 - 613.

(61) QS 18:47. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَیَوْمَ نُسَیِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَی الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا »

P: 255

“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka." (62) QS 81:5. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ » “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan." (63) QS 24:24. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«یَوْمَ تَشْهَدُ عَلَیْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَیْدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا کَانُوا یَعْمَلُونَ » "Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (64) Dalam Syarh Fushūs Al-Hikam yang ditulis oleh Qaysari, pada bagian Muqaddimah, Qaysari menjelaskan pandangan Syaikh Ibn 'Arabī yang meyakini bahwa segala sesuatu adalah hidup dan pandangan ini di dasari ayat Alquran: QS 17:44. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِیهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَیْءٍ إِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَکِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِیحَهُمْ إِنَّهُ کَانَ حَلِیمًا غَفُورًا » "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (65) Al-Mustavawi, Al-Tahqiq fi Kalimat Alquran Al-Karim, J. I, hlm.87.

(66) Di antara pemikir Eskatologi yang meyakini bahwa surga dan

P: 256

neraka berada di alam dunia ini, juga yang di kreasi ulang, Jane Idelman menyebutkan pandangan Al-Ghazali tersebut.

Al-Ghazali menyatakan, “Pada akhirnya, Allah akan membuka salah satu tempat simpanan barang yang berharga di 'Arsy, dan dari situ, lautan kehidupan akan menghujani tanah yang kering dan tandus, yang membuatnya bergetar karena munculnya kehidupan yang baru. Ketika seluruh bumi tertutup oleh empat hasta air, pertumbuhan ulang yang sesungguhnya dari jasad individu akan mulai, diawali dengan tulang sulbi. Jasad-jasad kemudian akan tumbuh dalam kubur mereka masing-masing, seperti tumbuhnya pepohonan, sampai semuanya mencapai bentuk seperti dulu ketika kematian menimpanya, anak kecil berbentuk anak kecil, orang dewasa berbentuk dewasa". Jane Idelman, The Islamic Understanding of Death, hlm. 117. Salah seorang filsuf kontemporer di Qom, Iran, Fayazi menyatakan hal yang sama. Baginya, setelah terjadi Kiamat, Allah akan merekonstruksi ulang alam semesta ini, termasuk bumi, dan kemudian manusia dibangkitkan kembali di bumi yang dahulu dia tinggali, tetapi dalam forma yang baru (wawancara pribadi, Qom: 17 Mei 2007).

(67) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfār, J.9, hlm. 223.

(68) Lihat: Al-Ghazali, Ihya', J. IV, hlm. 545.

(69) Pandangan ini berasal dari Asy'ariyyah dan filsuf Skolastik yang menyatakan bahwa jiwa tidaklah memiliki karakter spiritual, melainkan bergantung pada raga. Teori atom yang dikembangkan Asy'ari menyatakan bahwa kehidupan tetap kontinu dalam atom-atom tersebut, sekalipun telah terurai dan kebangkitan terjadi dengan tersusunnya kembali atom- atom yang telah terpisah tersebut. Lihat: Fazlur Rahman, The

P: 257

Philosophy of Mulla Sadra, hlm. 335.

(70) Argumentasi Ibn Sina, dalam hal ini, sebagai berikut: “Jika demikian (terjadinya reinkarnasi), maka tidaklah mungkin terjadi jiwa yang telah terpisah dari raga kembali dan masuk kedalam raga manusia yang lain. Karena raga yang baru memunculkan jiwa yang baru bersamanya, maka (jika terjadi reinkarnasi) akan terjadi pada raga yang baru jiwa yang lain sehingga menyebabkan seorang manusia memiliki dua jiwa sekaligus, akan tetapi seluruh manusia sesungguhnya hanyalah memiliki satu jiwa semata, tidak dapat terpikirkan kecuali jiwa yang satu semata. Sekalipun ada jiwa yang lain pada sebuah raga maka tidaklah berfungsi bersamanya dan tidak juga memunculkan manfaat bagi raga, maka pastilah jiwa tersebut bukanlah jiwa dirinya karena jiwa di dalam raga tidaklah menempati hanya satu bagian tertentu atau menempel sebagai zat bagi bagian tertentu dari raga, tetapi jiwa merupakan pengendali dan terfungsikan melalui raga.

Maka jelas dan benderanglah bahwa jiwa-jiwa manusia adalah sesuatu yang baru dan tetap setelah (kehancuran) materi dan tidak tinggal di dalam raga-raga tersebut dan tidak juga terjadi reinkarnasi" Ibn Sina, Al-Mabda' wa Al-Ma'ād, 108–109.

(71) Al-Ghazali mengemukakan argumentasinya sebagai berikut:

“Ketika kehidupan dan raga telah hancur, penciptaan kembalinya akan merupakan penciptaan yang semisal dengan apa yang ada sebelumnya. Namun, makna “kembali”, sebagaiamana yang kami pahami,, mengimplikasikan pengandaiaan keabadian sesuatu dan barunya sesuatu yang lain. Sebagaimana jika dikatakan bahwa seseorang kembali pada kenikmatan, yang dimaksud tidak lain, bahwa orang

P: 258

yang mendapatkan kenikmatan tersebut bersifat tetap dan abadi; dia telah meninggalkan kenikmatan tersebut kemudian kembali merasakannya; yaitu, dia kembali pada apa yang secara jenerik sama dengan apa yang dia rasakan sebelumnya akan tetapi berbeda dalam kuantitasnya. Maka tidak lain makna kembali adalah kembali kepada yang semisalnya." Al-Ghazali, Tahāfut Al-Falāsifah (Beirut: Dar Al-Maktabah Al- Hilal), hlm. 289–290. Selanjutnya disebut: Tahafut.

(72) Jane Idelman Smith adalah Profesor Studi Islam dan Wakil Direktur Pusat Studi Islam dan Hubungan Muslim-Kristen Macdonald pada Hartford Seminary, penulis buku The Islamic Understanding of Death and Resurrection.

(73) Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death and Resurrection, hlm.62.

(74) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 199–217 (75) Baca kembali Bab IV pada bagian Kritik terhadap Pandangan Eskatologi Pemikir Muslim.

(76) Karena, bagaimanapun dan dari jenis apa pun, raga yang terbentuk secara eksternal dari jiwa manusia, dalam pandangan Mulla Sadra, masuk kategori reinkarnasi.

(77) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 197.

(78) Alam imajinal mutlak atau terpisah (Munfasyl) adalah alam imajinal independen dan hakiki yang merupakan forma dari segala sesuatu yang terwujud dalam satu kondisi yang sama antara kehalusan ruhaniah dan kepadatan materi, sedangkan alam imajinal tidak mutlak atau bersambung (Muttasy/) merupakan alam imajinal yang tidak terpisah dari jiwa seseorang dan menampilkan beragam forma yang berasal dari alam imajinal mutlak atau terpisah. Lihat: Malikeh Sobiri,

P: 259

“Alam Mitsal va Tajarude Khiyol" dalam jurnal Kherad Nomeh Sadra, Vol. 15, him. 72-73.

(79) Kyosamsaki, Rozee, hlm. 261. Teks aslinya sebagai berikut:

اما دیدیم که بدن مذکورنه می تواند مادی باشد و نه عقلی. پس به ناچار موجودی است مثالی به هر روی این پایان راه نیست زیرا چنانچه بدن اخروی, موجودی مثالی و متعلق به عالم مثال منفضل با شد. رابطه تکوینی خاصی با هیچ نفس خاصی نخواهد داشت تا بدن آن به شمار آید (نبود توازی وجودی). بنابراین چاره ای نیست جز اینکه بپذیریم بدن اخروی بدنی است مثالی, ولی نه در مثال مطلق ومنفضل بلکه در مثال مقید ومتصل یا همان قوه خیال (80) Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 183.

(81) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 176.

(82) Muhammad Husayn Thabathaba'i, Al-Mizān fi Tafsir Alquran (Qom: Muasasah Matbu'ati Ismailiyyon, 1412), J. XVII, hlm.114. Teks aslinya sebagai berikut:

البدن اللاحق من الإنسان إذا اعتبر بالقیاس إلی البدن السابق منه کان مثله لا عینه لکن الإنسان ذا البدن اللاحق إذا قیس إلی الإنسان ذی البدن السابق کا عینه لا مثله لان الشخصیة بالنفس وهی واحدة بعینها (83) Tentang pengkafiran para filsuf ini dapat dilihat pada: Fazlur Rahman, Islam (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), him. 120.

(84) Banyak kisah Sufi yang menunjukkan bahwa para Sufi tersebut dapat menyaksikan raga batin seseorang di balik raga materinya yang terbentuk dari perilaku manusia tersebut.

Sebagai contoh, apa yang terjadi pada Abu Basyir, “Suatu saat aku menunaikan ibadah haji bersama Muhammad Al-Baqir, kemudian Imam Al-Baqir berkata, “Sungguh banyak talbiyah yang terucap, tapi sedikit sekali yang haji”. Kemudian yang mulia mengusapkan tangannya ke wajahku dan aku melihat

P: 260

sebuah pemandangan ajaib. Sebagian besar manusia yang aku saksikan berbentuk binatang yang bermacam-macam, sebagian berbentuk monyet dan sebagian lagi berbentuk babi dan aku melihat orang-orang yang beriman di antara mereka seperti gemintang yang menerangi kegelapan". Faid Al- Kasyani, Mahajjat al-Bayda' (Qom: Muasasah Nashr Al-Islami, 1383), J.1, him. 132.

(85) Lihat: Abd Al-Razzaq Al-Kasyāni, Istilāhāt Al-Sufiyyah (Tehran:

Hauzehye Hunar, 1376), Bab Jim, hal.79.

(86) Husain Mazahiri, Dirasat fi al-Akhlak (Qom: Dar Al-Syafaq, 1413), hlm. 47. Teks Aslinya sebagai berikut:

إن الملکات، رذیلة کانت أو فضیلة تحصل من الأفعال والأقوال والأفکار، وهویة الانسان وحقیقیته تحصل من تلک الملکات، فالعفة والشجاعة والعدالة علی الأعمال، کما أن ضدها من الشره والتهور والطغیان یکون کذلک.

تتوقف وتلک الملکات، رذیلة کانت أو فضیلة، توثر تأثیرا بالغا فی هویة الانسان وحقیقته. فحقیقة الانسان وهویته تتصور بتناسب الملکات (87) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 176.

(88) QS 81:5. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ » “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan." (89) Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

"یحشر بعض الناس علی صوة تحسن عندها القردة و الخنازیر (90) Lihat: Fazlur Rahman, Health and Medicine, hlm.172.

(91) Syaikh Soduq menyebutkan bahwa Sirāt, tidak lain, adalah syari'at (lihat: Syarh kitab Al-Tawhid Soduq, J. 9, hlm. 387).

Al-Ghazali memaknai Sirāt sebagai jalan yang memisahkan antara surga dan neraka (lihat: Al-Durrah, hlm. 263). Ayat-

P: 261

ayat Alquran banyak berbicara tentang Sirāt. Paling tidak ada45 ayat yang secara khusus menyebutkan kata Sirat dengan beragam sandingannya.

(92) Hadis Nabi Saw. tentang Sirāt pada hari kiamat sebagai berikut:

"أن الصراط یظهر یوم القیامة للابصار علی قدر الما رین علیه فیکون دقیقا فی حق بعض و جلیلا فی حق أخرین" Faidh Al-Kasyani, Ilmu Al-Yaqin fi Ushul Al-Din (Qom:

Intisyarat Bidor, 1418) hlm. 1184. Selanjutnya disebut:

Faidh Al-Kasyani, Ilmu Al-Yaqin.

(93) Lihat Makarim Syirazi, Al-Amtsāl fi Tafsir Kitabullah Al-Munzāl (Beirut: Muasasah Al-Bi'tsah, 1413), J. 1, hlm. 25.

(94) Berbeda dengan gerakan transubstansial, gerakan zati merupakan gerakan yang terjadi pada diri makhluk atau manusia sebagai akibat dari ketaatan atau ketundukan terhadap perintah atau larangan, baik secara alamiah (Takwinī) maupun secara syari'at (Tasyri'i).

(95) Yang dimaksud Mulla Sadra dengan kualitas diri di sini bukan Maʼqūlat (Kategori) sebagai Kaif al-Nafsani, tetapi ‘kondisi, karakter, pengetahuan pada diri manusia yang didorong oleh keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.'.

(96) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 284.

(97) Teks hadis tersebut sebagai berikut:

"الصراط أدق من الشعر وأ هد من السیف" | Faidh Al-Kasyani, Ilmu Al-Yaqin fi Ushul Al-Din (Qom:

Intisyarat Bidor, 1418), hlm. 1184.

(98) Al-Gazhali, Al-Madnūn, hlm.353.

(99) Lihat: Sibawaihi, Eskatologi Al-Gazāli dan Fazlur Rahman, hlm.127.

P: 262

(100) QS 57:12. Teks ayat tersebut sebagai berikut :

"(yaitu) Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.

(101) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 290.

(102) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 291. Teks aslinya sebagai berikut:

والکتاب لمثل هذه الکتابة النوریة هم الکرام الکاتبون لکرامة ذواتهم وأفعالهم عن دناءة الجسمیة (103) QS 38:16 dan 53, 40:27, Teks ayat tersebut sebagai beriku الحسابیؤمقبل قطنا لنا عجلربناو قالوا الحساب لیوم توعدون ما هذا «وَقَالَ مُوسَی إِنِّی عُذْتُ بِرَبِّی وَرَبِّکُمْ مِنْ کُلِّ مُتَکَبِّرٍ لَا یُؤْمِنُ بِیَوْمِ الْحِسَابِ (27)» (104) Pada umumnya, di dalam Alquran, Allah Swt. menyebutkan kata al-Mizan dalam bentuk pluralnya, yaitu al-Mawazin.

Ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut, antara lain, QS21:47; 7:8-9; 23:102 - 103; 101 :6 dan 8.

(105) Lihat: Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, him. 214 - 220.

(106) QS 50:29. Ayat tersebut sebagai berikut :

وما أنا بظلم للعبید “Dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba- Ku." (107) Lihat: Suhrawardi, “Yazdhon Snokht", dalam Majmu'ah, J.III, him. 438.

(108) QS 11:16. Ayat tersebut sebagai berikut :

«وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِیهَا وَبَاطِلٌ مَا کَانُوا یَعْمَلُونَ »

P: 263

“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (109) Al-Ghazali, Al-Durrah, hlm. 172.

(110) Syaikh Al-Mufid, Syarh Tawhid Al-Shoduq (Iran: Wizarat Tsaqafat va Irsyad, 1999), J. 3, hlm. 622.

(111) Ada istilah khusus yang juga digunakan untuk istilah surga dan neraka. Untuk surga, antara lain, Al-Ma'wa, Al-Firdaws, Adn, Illiyin dan untuk neraka, antara lain, Al-Jahim, Al-Jahannam, Al-Saqar, Hawiyyah, Ladza, dan Hutamah.

(112) Lihat: Sachiko Murata and W.C.Chittick, The Vission of Islam (London and New York: I.B. Tauris Publisher, 1996), hlm. 211 (113) Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, hlm.133.

(114) Penggambaran Alquran tentang surga yang demikian dapat kita temukan pada QS 2:25 dan penggambaran alquran tentang neraka yang seperti ini dapat kita temukan pada QS : 104: 5–9.

(115) Lihat: Jane Idelman Smith, The Islamic Understanding of Death, hlm. 138.

(116) Yang dimaksud adalah imam-imam Syi'ah. a.l, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan ibn Ali, Al-Husain Ibn Ali, Ali Ibn Al-Husain, Muhammad Ibn Ali, Ja'far Ibn Muhammad, Musa Ibn Jaʼfar, Ali Ibn Muhammad, Muhammad Ibn Ali, Ali Ibn Muhammad, Al- Hasan Ibn Ali dan Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazar.

(117) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 319.

(118) Intelektual yang dimaksud Mulla Sadra di sini adalah bersifat nonmateri.

(119) Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, hlm. 321.

P: 264

(120) Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, him. 320.

(121) Diantara teolog yang utama di kalangan Syi'ah adalah Syaikh Tusi dan hadis yang menjadi sandaran: “Tidak seorang dari ahli Tauhid yang akan ditimpa penderitaan neraka sekiranya mereka dimasukkan kedalamnya akan tetapi mereka akan menderita ketika dilepaskan dari neraka sebagai balasan bagi dosa-dosa mereka." Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 320.

(122) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 320. Teks aslinya sebagai berikut:

لأن العارف بالتوحید یکون نفسه منورة بنور الحق والیقین مرتفعة عن العالم الأسفل إلی مقام العلویین (123) QS 3:15. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

(124) Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 320.

(125) QS 55:46. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ » "Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya, ada dua surga." (126) Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 322.

(127) Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 322.

(128) QS 7:156. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَرَحْمَتِی وَسِعَتْ کُلَّ شَیْءٍ » “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu." (129) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 219. (Lihat kembali pembahasan “Hakikat Kematian dan Alam Kubur”).

(130) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 322. Teks aslinya sebagai berikut:

وقد علمت أن لیس للاخرة مکان فی هذا العالم لا فی علوه ولا فی سفله لأن جمیع مافی أمکنة هذا العالم متجددة دائرة مستحیلة فانیة, وکل ماهو کذلک فهو

P: 265

من الدنیا والآخرة عقبی الدار لیست دار البو ار, و هی فی داخل هذا العالم وفی با طن حجب السماوات والأرض, و منزلتها من الدنیا منزلة الجنین من رحم الأم کما مر, و لکن لکل من الجنة والنار مظا هر ومرائی فی هذا العالم بحسب رقائفها و نشئاتها الجزئیة (131) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 322. Teks hadis tersebut sebagai berikut:

قبرالمؤمن روضة من ریاض الجنة وقبر المنا فق حفر النیران (132) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 338.

(133) Lihat: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hlm.258.

(134) Lihat: Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 122.

(135) Ibn Sina, Mabda' wa Al-Ma'ād, hlm. 109–114.

(136) Mulla Sadra, Al-Asfar, J. 9, him. 162.

(137) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Kholid Al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra pandangan Ittihad Al-'Āqil wa Al-Ma'qul (Bandung: Muthahari Press, 2005).

(138) Mulla Sadra, al-Asfār, J. 9, hlm. 123. Teks aslinya sebagai berikut:

أن المعرفة بدر المشا هدة, وذلک لأن الحجاب بیننا وبین العقلیات إما عدم التفطن لها و هو الجهل وإما الاشتغال بغیرها کالبدن والمواد الحسیة و قواها المنطبعة (139) Mulla Sadra, Al-Asfār, J.9, hlm. 131. Teks aslinya sebagai berikut:

أن الشرف والسعادة با لحقیقة إنما یحصل للنفس من جهة جزئها النظری الذی هو أصل ذا تها (140) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 133. Teks aslinya sebagai berikut:

P: 266

"ومن أعظم الآلآم لهم إنهم عن ربهم لمحجو بون" (141) QS 2:6-7. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«إِنَّ الَّذِینَ کَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَیْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا یُؤْمِنُونَ خَتَمَ اللَّهُ عَلَی قُلُوبِهِمْ وَعَلَی سَمْعِهِمْ وَعَلَی أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِیمٌ » "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat." (142) Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 134-135.

(143) Ayat-ayat yang menunjukkan indikasi keabadian tersebut antara lain QS : 2 : 82, 217 dst.

(144) Di antara teolog yang berpandangan seperti ini, a.l., Al- Fachrurrazi al-Samarkandi dan hal ini di dasari ayat Alquran, antara lain, QS 28:88.

(145) QS 4:56.

«کُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَیْرَهَا لِیَذُوقُوا الْعَذَابَ » "Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab." (146) QS 4:56. Teks ayat tersebut sebagai berikut :

«کُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَیْرَهَا لِیَذُوقُوا الْعَذَابَ » (147) Mulla Sadra, Al-Asfar, J.9, hlm. 381. Teks aslinya sebagai berikut:

"حکم النار وأهلها قریب من حکم الدنیا وأهلها" (148) QS 20:74. Teks ayat tersebut sabagai berikut:

«ثُمَّ لَا یَمُوتُ فِیهَا وَلَا یَحْیَی »

P: 267

(149) Mulla Sadra, Al-Asfār, J. 9, hlm. 357. Penolakan Mulla Sadra tersebut mengacu pada pernyataan Ibn 'Arabī di dalam kitabnya, Al-Futuhat Al-Makiyyah, sebagai berikut: “Maka ditunjukkan baginya kepada Kursyi yang memiliki dua kaki hingga terbagi padanya kalimat ruhaniah...Keduanya memiliki bentuk pada fisik general alami. Hal ini menunjukkan dua kaki yang setiap kaki tersebut menetap pada satu tempat, yang satu bernama neraka dan yang lain bernama surga. Tidak ada lagi tempat di atas kedua kedua tempat kaki tersebut. Keduanya tidak lain berasal dari Zat Maha Pengasih yang duduk diatas Arsyi dan tidak keluar dari-Nya, kecuali kasih sayang.

Sesungguhnya, yang akhir akan kembali kepada permulaan dengan kebijaksanaan... karena perjalanan penurunan sebagai perjalanan penderitaan menyebabkan dunia, akhirat, dan barzakh. Dan ketika berakhir pada puncak kediaman para pelaku maksiat akan mendapatkan ketenangan dan terjadi kepada mereka kenikmatan pada alam keabadian” (Ibn 'Arabī, Al-Al-Futuhat al-Makiyyah (Beirut: Dar Sadir, tth.), J. 3, hlm. 462).

(150) Yang dimaksud Mulla Sadra dengan memiliki makna tersendiri adalah bahwa kekekalan yang terjadi antar penghuni surga dan neraka memiliki makna berbeda dan spesifik.

(151) QS 34:54. Teks ayat tersebut sebagai berikut:

«وَحِیلَ بَیْنَهُمْ وَبَیْنَ مَا یَشْتَهُونَ » (152) Mulla Sadra, Al-Syawāhid, hlm. 314, 315. Teks aslinya sebagai berikut:

و عندنا ایضا اصول دالته علی أن الجحیم و آلامها وشرورها دایمة باهلها, کماان الجنة و نعیمها و خیراتها دایمه با هلها الا ان الدوام لکل منهما علی

P: 268

معنی آخر. و انت تعلم: أن نظام الدنیا لا ینصلح الا بنفوس غلیظة و قلوب قاسیة ولو کان الناس کلهم سعداء بنفوس خائفة من عذاب الله وقلوب خاشیة الاختل النظام.

فاذا کان و جود کل طائفة بحسب قضاء الهی و مقتض ظهور اسم ربانی فیکون لها غایات طبیعیة ومنازل ذاتیة والأمور الذاتیة التی جبلت علیها الأ شیاء اذا وقع الرجوع الیها یکون ملا یمة لذیذة, وان وقعت المفارقة عنها امدا بعیدا, والحیلولة عن السکون الیها والاستقرار لها زمانا مدیدا, کما قال تعا له: ((وحیل بینهم وبین ما یشتهون)) والله متجل بجمیع - الأسما فی جمیع المقامات والمراتب فهو الرحیم وهوالعزیز القهار (153) Lihat: Hasan Zadeh Amuli, Mumid Al-Himmam dar Syarh Fushūs Al-Hikam (Tehran: Wezarate Farhangge va Irsyode Islomi, 1378), him. 161.

P: 269

P: 270

Indeks

Barzakh 129. 185, 245, 255

Corbin 1.5, 24, 3033

daya emosional 96:234 237

dava estimasi hewani 97

daya intelek 97' 215 216 233

236

daya kerinduan 95

daya penggerak 96

daya persepsi 96 136' 178 179

daya syahwat 96

Abu Abdillah Zanjani 21:32

Agha Jani 15

Aktualisasi daya intelek 215

216

aktualisasi daya tindakan 215

216

Al-Asfār xxxii' xxxix: 5 16 17

23. 155212223243 244

5'212223243 244

247 248 253, 254255

257 260 261 262 263

264 265 266 267 268

Al-Farabi 158

Al-Ghazali xxx: 44: 50 70 177

178. 185, 186, 192: 205

206 207 208 211, 216

217 225 243 262

al-Hikmah al-Muta'āliyyah xxxi

14 16:21:22:23:24: 25

35 36

Ali bin Abi Thalib r.a xxxi

Allamah Thabathaba'i 1

al-Ruj'ah 112 113

Al-Taftazana xxvii' xxxvi

Argumentasi Eskatologis x: 75

Aristoteles 4,9. 4767 103.165

166

Aristotelian 9.23

Arsyiyyah 91

Asālat al-Māhiyyah 269

Asālat al-Wujud 35

Ekuivok 68

Emanasi ix. 18, 35, 46, 50

Eskatologi v Vİ'X' XXI' XXV' XXVİ'

XXVII' XXX' XXXIV XXXVI' XXX-

vii: 35 66 72 75 80 101

111. 114131. 133. 137

147 188 192 198; 201

202 206,208 211 212

223.225233 238 245,

254, 256, 259, 262

Faid Kasyani 12

Fazlur Rahman xxxvi: 30-67: 71

P: 271

91.100 157 158 159 181 184

185 211214: 232 246

247 257 260 261 262

266

Filsafat v. Vi' ix' XİX' XXİ' XXV. XXIX

XXXi' XXXVii' xxxviii: 4.619

21:29 30 35 68 69 70 71

173. 277

filsafat Iluminasi xxv 15

Filsafat Isyrāqiyyah xxxi

filsafat Peripatetik 11:21:26: 79

131206

forma parsial 96

lluminasi xxv: 4: 15:26102122

188207

Imajinasi 212

indra bersama 96 97

Indra mental 96

irfan xviii: 207

Isa a.s. 154

Isyrāqiyyin 21

Jalaluddin Astiyani 61

James Winston 29. 198: 255

Jawadi Amuli 75, 79. 156

jiwa hewani 53.95: 234

jiwa tumbuh-tumbuhan 95.97

100 157. 199

Gnostik xxxi xxxii: 4:25

Н

hudūri 90

Ibn 'Arabi 24:25:42

Ibn Rusyd xXx' xxxviii: 44: 47.49,

51.6971. 185

Ibn Sina XXV. XXX: 9. 11' 14, 1516

18 2223. 24: 37:41:47:48

49, 51, 52, 54, 92 94 100

101 103. 111 117 119

131 132 133 134 135

136 137 138 139 140

144 163 167 168 169

176 185 188 209 232

234: 244 258 266

Idea Plato 65

Khwaja Ibrahim 1:2

kiamat besar xi

kiamat kecil xi

Kitab 17 18 20 31. 32. 158 166

175 218 219 223 243

244

Kontinuitas ix' x' 3543. 238

kuiditas 18:36 37 38 39 40 41

44:49:51:52:5683114

115 116 117 120 121

122 134 144 156: 200

Kyosamsaki xxiii: 101161 163,

209, 260

L

Lembaran x 175214, 218 219

P: 272

M

Qazwin 3.48 26

Qom 5. 14, 15, 29, 30, 31, 3267

69 70 71 72 156 158

160 161 164, 168, 244,

257 260 261 262 277

Ma'ād xxvii' XXXİV' 17138 167

192234 258 266

magnum opus xxxi: 617

makna parsial 96' 177

Ma'sumah 8:30

Masyāiyyīn 21

Mental ix: 3544:45

Mir Damad 3.4.9. 2051'71

Mir Findiriski 11 12

Muhammad Khamenei 16:27

Muhammad Sadruddin bin Ibra-

him Yahya Qawwāmi 2

Mulla Abdul Razāq Lahiji 6:7

Mulla Husain Tankobani 15

Mulla Ibrahim 7

Mulyadhi Kartanegara xxii' xxvi'

Xxxvi

Realitas Jiwa x: 75 80

Reinkarnasi x:75 100 101 102

103 104 105

reinkarnasi bersambung 102

reinkarnasi kemalaikatan 102

reinkarnasi penguasaan 102

reinkarnasi terpisah 102 103

reinkarnasi turun 102

Rene Descartes 3.29

N

Nizamuddin Ahmad 8

Nurcholis Madjid xxx

P

Perhitungan 175: 223 249 250

Peripatetik xxv: 4:9, 11' 17' 21

22 23 24 26 28 35 60 61

79 100 102 103 120 131

148 159 180 185 188

206209, 244

Plato 47, 65, 91 127 166

Sabzawari 54

Sayyed Muhammad Khamenei

16

Sirāth 86.223

Suhrawardi xxxi 14:23 6061

143. 172 247 248 263

Surga indrawi 229

Syaikh Baha'i 3,5

Syaikh Isyraq xxv: 37: 38: 60 61

62. 104143 144 145 146

184 185 188 208 209,

211.224

Syirāz 1:23:5, 6:8 13' 14 26:29

Syirazi 2.8. 103

Q

Qali Khan 6

P: 273

Tamistius 47

Tasawuf xxxi' xxxvii: 73,266

Teologi xxxi26173

Timbangan 175: 220 221 223

250

Transubstansial ix' 19.35: 71

Ummu Kaltsum 8

Univok 68

Uzair a.s. 113. 164

W

Wujud ix 18 27:35, 36, 37, 38

39. 41:43, 44, 45, 47-49,55

56,59 68' 80' 81' 114 115

117. 161. 199

Xenon 47

Zoroaster 184

P: 274

Sekilas Tentang Penulis

Dr. Kholid Al-Walid, M.Ag lahir di Palembang, 20 September

1970 dari pasangan Amir Sopian dan Zuhroh H.S. Tradisi klasik

keislaman didapat dari kakek beliau, K. H. Abdul Hamid Siddiq, yang

merupakan ulama tradisional di Kota Palembang masa itu.

Latar belakang pendidikan S1 di IAIN Raden Fatah, Palembang

dan kecintaan kepada filsafat mengantarkannya untuk mendalami

Filsafat Islam di Hauzeh Ilmiyyeh Hujjatiyyeh, Qom, Republik Islam Iran

selama lebih kurang tujuh tahun. Kemudian, ia mengambil magister

di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung dan selanjutnya menyelesaikan

program doktoral di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 18 April 2008

dan dinobatkan sebagai doktor terbaik.

Beliau adalah dosen Filsafat Islam di UIN Sunan Gunung Djati,

Bandung dan Pembantu Rektor | di Islamic College For Advanced

Studies (ICAS), Jakarta Branch of London, serta duduk sebagai Wakil

Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyyah MUI Pusat.

Saat ini, beliau tinggal di Puri Bali Sawangan, Depok bersama

istri, Hj. Renny Ariany, Msc. dan ketiga putri jelita beliau, Nargis

Fathimah Behesyti, Nabila Syirin Thowusyi, dan Najwa Feresteh Zahra.

Beberapa buku beliau, baik dalam bidang filsafat dan tasawuf

serta tulisan-tulisan lepas, telah diterbitkan oleh beberapa penerbit,

jurnal, dan media. Saat ini, beliau tengah menulis peta Filsafat "Hikmah

Muta'aliyyah” karena obsesi beliau memperkenalkan Madrasah ke-III

filsafat ini ke tengah pemikir Islam Indonesia.

P: 275

1392 25. Human Rights from The Viewpoint of Islam,

persian

Textbook/Abdul Hakim Salimi

1 Abstract of Articles Presented in national Confer- 26. Impact of the soul of The Holy Prophet (p.b.u.h)

ence of Islamic Ethics and economy/Islamic econ- in World of being with The Approach of implora-

omy council of Islamic seminry

tion issue)/Ma'asooma Gul Guli

2. Advanced writing, from paragraph to article/Ha- 27. Introduction of authorities Science/Syed Moham-

mid Basiriyan

mad Najafi Yazdi

3. An Approach to Political Science and contempo- 28. Introduction of Sahifa-e-Sajjadiya/Mohammad

rary Islamic movements/Abdul Wahhab Furati Ali Majd Faqihi

4. Analysis of The historiography of Mohammad

29. Introduction of Shia Studies/Ali Rabbani Gul-

Abid Aljabiri/Syed Mohammad Ali Noori paigani

5. Basic Teachings of Ethics, Vol.1/Mohammad Fath

30. Islamic Religions and Theological Schools/Ali

Ali Khani

rabbani Gulpaigani

6. Basics of Eschatology of History in Quran/Qam- 31. Jurisprudence and Wisdom/Abul Qasim Ali Dost

bar Ali Samadi

32. Jurisprudence of Quran, verses of The revealed

7. Chandelier of Friday prayer(forty Narratives about prescripts/Mohammad Fakir Maibodi

Friday prayer) Mohammad Arif Haider Qizalbash 33. Legal issues in an organization/Mohsin Mantiqui

8. Cognitive geography of The World of Islam (col- 34. Lexicology of The Holy Quran/Shahid Ghulam Ali

lection of Articles Presented in 16th sheikh Tousi Humai

international festival)/Group of Authors

35. Light of Research, Vol.3/ Fiqh High Education

9. Comparative Study of the imaginary from The Complex

Viewpoint of Ibn-e-Sina. Shiekh Ishraque and 36. Literary Analysis of Nehjul Balagha and Sahi-

Mulla Sadra/Mohammad Khan Kazimi

fa-e-Sajjadiye/Rehmet Abidi

10. Cultural anthropology with Approach of interna- 37. Logic of The Interpretation of Holy Quranl(Ba-

tional propagation/Mohammad Raza Aqai

sics and Rules of The Interpretation of Holy Qu-

11. Different perceptions from The proximity of Is-

ran)/ Mohammad Ali Rizai Isfahani

lamic Schools of Thought/Mohammad Tahir Iqbali 38. Logic of The Interpretation of Holy Quran2 (In-

12. Education of The Translation and concepts of terpretational Methods and trends) / Mohammad

The Holy Quran/Vol.1/ Ali Beman Malik Ahmadi Ali Rizai Isfahani

13. Education of The Translation and concepts of 39. Logic of The Interpretation of Holy Quran 2 (Qu-

The Holy Quran/Vol.2) Ali Beman Malik Ahmadi

alik Ahmadi ran's Interpretational Methods and tendencies /

14. Education of The Translation and concepts of

f The Translation and concents of Mohammad Ali Rizai Isfehani

The Holy Quran/Vol.3/ Ali Beman Malik Ahmadi 40. Logic of The Interpretation of Holy Quran 3(Qu-

15. Education of The Translation and concepts of ran's Interpretational Methods and tendencies) /

The Holy Quran/Vol.4/ Ali Beman Malik Ahmadi Mohammad Ali Rizai Isfehani

16. Education of The Translation and concepts of 41. Logic of The Interpretation of Holy Quran 4(mod-

The Holy Quran/V05/ Ali Beman Malik Ahmadi ern discussions of The Interpretation/Moham-

17. Education of The Translation and concepts of mad Ali Rizai Isfel

mad Ali Rizai Isfehani

The Holy Quran/Vol.6/ Ali Beman Malik Ahmadi 42. Logic of The Interpretation of Holy Quran5(Qu-

18. Embodiment of deeds from The Viewpoint of

ran and Human and natural Sciences)/Moham-

Allama Tabatabai. Rashid Raza in Almizan and Al- mad Ali Rizal Isfehani

manar/Siddiqah Faqihi

43. Mechanisms of Islamic banking/Mohammad

19. Explanation and Analysis of The Attributes of acts Jawad Tawakkuli

of God in Ashura visitation/Syeda Zahra Ahmadi

44. Mothers of fourteen innocents/Haider Muzaf-

20. Four Articles and limit-controlling/Mohammad fari Warsi

Raza Yusufi, Ruqayya Ibrahimi Shehrabad

45. Necessity of Islamic Government in The Absence

21. Hadith and modern Sciences (Logic of under- period/Bismillah Hassani

standing scientific Narratives)/Mohammad Ali 46. Orientalists and The Holy Prophet (p.b.u.h)/Hus-

Rizai Isfehani

sain Abdul Mohammadi

22. History of Islamic Culture and Civilization/Mo- 47. Persian Education by Persian , Workbook, Vol.6/

hammad Raza Kashifi

Asghar Fardi, Ahmad Zahrai, Ja'afar Momini

23. History of organization/Mohammad Raza Shahidi 48. Persian Education by Persian , Workbook, Vol.77

Pak

Asghar Fardi, Ahmad Zahrai, Ja'afar Momini

24. History of Shia’ism1, Textbook/Syed Lutfullah 49. Persian Education by Persian Book4/Asghar

Jalali

Fardi, Ahmad Zahrai

P: 276

50. Persian Education by Persian, (preliminary d ence, Vol.2/Syed Mir Taqi Hussaini Gurgani

book1/1)/Ahmad Zahrai and Asghar Fardi 77. Divine social laws in The Holy Quran Ahmad

51. Philosophy of Ethics/Mohammad Fath Ali Khani

52. Philosophy of History/Jawad Sunalimani

78. Endowment in Islamic shariyyah, jurisprudential

53. Place of “Urf"(common Culture) in “Istinbat" (ju- Study comparing five Schools of though/Syed Adil

ridical deduction)/Taqavi al Kanai

Mousavi al Khirsan

54. Principles and Methods of Teaching youth Reli- 79. Essence of creation (for knowing the right Be-

gious concepts/Hamidullah Rizai

lief)mohammad Mehdi Hairipur, Mehdi Yusufi-

55. Quranic movement communal duty/Ali Raza yan, Mohammad Amin Baladastiyan

A'arafi

80. Family Planning/Mohammad Hussain Khalique

56. Quranic Sciences 2 (absolute inimitablity of The 81. From jihad to jihad/Syed Hassan Firouz Abadi

Holy Quran in Human and natural Sciences )/Mo- 82. Guiding Syntax/Hussain Sher Afkan

hammad Ali Rizai Isfehani

83. Guiding Syntax/Hussain Sher Afkan

57. Revelation issue and answer to Their doubts / 84. History of Islamic Culture and Civilization/Mo-

Questions/ Hassan Alavi Mehr

hammad Raza Kashifi

58. Sovereignty and governance in Nehjul Balagha/ 85. Imamate before Hilli and Qushaji between "nass"

Mohammad Mehdi Babapur Gul Afshani

(clear injunction) and "Ikhtiyar" (ligerty)/Umair

59. Textbook for single words of Holy Quran/Shahid Jamil Sharara

Ghulam Ali Humai

86. Introduction of important Islamic Religions and

60. Textbook of analytical History of Ahl-e-Bait Theological Schools/Shakib bin Badira Al Tubaili

(p.b.u.t)/Majid Haideri Niek

87. Introduction of The History of The interpreters

61. Textbook of The Basics and Rules of The Inter- and The Interpretations/Hussain Alavi Mehr

pretation(a summery of The Logic of The Inter- 88. Introductory Lessons of Imami Jurisprudence/

pretation of Quran1) Mohammad Ali Rizai Isfehani Syed Mohammad Yazdi Najafi

62. The constitution of The Islamic republic of Iran/ 89. Introductory Lessons of The Demonstrative

Group of Authors

Jurisprudence bilateral contracts and onesided

63. The stratigies being protected from interest dispositions))Vol.3/ Shiekh Baqir Irwani

deals/Ghulam Murtaza Ansari

90. Introductory Lessons of The Demonstrative

64. Towards Quran (reading and familiarity with Qu- Jurisprudence(Islamic Duties) Vol.1/ Shiekh

ran) Abul Fadhl Khosh Manish/French

Baqir Irwani

65. Translation and explanation of Halqa Thalaitha 91. Introductory Lessons of The Demonstrative

of Ayatollah Shahid Syed Mohammad Baqir Sadr, Jurisprudence(Islamic laws))Vol.4/ Shiekh Baqir

Vol.1/Ahmad Murad Khani/

Irwani

66. Type of friendship from The View point of Islam) 92. Introductory Lessons of The Demonstrative

Ainullah Noruzi

Jurisprudence Vol.2 (bilateral contracts)/ Shiekh

Arabic

Baqir Irwani

67. A brief History of Islam, part1/Syed Munzair 93. Introductory Lessons of Theology Sadique Sa'adi

Hakim/ summarized by Mehmood al Saif 94. Islamic Etiquettes, Vol. 2/Muhammad Andalib

68. A brief History of Islam, part2/Syed Munzair 95. Islamic Etiquettes,Vol.1/Muhammad Andalib

Hakim/ summarized by Mehmood al Saif 96. Lessons of eloquence/Shiekh Moeen Daçique Al

69. A brief History of Islam, part3/Syed Munzair Amili

Hakim/ summarized by Mehmood al Saif 97. Lessons of eloquence/Shiekh Moeen Daqique

70. A brief History of Islam, part4/Syed Munzair 98. Lessons of Shia and Shiaism/Ali Rabbani Gul-

Hakim/ summarized by Mehmood al Saif paigani

71. Application book1/ Shakir Mahmood Afzali, 99. Logic of The Interpretation of Quran1 (Introduc-

Mietham Rab'ei Arabi

tion of Principles and Methods of The Interpreta-

72. Application book2/ Shakir Mahmood Afzali, tion of Holy Quran / Mohammad Ali Rizai Isfahani

Mietham Rab'ei Arabi

100. Personal status (Nikah-Marriage)/Syed Mo-

73. Arabic Language book2/Shakir Mahmood Afzali, hammad Najafi Yazdi

Mietham Rab'ei

101. Regulations of breastfeeding, Vol.1/Syed Mo-

74. Arabic Language book3/Shakir Mahmood Afzali, hammad Baqir Damad, editing:Syed Mujtaba Mir-

Mietham Rab'ei

damad

75. Beacon of mind in Close Theoretical Jurispru- 102. Regulations of breastfeeding, Vol.2/Syed Mo-

dence, Vol.1/Syed Mir Taqi Hussaini Gurgani hammad Baqir Damad, editing:Syed Mujtaba Mir-

76. Beacon of mind in Close Theoretical Jurispru damad

P: 277

103. Start of Theroretical Jurisprudence/Syed Raza 130. History of The absence period, Textbook/Mo-

Payambar Pur

hammad Pur Syed Aqai, Mohammad Raza Jabbari,

104. Study and Arabic Texts (for non-arabics Syed Hassan Ashurai, Syed Munzir Hakim

Abdul Hadi al Sharifi

131. Law of Wisdom and Divine Revelation/Hassan

105. Teaching program for Halqa Thania, Vol.1] Mehdi Zadeh

Mehmood al Aidani

132. Laws of Hijab and chastity/Hamid Jalfai

106. Teaching program for Halqa Thania, Vol.1/ 133. Laws of permanent and temporary marriage ac-

Mehmood al Aidani

cording to The decrees of honorable legal author-

107. The family in The practical life of The Holy ities/Syed Hujjat Mousavi Khoi

Prophet(p.b.u.h) and Ahl-e-Bait (p.b.u.t)/Moham- 134. Sahifa-e-Shahadat (scripture of martyrdom)

mad Juma Zadeh

sayings of Imam Hussain (p.b.u.h)/Mohammad

108. The migration and The migrants in The Holy Sadique Najmi

Quran/Mariam Ali Hassan Hashimi

135. Sermon of The Holy Lady Zainab in Yazid's pal-

109. The value of a paper currency(comparative Stud- ace/Syed Toqeer Abbas Kazimi

ies between Shia Jurisprudence and four Schools of 136. Shia Studies/Ali Rabbani Gulpaigani

Thoughts)/Riaz Abdul Samad Addaghir

137. Step by step towards The peak of Knowledge/

110. Times of Ijtehad (Intellectual effort) before Ima Mohammad Abidi

mi Shias/Adnan Farhan Tanha

Bengali

English

138. Being married/Ibrahim Amini

111. Watching over the Holy Sepulchers of the Proph- 139. Forty Narratives about life of The Prophet

ets and the Illustrious Imams (as) /Jafar Sob'hani (p.b.u.h)/Jawad Mohadithi

Farideh Mahdavi-Damghani

140. Light of Research, Vol.1/ Fiqh High Education

French

Complex

112. Introduction of Philosophy/Sadique Sa'adi 141. Vision of Mehdi Government/Najmud Din Tabasi

113. Propagation, its curricula and Methods /Ja'afar 142. Wilayat-t-Faqih(authority of The qualified Faqih)

al Bajari

infrastructure of Islamic Government/Imam Kho-

114. The History of Islamic Culture and Civilization/

meini

Mohammad Raza Kashifi

Pashto

115. Theological Sects and Religions /Ali Rabbani 143. Vision of Mehdi Government/Najmud Din Tabasi

Gulpaigani

Italian

116. Usool-e-Kafi, Vol.1/Mohammad Bin Yaqub Kulaini 144. Introduction of Sahifa-e-Sajjadiya/Imam Zainul

117. Usool-e-Kafi, Vol.2/Mohammad Bin Yaqub Kulaini

118. Usool-e-Kafi, Vol.3/Mohammad Bin Yaqub Kulaini Fula

Tajik 145. Light of Research, Vol.1/ Fiqh High Education

119. A View on The economic System of Islam/Sha- Complex

hid Murtaza Mutahahri

146. Morals of Ahl-e-Bait (p.b.u.t)/Syed Mohammad

120. Battle of right and wrong/Shahid Murtaza Mu- Mehdi Sadr

tahhari

147. Signs of The promised Government/Najmud

121. Family stabilization from The Viewpoint of Quran Din Tabasi

and Hadith/Mohammad Mohammadi Rai Shehri 148. The History of Islam (from The ignorance period

122. Nehjul Balagha (Peak of Eloquence)/Syed Razi to The departure of The Holy Prophet(p.b.u.h))/

123. Place of Ahl-e-Bait (p.b.u.t) from The Viewpoint Mehdi Peshwai

of Imam Abu Hanifa/Mohammad Shafaq Khawati Anatolian Turkish

124. Sayings of The Holy Prophet (p.b.u.h)1/Mo- 149. A Vision of Mehdi's Government/Najmud Din

hammad Mohammadi Rai Shehri

Tabasi

125. Sayings of The Holy Prophet (p.b.u.h)2/Mo- 150. Informative examples of Quran/Ja'afar subhani

hammad Mohammadi Rai Shehri

Tabrizi

126. Teachings of Lucman/Mohammad Mohammadi 151. Sweet odour of Wilavat/Abdullah lawadi Amoli

Rai Shehri

Indonesian

Urdu

152. Light of Research, Vol.1/fiqh High Education

127. Freedom and Theocracy/Ja'afar Subhani Tabrizi

Complex

128. Generalities of Islamic Jurisprudence/Hassan

1391

Qasimiyan

Persian

129. History and The life of The Innocents, Vol2/

1. A Collection of Theses presentec in International

Syed Munzir Hakim

P: 278

Index of Al-Mustafa (SAWW) International Translation and Publication Center Published Books

Quran and Orientalists Conference/ A Group of 24. Learning Persian in Persian, Book.1/Ahmad Zah-

Authors

rai and Asghar Fardi

2. A Guide to Religious Laws: According to Verdicts 25. Learning Persian in Persian, Book.2/Ahmad Zah-

of Imam Khomeini with Verdicts of Ayatullah rai and Asghar Fardi

Sayyid Ali Khamene’i Mohammad Fallahzadeh / 26. Learning Persian in Persian, Workbook, Vol.6/

7th Edition....

Center of Language and Islamic Knowledge/3rd

3. An Approach to Intellectual System of Imam Kho- Edition

meini and Ayatullah Khamenei in The Field of 27. Learning Persian in Persian, Workbook, Vol. 7/

Culture and Education/ A Group of Researchers Center of Language and Islamic Knowledge/3rd

of Fakhrul Aemma Cultural Office on The The Edition

recomendation of Al-Musta International Univer- 28. Logic of The Translation of Holy Quran/Moham-

sity / 2nd Edition

mad Ali Rizai Isfehani/ 3rd Edition

4. An Introduction of Islamic Theology/ Izzuddin 29. Persian-Theological bases of the miracle of Qu-

Raza Najad

ran/ Ruhullah Rizwani

5. An Introduction of Liberalism, Review of its Ba- 30. Philosophy of Tear/Syed Abdullah Hussaini

sics/ Ali Ilahi Tabar

31. Preliminary Logic / Abul fadhl Rohi/ 2nd Edition

6. An Introduction to The History of Theoretical 32. Research Magazine serial, No.52

Jurisprudence/ Mehdi Ali Pur/ 3rd Edition 33. Rights of The Ahl-e-Bait (p.b.u.t) in Interpreta-

7. An Introduction to The Relationship between The t ions of The Quran by The Ahl-e-Sunnah / Mo-

Clergy and The Islamic Government as Empha- hammad Yaqub Bashavi/2nd Edition

sized in The Views of Imam Khomeini (r.a) 34. Tafsir-e-Tartibi Text book (Sequential Interpre-

8. Contextual and Comparitive Study of Hadith / tation of Holy Quran) Vol.1/ Mohammad Hussain

Syed Raza Moaddab/3rd Edition

Mohammadi

9. Dardari (a Collection of Poems by Persian Poets of 35. The Holy Quran and Imam Hussain(Analysis of

Great Khurasan about Ashura)/Syed Hasan Aha- Quranic and Narrative testimonies of Imam hus-

madi Nejad Balkhi Balkhabi

sain)/ Hussain Motahhari Mohib

10. Dirayat ul Hadith/Syed Raza Moaddab/ 3rd Edition Arabic

11. Educational Influences of The Moral effects of 36. Al Hidaya fin Nahve (Guiding Syntax)/Hussain

Ashura uprising/ Mohammad Arif Sadaqat Sher Afkan/20th Edition

12. Glory of Word in Nahjul Balagha/ Hasan amir 37. Al Qaraat wal Ahruf Assaba'a (Readings and Sev-

Ansari

en Characters)/Abdur Rasul Alghaffari

13. Indirections (Approaches of gth prayer of Sahi- 38. Al Qarato wal Munaqashah (Reading and Discus-

fa-e-Sajjadiah)/ Hujjat Manganeh

sion)/Author: Mietham al Rabi'e; Mohammad Al-

14. Inevitable Bound, an Analysis on Strategies of haidari; Shakir Afzali

United States of America in confronting The Is- 39. Al Quds fi Alsh'er Al Arabi Al hadith fi Soriya wa

lamic Awakening Author Amil Nakhlah: Transla- Lubna wa Filistin (Poetry in Modern Arabic in Syr-

tion: Ali Mohammad Sabiqi

ia, Lebanon and Palestine) /Jihad Faizul Islam

15. Introduction of History and Hadith Resources/ 40. Annahwul Jam'e (Comprehensive Syntax)/Syed

Ali Nasiri/ 2nd Edition

Hamid Jazairi/2nd Edition

16. Introduction of Principles and Methods of The 41. Atta'alimul Almusawwar(Visual Education)/ Au-

Translation of Holy Quran (A Summary of The thor: Mietham al Rabi'e; Mohammad Alhaidari;

book “Logic of The Translation of Holy Quran") / Shakir Afzali

Mohammad Ali Rizai Isfahani.

42. Darasaatul Islamiyya fi Ilmin Namuwwe Marh-

17. Islam and Cultural Reformation/ au Ther: Zaki alatut Tofulah Marahilun Namuwwe wa Muqa-

Milad, Aytullah Khazai

wwimatut Tarbiyyah (Islamic Studies in Growth

18. Islamic Beliefs Textbook/ Ali Sherwani/ 7th Edition Psychology, Childhood Stage, Growth stages and

19. Isteshraq Special/ A Group of Authors

Elements of Education/Sa'eed Kazim Alazaari

20. Journal of Information

43. Wilayatul Faqih wal Hakukatul Islamiyyah fi Asril

21. Kau Ther-e-Ma'arif (Heavenly River of Knowl- Ghaibah (Jurisdiction and Islamic Government in

edge) No.22

The Absence of Imam)/Wadi'e Al Haideri

22. Learning Persian for Non-Persian Students / Fati-

English

ma Akbari

44. NAHJUL BALAGHA; Sermons, Letters and Sayings

23. Learning Persian in Persian, , Workbook, Vol.5/ of Imam Ali/Seyyed Razi/Seyyed Ali Raza

Center of Language and Islamic Knowledge/3rd 45. The Book of Ahadith/Seyyed Ali Lavassani

Edition

Seyyed Ali Farid Mohammadi

P: 279

Index of Al-Mustafa (SAWW) International Translation and Publication Center Published Books

French

Imam Khomeini Higher Education Complex

46. Imam of Ethics and politics/author: Syed Hassan 13. Comparative Study of Mehdaviat Theory in Is-

Islami/Translated by Ibrahim Monto

mailiah and Imamiah/ Qadir Mohammadof

Urdu

14. Culture and Civilization of The Shites of Afghani-

47. Quran and Imam Hussain/Author:Mohsin stan/ Abduqayyum leti

Qar'ati/ Translated by Syed Nusrat Ali Ja'afari/2nd 15. Dictionary of The Terminologies of Usool (The-

Edition

oretical Jurisprudence)/ Mujtaba Maliki Isfehani

Filipino

16. Disintegration of Islamic World, reasons and

48. Introduction of commandments/Translated by

consequences/ Ali Asghar Raja

Muntazir Douglas Bangaln

17. Encyclopedia of Nations' Culture, Vol1 / Almusta-

49. Shia answers/Translated by Muntazir Douglas

fa international Research Center

Bangaln

18. Epistemology/Hasan Moallimi

Pashto

19. Epistemology of Religious Belief from The View

50. Intercession/Author: Syed Hassan Tahiri Khur-

of Shahid Motahhari and Alvin Plantinga/ Alaod

ram Abadi/Translated by Sarfaraz Ali Mohammadi

din Malikof

51. Moral Approach on Wahhabiat Beliefs/Author: 20. Guide book for Russian Language/Ali Modabbir

Syed Hassan Tahiri Khurram Abadi/Translated by

Chahar Burji

Mohammad Rahim Durrani

21. History of Islamic Philosophy (New Edition)/ A

Thai

Group of Authors

22. History of Quran / Mohammad Hussain Moham-

52. Woman place from The Viewpoint of Imam Kho-

meini/Author: Mohammad Sharif Kat Sembon

madi

Uyghur

23. History of western Philosophy1/ MehdiBanai

24. International Islamic Rights / Abdul Hakim Salimi

53. Nehjul Balagha/Author Syed Razi Tranlsted by

25. Introduction of Hadith Texts and Nahjul balagha/

Abdurrehman (Ma Mohai Ma)Samsaq (Ma Sofia)

Mehdi Mehrizi

Indonesian

26. Introduction of Islamic Teachings(10th class)/ Ali

54. Intercession/Author: Syed Hassan Tahiri Khur-

Beman Malik Ahmadi

ram Abadi/Translated by Ahmad Marzuqi Amin

27. Introduction of Islamic Teachings (1st year in col-

55. Rational Approach on Wahhabiyat Beliefs/Na-

lege) Ali Beman Malik Ahmadi

jmud Din Tabasi/Translated by Hassan Tono

28. Introduction of Islamic Teachings(2nd year in col-

1390

lege) / Ali Beman Malik Ahmadi

Persian

29. Introduction of Islamic Teachings(3rd year in col-

1. Abstract of M-Phil Theses, Vol. 1-4/ Education de- lege) / Ali Beman Malik Ahmadi

partment

30. Introduction of Islamic Teachings(8th class) / Ali

2. A comparitve Study of interpretive narrations of Beman Malik Ahmadi

both School of Thoughts/ Mehdi Rustam Najad 31. Introduction of Islamic Teachings(9th class) / Ali

3. A Guide to Religious Laws: According to Verdicts Beman Malik Ahmadi

of Imam Khomeini with Verdicts of Ayatullah 32. Introduction of Narrative and Knowledge Texts/

Sayyid Ali Khamene'i Mohammad Fallahzadeh Abdul Majid Zahadat

4. Akhtar-e-Taban (Shining Star)special number/ 33. Introduction of Political Thought of Shahdi Mu-

Group of Authors

tahhari/ Ali Raza Biniaz, Mohammad Mehdi Ba-

5. A Research in Ilmur rijaal (authorities)/Akbar bapur,

Turabi

34. Introduction of Political Thought of Shahid Sadr/

6. Bibliography of Education in Islam/ Behrooz Rafe’i Ali Raza Biniaz, Mohammad Mehdi Babapur, Man-

7. Bonds of Prayer/ Mohsin Qra'ati

soor Mir Ahmadi

8. Broken heart/Haj Mirza Abdul Hussain Quds 35. Islamic Revolution of Iran in The Con Texts and

9. Charter of virtue/ Group of Authors

its Process of Formation/ Mohammad Mehdi Ba-

10. Collection of 100 Articles Presented in The inter- bapur

national Shiekh Toosi festival, Vol.1-3/A Group of 36. Islam in India, Dr. Mohammad Raza Moahhidi

writers, Almustafa International Research Center, 37. Judaism/ Mohammd Hussain Tahiri Aakirdi

Islamic Revolution Research Center

38. Jurisprudential Basics of Islamic Revolution in

11. Collection of Articles of Women in Afghanistan Intellectual Thoughts of Imam Khomeini/ Ali Ak-

Conference, Vol.5/ Group of Authors

bar Nasiri

12. Collection of Articles Presented first Imam Kho- 39. Learning Persian in Persian, Book4/ Asghar Far-

meini's social Thoughts Conference, Vol. 2-4/ di, Ahmad Zahrai

P: 280

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109